Perempuan itu kembali mencoba untuk meraih dan mengangkat bayinya, saat tiba-tiba si bayi mulai menendang-nendang pasungan Dasimah. Gerakan menendang-nendang si bayi pada pasungan seolah disengaja. Dasimah kembali dibuat tak percaya jika tidak menyaksikan sendiri.
Tendangan si bayi sepertinya memiliki tenaga tambahan. Pada satu ketika, setelah kaki kecilnya menendang beberapa kali, kunci pasungan Dasimah tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terbelalak besar. Tak menunggu, segera disingkirkannya pasangan kayu pasungan sebelah atas agar ia bisa membebaskan kakinya.
Dasimah merasa merdeka. Ia lega karena baru saja terlepas dari pasungan yang membelenggunya selama tujuh hari itu.
Dasimah mengusap-usap kedua kakinya yang selama tujuh hari ini dipaksa terjulur kaku. Ia lega karena tidak merasakan sebarang sakit pada sepsang kakinya. Matanya lalu bersitatap dengan mata si bayi. Terbayang di kepala Dasimah akan kejadian malam pertama ia dipasung di gubuk, ketika sosok jelmaan kakek serba putih bernama Sanatana bersabda padanya.
“Terima kasih, anakku. Aku tahu, kaulah yang membuatku kuat. Aku juga tahu, kau sengaja membebaskanku dari pasungan. Jika kejadian malam itu sungguhan terjadi, aku yakin namamu sudah ditentukan.” Dasimah berusaha mengingat, tapi tidak ada satu nama pun yang muncul di kepalanya. “Oh, Dewa Jagat Bathara, aku tidak bisa mengingat harus memberi bayi ini nama apa ....”
Detik berikutnya, Dasimah mendadak terkesiap. Ada suara anak-anak yang menggema di dalam gubuk itu, menjawab ucapannya.
“Beri aku nama Arya Tarachandra, Ibu ....”
Dalam kaget, Dasimah mengamati wajah bayinya yang terlihat sedang menatapnya. Bayi itu terlihat senang. Dasimah yakin, suara itu berasal dari si bayi, meski mulutnya sama sekali tidak terbuka.
“Kalau begitu, kau kuberi nama Arya Tarachandra, bayi titisan,” menyahut Dasimah.
“Terima kasih, Ibu. Sekarang, lihatlah di dada kiriku, tepat di atas jantung. Ada tanda lahir berupa bulan sabit. Sampai umurku genap tujuh tahun, aku mau Ibu menyembunyikan tanda lahir ini dari orang-orang.”
Suara anak-anak kembali menggema di telinga Dasimah, membuatnya kian yakin kalau sumber suara itu adalah bayi ajaib di depannya itu.
Pandangan Dasimah langsung tertuju ke dada sebelah kiri bayinya.Benar saja, tepat di dada kiri si bayi, tanda lahir berupa bulan sabit tampak jelas seolah baru saja dicetak langsung dengan besi panas di atas kulitnya. Menemukan tanda lahir itu membuat Dasimah makin percaya kalau kejadian malam pertama dirinya di dalam pasungan adalah benar terjadi.
Dasimah mengambil dan mendekap bayi itu ke dada. “Ibu akan menjagamu, Nak. Ibu akan mengabdikan diri dan mengemban tugas dari Dewa ini dengan sepenuh hati, sampai kelak kau dewasa dan menumpas kejahatan seperti yang sudah ditakdirkan ....”
Dasimah mulai memahami semua yang didengarnya dari mulut Manusia Setengah Dewa berpakaian serba putih pada malam pertama di pasungan telah terjadi. Ini nyata, bukan mimpi atau igauan semata.
“Apa yang telah terjadi padaku, merupakan kehendak-Mu, ya, Dewa Jagat Bhatara Yang Agung. Kehamilan ini bukanlah kutukan, tetapi suatu tugas yang Kau berikan kepadaku. Aku akan menjaga Arya Tarachandra dengan sepenuh hati,” ucap Dasimah sekali lagi lalu mendekap bayinya untuk memberikan kehangatan pada bayi mungil yang seakan tersenyum mendengar ucapannya.
Bayi Titisan dalam dekapannya pun tak lagi menangis, terlihat tenang dan memejamkan matanya. Cukup lama Dasimah memandanginya, rasa tenang dan damai seketika hadir dalam hati putri Sri Wedari itu.
Dasimah yang telah terlepas secara ajaib dari pasungan sudah bebas untuk bergerak. Rasa sakit akibat persalinan sama sekali tak dirasakannya. Dasimah merasa kondisinya kembali seperti sedia kala, seperti saat ia belum mengandung.
“Nak, jangan menangis lagi, ya! Ibu tinggal barang sebentar saja. Kau aman di sini,” ucapnya, lalu kemudian meletakkan si bayi di lantai dalam gubuk pasungan. Kain jarik yang ia kenakan digunakan sebagai alas.
“Aku harus membersihkan diri,”
Dasimah kemudian meninggalkan bayinya di dalam gubuk pasungan dan berjalan menuju telaga. Tujuh hari masa pasungan yang dialaminya membuat dasimah gerah, dan bau anyir selepas persalinan membuat dirinya merasa perlu untuk menceburkan diri ke dalam telaga berair jernih di dekat gubuk pengasingannya itu.
Selepas melepas gerah, ia memetik beberapa lembar daun berdaun lebar yang banyak tumbuh di sisi hutan dekat gubuknya, untuk digunakan sebagai alas bayi mungil yang tertidur lelap tanpa suara tangisan lagi.
Demikianlah hari berlalu, Sang Surya sudah pun bergulir dan terbenam di ufuk barat. Keadaan malam di kaki Gunung Raya bisa saja membuat orang lain terasa mencekam. Apalagi, angin dingin yang berembus di sela lebatnya hutan mampu menggigilkan tulang-tulang sekalipun. Akan tetapi tidak bagi Dasimah malam ini, Entah kekuatan apa yang mampu membuat Dasimah dengan telaten merawat si bayi seorang diri. Walaupun tak pernah sebelumnya ia belajar bagaimana menjadi seorang ibu, serta merawat seorang bayi yang baru lahir.
***
Hari masih teramat pagi, belum lama ayam selesai berkokok. Di gubuknya, di pinggiran Dukuh Telagasari, Sri Wedari telah selesai membungkus umbi-umbian rebus dengan daun pisang. Ia juga telah mempersiapkan ikan bakar. Ikan hasil tangkapan nelayan Telagasari yang ia tukar dengan beberapa anyaman hasil karya tangannya sendiri.
Bungkusan-bungkusan itu akan dibawanya menuju gubuk Pasungan Dasimah. Satu hari lamanya ia tidak menjenguk sang putri.
“Dasimah pasti amat kelaparan,” lirihnya. “Seharian kemarin aku tak menjenguknya. Persediaan makannya pasti telah habis, lebih baik aku bawakan ia banyak makanan.”
Sri Wedari kembali mengambil selembar daun pisang, dan membungkus lagi sepotong ubi rebus dan dimasukkan semua bungkusan makanan itu ke dalam sebuah bakul.
***
Sri Wedari sedikit lagi hampir tiba di pondok pasungan Dasimah, satu tanjakan terjal di depannya itu adalah jalur tersulit terakhir yang harus dilalui sebelum sampai di pinggir telaga. Namun, ia mendengar bunyi yang bersumber dari arah gubuk pasungan sang putri tunggalnya.
“Oa … oa,”
Sri Wedari menghentikan langkahnya, mencoba menyendengkan telinga agar dapat mendengar dengan jelas dari mana bunyi itu berasal?
Semakin ia menyendengkan telinganya, suara itu seakan menghilang kembali. Saat melangkah lagi, terdengar kembali suara seperti tangisan seorang bayi. Namun, samar dan buyar terbawa angin dan suara degub jantungnya sendiri.
“Bayi siapa yang menangis di dalam hutan begini?” oceh Sri Wedari.
Seperti telah diatur saja, Sri Wedari sama sekali melupakan jika terakhir kali ia menjenguk Dasimah, kandungan putrinya itu sudahlah amat besar.
“Ah, hanya halusinasiku saja!” gumam Sri Wedari sambil menmegang tengkuknya yang bergidik.
Dia telah sampai di pinggiran Telaga, sepuluh tombak lagi jaraknya dengan gubuk pasungan Dasimah.
Tanpa memikirkan apa-apa lagi, selain perut putrinya yang sudah pasti keroncongan, Sri Wedari melangkah.Setibanya di depan gubuk, langsung saja ia menerobos masuk ke dalam.
“Astaga …” teriak Dasimah ketika manik matanya menangkap pemandangan di dalam gubuk tersebut.
Semuanya telah tampak rapi, dan kaki Dasimah yang sedang tertidur telah terlepas dari pasungan. Yang paling mengejutkan bagi Sri Wedari adalah seorang bayi yang terbaring di atas dedaunan di samping anaknya itu.
“Ya, Dewa, apa yang kulihat ini? Kutukan apa yang sedang menimpa pada putriku?”
Sri Wedari meletakan ke sebarang tempat, bakul yang ia bawa di lantai. Dengan penuh keheranan Sri Wedari mencoba menyentuh bayi yang terbaring di lantai.
Belum saja tangannya sampai pada tubuh si bayi, Sri Wedari tersentak.
“Nenek, aku cucumu. Arya Tarachandra!” Bayi itu terdengar berbicara padanya.
Sri Wedari mundur beberapa hasta kebelakang. Matanya terbelalak lebar, mulutnya pun turut membuka.
“Ahk!” Jeritan kaget keluar dari mulut Sri Wedari, saat mendengar suara yang menggema itu. “Si … si … siapa kamu? Pergi kau, makhluk jahat! Pergi!”” suara Sri Wedari gemetar, tubuhnya terasa kaku seiring seluruh bulu kuduknya berdiri.
“Nek, jangan takut! Aku adalah putra Dasimah, putrimu.” gema suara mirip suara anak laki-laki terdengar kembali.
Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, wanita paruh baya itu mencoba bangkit berdiri. Ia tak peduli lagi dengan tujuan awalnya mengantarkan makanan untuk sang putri. Dasimah yang masih tertidur dengan pulas, seakan tak menyadari apa yang sedang terjadi di dalam gubuk tempat pasungannya tersebut.
Dalam pikiran Sri Wedari, makhluk jahatlah yang berbicara mengenalkan diri itu. Setelah berhasil berdiri, dia segera mengeluarkan jurus andalan satu-satunya, yakni jurus langkah seribu.
Baru saja kakinya hendak melangkah keluar gubuk, ia terjerembab jatuh ke tanah. Kakinya tersandung kayu di ambang pintu. "Akh!" jerit Sriwedari sambil mengambil ancang-ancang berlari kembali.
Jarak antara gubuk pasungan Dasimah dan gubuknya tak terlalu jauh, tidak juga dekat. Jalan yang menurun dan kadang terjal, serta halangan berupa akar yang menjuntai, duri semak-semak yang mengintai tak lagi dihiraukan oleh Sri Wedari. Sekarang bagaimana caranya ia secepat mungkin sampai pada gubuknya di Dukuh Telagasari. Selama hidupnya yang telah memasuki usia hamper senja, Sri Wedari tidak pernah mengalami hal-hal aneh semacam ini.
Namun, semenjak hari itu. Sejak Dasimah divonis mengandung secara aneh semua kejadian yang menimpa dia dan putrinya hampir membuat perempuan itu gila. Sri Wedari merasa dirinya sedang menjalani sebuah kutukan.
***
- Berlanjut ke Bab 8 -
Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya .... Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung. “Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora. Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora. Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahm
Dengan demikian, seluruh warga Dukuh Telagasari pun gempar mendengar pengumuman tersebut. Para orang tua berlari ke sana kemari, memanggil serta mencari anak laki-laki mereka yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih. Rata-rata mereka sedang bekerja di sawah, atau pun sedang mencari pakan untuk ternak. Perintahnya sudah jelas, agar para pemuda itu menghentikan kegiatan dan segera menghadap Patih Jayaprana. Dalam sekejap, lapangan tempat Jayaprana berada telah dipenuhi oleh puluhan pemuda yang akan menjadi calon prajurit Nagri Jaya Dwipa nantinya. Pandangan sang patih dengan tajam menyapu seluruh kerumunan pemuda di hadapannya. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang! Segera ca
“Kau tidak lihat kembang ranum yang siap memanjakan kita siang ini?” tanya kepala prajurit yang taadi dipanggil sebagai Ki Wira. Pandangan Tumanggala pun melirik ke arah Utari yang masih menangisi mayat suaminya bersama sang putri. “Benar juga katamu, Ki. Sudah lama sejak terakhir kali aku bersenang-senang dengan seorang wanita.” Tumanggala menyeringai penuh nafsu. “Ayo kita seret saja dia ke gubuk itu!” Otaknya yang telah kotor bisa menebak secara pasti apa yang diinginkan oleh kepala pasukannya. Kaki tangan Patih Jayaprana itu bergegas menghampiri Utari yang tak berdaya. Keduanya mencengkeram pergelangan tangan wanita malang itu di kiri dan kanan. “Bunuh saja kami! Bunuh!” pekik Utari saat merasakan pergelangan tangan kedua pasukan itu di tubuhnya. “Tenang saja, cantik. Setelah kita bersenang-senang, permintaanmu akan kukabulkan.” Ki Wira tertawa besar. “Jangan ganggu ibuku!” teriak Pujar
Pujaratih yang tak berdaya masih dalam keadaan ketakutan. Niatnya untuk menjangkau balok kayu yang tergeletak di dekat mayat sang ibu tidak dapat terlaksana. Ia merasakan pandangannya kian kabur. Pujaratih telah kehabisan tenaga karena duka yang dalam. Hari ini, di depan matanya sendiri, kedua orang tuanya dibantai secara keji oleh manusia-manusia biadab. Antara sadar dan tidak, gadis cilik itu seolah mendengar tawa berderai entah dari mulut siapa. “Hik ... hik ... hik! Dasar patih cabul! Tidak kesampaian berbuat keji pada ibunya, kini kau pula hendak mengambil anaknya. Benar-benar terkutuk kau Jayaprana. Manusia macammu seharusnya tidak pernah dilahirkan ke muka bumi!” Suara itu seoalah berasal dari delapan penjuru angin. Jayaprana kebingungan menebak dari arah mana ucapan yang meremehkan dirinya itu berasal. “Jahanam! Tunjukkan dirimu, pengecut!” teriak Jayaprana marah. Jawaban dari teriakan sang pat
Lopita Zora masih berdiri membelakangi Rajendra Sanjaya.“Lalu apa saranmu, Lopita Zora? Aku mau sosok keparat itu dapat dibumihanguskan dari dunia ini. Agar tak lagi ada pihak yang berani-beraninya mengusik kekuasaan Rajendra Sanjaya, manusia paling agung dalam Trah Sanjaya.”“Kepung, dan tangkap dia!” jawab Lopita Zora sambil berjalan meninggalkan Sang Maharaja.Rajendra Sanjaya geram, amarahnya telah naik ke puncak kepala. Ia benar-benar merasa terusik dengan apa yang dikatakan oleh Lopita Zora. Raja yang sangat haus akan kekuasaan itu tak segan-segan memenggal kepala orang lain yang berani mencampuri urusan atau menebar ancaman terhadap kekuasaannya.Setelah berlalunya Lopita Zora, Rajendra segera mengumpulkan seluruh orang kepercayaannya, dan memberi titah, bahwasanya besok pagi harus bergerak sesuai arahan Lopita Zora, untuk menangkap dan membasmi sosok yang dipercaya sebagai pengganggu kekuasaannya itu.
Seratus tahun yang lalu, selepas pertarungan dahsyat melawan Badiran Wasesa yang membuat runtuh puncak Gunung Bakaraya, Sanatana yang sekarat dan tertimbun abu gunung masih mampu bertahan hidup. Jika bukan karena kesaktian ilmu yang dimilikinya, dengan kondisi semacam itu mestilah ia tak mampu selamat. Sanatana memutuskan untuk menghilang dari dunia persilatan dan menjadi pertapa Bakaraya yang kini hanya disebut Gunung Raya itu, tepatnya di dalam sebuah ceruk di balik air terjun jernih sebelah Barat Gunung Raya. Seratus tahun lamanya ia mencoba mengumpulkan kembali tenaganya, serta memurnikan lagi semua kemampuan beladiri dan kesaktiannya. Selama kurun itu, dunia persilatan perlahan-lahan melupakan nama sosok manusia setengah dewa pemilik Ajian Suci Darah Bulan, Sanatana. Namun tak dinyana hari ini di tengah pertapaannya, segerombolan manusia yang konon adalah utusan penguasa Nagri Jaya Dwipa, menyatroni tempatnya dan mengusik tapa geni yang sedang ia lakukan
Sanatana terhuyung tiga tindak ke samping. Di sana, Nyai Prameswari sudah menunggu dengan tongkatnya. “Mampuslah!” teriak si nenek sambil menggepruk tongkatnya menyasar kepala lawan. Sedikit saja Sanatana terlambat menyisi, pastilah kepalanya sudah remuk dimakan tongkat. Selamat dari tiga serangan beruntun itu, Sanatana berkelebat menjauh untuk sejenak memulihkan luka dalam, akibat bentrok tenaga dalam dengan Lopita Zora dan hantaman tinju Patih Jayaprana. Lopita Zora tidak mau membuang kesempatan. Sambil menahan sakit, wanita muda yang sebenarnya sudah nenek-nenek peot itu, langsung menerjang ke depan dalam Jurus Tangan Lelembut Merogoh Jiwa. Gerakan tangan ini seolah tangan hantu, tak terlihat dan tahu-tahu sudah pun mencegkeram pangkal leher Sanatana. Sanatana tersentak kaget. Ekor matanya melihat jika Patih Jayaprana juga sedang merangsek menuju dirinya. Tidak mau mati konyol, si orang tua segera memukulkan tangan kanan pad
Angin kencang serupa badai segera menderu menuju Sanatana. Rerumputan tercerabut dari tanah dan makin banyak pepohonan yang bertumbangan. Sadar kalau serangan lawan bisa membinasakan dirinya, Sanatana melompat menjauh untuk menyelamatkan diri, sayang usahanya tidak berjalan mulus.“Mau cari selamat ke mana kau, Tua Bangka!”Wuutt!Nyai Prameswari segera mengayunkan tongkatnya, menghadang gerakan Sanatana yang tengah menghindar dari disapu angin topan.“Hari ini, biar aku mengadu jiwa dengan kalian!” teriak Sanatana sambil menyisi untuk menghindari serangan tongkat Nyai Prameswari.Sekejapan saja lagi sosoknya akan digulung dalam badai yang diciptakan Patih Jayaprana, Sanatana segera merapal Ajian Pedang Bulan yang seratus tahun lalu berhasil membelah hingga terkutung sosok Badiran Wasesa.Si kakek cepat-cepat mengayunkan kedua tangannya sekaligus, kiri dan kanan, dari bawah ke atas. Dua larik sinar putih leng