Tamparan Haira begitu keras hingga saat Andini menghadap Kaisar, separuh wajahnya masih bengkak parah.Kaisar tentu saja sudah mendengar kabar bahwa Haira menampar Andini. Melihat wajah Andini, keningnya pun berkerut tanpa sadar. "Sampai separah ini?"Andini menyunggingkan bibirnya. "Nggak apa-apa, Yang Mulia. Saya sudah mengoleskan obat."Padahal sebenarnya belum. Obat yang dibuat dari resep dalam buku medis pemberian gurunya, hanya perlu waktu setengah jam untuk meredakan seluruh bengkaknya.Andini sengaja datang dengan wajah masih bengkak, sengaja berbohong, karena ingin melihat ekspresi Kaisar. Kesal, khawatir, bahkan sedikit rasa bersalah. Tidak perlu banyak, cukup sedikit.Kemudian, Kaisar menghela napas panjang. "Aku sudah menyuruh orang menyelidiki. Saat Sandika meninggal, kamu masih berada di istana. Nggak mungkin kamu punya waktu untuk melakukannya. Apalagi dengan kemampuanmu, mana mungkin kamu bisa mengalahkan Sandika?"Bagaimanapun, Sandika pernah menjadi Panglima Pengawal
Andini tentu terkejut. Terdengar teriakan marah Haira. "Wanita jalang! Apa aku pernah berbuat salah padamu? Kamu sudah membunuh anakku, sekarang kamu juga membunuh adikku?"Andini yang membunuh adiknya? Dia pun mengerutkan kening, secara refleks melirik ke arah Safira, lalu baru menoleh pada Haira. "Selir Agung, tenang sedikit. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini.""Kesalahpahaman apa?" bentak Haira, lalu melayangkan tamparan lagi ke arah Andini.Untung kali ini Andini sudah bersiap. Dia segera mundur selangkah dan berhasil menghindar. Namun, Haira tak ingin melepaskannya begitu saja. Dia langsung menyerang lagi.Saat itu, Ranti bersama para dayang dan pengawal menghampiri, lalu buru-buru menahan Haira. Namun, bagaimana mungkin Haira mau melepaskan Andini?Sandika meninggal dengan tragis, bagaimana dia tidak murka? Kematian seperti itu mempermalukan seluruh Keluarga Rahardian!Walaupun sudah ditahan, Haira terus berusaha menyerang. Tangannya mengayun dengan penuh amarah, seolah-olah
Setelah Kaisar pergi, Safira pun membawa Andini untuk undur diri.Begitu mereka melangkah keluar dari Kediaman Permaisuri, Andini melihat Ranti memimpin para dayang lainnya memperlambat langkah kaki mereka. Dia pun tahu, Safira ingin berbicara secara pribadi dengannya.Benar saja, begitu orang-orang lain sudah berada sekitar sepuluh langkah jauhnya, Safira mulai berbicara, "Merawat ayahku nggak sama dengan merawat para selir di istana. Kalau bukan karena aku yang memberi usul, mana mungkin seorang tabib kecil sepertimu bisa mendekati ayahku?"Andini tahu Safira sedang menyombongkan diri. Orang lain mungkin tak akan bisa, tetapi dengan statusnya sebagai murid dari tabib sakti, mendekati Kaisar bukanlah perkara sulit bagi Andini.Namun, tentu dia tidak bisa mengatakan itu secara langsung. Jadi, dia hanya menjawab dengan hormat, "Benar, saya sangat berterima kasih atas kemurahan hati Putri."Safira tersenyum tipis, lalu berkata, "Kerjakanlah dengan baik. Kalau ayahku puas, mengangkatmu ja
Tanpa sadar, tampak seulas kekhawatiran pada ekspresi Kalingga.Meskipun Rangga sudah tidak lagi memaksa Andini, tindakannya tetap saja ekstrem. Lukanya yang hampir sembuh itu malah dia robek kembali dengan sengaja. Menyakiti tubuhnya sendiri .... Bagaimana hal seperti itu bisa dibenarkan?Namun, Kalingga juga tahu, nasihat darinya tidak akan berguna. Rangga tidak akan mendengarnya. Dia hanya bisa berharap, mungkin saja kata-kata Andini tadi bisa menyentuh sedikit hati Rangga.....Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa, sudah setengah bulan lagi berlalu. Hari itu, seperti biasa, Andini datang mengantarkan obat untuk Permaisuri. Tak disangka, dia justru berpapasan dengan Kaisar yang tengah menjenguk Permaisuri.Kaisar duduk di samping ranjang, memperhatikan dayang yang membantu Permaisuri meminum obat. Baru setelah itu, dia menoleh ke arah Andini dan bertanya, "Bagaimana keadaan Permaisuri? Berapa lama lagi baru bisa pulih sepenuhnya?"Andini menjawab dengan jujur, "Kondisi tubuh Perma
Terlihat jelas darah segar terus merembes keluar dari perban di dada Rangga, setetes demi setetes, membasahi sekelilingnya.Kalingga juga menyadarinya. Wajahnya langsung menjadi suram. Dia menarik Rangga dan berkata, "Biar aku obati lukamu!"Tak disangka, Rangga malah menepis tangannya dengan kasar. "Nggak perlu kamu yang obati!"Kalingga menarik napas panjang, lalu memilih untuk diam. Dia sebenarnya datang karena mendengar kabar bahwa Rangga kembali mengganggu Andini. Padahal, lukanya sudah hampir sembuh. Siapa sangka, hanya karena pertarungan kecil tadi, lukanya malah robek kembali!Andini hanya bisa menghela napas tak berdaya. Dia melotot ke arah Rangga, lalu berkata, "Masih mau berdiri saja? Cepat duduk!"Setelah berkata begitu, dia berbalik untuk mengambil obat luka dan perban. Rangga pun merasa lega, lalu berjalan ke samping dan duduk. Dia melepas bajunya, memperlihatkan tubuhnya yang kekar.Matanya yang menatap Andini pun penuh rasa senang, tetapi juga diselimuti kekhawatiran. S
Kalau dipikir-pikir, ini sungguh menyedihkan. Dulu dia selalu mencari Rangga, tetapi sekarang justru Rangga yang harus mengerahkan segala cara hanya untuk bisa melihatnya, berharap bisa mendapat sedikit perhatian darinya.Sayangnya, hati Andini kini sekeras baja. Jenderal yang dulunya begitu percaya diri dan tak terkalahkan itu, sekarang berubah menjadi sosok menyedihkan seperti ini.Andini benar-benar tak tahu harus memakinya dengan kata-kata seperti apa agar pria ini sadar betapa tak tahu malu dirinya sekarang.Dia pun memilih untuk diam. Namun, Rangga bertanya kembali, "Mulai sekarang, kalau aku terluka, kamu saja yang mengobatiku boleh?""Nggak boleh!" Andini langsung menolak dengan dingin. "Aku ini bukan tabib militer! Kamu pikir kalau kamu terluka di medan perang, kamu bisa bertahan sampai ke ibu kota demi menemuiku?""Bisa!" Rangga menjawab dengan suara tegas, "Asal kamu bersedia mengobatiku, aku pasti akan bertahan dan menemuimu!"Kata-kata itu membuat Andini terpaku di tempat.