“Wong edan, nyari di mana?” tanya Tyas saat Asri membujuknya untuk mencarikan tempat kos baru. “Tempat kosmu itu sudah cukup bagus loh, bahkan letaknya nggak mudah dilacak orang. Baru juga satu malam kamu nginep situ.”
Asri sedari tadi menutupi wajah dengan kedua lengannya. Mereka sedang berada di salah satu gazebo yang ada di area kampus. “Aku kan cuma penasaran saja tadi. Soalnya aku itu paling gatel kalau lihat ada cowok mau baca buku, semacam seksi gitu,” ujar Asri jujur.
“Sompret! Kadang aku nggak ngerti sih jalan pikiranmu,” ucap Tyas sambil memutar bola matanya.
“Yah, dia ngingetin aku ama mantanku.”
“Mantanmu yang penipu brengsek itu? Yang bikin kamu nekat sampai minggat dari rumah? Sadar dong, emangnya kita tahu dia orang baik?”
Asri mengangkat wajahnya lalu menggeleng. Matanya tampak mengiba.
“Nah, situ tahu sendiri. Ya udah, nikmati aja sementara. Nyari kos itu nggak gampang loh. Lagian say, fokus kuliah aja. Udah deh, lupain yang kemarin!” ucap Tyas menasihati sahabatnya.
“Iya, kalau mudah. Masalahnya aku ketemuan ama dia tiap hari pastinya,” gerutu Asri sambil mengerucutkan bibirnya. “Dah ah, aku mau kerja. Sampai besok.”
“Pulangnya kamu gimana?”
“Ntar coba naik taksi online aja.”
* * *
Asri bekerja sebagai tenaga paruh waktu di sebuah perusahaan media entertainment. Pekerjaannya, menjadi penulis berita dan menjadi admin sosial media. Jam kerjanya 8 jam sehari dengan waktu shift sore. Pekerjaannya cukup mudah dan dengan skill menulis yang dia miliki membuatnya cukup cekatan untuk menulis berita. Dia sampai di kantor tepat jam 17.00 saat shift sore dimulai.
Kantor tempat ia bekerja merupakan sebuah rumah gedung yang cukup besar. Ada halaman kecil dengan rumput yang cukup rapi. Ruangan kerjanya cukup besar. Ada dinding kaca yang mana ketika ada orang datang langsung semua mata bisa melihatnya dari dalam. Kantornya ada bersekat-sekat. Bagian IT ada di bagian timur, sedangkan bagian barat dan selatan diisi oleh para editor. Ruangan manajer ada di sebelah utara dengan kaca besar yang langsung menghadap ke meja karyawan. Sebenarnya kantornya tak begitu besar, tetapi kinerja mereka tidak main-main kalau memburu berita. Bukan kaleng-kaleng istilahnya.
Pekerjaan Asri membutuhkan ketelitian dan juga kejelian dalam membangun bahasa yang mudah agar dipahami oleh para pembaca. Bahasa-bahasa gaul terkadang harus dipakai agar konten yang dia pakai lebih menarik. Asri menyukai pekerjaannya ini, paling tidak dia sudah menghabiskan waktu lebih dari dua tahun menjadi editor.
“Sore semua,” sapa Asri ketika masuk ke ruangannya. Dia menaruh ranselnya, setelah itu menyalakan komputer tempatnya bekerja.
“Eh, Asri udah datang,” sahut Wulan. Dia salah satu rekannya.
“As, kemarin kamu kemana?” tanya Dwi.
“Aku ada keperluan kemarin,” jawab Asri.
“Itu si bos menggerutu terus kemarin gara-gara kamu nggak ada,” celetuk Fajar.
Fajar, Dwi, Wulan dan Asri adalah tim editor yang menangani berita-berita tentang gosip-gosip selebritis. Kalau soal gosip selebritis, mereka jagonya. Dari mulai selebritis lahiran, nikahan, pacar, selingkuhan bahkan sampai ukuran sepatu dan koleksi keong pun mereka harus tahu. Asri belajar dari kehidupan para selebritis. Mereka mirip dengannya, tapi dalam level yang berbeda.
“Asri!?” tetiba terdengar suara berat yang mengejutkan. Dia adalah Romi, editor manajer. Pria paruh baya bertubuh sedikit gemuk ini yang menjadi penanggung jawab dari semua ketikan yang masuk ke meja redaksi. Dia juga orang yang sangat teliti. Kata-kata mutiaranya yang akan selalu diingat para karyawan adalah “Typo is our big enemy”.
“Yes, Bos?!” sahut Asri.
“Kemarin ada berita masuk dari tim kita. Itu berita Si Miriam kawin ama Sultan. Ini berita eksklusif, aku nggak mau didahului oleh media lain. Trus kita nanti akan langsung mewawancarainya. Aku ingin kamu yang mewawancarai Miriam,” ujar Romi.
“Hah? Saya, Pak?”
“Iya, aku percaya ama kamu. Kita sudah saling berbalas email dan besok Minggu orangnya akan datang ke kantor. Jadi aku ingin hari Minggu nanti kamu yang akan berada di garis depan.”
Di dalam otak Asri langsung memikirkan semua jadwal yang sudah ia susun. Hari minggu sebenarnya hari di mana ia bisa beristirahat setelah lelahnya beraktivitas selama enam hari penuh, bahkan hari minggu juga ia biasa gunakan untuk mengerjakan tugas, selain me time temtu saja.
“Apa nggak ada orang lain pak? Misalnya Dwi atau Wulan gitu?”
Romi mengernyit. “Mereka kemarin sudah meng-handle pekerjaanmu, apa harus aku ingatkan kalau kamu kemarin izin mendadak?”
Asri menelan ludah. “Tapi pak, kemarin saya memang ada urusan pindahan kos, jadi harus angkat-angkat barang dan lain-lain.”
“Sekarang apa masih pindahan?” tanya pria paruh baya tersebut.
“Sudah kemarin,” jawab Asri.
“Ya sudah, karena kamu nggak pindahan hari ini kamu berarti bisa kan?”
“Lho, bukan begitu maksudnya.”
Si bos menatap mata Asri dengan tatapan aneh. Seperti mengintimidasi, tetapi juga seperti menakut-nakuti. Asri jadi keder sendiri, biasanya kalau bosnya sudah ada maunya bakalan lebih panjang urusannya.
“Baiklah, aku bisa,” ujar Asri.
“Jangan khawatir, nanti aku akan kasih bonus lemburan,” ucap Romi sambil menepuk pundaknya. Setelah itu pria tersebut pergi meninggalkan meja anak buahnya tersebut.
Teman-teman satu timnya langsung menghela napas setelah kepergian atasannya tersebut.
“Anjay, enak banget kamu dapat bonus lemburan. Ingat yah, bonus lemburan. Bukan lemburan biasa,” ucap Wulan.
“Eh, kenapa tadi tidak diserahkan ke kita aja ya?” celetuk Dwi.
“Kayak nggak tahu saja, si Asri ini kan emang anak emasnya Pak Bos,” kata Wulan.
“Udah, udah, kerja aja!” ucap Fajar. “Ntar orangnya balik mampus kau lihat kita masih ngerumpi.”
“As, mau makan malam apa ntar? Kita barengan yak?!” ajak Dwi.
“Terserah deh. Ngikut aja,” jawab Asri.
Asri memijat-mijat kepalanya. Ia agak pusing mendengar tugasnya tadi. Itu berarti ia harus mengatur ulang jadwal, mempersiapkan materi-materi yang akan dia gunakan untuk wawancara dan yang tidak kalah pentingnya adalah mempersiapkan stamina. Dia mendengkus kesal. Dia lalu beranjak dari meja kerjanya.
“Aku mau bikin kopi dulu,” ucapnya.
* * *
Jam 00.00 Asri baru keluar dari kantor. Shift sore, pulang tengah malam. Ini adalah rutinitas dia sehari-hari. Mau bagaimana lagi, kalau dia tidak bekerja seperti ini ia tidak akan survive. Uang yang dia hasilkan dari pekerjaannya ini bisa dia gunakan untuk membayar perkuliahan, juga untuk makan dia sehari-hari. Asri sudah pantang meminta bantuan keluarganya meskipun harta keluarganya tidak akan habis hingga tujuh turunan maupun tujuh tanjakan. Dia ingin membuktikan kepada keluarganya kalau ia bisa mandiri tanpa bantuan mereka. Asri masih berada di teras kantornya, duduk di bangku menunggu jemputan taksi online. Dari layar ponselnya, posisi kendaraan tersebut terlihat merambat cukup pelan tapi pasti. Lima menit lagi mobil itu sampai di kantornya.
3 tahun yang laluKoper besar berisi pakaian sudah disiapkan Asri. Dia bertekad untuk pergi. Satu hal yang pasti ia akan merindukan kamar ini. Kamar yang menemaninya dari kecil sampai dewasa. Ia juga akan rindu dengan sobat kecilnya yang berada di dalam kotak kaca. Seekor tokek atau bunglon atau mungkin iguana, Asri tak bisa memastikannya. Namun, yang pasti hewan tersebut sudh jinak, karena dipelihara selama beberapa bulan. Setiap hari dia memberinya makan dan rasa sayang mulai tumbuh di hati Asri. Dia beri nama hewan kecil itu Damar.Perjuampaannya dengan Damar memang unik. Saat itu sedang ada kegiatan naik gunung di Lereng Gunung Lawu. Dia menemukan reptil ini nyaris terluka di sekujur tubuhnya. Asri menolong reptil itu tanpa takut, sedangkan teman-teman yang lainnya merasa jijik. Dia langsung tertarik dengan hewan itu, selain bentuknya yang unik, Asri juga memang penyayang bin
Malang, sekarangPonsel Asri berbunyi, ia terbangun. Matanya masih setengah terbuka sambil ia meraih-raih ponselnya yang ada di ranjang. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Asri mengernyit. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Dia terlambat bangun.“Halo, siapa ya?” sapa Asri.“Aku Aryanaga,” jawab suara di teleponnya.Asri terkejut. Dia menatap layar ponselnya. Dari mana cowok itu tahu nomor teleponnya. “Kok kamu tahu nomor teleponku?”“Dari aplikasi taksi online,” jawab Aryanaga. “Aku kemarin belum minta nomor teleponmu. Jadinya kebetulan aku lihat di aplikasi ada nomormu.”“Ehm... begitu,” ucap Asri sambil menggeliat.“Mau sarapan gratis?” tawar Aryanaga.“Hah? Sa
Gunung Lawu, beberapa tahun yang laluMimpi itu kembali lagi. Aryanaga berubah dengan wujud hybrid-nya. Dia berlari dengan kecepatan luar biasa menembus rimba. Dari belakang terdengar suara gemerisik dedaunan dan patahan ranting. Suara geraman dan auman terdengar jelas. Mata naganya menembus kegelapan, memancarkan cahaya yang bisa membuatnya melihat dalam kegelapan.Kabut dari atas gunung mulai turun menghalangi jarak pandang, sementara itu suara yang mengikutinya sedari tadi terasa makin dekat. Dia tak tahu Bandi ada di mana sekarang. Di saat ia sangat membutuhkan bantuan pembantunya itu, yang terjadi malah sebaliknya. Dia sendirian menghadapi para goblin yang mengejarnya.Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Hal itu membuatnya tersungkur dan berguling-guling beberapa kali sebelum tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Terlihat sesosok bayangan hitam gelap d
Kota Malang, sekarangAryanaga membuka mata. Dia terjaga saat matahari masih belum sempurna. Di luar embun masih menyelimuti daerah Tidar. Tidak ada ayam berkokok, karena tempat tinggalnya jauh dari perkampungan, apalagi di sekitar tempat itu tak ada yang memelihara ayam jantan. Aryanaga menggeliat di atas kasurnya yang empuk. Ia enggan untuk segera bangun. Berkali-kali Bandi selalu menasihatinya untuk tidak bermalas-malasan, latihan tiap hari dan jangan tidur terlalu nyenyak. Namun, apa yang dilakukan oleh Aryanaga ini lebih baik daripada dirinya dulu, sebelum peristiwa yang nyaris mencelakainya di Lereng Gunung Lawu.Pemuda itu beranjak dari tempat tidur menuju ke jendela. Dari atas, ia mengintip bangunan kos yang ada di samping rumah. Dia sangat merindukan Asri, lebih dari apa yang diketahui. Dia juga terkejut bertemu dengan gadis itu di kota ini. Ia sama sekali tak pernah men
“Mau sarapan?” ajak Aryanaga.“Kalau kau mengajakku makan pagi di rumah, nggak deh.”“Kenapa?”“Nggak enak.”“Jangan begitu. Aku dan kamu sudah sama-sama kenal. Kenapa tidak enak? Anggap saja rumahku adalah rumahmu sendiri.”“Meskipun kamu bilang begitu, tetap aja rasanya aneh. Masuk rumahmu saja ada perasaan merinding gitu.”Aryanaga bisa memahaminya. Memang di rumahnya terkadang makhluk-makhluk tak kasat mata mampir atas izinnya. Mereka diperbolehkan Aryanaga dan Bandi untuk masuk ke dalam rumah asalkan tidak berbuat onar. Aryanaga bisa melihat mereka. Asri bisa merasakan keberadaan makhluk-makhluk tersebut, tetapi tak bisa melihatnya. Biasanya keturunan bangsawan sudah ada bawaan sejak dari lahir memiliki panca indera yang lebih peka daripada manusia biasa p
Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu“Astaghfirullah! Mbak, bawa apa itu?” seru Rah Wito, adiknya Asri saat melihat kakaknya membawa kandang kecil berisi kadal besar.“Kadal. Kenapa?” tanya Asri yang baru datang dari acara naik gunung bersama pecinta alam. Dia menurunkan ransel besarnya lalu kadang kecil berisi kadal besar itu diletakkannya begitu saja di atas meja.“Mbak, geli, Mbak!” ucap Rah Wito. “Darimana dapetnya?”“Pas naik gunung kemarin nemu ini. Kok ya lulut sama aku, akhirnya aku bawa aja deh.”“Mbak nggak takut?”Asri menggeleng. “Ngapain takut? Nggak gigit kok. Aku malah seneng dia seneng banget makan kecoak.”“Ih, jijik mbak. Aku gilo ndelok e (aku geli melihatnya).”
Malang, sekarangHari Minggu ini rencananya Aryanaga ingin jalan-jalan ke Pasar Buku Wilis, untuk mencari buku-buku yang menarik baginya. Sebenarnya pemuda berambut jabrik ini tak suka membaca buku. Dia lebih suka menonton film. Namun, kebiasaan berubah setelah ia tahu Asri lebih suka dengan pria yang gemar membaca buku. Demi untuk bisa suka membaca buku, akhirnya ia berusaha mati-matian untuk tidak bosan ketika membaca satu buku. Ia menarget seratus buku berbeda dia baca selama tiga bulan lamanya. Awalnya berat. Lama kelamaan akhirnya ia berhasil juga dengan hobi barunya itu.Untuk buku-buku baru sebenarnya bisa dengan mudah didapatkan di toko-toko buku besar. Tapi untuk buku-buku lama perlu mencarinya di toko-toko buku bekas. Di Malang ada dua tempat, pertama di Pasar Buku Wilis. Kedua, ada di toko buku-buku bekas Velodrome. Kedua tempat ini sangat terkenal. Mahasiswa dan pelaj