Share

Putri Pewaris Yang Terusir
Putri Pewaris Yang Terusir
Penulis: DaisyLia

Chapter 1 : Tidak Peduli!

Brak!

Gema pintu yang dibuka keras menarik cepat atensi dari dua orang yang berada di ruangan itu.

Zafanya Bia Sindari pun berjalan angkuh mendekati wanita elegan dan berkharisma di depannya. Tak luput, kekesalan hatinya Bia salurkan pada map biru yang ia bawa dari kamarnya.

"Apa ibu sudah gila? Dia lebih cocok menjadi ayahku daripada suamiku!" seru Bia, setelah melempar sebuah berkas yang memperlihatkan foto seorang pria paruh baya.

Wanita dengan gaun putih selutut itu menatap tidak percaya pada Karina Sindari, sang ibu. Bagaimana bisa setega itu menjodohkan dirinya dengan pria tua!

Karina diam sambil mengamati celana legging si bungsu yang ramai dengan motif bunga, tak lama kemudian bibir bergincu merah itu pun mendesah menahan sabar.

"Tidak ada penolakan lagi. Dia calon yang cocok untukmu."

"Cocok untuk ibu?" balas Bia dengan nada sarkas.

"Haah, kita lanjutkan pembahasan ini nanti," ujar Karina. Namun bukan ditujukan untuk Bia, melainkan untuk pria muda yang berdiri di samping Bia.

"Baik, saya permisi."

Bia pun melirik sinis seraya tersenyum miris untuk pria yang menunduk hormat pada ibunya. Dion, salah satu anjing patuh sang ibu. Dulu mereka akrab, tetapi sejak tiga tahun lalu Dion benar-benar menjaga jarak darinya.

Entah karena apa. Namun Bia sudah bisa menebak, perubahan Dion pasti karena Karina Sindari. Wanita penuh obsesi yang bahkan bisa membuat hewan liar tunduk kepadanya.

Sehebat itulah Karina, bahkan Bia sampai kagum dengan kharisma kuat sang ibu. Namun sayang, tiga tahun terakhir ini Bia tidak suka pada Karina. Semakin kesal saat wanita empat anak itu mulai mencarikan jodoh untuknya.

"Sampai kapan kamu mau berperilaku seperti ini?" sambung Karina begitu sosok Dion hilang dari ruangan bernuansa hitam putih.

"Selamanya."

Karina mendengus tidak suka. Putri bungsunya memang selalu bertindak di luar kendalinya.

"Selama ini aku sudah memaklumi sikapmu, Bia. Sekarang sudah waktunya kamu membalas semua yang telah kamu nikmati selama ini," tandas Karina tegas. Mata tajam yang dikelilingi keriput halus itu tidak berkedip sedikit pun saat Bia mentertawakan ucapannya.

"Membalas? Haha, aku tidak pernah meminta ibu untuk melahirkanku!" timpal Bia. Sudah sering mendengarnya, tetapi tetap saja hatinya terasa sakit.

Ibunya memang tidak punya hati!

"Jika aku tahu yang aku lahirkan akan menjadi aib bagiku, tentu aku sudah membunuhmu sejak tangisan pertamamu."

Bia bergeming. Ini pertama kali ia mendengar kejujuran baru dari sang ibu. Membunuhku? Kenapa tidak dilakukan sejak dulu? Seharusnya orang itu membunuhnya sebelum kejadian yang membuat ia tidak bisa membenci sang ibu.

"Besok, makan malamlah dengannya," ujar Karina, melihat Bia bergeming diam. Tentu itu menjadi sebuah tanda kemenangan untuknya.

"Untuk menentukan kapan pernikahan ibu dengannya?" cibir Bia.

"Bia!"

"Kenapa? Apa ibu pikir aku akan mengatakan iya seperti mereka, hm?"

"Benar. Seharusnya kamu mengatakan iya seperti kakak-kakakmu yang lain," tandas Karina tegas.

"Jangan terlalu berharap tinggi pada aibmu, ibu." Bia pun menunduk hormat. "Saya permisi, nyonya Karina Sindari," lanjutnya, kemudian melenggang pergi dengan hati yang entah harus digambarkan seperti apa.

Berhenti membelakangi pintu ruang kerja sang ibu. Bia mengeraskan rahang, menahan rasa hangat yang menjalar perih. Kedua matanya memandang lurus ruangan luas yang tersugu cantik di depannya.

Perlahan, Bia sedikit menundukkan pandangan. Memikirkan rencana apa lagi yang harus ia lakukan. Selalu menolak keinginan Karina tidak membuat wanita itu menyerah. Justru semakin gencar menjodohkan dirinya dengan pria-pria yang lebih baik menjadi ayah atau bahkan kakeknya.

Apa lagi yang Karina inginkan? Padahal, keluarga Sindari sudah cukup ditakuti dan dihormati oleh pengusaha-pengusaha di dunia. Haruskah Karina menjual putri-putrinya demi kekayaan?

Bia pun membuang napas kesal, kemudian pergi menjauh dari wilayah sang ibu.

Langkah tegas itu nyaris tak menggambarkan remuk hatinya. Dua mata yang terbingkai bulu-bulu lentik itu menatap lurus ke depan, tatapan yang begitu mirip dengan Karina. Tajam dan penuh ambisi.

"Sial! gerutu Bia pelan. Mata bulatnya pun mulai menunjukkan isi hati.

"Bodoh, jangan menangis! Atau orang itu akan memakanmu hidup-hidup!" ujar Bia setengah berbisik. Jemarinya dengan kasar mengusap air mata yang baru ingin berselancar ria di pipi mulusnya.

"Bia."

Impuls. Bia refleks berhenti ketika mendengar suara familiar menyebut namanya. Bia mengenali pemilik dari suara datar yang selalu mampu menggetarkan semua perasaannya.

Dion Mahesa. Pria berusia tiga tahun lebih tua darinya itu sudah berdiri dibalik pilar dinding yang baru saja Bia lewati.

"Aku harap kamu berhenti melakukan hal-hal aneh. Tolong berhenti menyusahkan nyonya Karina."

Bia menyeringai sinis, kemudian berbalik menatap Dion dengan hati yang lebih perih dari yang ia rasakan beberapa saat lalu.

"Apa sekarang kamu ditugaskan orang itu untuk membujukku?" balas Bia di sela senyum kecutnya.

"Jangan salah paham dengannya. Nyonya hanya ingin--"

"Nyonya? Hahaha, menggelikan!" cibir Bia, kemudian kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Dari sebutan ibu menjadi nyonya? Dion sungguh anjing yang patuh!

"Ingat, kamu juga harus menjaga nama Sindari, Bia!"

Sindari? Bia tak menggubris seruan Dion. Kaki jenjangnya tetap melangkah lurus untuk sampai ke tujuannya.

Hati yang berdesir kecewa kini dipenuhi dendam. Sindari, sebuah nama yang sangat diagungkan semua orang. Namun, menyandang nama Sindari itu seperti kutukan baginya.

Dipikir bagaimanapun, untuk apa ia menjaga nama Sindari yang mengharuskan ia menjadi manusia marionette? Untuk apa bangga dengan nama Sindari yang tak memiliki hati nurani? Meski Bia akui, ada sedikit kepuasan di hati setiap kali menggunakan kekuatan dari marga Sindari. Nama yang seperti kutukan itu ternyata sangat mudah untuk membungkam orang-orang yang tidak ia sukai.

"Kita bicara."

Huh? Bia pun refleks menahan tubuhnya dari tarikan yang tiba-tiba datang itu. "Apa yang kamu lakukan?!" seru Bia seraya menatap kesal pada Dion yang sudah menggenggam lengan kanannya.

"Bukankah sejak dulu kamu selalu ingin kita bicara serius? Sekarang aku ada waktu. Jadi, kita bicara di ruang kerjaku," ucap Dion sambil kembali menarik Bia untuk mengikutinya.

Menuruni cepat anak tangga berselimut karpet merah. Dion menggenggam erat lengan Bia, mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap ke arah mereka. Dion bisa menerka, tindakannya ini sudah pasti akan sampai ke telinga Karina.

Lengan yang tak sebesar lengannya. Kulit halus yang sudah lama tidak pria itu sentuh. Dion hampir saja lupa, pada rasa hangat yang bisa mendamaikan hati ketika jemarinya digenggam Bia dulu.

"Cukup!" desis Bia seraya menghentakkan keras tangannya. Menatap marah pada Dion yang juga memandang dirinya. Ini menyakitkan. Bagaimana bisa genggaman Dion yang dulu bisa membuatnya tersenyum, sekarang justru membuatnya meringis sakit.

"Tidak. Belum cukup. Kita harus bicara, menyelesaikan semua--"

"Menyelesaikan?" potong Bia, bibir tipis yang terpoles gincu itu tersenyum kecut. "Apa yang harus diselesaikan?"

"Baiklah, kita selesaikan di sini," ucap Dion mengabaikan ucapan sarkas Bia.

"Aku bilang, apa yang harus diselesaikan?' tegas Bia.

"Semua. Aku akan menjawab pertanyaan yang dulu selalu kamu tanyakan padaku." Dion pun memegang bahu Bia. Genggaman yang tak sekeras beberapa saat lalu, hanya sentuhan yang penuh rasa cemas bercampur lelah. Rasa yang tersembunyi lama dihatinya. "Tentang kita, tentang ketakutanmu dan tentang--"

"Aku tidak peduli," sela Bia seraya mengusir jari jemari yang menyentuh kedua bahunya. "Saat kamu meninggalkanku dan lebih memilih wanita berkuasa itu. Saat itu juga, aku sudah tidak peduli pada semua yang berhubungan tentang dirimu," lanjutnya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status