Share

Chapter 2 : Ulah Siapa?

Dalam sebuah ruangan luas tanpa hiasan dinding. Cat berwarna gelap dengan pencahayaan yang minim dan sebuah panggung kecil dengan lantai berselimutkan kain hitam menjadi pusat ruangan di sana.

Beberapa kali nampak terlihat kilatan dari sebuah kamera di pusat ruangan itu.

"Lalu, bagaimana responnya?" tanya Aretha Dheandra, berdiri dengan kaki yang terbuka lebar di atas Bia. Sudah lima belas menit, wanita dengan potongan rambut bob pendek itu sibuk membidik Bia dengan kamera kesayangannya.

"Apa lagi? Manusia terminator itu tentu diam saja setelah menanyakan apa keinginanku," balas Bia malas. Tubuhnya terbaring menghadap langit-langit studio. Tidak peduli pada Aretha yang semakin mendekatkan Leica series ke wajahnya.

Sejak tadi, mereka sedang membahas perbincangan Bia dengan Dion Mahesa kemarin.

"Hell, dia benar-benar sudah menjadi seorang pecundang! Ini pertama kalinya Dion bicara lebih dari dua kata denganmu. Setelah kejadian itu, kenapa dia malah kembali diam hanya karena kamu bicara seperti itu?" gerutu Aretha seraya membenarkan tata letak rambut panjang Bia.

Aretha, teman sejak masa abu-abu itu cukup menjadi saksi perjalanan hidup Bia yang menurutnya terlalu memyeramkan. Hidup bergelimang harta justru membawa beban yang berat. Aretha masih ingat sekali, bagaimana pertemuan menegangkan mereka. Tidak pernah Aretha memimpikan, bahwa mereka akan tetap bersama sampai saat ini. Bahkan bisa dikatakan, mereka lebih dekat dari label saudara.

"Jawabannya mudah." Bia memiringkan tubuhnya ke kanan, kepalanya diposisikan menunduk. Wajahnya pun seketika terlihat sendu. "Dia tidak punya pilihan lain. Hidup matinya sudah berada dalam genggaman wanita itu. Bicara dua kata denganku saja sudah seperti mempertaruhkan masa depannya."

Flash!

"Good, ekspresi yang bagus. Kita sudahi pemotretan ini," ujar Aretha yang segera meninggalkan Bia dan duduk di depan laptopnya.

"Haah ...." Bia menghela napas panjang sambil mengganti posisi tubuhnya menjadi tengkurap. Temannya memang selalu seperti itu. Menjadi menyebalkan jika sudah fokus pada pekerjaannya. "Aku sungguh tidak suka sifatmu yang ini," lanjutnya mendesis kesal, feedback yang diberikan temannya itu selalu berakhir kurang memuaskan.

"Hei, aku cukup mendengar semua keluh kesahmu hari ini. Jadi, biarkan aku fokus pada pekerjaanku. Oh, cepat ganti baju. Aku tidak mau kamu merusak gaun baruku."

Bia mendelik tidak percaya dengan ucapan Aretha. "Ck! Kamu bicara seolah aku tidak pernah mengganti barang-barang yang kurusak!"

"Mengganti dengan uang nyonya Karina atau mencicil dengan bayaran kecil dari pemotretan hari ini?" sarkas Aretha.

Terkadang Aretha merasa heran dengan Bia. Kenapa Bia tidak pernah mau lagi memanfaatkan kekuasaan Sindari yang akan selalu siap siaga untuk membereskan semuanya? Hanya satu kali saja Aretha melihat Bia menggunakan kekuatan nama Sindari dan itu sungguh layak untuk dilihat, meski harus membuatnya merinding setiap kali mengingat kejadian waktu itu.

"Mencicil atau apa pun itu. Yang terpenting, aku mengganti semua pakaian yang kurusak. Lagi pula, aku sudah membuatmu--"

"Shit! He-hei, coba kamu lihat ini," ujar Aretha menyela. Wajahnya terlihat panik.

Bia memutar bola mata beriringan dengan helaan napasnya. "Apa lagi?" balasnya. Pasti Aretha hanya ingin menunjukkan hal yang tidak berguna lagi, seperti biasa!

"Jangan banyak bicara! Cepat kemari!"

Ada apa sih? Bia menautkan dua alisnya. Dalam hati, ia cukup penasaran pada apa yang membuat temannya di sana sampai terlihat begitu serius menatap layar laptop.

Bia pun beranjak dari pembaringan ternyamannya. Melangkah santai meski Aretha menyuruhnya untuk segera melihat apa yang membuat wajah wanita itu pucat.

"Ada apa? Apa penjualan ... apa ini? Kenapa--"

Bia terdiam memandang fotonya yang terpajang di sebuah situs. Baik Bia ataupun Aretha, mereka bisa mengenali bahkan masih ingat kapan foto itu diambil.

"Bukan aku!" seru Aretha langsung membela diri.

Selama ini Aretha memang menjadikan Bia sebagai model untuk toko busana dan perhiasannya. Namun, Aretha tidak pernah memperlihatkan wajah Bia.

Lantas, mengapa sekarang wajah Bia terpampang jelas di sana? Bahkan itu foto yang sudah mereka ambil tiga tahun lalu, di saat Aretha baru merintis usahanya.

"Hanya kamu dan aku yang memiliki foto ini," ujar Bia, matanya melirik curiga. Jelas sekali ia tidak bisa mempercayai Aretha begitu saja.

Memang benar, setiap usai melakukan pemotretan. Bia juga ikut meminta hasil foto-fotonya. Jadi, hanya mereka berdua saja yang memiliki foto utuh seperti yang terposting di sebuah situs online.

"Apa maksudmu bicara seperti itu?"

"Apa maksudku? Kamu tahu apa maksudku, tha!" seru Bia kesal.

Bagaimana jika Karina tahu soal ini? Bia memang selalu melakukan hal gila untuk menunjukkan pemberontakannya terhadap aturan keluarga. Namun, memberontak dengan cara menjadi seorang modeling, Bia belum cukup berani.

Jika Karina tahu, mungkin bukan perjodohan lagi yang akan ia hadapi. Tetapi, ia akan langsung dinikahkan detik itu juga.

"Sungguh, bukan aku yang melakukannya! Kamu tahu seberapa posesifnya aku pada laptop dan kameraku," ujar Aretha tegas. Mencoba membela diri dan berharap Bia percaya padanya.

Bia terdiam, Aretha memang begitu posesif dengan barang-barangnya. Bahkan orang tuanya pun tidak berani menyentuh kamera Aretha.

Memandang kembali layar laptop, Bia memikirkan kemungkinan siapa saja yang sudah melihat postingan ini.

"Sial! Pastinya sudah ribuan orang melihat ini 'kan?" batin Bia cemas saat melihat tanggal rilis berita tentangnya.

Tertulis jelas di sana, bahwa berita itu muncul pukul sembilan pagi ini. Sudah tujuh jam wajahnya terpampang di sana!

"Cari tahu. Apa ada lagi foto-fotoku yang lain," titah Bia pada Aretha. Firasat buruk menyeruak begitu saja di hatinya.

Aretha memandang Bia. Wanita itu mengerti apa yang begitu dicemaskan temannya. Dengan segera, Aretha mengetik nama Bia di kolom pencarian.

Meski nama Sindari sangat terkenal di kota ini. Namun, tak ada satu pun masyarakat yang tahu wajah anak ataupun pewaris Sindari.

"Mungkinkah, ini perbuatan keluargamu?" ujar Aretha, memandang ngeri layar laptopnya.

Nama Zafanya Bia, wajahnya bahkan Imstagram pun menjadi pencarian trending di situs online. Hanya dalam beberapa jam sudah banjir dengan komentar betapa cantiknya Bia.

Beruntung di sana tidak ada yang tahu kalau Bia masih berdarah Sindari.

"Menurutmu?" tanya Bia ragu.

Maksud Bia, untuk apa keluarganya melakukan ini? Pun tidak ada yang tahu kalau Bia menjadi modeling eksklusif Aretha.

"Siapa lagi yang bisa melakukan hal ini dalam waktu singkat?" balas Aretha. "Aneh juga bukan? Kenapa nama Sindari tidak tertulis di sana?"

Benar. Aretha benar. Sekali lagi, Bia terdiam memikirkan siapa yang berani berbuat seperti ini. Terlebih, butuh relasi kuat untuk melakukan ini. Namun, untuk apa keluarganya melakukan ini? Itu sama saja menjatuhkan harga diri sang ibu. Jika ingin menghancurkan nama Sindari pun seharusnya nama lengkapnya muncul di sana.

Kening Aretha semakin mengerut, daripada memikirkan siapa yang melakukan ini, lebih baik ia memikirkan tindakan apa yang harus mereka lakukan untuk selanjutnya. Jika keluarga Bia mengetahui ini, tentu Aretha juga akan kena imbasnya.

"Kamu benar. Tapi--"

Ucapan Bia terhenti ketika nada dering dari ponselnya berbunyi.

Bibir berpoles natural itu merapat diam saat menatap layar ponsel. Nomor pemanggil diprivat. Lagi, firasat tidak enak pun menggelitik hatinya.

"Siapa--"

"Kamu suka kado dariku?"

Wajah Bia langsung mengeras mendengar kalimat yang jelas menunjukkan bahwa si penelepon adalah pelaku penyebaran foto-fotonya.

"Apa ini semua perbuatanmu?" balas Bia, membuat Aretha menoleh serius kepadanya. "Berani menyebarkan foto-fotoku, artinya kamu--"

"Beranilah Bia. Mungkin kamu marah sekarang, tetapi suatu hati nanti, kamu akan berterima kasih padaku."

Bia mendengus lucu. "Berterima kasih pada orang yang bahkan tidak berani memakai suara asli? Hah! Nyalimu tidak sebesar tindakanmu!" ujarnya. Suara buatan yang sejak awal membuat Bia menerka, siapa lawannya kali ini.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status