Bergegas, Sri Wedari turun dari dipan tempatnya tidur. Dengan tersaruk-saruk, wanita tua itu berusaha keluar dari gubuk. Suluh yang menyala kecil di tiang gubuknya bahkan tak mampu menerangi diri sendiri.
Berdiri di tepi gubuknya, Sri Wedari mendongak langit. Rawung ternyata sudah menelan bulan seluruhnya. Yang tersisa hanya cincin samar di gelapnya langit.
“Usir Rawung itu!”
“Usir!”
“Usir!”
Teriakan warga makin riuh. Kentongan dipukul kian ribut. Bebunyian segala macam benda meningkahi di sela-sela keributan itu. Sri Wedari meraba-raba dan menemukan kentongan miliknya sendiri. Sejenak kemudian, ia mulai mengikuti warga dukuh lainnya untuk bersama-sama mengusir Rawung, dan memaksa raksasa marah itu memuntahkan kembali bulan yang sudah ditelannya.
Warga dukuh percaya, Rawung takut pada ribut kentongan dan bubunyian. Jadi, Sri Wedari mulai ikut berteriak di sela-sela hajarannya pada kentongan.
“Pergi kau, makhluk jahat! Pergi! Lepaskan bulan!”
Di dalam pasungan, Dasimah tahu kalau bayi yang dikandung sedang bergerak keluar dari rahimnya. Dalam gelap, ia memejamkan mata. Kata orang, saat melahirkan akan ada rasa sakit luar biasa yang mendera seorang ibu. Begitu sakitnya sampai nyawa seolah jadi taruhan.
Dasimah takut. Ia yakin sesaat lagi sakit hebat yang dikatakan orang-orang akan terjadi padanya. Anehnya, Dasimah tidak merasakan sakit itu. Ia sadar kalau bayinya perlahan-lahan sudah pun bergerak keluar dari dirinya, dan sakit itu masih belum datang.
Saat gerhana perlahan-lahan membebaskan bulan dan keadaan berangsur-angsur terang semula, Dasimah dikejutkan kemunculan cahaya terang benderang di dalam gubuk pasungannya, seolah bulan di langit telah jatuh ke atas ribanya.
Dasimah menahan silau yang amat sangat, sampai harus memicingkan mata dan mengangkat kedua tangan untuk meneduhi wajah.
Bersamaan dengan itu, tangisan bayi berkumandang di dalam gubuk pasungan Dasimah.
Entah karena silau cahaya yang membutakan pandangan, entah karena kumandang tangisan bayi, Dasimah perlahan-perlahan tak sadarkan diri.
***
Hamparan bumi mulai menggeliat bangun. Matahari pagi di ufuk Timur perlahan-lahan menghangatkan rimbunan pohon-pohon besar berusia ratusan tahun di hutan lereng Bukit Raya. Setelah semalam segala macam bunyi diciptakan warga Dukuh Telagasari, guna mengusir Rawung yang menelan bulan, hari ini pagi datang seperti biasa tanpa suatu keganjilan.
Di lereng Bukit Raya, tepatnya di tepi telaga, di dalam sebuah gubuk tempat Dasimah dihukum pasung, tangisan bayi meningkahi deru air terjun di dekat gubuk. Dasimah masih tak sadarkan diri setelah melalui proses persalinan yang tak dapat diterima oleh nalar manusia manapun.
Makin lama, suara tangisan itu semakin kuat, seolah dimaksudkan untuk membangunkan Dasimah dari pingsannya. Dan benar saja, tak lama kesadaran Dasimah kembali pulih.
“Apa yang sedang terjadi padaku, Dewa Bhatara?” gumam Dasimah yang belum benar-benar membuka matanya. Ingatan terakhir yang masih terekam dalam otaknya adalah, melihat cahaya terang benderang yang membutakan matanya.
Dasimah lalu melebarkan matanya dan segera sadar kalau hari sudah pagi. Sinar matahari yang masih remang-remang terlihat dari celah dinding gubuk.
“Sudah pagi,” lirih Dasimah.
Sesaat ia melupakan bahwa dirinya baru saja melewati proses persalinan. Suara tangisan bayi yang membetot kesadarannya pun tak lagi terdengar. Secara ajaib, bayi itu diam saat Dasimah terbangun dan kesadarannya pulih semula.
“Syukurlah, Dewa. Kau masih membiarkanku hidup," gumam Dasimah selanjutnya.
Dasimah lalu mencoba menegakkan duduknya. Saat itulah bola mata gadis cantik dari Dukuh Telagasari itu membelalak lebar. Netra Dasimah mendapati pakaian sebelah bawahnya basah. Cairan bercampur darah di sela-sela kakinya menyeruakkan bau anyir ke dalam batang hidungnya. Dasimah kini sadar apa yang baru saja dialaminya. Ia baru saja melewati proses persalinan.
“Oh, Dewa Bhatara, bagaimana ini semua bisa terjadi? Secepat ini aku telah melahirkan ....”
Dasimah merasa bingung. Ia sama sekali tidak merasakan ngilu di sekujur tubuh, atau perih di pangkal paha, selayaknya seorang wanita selepas proses persalinan. Alih-alih ia malah merasa sehat bugar.
Gadis cantik itu sejenak menggosok kelopak mata, dikerjap-kerjapkannya sebelum bola matanya bergerak sedikit ke samping tubuh. Dasimah kembali dibuat terkejut. Di sana menggeletak bayi yang masih polos.
“Astaga!” Dasimah nyaris terpekik. “Apa ini benar-benar nyata?”
Perempuan itu menepuk pipi sendiri. Ia tak percaya akan apa yang dilihatnya saat ini. Dasimah memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Keberadaan bayi itu sejenak membuatnya dilanda bingung. Kenyataan bahwa dirinya hanya mengandung tak lebih dari tujuh hari sebelum melahirkan bayi itu hampir membuatnya gila.
"Apakah aku bermimpi...?" Seraya bergumam, diliriknya kembali bayi yang ada di sebelahnya itu.
"Tidak! Aku tidak bermimpi. Perutku telah mengecil, berarti aku telah benar-benar melahirkan seorang bayi. Itu adalah benar bayiku," ujar Dasimah akhirnya.
Didorong rasa ingin tahu pada bayi yang baru saja dilahirkannya, Dasimah beringsut lebih dekat. Ia masih belum ingin mengambil bayi itu. Hanya sorot mata saja yang awas mengamati kondisi si bayi.
Mendadak bayi itu menangis. Semakin Dasimah melotot memandangi, semakin kencang tangisan si bayi. Timbul rasa iba di dalam diri Dasimah melihat bayi itu menangis demikian.
"Tenanglah, Dasimah. Segalanya sudah takdir dari Dewa Bathara,” gumamnya sambil mengelus dada, mencoba untuk menguatkan diri.
Selanjutnya gadis dalam pasungan itu mencoba mengangkat si bayi. Saat itulah ia sadar kalau tali pusar masih utuh dan melilit pergelangan kaki bayi itu.
Dasimah yakin persalinannya terjadi melewati dini hari, sekarang sudah pagi. Pada persalinan biasa, seharusnya tali pusar segera dipotong begitu bayi lahir. Membiarkan tali pusar tak terpotong dalam waktu lama dipercaya bisa membuat bayi lemah dan kekurangan darah. Begitulah yang didengar Dasimah selama ini. Anehnya, bayi itu tampak sehat-sehat saja meski tali pusarnya dibiarkan tidak terpotong sekian lama.
Dasimah setidaknya tahu bahwa seorang bayi yang lahir harus dipotong tali pusarnya. Sejenak Dasimah bingung sendiri. Dengan apa ia akan memotong tali pusar itu? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan setiap benda yang ada di dalam gubuk pasungannya itu. Sorot mata si gadis terhenti pada bambu yang menjadi tempat minumnya. Panjangnya sehasta.
Dasimah meraih bambu itu. Sejenak ingin dicurahkannya semua air dari dalam bambu ketika ia menyadari jika dirinya kehausan. Air dalam bambu tak jadi dibuang, tapi diteguknya hingga habis.
Setelah kosong, dengan sekuat tenaga Dasimah menghantamkan bambu keras itu ke dinding gubuk di belakangnya. Dasimah tak pernah merasa sekuat itu, seolah ada tangan gaib yang ikut memegangi tangannya dan memberinya kekuatan.
Bambu itu dihantamkannya berkali-kali hingga remuk dan terbelah menjadi beberapa bagian. Dasimah mengambil belahan bambu yang paling tipis dan paling tajam. Dengan itu ia memotong tali pusar bayi yang sudah berhenti menangis dan terbaring tenang di dekat pasungan.
Selanjutnya keajaiban kembali terjadi. Dasimah pasti tidak akan percaya jika tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. Perlahan-lahan setelah dipotong, tali pusar itu menyusut dengan sendirinya sebelum akhirnya hilang. Dasimah seolah belum pernah melahirkan. Dan bayi yang sedang menatapnya seakan sudah berumur tujuh hari tanpa bekas tali pusar.
Dasimah hanyalah seorang gadis biasa. Usianya belum juga genap dua puluh tahun, dan ia melahirkan seorang diri. Sejenak ia merasa kebingungan harus melakukan apa dalam mengurus seorang bayi.
“Asi ...,” bisik Dasimah dalam bingungnya. “Kau perlu asi,” putus Dasimah akhirnya.
***
- Berlanjut ke Bab 7 -
Perempuan itu kembali mencoba untuk meraih dan mengangkat bayinya, saat tiba-tiba si bayi mulai menendang-nendang pasungan Dasimah. Gerakan menendang-nendang si bayi pada pasungan seolah disengaja. Dasimah kembali dibuat tak percaya jika tidak menyaksikan sendiri. Tendangan si bayi sepertinya memiliki tenaga tambahan. Pada satu ketika, setelah kaki kecilnya menendang beberapa kali, kunci pasungan Dasimah tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terbelalak besar. Tak menunggu, segera disingkirkannya pasangan kayu pasungan sebelah atas agar ia bisa membebaskan kakinya. Dasimah merasa merdeka. Ia lega karena baru saja terlepas dari pasungan yang membelenggunya selama tujuh hari itu. Dasimah mengusap-usap kedua kakinya yang selama tujuh hari ini dipaksa terjulur kaku. Ia lega karena tidak merasakan sebarang sakit pada sepsang kakinya. Matanya lalu bersitatap dengan mata si bayi. Terbayang di kepala Dasimah akan kejadian malam pertama ia dipasung di gubuk, ketika sosok je
Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya .... Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung. “Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora. Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora. Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahm
Dengan demikian, seluruh warga Dukuh Telagasari pun gempar mendengar pengumuman tersebut. Para orang tua berlari ke sana kemari, memanggil serta mencari anak laki-laki mereka yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih. Rata-rata mereka sedang bekerja di sawah, atau pun sedang mencari pakan untuk ternak. Perintahnya sudah jelas, agar para pemuda itu menghentikan kegiatan dan segera menghadap Patih Jayaprana. Dalam sekejap, lapangan tempat Jayaprana berada telah dipenuhi oleh puluhan pemuda yang akan menjadi calon prajurit Nagri Jaya Dwipa nantinya. Pandangan sang patih dengan tajam menyapu seluruh kerumunan pemuda di hadapannya. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang! Segera ca
“Kau tidak lihat kembang ranum yang siap memanjakan kita siang ini?” tanya kepala prajurit yang taadi dipanggil sebagai Ki Wira. Pandangan Tumanggala pun melirik ke arah Utari yang masih menangisi mayat suaminya bersama sang putri. “Benar juga katamu, Ki. Sudah lama sejak terakhir kali aku bersenang-senang dengan seorang wanita.” Tumanggala menyeringai penuh nafsu. “Ayo kita seret saja dia ke gubuk itu!” Otaknya yang telah kotor bisa menebak secara pasti apa yang diinginkan oleh kepala pasukannya. Kaki tangan Patih Jayaprana itu bergegas menghampiri Utari yang tak berdaya. Keduanya mencengkeram pergelangan tangan wanita malang itu di kiri dan kanan. “Bunuh saja kami! Bunuh!” pekik Utari saat merasakan pergelangan tangan kedua pasukan itu di tubuhnya. “Tenang saja, cantik. Setelah kita bersenang-senang, permintaanmu akan kukabulkan.” Ki Wira tertawa besar. “Jangan ganggu ibuku!” teriak Pujar
Pujaratih yang tak berdaya masih dalam keadaan ketakutan. Niatnya untuk menjangkau balok kayu yang tergeletak di dekat mayat sang ibu tidak dapat terlaksana. Ia merasakan pandangannya kian kabur. Pujaratih telah kehabisan tenaga karena duka yang dalam. Hari ini, di depan matanya sendiri, kedua orang tuanya dibantai secara keji oleh manusia-manusia biadab. Antara sadar dan tidak, gadis cilik itu seolah mendengar tawa berderai entah dari mulut siapa. “Hik ... hik ... hik! Dasar patih cabul! Tidak kesampaian berbuat keji pada ibunya, kini kau pula hendak mengambil anaknya. Benar-benar terkutuk kau Jayaprana. Manusia macammu seharusnya tidak pernah dilahirkan ke muka bumi!” Suara itu seoalah berasal dari delapan penjuru angin. Jayaprana kebingungan menebak dari arah mana ucapan yang meremehkan dirinya itu berasal. “Jahanam! Tunjukkan dirimu, pengecut!” teriak Jayaprana marah. Jawaban dari teriakan sang pat
Lopita Zora masih berdiri membelakangi Rajendra Sanjaya.“Lalu apa saranmu, Lopita Zora? Aku mau sosok keparat itu dapat dibumihanguskan dari dunia ini. Agar tak lagi ada pihak yang berani-beraninya mengusik kekuasaan Rajendra Sanjaya, manusia paling agung dalam Trah Sanjaya.”“Kepung, dan tangkap dia!” jawab Lopita Zora sambil berjalan meninggalkan Sang Maharaja.Rajendra Sanjaya geram, amarahnya telah naik ke puncak kepala. Ia benar-benar merasa terusik dengan apa yang dikatakan oleh Lopita Zora. Raja yang sangat haus akan kekuasaan itu tak segan-segan memenggal kepala orang lain yang berani mencampuri urusan atau menebar ancaman terhadap kekuasaannya.Setelah berlalunya Lopita Zora, Rajendra segera mengumpulkan seluruh orang kepercayaannya, dan memberi titah, bahwasanya besok pagi harus bergerak sesuai arahan Lopita Zora, untuk menangkap dan membasmi sosok yang dipercaya sebagai pengganggu kekuasaannya itu.
Seratus tahun yang lalu, selepas pertarungan dahsyat melawan Badiran Wasesa yang membuat runtuh puncak Gunung Bakaraya, Sanatana yang sekarat dan tertimbun abu gunung masih mampu bertahan hidup. Jika bukan karena kesaktian ilmu yang dimilikinya, dengan kondisi semacam itu mestilah ia tak mampu selamat. Sanatana memutuskan untuk menghilang dari dunia persilatan dan menjadi pertapa Bakaraya yang kini hanya disebut Gunung Raya itu, tepatnya di dalam sebuah ceruk di balik air terjun jernih sebelah Barat Gunung Raya. Seratus tahun lamanya ia mencoba mengumpulkan kembali tenaganya, serta memurnikan lagi semua kemampuan beladiri dan kesaktiannya. Selama kurun itu, dunia persilatan perlahan-lahan melupakan nama sosok manusia setengah dewa pemilik Ajian Suci Darah Bulan, Sanatana. Namun tak dinyana hari ini di tengah pertapaannya, segerombolan manusia yang konon adalah utusan penguasa Nagri Jaya Dwipa, menyatroni tempatnya dan mengusik tapa geni yang sedang ia lakukan
Sanatana terhuyung tiga tindak ke samping. Di sana, Nyai Prameswari sudah menunggu dengan tongkatnya. “Mampuslah!” teriak si nenek sambil menggepruk tongkatnya menyasar kepala lawan. Sedikit saja Sanatana terlambat menyisi, pastilah kepalanya sudah remuk dimakan tongkat. Selamat dari tiga serangan beruntun itu, Sanatana berkelebat menjauh untuk sejenak memulihkan luka dalam, akibat bentrok tenaga dalam dengan Lopita Zora dan hantaman tinju Patih Jayaprana. Lopita Zora tidak mau membuang kesempatan. Sambil menahan sakit, wanita muda yang sebenarnya sudah nenek-nenek peot itu, langsung menerjang ke depan dalam Jurus Tangan Lelembut Merogoh Jiwa. Gerakan tangan ini seolah tangan hantu, tak terlihat dan tahu-tahu sudah pun mencegkeram pangkal leher Sanatana. Sanatana tersentak kaget. Ekor matanya melihat jika Patih Jayaprana juga sedang merangsek menuju dirinya. Tidak mau mati konyol, si orang tua segera memukulkan tangan kanan pad