Share

8. Mimpi Rajendra Sanjaya

Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya ....

Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung.

Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora.

Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora.

Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahmu yang menampakkan kegelisahan sangat kentara itu?”

Lopita Zora kemudian memutar tubuhnya membelakangi sang raja, mengundang Rajendra Sanjaya untuk mendekat pada wanita molek tersebut. Diam-diam dari belakang, Rajendra Sanjaya melingkarkan tangannya pada pinggang Lopita Zora. “Paduka, jangan bertindak ceroboh! Bagaimana jika ada yang melihatmu melakukan ini padaku!”

“Bukankah kau sudah tahu, Lopita? Jika aku murung, hanya dirimu yang mampu mengobati kegelisahan di dalam pikiran ini.

Senyum wanita sakti pemilik Ilmu Bersalin Wajah itu mengembang, hal ini begitu menggoda penguasa Nagri Jaya Dwipa tersebut. Kecantikan serta kemolekan tubuh wanita itu tersohor seantero Nagri Jaya Dwipa, bahkan permaisuri kerajaan sering dibanding-bandingkan dengannya.

Raut murung yang sebelumnya menghiasi rona wajah Raja Rajendra Sanjaya seketika berubah seperti orang yang dipenuhi hasrat, setelah melihat dari dekat kemolekan tubuh wanita di hadapannya. Sang Raja menggamit punggung wanita yang sesungguhnya sudah tak muda lagi itu.

Lopita Zora hanya diam dan tersenyum menggoda saat Rajendra Sanjaya menggendongnya menuju ke sebuah bilik di balairung. Ia sudah tahu apa yang diinginkan oleh sang raja.

“Lopita Zora, kecantikanmu membuatku tak mampu menahan hasrat ini!” bisik Rajendra Sanjaya perlahan saat ia meletakan tubuh Lopita Zora ke atas sebuah dipan.

“Paduka, aku hanya milikmu saat ini!” Lopita Zora mengedipkan sebelah matanya dengan genit.

Napas Rajendra Sanjaya semakin memburu, tanpa membuang waktu ia langsung menyerang bibir indah Lopita Zora. Penasihat raja dengan kemampuan nujum yang sangat tersohor itu terlihat menikmati apa yang dilakukan Rajendra Sanjaya padanya.

Kedua manusia tersebut terlibat dalam pergulatan yang dipenuhi oleh gelora, sehingga membuat keduanya dibanjiri peluh. Tubuh keduanya secara bergantian saling menindih. Rajendra Sanjaya dan Lopita Zora saling bertukar cairan cinta untuk memuaskan nafsu satu sama lain.

Lopita Zora bukan tanpa alasan mau melayani Rajendra Sanjaya. Ia harus rutin melakukan hubungan dengan seorang pria setiap awal bulan, agar Ilmu Bersalin Wajah yang dimilikinya tak memudar. Rajendra Sanjaya, raja lalim dari Trah Sanjaya adalah penggila kegiatan berhubungan badan. Tak heran jika ia memiliki banyak gundik.

Sambil menghela napas yang sedang terengah-engah karena telah menuntaskan permainan mereka, Rajendra Sanjaya mengempaskan tubuhnya di samping Lopita Zora yang sedang melenguh sambil menyapu keringat di keningnya.

“Lopita Zora, Apa arti mimpiku? Sudah tiga malam ini aku kurang tidur, karena mimpi yang sama. Seseorang berpakaian serba putih memorak-porandakan istana, dan menjatuhkan tahtaku sebagai Raja Nagri Jaya Dwipa,”kisah Rajendra Sanjaya.

Lopita Zora masih belum menjawab. Ia mencoba mengatur pernapasannya terlebih dahulu, setelah habis-habisan diserang oleh sang raja pada titik pusat kewanitaannya.

Sesaat kemudian, setelah selesai menyeka keringat dikeningnya, Lopita Zora melirik sekilas pada Rajendra Sanjaya. “Mimpi Paduka akan menjadi kenyataan, jika sosok serba putih yang paduka maksud itu tidak segera diberantas. Yang menjadi ancaman terbesar Nagri Jaya Dwipa dan kekuasaan Paduka saat ini bukanlah Sagara Caraka dari Laut Utara, ataupun para penjahat dan pemberontak yang lain, tetapi sosok serba putih ini!"

Rajendra Sanjaya seketika menjadi gelisah. Keringat kembali keluar dari pori-pori kulit wajahnya. Kali ini keringat tersebut membuat wajah raja lalim tersebut terlihat memucat. Ia lalu bangun dan duduk menghadap Lopita Zora yang masih terbaring polos, tanpa busana di dekatnya.

“Siapa sesungguhnya orang ini?”

“Paduka, penglihatanku mengatakan bahwa dia sesungguhnya berilmu sakti, tetapi saat ini aku belum mengetahui keberadaannya. Dia masih menghimpun kekuatan di dalam dirinya.”

“Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?”

“Basmi dia, sebelum ilmu sakti yang dimilikinya sempurna!”

Lopita Zora bangkit, mengenakan pakaiannya kembali lalu melangkah keluar dari kamar di balairung istana tersebut.

“Lopita Zora … tunggu!”

Rajendra Sanjaya mencegah wanita itu untuk pergi, ia belum puas akan jawaban atas mimpinya. Apa yang dikatakn Lopita Zora bukannya memberi pencerahan akan kegelisahannya, tapi kian menambah kekhawatiran dirinya.

“Paduka, berikan aku waktu tujuh hari untuk tapa dan semedi, biarkan aku mencari tahu terlebih dahulu keberadaan pria serba putih itu,”

“Baiklah, setelah tujuh hari segera menghadap padaku!”

Lopita Zora mengangguk, saat melewati batas ambang pintu. Kulitnya mulai mengelupas, ia akan berganti kulit secara ajaib apabila telah mengonsumsi beberapa tetes cairan kelelakian seorang pria setiap awal bulannya.

Waktu tujuh hari yang dimaksud, bukan untuk tapa dan semedi agar mengetahui di mana keberadaan sosok serba putih yang merasuki mimpi Raja Rajendra Sanjaya, tetapi untuk proses perubahan wujudnya agar tetap terjaga kemolekan serta kecantikannya.

Dengan kesaktiannya, Lopita Zora sesungguhnya bisa mengetahui di mana keberadaan seseorang. Ajian Menyingkap Kabut Melihat Ujud yang dimiliki sangat jarang gagal. Wanita sakti yang sesungguhnya sudah nenek-nenek itu hanya perlu mengerahkan dua pertiga tenaga dalamnya untuk menggunakan ajian langka itu.

Sepeninggal Lopita Zora setelah selesai bergumul dan menceritakan mimpinya, Rajendra Sanjaya kembali ke Balairung, lalu memberikan perintah  pada pengawalnya.

“Panggil Patih Jayaprana, suruh dia segera menghadapku!”

Dua orang pengawal yang selalu siap siaga dengan tombak dan tameng di tangan segera bergerak melaksanakan titah Sang Raja. Keduanya berjalan mundur sambil membungkuk hingga sampai ke pintu keluar balairung.

Patih Jayaprana, adalah orang kepercayaan Raja Rajendra Sanjaya. Jayaprana memiliki kesaktian dan ilmu tinggi sehingga mendapat kepercayaan menjabat sebagai Mahapatih Nagri Jaya Dwipa.

Kedua pengawal yang ditugaskan oleh Rajendra Sanjaya mencari keberadaan sang patih di seluruh istana, bahkan di barak pusat pasukan kerajaan. Namun, hasil nihil yang didapat oleh keduanya.

“Ke mana perginya Patih Jayaprana?”

Beberapa prajurit kerajaan yang sedang mengasah bilah-bilah pedang menoleh pada dua orang pengawal raja yang datang. “Patih bersama beberapa pasukan menuju Dukuh Telagasari,” menjawab salah satu dari mereka.

“Kamu! Segera temui Patih Jayaprana, katakan Paduka Raja Rajendra Sanjaya memberi titah untuk menghadap!” Pengawal tersebut menunjuk pada seorang prajurit.

“Baik, Tuan!”

Tanpa menunggu, prajurit yang diperintahkan untuk mencari sang patih itu segera berangkat menuju tempat yang dimaksud, yakni Dukuh Telagasari.

Sebagai mahapatih kerajaan, Jayaprana selalu rutin berkeliling ke seluruh wilayah Nagri Jaya Dwipa untuk mengumpulkan pemuda yang sudah cukup umur. Nantinya mereka akan ditempa dan dilatih menjadi prajurit kerajaan. Kali ini patih itu bertandang ke sebuah wilayah paling Utara, dekat dengan pantai dan berada di lereng Gunung Raya, sebuah gunung tinggi menjulang di Nagri Jaya Dwipa, sehingga puncaknya selalu diselimuti kabut putih.

Di Dukuh Telagasari, sang patih tidak buang-buang waktu dan segera saja menjalankan tujuannya menyantroni dukuh pelosok itu. Suaranya menggelegar saat mengumandangkan perintah.

“Aku Mahapatih Jayaprana,” teriaknya. “Semua pemuda yang telah berusia tujuh belas tahun dan pria yang masih sehat di dukuh ini harap segera datang dan berkumpul di hadapanku.” Dengan suara lantang, sambil berdiri di atas balai-balai di lapangan, Jayaprana memberikan sebuah pengumuman untuk warga dukuh yang tidak begitu besar tersebut. “Jika ada satu orang saja yang kumaksudkan tidak datang atau dengan sengaja menghindar, akan kutebas kepalanya hingga terkutung!” imbuhnya lagi.

***

- Bersambung ke Bab 9 -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status