Share

6. Bayi Titisan

Bergegas, Sri Wedari turun dari dipan tempatnya tidur. Dengan tersaruk-saruk, wanita tua itu berusaha keluar dari gubuk. Suluh yang menyala kecil di tiang gubuknya bahkan tak mampu menerangi diri sendiri.

Berdiri di tepi gubuknya, Sri Wedari mendongak langit. Rawung ternyata sudah menelan bulan seluruhnya. Yang tersisa hanya cincin samar di gelapnya langit.

“Usir Rawung itu!”

“Usir!”

“Usir!”

Teriakan warga makin riuh. Kentongan dipukul kian ribut. Bebunyian segala macam benda meningkahi di sela-sela keributan itu. Sri Wedari meraba-raba dan menemukan kentongan miliknya sendiri. Sejenak kemudian, ia mulai mengikuti warga dukuh lainnya untuk bersama-sama mengusir Rawung, dan memaksa raksasa marah itu memuntahkan kembali bulan yang sudah ditelannya.

Warga dukuh percaya, Rawung takut pada ribut kentongan dan bubunyian. Jadi, Sri Wedari mulai ikut berteriak di sela-sela hajarannya pada kentongan.

“Pergi kau, makhluk jahat! Pergi! Lepaskan bulan!”

Di dalam pasungan, Dasimah tahu kalau bayi yang dikandung sedang bergerak keluar dari rahimnya. Dalam gelap, ia memejamkan mata. Kata orang, saat melahirkan akan ada rasa sakit luar biasa yang mendera seorang ibu. Begitu sakitnya sampai nyawa seolah jadi taruhan.

Dasimah takut. Ia yakin sesaat lagi sakit hebat yang dikatakan orang-orang akan terjadi padanya. Anehnya, Dasimah tidak merasakan sakit itu. Ia sadar kalau bayinya perlahan-lahan sudah pun bergerak keluar dari dirinya, dan sakit itu masih belum datang.

Saat gerhana perlahan-lahan membebaskan bulan dan keadaan berangsur-angsur terang semula, Dasimah dikejutkan kemunculan cahaya terang benderang di dalam gubuk pasungannya, seolah bulan di langit telah jatuh ke atas ribanya.

Dasimah menahan silau yang amat sangat,  sampai harus memicingkan mata dan mengangkat kedua tangan  untuk meneduhi wajah.

Bersamaan dengan itu, tangisan bayi berkumandang di dalam gubuk pasungan Dasimah.

Entah karena silau cahaya yang membutakan pandangan, entah karena kumandang tangisan bayi, Dasimah perlahan-perlahan tak sadarkan diri.

***

Hamparan bumi mulai menggeliat bangun. Matahari pagi di ufuk Timur perlahan-lahan menghangatkan rimbunan pohon-pohon besar berusia ratusan tahun di hutan lereng Bukit Raya. Setelah semalam segala macam bunyi diciptakan warga Dukuh Telagasari, guna mengusir Rawung yang menelan bulan, hari ini pagi datang seperti biasa tanpa suatu keganjilan.

Di lereng Bukit Raya, tepatnya di tepi telaga, di dalam sebuah gubuk tempat Dasimah dihukum pasung, tangisan bayi meningkahi deru air terjun di dekat gubuk. Dasimah masih tak sadarkan diri setelah melalui proses persalinan yang tak dapat diterima oleh nalar manusia manapun.

Makin lama, suara tangisan itu semakin kuat, seolah dimaksudkan untuk membangunkan Dasimah dari pingsannya. Dan benar saja, tak lama kesadaran Dasimah kembali pulih.

“Apa yang sedang terjadi padaku, Dewa Bhatara?” gumam Dasimah yang belum benar-benar membuka matanya. Ingatan terakhir yang masih terekam dalam otaknya adalah, melihat cahaya terang benderang yang membutakan matanya.

Dasimah lalu melebarkan matanya dan segera sadar kalau hari sudah  pagi. Sinar matahari yang masih remang-remang terlihat dari celah dinding gubuk.

“Sudah pagi,” lirih Dasimah.

Sesaat ia melupakan bahwa dirinya baru saja melewati proses persalinan. Suara tangisan bayi yang membetot kesadarannya pun tak lagi terdengar. Secara ajaib, bayi itu diam saat Dasimah terbangun dan kesadarannya pulih semula.

“Syukurlah, Dewa. Kau masih membiarkanku hidup," gumam Dasimah selanjutnya.

Dasimah lalu mencoba menegakkan duduknya. Saat itulah bola mata gadis cantik dari Dukuh Telagasari itu membelalak lebar. Netra Dasimah mendapati pakaian sebelah bawahnya basah. Cairan bercampur darah di sela-sela kakinya menyeruakkan bau anyir ke dalam batang hidungnya. Dasimah kini sadar apa yang baru saja dialaminya. Ia baru saja melewati proses persalinan.

“Oh, Dewa Bhatara, bagaimana ini semua bisa terjadi? Secepat ini aku telah melahirkan ....”

Dasimah merasa bingung. Ia sama sekali tidak merasakan ngilu di sekujur tubuh, atau perih di pangkal paha, selayaknya seorang wanita selepas proses persalinan. Alih-alih ia malah merasa sehat bugar.

Gadis cantik itu sejenak menggosok kelopak mata, dikerjap-kerjapkannya sebelum bola matanya bergerak sedikit ke samping tubuh. Dasimah kembali dibuat terkejut. Di sana menggeletak bayi yang masih polos.

“Astaga!” Dasimah nyaris terpekik. “Apa ini benar-benar nyata?”

Perempuan itu menepuk pipi sendiri. Ia tak percaya akan apa yang dilihatnya saat ini. Dasimah memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Keberadaan bayi itu sejenak membuatnya dilanda bingung. Kenyataan bahwa dirinya hanya mengandung tak lebih dari tujuh hari sebelum melahirkan bayi itu hampir membuatnya gila.

"Apakah aku bermimpi...?" Seraya bergumam, diliriknya kembali bayi yang ada di sebelahnya itu.

"Tidak! Aku tidak bermimpi. Perutku telah mengecil, berarti aku telah benar-benar melahirkan seorang bayi. Itu adalah benar bayiku," ujar Dasimah akhirnya.

Didorong rasa ingin tahu pada bayi yang baru saja dilahirkannya, Dasimah beringsut lebih dekat. Ia masih belum ingin mengambil bayi itu. Hanya sorot mata saja yang awas mengamati kondisi si bayi.

Mendadak bayi itu menangis. Semakin Dasimah melotot memandangi, semakin kencang tangisan si bayi. Timbul rasa iba di dalam diri Dasimah melihat bayi itu menangis demikian.

"Tenanglah, Dasimah. Segalanya sudah takdir dari Dewa Bathara,” gumamnya sambil mengelus dada, mencoba untuk menguatkan diri.

Selanjutnya gadis dalam pasungan itu mencoba mengangkat si bayi. Saat itulah ia sadar kalau tali pusar masih utuh dan melilit pergelangan kaki bayi itu.

Dasimah yakin persalinannya terjadi melewati dini hari, sekarang sudah pagi. Pada persalinan biasa, seharusnya tali pusar segera dipotong begitu bayi lahir. Membiarkan tali pusar tak terpotong dalam waktu lama dipercaya bisa membuat bayi lemah dan kekurangan darah. Begitulah yang didengar Dasimah selama ini. Anehnya, bayi itu tampak sehat-sehat saja meski tali pusarnya dibiarkan tidak terpotong sekian lama.

Dasimah setidaknya tahu bahwa seorang bayi yang lahir harus dipotong tali pusarnya. Sejenak Dasimah bingung sendiri. Dengan apa ia akan memotong tali pusar itu? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan setiap benda yang ada di dalam gubuk pasungannya itu. Sorot mata si gadis terhenti pada bambu yang menjadi tempat minumnya. Panjangnya sehasta.

Dasimah meraih bambu itu. Sejenak ingin dicurahkannya semua air dari dalam bambu ketika ia menyadari jika dirinya kehausan. Air dalam bambu tak jadi dibuang, tapi diteguknya hingga habis.

Setelah kosong, dengan sekuat tenaga Dasimah menghantamkan bambu keras itu ke dinding gubuk di belakangnya. Dasimah tak pernah merasa sekuat itu, seolah ada tangan gaib yang ikut memegangi tangannya dan memberinya kekuatan.

Bambu itu dihantamkannya berkali-kali hingga remuk dan terbelah menjadi beberapa bagian. Dasimah mengambil belahan bambu yang paling tipis dan paling tajam. Dengan itu ia memotong tali pusar bayi yang sudah berhenti menangis dan terbaring tenang di dekat pasungan.

Selanjutnya keajaiban kembali terjadi. Dasimah pasti tidak akan percaya jika tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. Perlahan-lahan setelah dipotong, tali pusar itu menyusut dengan sendirinya sebelum akhirnya hilang. Dasimah seolah belum pernah melahirkan. Dan bayi yang sedang menatapnya seakan sudah berumur tujuh hari tanpa bekas tali pusar.

Dasimah hanyalah seorang gadis biasa. Usianya belum juga genap dua puluh tahun, dan ia melahirkan seorang diri. Sejenak ia merasa kebingungan harus melakukan apa dalam mengurus seorang bayi.

“Asi ...,” bisik Dasimah dalam bingungnya. “Kau perlu asi,” putus Dasimah akhirnya.

***

- Berlanjut ke Bab 7 -

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status