Share

7. Nek, Aku Cucumu

Perempuan itu kembali mencoba untuk meraih dan mengangkat bayinya, saat tiba-tiba si bayi mulai menendang-nendang pasungan Dasimah. Gerakan menendang-nendang si bayi pada pasungan seolah disengaja. Dasimah kembali dibuat tak percaya jika tidak menyaksikan sendiri.

Tendangan si bayi sepertinya memiliki tenaga tambahan. Pada satu ketika, setelah kaki kecilnya menendang beberapa kali, kunci pasungan Dasimah tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terbelalak besar. Tak menunggu, segera disingkirkannya pasangan kayu pasungan sebelah atas agar ia bisa membebaskan kakinya.

Dasimah merasa merdeka. Ia lega karena baru saja terlepas dari pasungan yang membelenggunya selama tujuh hari itu.

Dasimah mengusap-usap kedua kakinya yang selama tujuh hari ini dipaksa terjulur kaku. Ia lega karena tidak merasakan sebarang sakit pada sepsang kakinya. Matanya lalu bersitatap dengan mata si bayi. Terbayang di kepala Dasimah akan kejadian malam pertama ia dipasung di gubuk, ketika sosok jelmaan kakek serba putih bernama Sanatana bersabda padanya.

Terima kasih, anakku. Aku tahu, kaulah yang membuatku kuat. Aku juga tahu, kau sengaja membebaskanku dari pasungan. Jika kejadian malam itu sungguhan terjadi, aku yakin namamu sudah ditentukan.” Dasimah berusaha mengingat, tapi tidak ada satu nama pun yang muncul di kepalanya. “Oh, Dewa Jagat Bathara, aku tidak bisa mengingat harus memberi bayi ini nama apa ....”

Detik berikutnya, Dasimah mendadak terkesiap. Ada suara anak-anak yang menggema di dalam gubuk itu, menjawab ucapannya.

Beri aku nama Arya Tarachandra, Ibu ....

Dalam kaget, Dasimah mengamati wajah bayinya yang terlihat sedang menatapnya. Bayi itu terlihat senang. Dasimah yakin, suara itu berasal dari si bayi, meski mulutnya sama sekali tidak terbuka.

Kalau begitu, kau kuberi nama Arya Tarachandra, bayi titisan,” menyahut Dasimah.

Terima kasih, Ibu. Sekarang, lihatlah di dada kiriku, tepat di atas jantung.  Ada tanda lahir berupa bulan sabit. Sampai umurku genap tujuh tahun, aku mau Ibu menyembunyikan tanda lahir ini dari orang-orang.

Suara anak-anak kembali menggema di telinga Dasimah, membuatnya kian yakin kalau sumber suara itu adalah bayi ajaib di depannya itu.

Pandangan Dasimah langsung tertuju ke dada sebelah kiri bayinya.Benar saja, tepat  di dada kiri si bayi, tanda lahir berupa bulan sabit tampak jelas seolah baru saja dicetak langsung dengan besi panas di atas kulitnya. Menemukan tanda lahir itu membuat Dasimah makin percaya kalau kejadian malam pertama dirinya di dalam pasungan adalah benar terjadi.

Dasimah mengambil dan mendekap bayi itu ke dada. “Ibu akan menjagamu, Nak. Ibu akan mengabdikan diri dan mengemban tugas dari Dewa ini dengan sepenuh hati, sampai kelak kau dewasa dan menumpas kejahatan seperti yang sudah ditakdirkan ....

Dasimah mulai memahami semua yang didengarnya dari mulut Manusia Setengah Dewa berpakaian serba putih pada malam pertama di pasungan telah terjadi. Ini nyata, bukan mimpi atau igauan semata.

Apa yang telah terjadi padaku, merupakan kehendak-Mu, ya, Dewa Jagat Bhatara Yang Agung. Kehamilan ini bukanlah kutukan, tetapi suatu tugas yang Kau berikan kepadaku. Aku akan menjaga Arya Tarachandra dengan sepenuh hati,” ucap Dasimah sekali lagi lalu mendekap bayinya untuk memberikan kehangatan pada bayi mungil yang seakan tersenyum mendengar ucapannya.

Bayi Titisan dalam dekapannya pun tak lagi menangis, terlihat tenang dan memejamkan matanya. Cukup lama Dasimah memandanginya, rasa tenang dan damai seketika hadir dalam hati putri Sri Wedari itu.

Dasimah yang telah terlepas secara ajaib dari pasungan sudah bebas untuk bergerak. Rasa sakit akibat persalinan sama sekali tak dirasakannya. Dasimah merasa kondisinya kembali seperti sedia kala, seperti saat ia belum mengandung.

Nak, jangan menangis lagi, ya! Ibu tinggal barang sebentar saja. Kau aman di sini,” ucapnya, lalu kemudian meletakkan si bayi di lantai dalam gubuk pasungan. Kain jarik yang ia kenakan digunakan sebagai alas.

Aku harus membersihkan diri,”

Dasimah kemudian meninggalkan bayinya di dalam gubuk pasungan dan berjalan menuju telaga. Tujuh hari masa pasungan yang dialaminya membuat dasimah gerah, dan bau anyir selepas persalinan membuat dirinya merasa perlu untuk menceburkan diri ke dalam telaga berair jernih di dekat gubuk pengasingannya itu.

Selepas melepas gerah, ia memetik beberapa lembar daun berdaun lebar yang banyak tumbuh di sisi hutan dekat gubuknya, untuk digunakan sebagai alas bayi mungil yang tertidur lelap tanpa suara tangisan lagi.

Demikianlah hari berlalu, Sang Surya sudah pun bergulir dan terbenam di ufuk barat. Keadaan malam di kaki Gunung Raya bisa saja membuat orang lain terasa mencekam. Apalagi, angin dingin yang berembus di sela lebatnya hutan mampu menggigilkan tulang-tulang sekalipun. Akan tetapi tidak bagi Dasimah malam ini, Entah kekuatan apa yang mampu membuat Dasimah dengan telaten merawat si bayi seorang diri. Walaupun tak pernah sebelumnya ia belajar bagaimana menjadi seorang ibu, serta merawat seorang bayi yang baru lahir.

***

Hari masih teramat pagi, belum lama ayam selesai berkokok. Di gubuknya, di pinggiran Dukuh Telagasari, Sri Wedari telah selesai membungkus umbi-umbian rebus dengan daun pisang. Ia juga telah mempersiapkan ikan bakar. Ikan hasil tangkapan nelayan Telagasari yang ia tukar dengan beberapa anyaman hasil karya tangannya sendiri.

Bungkusan-bungkusan itu akan dibawanya menuju gubuk Pasungan Dasimah. Satu hari lamanya ia tidak menjenguk sang putri.

Dasimah pasti amat kelaparan,lirihnya.Seharian kemarin aku tak menjenguknya. Persediaan makannya pasti telah habis, lebih baik aku bawakan ia banyak makanan.

Sri Wedari kembali mengambil selembar daun pisang, dan membungkus lagi sepotong ubi rebus dan dimasukkan semua bungkusan makanan itu ke dalam sebuah bakul.

***

Sri Wedari sedikit lagi hampir tiba di pondok pasungan Dasimah, satu tanjakan terjal di depannya itu adalah jalur tersulit terakhir yang harus dilalui sebelum sampai di pinggir telaga. Namun, ia mendengar bunyi yang bersumber dari arah gubuk pasungan sang putri tunggalnya.

“Oa … oa,”

Sri Wedari menghentikan langkahnya, mencoba menyendengkan telinga agar dapat mendengar dengan jelas dari mana bunyi itu berasal?

Semakin ia menyendengkan telinganya, suara itu seakan menghilang kembali. Saat melangkah lagi, terdengar kembali suara seperti tangisan seorang bayi. Namun, samar dan buyar terbawa angin dan suara degub jantungnya sendiri.

Bayi siapa yang menangis di dalam hutan begini?oceh Sri Wedari.

Seperti telah diatur saja, Sri Wedari sama sekali melupakan jika terakhir kali ia menjenguk Dasimah, kandungan putrinya itu sudahlah amat besar.

Ah, hanya halusinasiku saja!” gumam Sri Wedari sambil menmegang tengkuknya yang bergidik.

Dia telah sampai di pinggiran Telaga, sepuluh tombak lagi jaraknya dengan gubuk pasungan Dasimah.

Tanpa memikirkan apa-apa lagi, selain perut putrinya yang sudah pasti keroncongan, Sri Wedari melangkah.Setibanya di depan gubuk, langsung saja ia menerobos masuk ke dalam.

Astaga …teriak Dasimah ketika manik matanya menangkap pemandangan di dalam gubuk tersebut.

Semuanya telah tampak rapi, dan kaki Dasimah yang sedang tertidur telah terlepas dari pasungan. Yang paling mengejutkan bagi Sri Wedari adalah seorang bayi yang terbaring di atas dedaunan di samping anaknya itu.

Ya, Dewa, apa yang kulihat ini? Kutukan apa yang sedang menimpa pada putriku?

Sri Wedari meletakan ke sebarang tempat, bakul yang ia bawa di lantai. Dengan penuh keheranan Sri Wedari mencoba menyentuh bayi yang terbaring di lantai.

Belum saja tangannya sampai pada tubuh si bayi, Sri Wedari tersentak.

Nenek, aku cucumu. Arya Tarachandra!” Bayi itu terdengar berbicara padanya.

Sri Wedari mundur beberapa hasta kebelakang. Matanya terbelalak lebar, mulutnya pun turut membuka.

Ahk!Jeritan kaget keluar dari mulut Sri Wedari, saat mendengar suara yang menggema itu.Si … si … siapa kamu? Pergi kau, makhluk jahat! Pergi!”suara Sri Wedari gemetar, tubuhnya terasa kaku seiring seluruh bulu kuduknya berdiri.

Nek, jangan takut! Aku adalah putra Dasimah, putrimu.gema suara mirip suara anak laki-laki terdengar kembali.

Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, wanita paruh baya itu mencoba bangkit berdiri. Ia tak peduli lagi dengan tujuan awalnya mengantarkan makanan untuk sang putri. Dasimah yang masih tertidur dengan pulas, seakan tak menyadari apa yang sedang terjadi di dalam gubuk tempat pasungannya tersebut.

Dalam pikiran Sri Wedari, makhluk jahatlah yang berbicara mengenalkan diri itu. Setelah berhasil berdiri, dia segera mengeluarkan jurus andalan satu-satunya, yakni jurus langkah seribu.

Baru saja kakinya hendak melangkah keluar gubuk, ia terjerembab jatuh ke tanah. Kakinya tersandung kayu di ambang pintu. "Akh!" jerit Sriwedari sambil mengambil ancang-ancang berlari kembali.

Jarak antara gubuk pasungan Dasimah dan gubuknya tak terlalu jauh, tidak juga dekat. Jalan yang menurun dan kadang terjal, serta halangan berupa akar yang menjuntai, duri semak-semak yang mengintai tak lagi dihiraukan oleh Sri Wedari. Sekarang bagaimana caranya ia secepat mungkin sampai pada gubuknya di Dukuh Telagasari. Selama hidupnya yang telah memasuki usia hamper senja, Sri Wedari tidak pernah mengalami hal-hal aneh semacam ini.

Namun, semenjak hari itu. Sejak Dasimah divonis mengandung secara aneh semua kejadian yang menimpa dia dan putrinya hampir membuat perempuan itu gila. Sri Wedari merasa dirinya sedang menjalani sebuah kutukan.

***

- Berlanjut ke Bab 8 -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status