Abigail masih bersandar di tembok saat pintu apartemen El terbuka. Gadis itu belum mengatakan hal lain kecuali soal Elden-Clay-aneh di kantor Hadian Munir tadi. Headset hitam yang menempel di telinganya terlihat begitu menyebalkan di mata El. El sama sekali tidak berniat memberikan sambutan atau apa pun. Setelah masuk dan mengganti bot kulitnya dengan slipper, ia langsung melesat ke dalam dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakkan. Harlan hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan El.
“Ayo, masuk.” Harlan tersenyum lebar. Abigail tidak menjawab. Selain karena kedua telinganya tertutup, tangannya yang sibuk bermain rubik membuat Harlan sama sekali tidak mendapatkan respon apa pun darinya. Harlan tidak menyerah. Ia malah tersenyum semakin lebar dan mengulurkan tangan, menawarkan bantuan untuk membawakan tas Abigail.
“Nggak usah. Gue bisa sendiri.” Balas Abigail ringkas. Tanpa disuruh, ia langsung menduduki sofa putih kesayangan El di ruang tengah.
Alis Harlan terangkat dan tangan kanannya yang tergantung di udara langsung terjatuh.
v
Real Name :
Elden Alexander ClayName :
Elden ClayH/W :
182 cms/67kgsNickname :
ElOccupation :
Actor, ModelFilmografi :
Drop DownSerunai
Ketika Bulan Karam di Hatimu
Awan Biru
Seperti Bintang
Etc.
Active :
2000-present
Aby sempat melihat foto close up yang terpajang besar-besar pada halaman situs itu sekilas sebelum menutup browser komputer tua di kamarnya. Laki-laki berambut agak pirang dengan potongan paling aneh sedunia itu tampak tersenyum lebar seolah lensa kamera itu adalah pacarnya. Wajah pasaran, gumamnya. Kulit putih, wajah tegas, batang hidung yang tinggi, dan tulang dahi sempurna yang menaungi mata hazel-nya. Wajah kebule-bulean yang sudah terlalu sering Aby lihat di televisi. Aby mencibir, menyadari betapa selera penonton di Indonesia terlalu mainstream. Ada apa dengan wajah Indonesia? Dengan kulit sawo matang, bola mata hitam, dan tinggi rata-rata? Jangan-jangan semua orang Amerika yang datang ke Indonesia bisa jadi artis dengan mudah.
“By, sudah siap?”
Aby tersentak saat seorang wanita berusia enam puluhan, yang selama satu bulan ini mengurusnya, muncul dari balik pintu. Tangan-tangan kurus Aby kemudian beringsut menuju ranjang dan menyurukkan semua barang yang berserakan di ranjang ke dalam tas. Aby berdeham saat menyadari Bunda Bayu sudah duduk di sisi ranjang, memandanginya prihatin. Aby membuang muka. Sejujurnya, dia benci ditatap seperti itu. Aby benci dikasihani. Aby benci saat ada orang yang melihat seolah-olah ia adalah anak paling malang di muka bumi ini. Aby tahu ia sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Tapi, kepapaannya bukan tontonan.
“Mamamu nggak akan pulang. Setidaknya dalam waktu dekat ini.”
Aby menarik napas panjang. Tertunduk menatap tulisan ‘AC/DC’ pudar di atas kaus hitam usang yang dipakainya. “Aku udah anggap Mama membuangku. Aku nggak berharap Mama kembali lagi.”
Bunda Bayu mengulurkan tangan, mengusap puncak kepalanya pelan. Aby ingin menghindar, tapi tubuhnya terpaku di tempat. “Jangan begitu.”
Aby tidak perlu mendengarkan kalimat yang akan dikatakan Bunda Bayu selanjutnya. Karena selama satu bulan tinggal di sini, ia sudah puluhan kali mendengarnya. Aby memang sudah berhenti sekolah tahun lalu, tapi ingatannya masih sangat baik. “Bunda sudah kenal Mama sejak lama, jauh lebih lama daripada aku mengenalnya. Aku tahu, Bun. Aku tahu kenapa dia lebih memilih membuangku pada seseorang yang sama sekali nggak aku kenal daripada mengajakku tinggal dengannya.”
“Elden adalah seseorang yang penting buat kamu, By.”
Aby tersenyum dipaksakan. Hanya karena artis itu akan menghidupinya mulai hari ini, bukan berarti dia juga akan menjadi orang yang penting buat Aby, kan? Aby bukan seekor anjing yang akan patuh pada majikan yang memberinya makan.
Aby sengaja pura-pura mengambil sapu tangan di atas meja untuk menjauh dari Bunda Bayu. “Udah siap,” ucapnya datar. Aby kemudian memasukkan benda yang ada di tangan sembarangan lalu menutup zipper tasnya.
“Elden Clay itu memang artis, tapi mulai saat ini dan seterusnya, dia adalah keluargamu.”
Aby mencibir.
Keluarga? Keluarga apa? Bagaimana mungkin dua orang yang tidak saling kenal bisa tinggal bersama dan menjadi keluarga, sedangkan dua orang yang benar-benar keluarga malah terpisah dengan konyolnya?
“Taksinya sudah datang, By.”
Aby kemudian memasang headset hitam yang sudah menemaninya tiga tahun ini dan menyandang ransel. Sepasang kaki yang terbalut kets hitam itu melangkah keluar saat pintu taksi itu terbuka.
“Hati-hati, By. Kalau nggak betah di sana, kamu boleh berkunjung ke sini sesekali.”
Aby hanya tersenyum, lagi-lagi dipaksakan, kemudian masuk ke dalam taksi. Ia masih sempat membaca papan nama besar bertuliskan ‘Rumah Cinta’ sebelum menyuruh supir taksi segera berangkat.
Tidak betah? Orang yang tidak betah di suatu tempat pasti mempunyai tempat lain yang membuatnya betah. Aby tidak punya tempat semacam itu. Di mana pun dia berada sekarang, sudah tidak ada bedanya. Aby benar-benar sudah tidak peduli pada apa pun lagi.
Sekarang ia ada di sini. Di tempat yang asing. Dengan seseorang yang asing.
“Nggak usah. Gue bisa sendiri,” tolak Aby saat laki-laki di depannya itu mengulurkan tangan menawarkan bantuan. Tasnya tidak berat. Hanya ada beberapa potong kaus kumal dan celana jeans yang sudah bertahun-tahun ia pakai dan tidak pernah kekecilan sampai saat ini. Aby kemudian duduk di atas sofa, membiarkan pria berpenampilan teramat rapi itu memerhatikannya beberapa saat. Aby sengaja tak meliriknya, menganggapnya tak ada, dan berharap laki-laki itu segera bosan dan meninggalkannya sendiri. Aby baru bisa meletakkan rubik dengan lega saat punggung itu berjalan meninggalkannya.
v
Sepasang mata penuh binar dan senyuman menawan. Sosok berbalut suit biru muda dengan dasi kupu-kupu itu duduk di atas singgasana merah marun dengan aksen ukiran emas yang mencolok. Di bawahnya, ada tulisan yang dicetak besar-besar, ‘KING CLAY’.
“Elo ... seorang bocah ingusan baru aja ngatain lo aneh!” gumam El sambil berkacak pinggang menghadap poster diri yang sengaja ia pasang besar-besar dan nyaris memenuhi sisi kiri dinding kamarnya itu.
Harlan yang sejak tadi duduk di belakang El masih belum bisa berhenti menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. “Kamu kenapa lagi sih? Bukannya seharusnya kamu lega karena Abigail bukan tipikal stalker seperti yang kamu takutkan?”
El mendengus dan langsung berbalik, menghujam kedua mata Harlan dengan tatapan tajam. El sudah membuka mulutnya, bermaksud mengatakan sesuatu, tapi malah berakhir mengucapkan kalimat yang membuat Harlan bengong. “Besok, kirim sepuluh televisi ke Rumah Cinta.”
“Hah?”
“Anak itu jadi kurang ajar karena nggak pernah nonton TV! Harusnya dia tahu siapa gue! Bukannya ngata-ngatain gue aneh!”
“Lantas apa hubungannya dengan mengirimkan TV ke sana? Bukannya Abigail sekarang ada di sini?”
El menggembungkan pipi kirinya dengan menggunakan ujung lidah, kesal. Ya, memang benar apa yang dikatakan Harlan. Toh Abigail sudah ada di apartemen El dan di sini sudah ada televisi besar, yang bahkan ukurannya lebih besar dari meja makan di dapur. Untuk apa repot-repot mengirimkan televisi ke Rumah Cinta? Ah, tapi bagaimanapun juga, harga diri El sudah terlanjur terluka karena bocah itu.
“Mungkin dia memang nggak kenal kamu. Atau, mungkin sama sekali nggak tertarik pada dunia hiburan. Atau, mungkin sebenarnya dia tahu siapa kamu, hanya saja ... dia tidak menyukaimu.”
“Harlan!!” bentak El sengit. Laki-laki itu segera mengacungkan tinjunya ke depan wajah Harlan, persis seperti anak kecil yang habis diganggu oleh teman sebayanya. Harlan yang sudah menduga hal itu akan terjadi segera mengelak dan itu membuat wajah El semakin terlihat kesal. El beranjak mengambil tabletnya kemudian menghempaskan tubuh ke atas sofa besar di sudut kamar. Tak sampai lima menit, suara game yang dimainkan bercampur dengan teriakan-teriakan El membuat ruangan yang hening itu kembali berisik.
Harlan tersenyum tipis. Laki-laki yang sedang bergerak heboh seperti bocah sepuluh tahun di depannya itu sepertinya harus segera berubah. El harus segera berubah menjadi sedikit dewasa. Dan, Harlan berpikir El pasti akan berubah. Entah karena atau untuk Abigail.
v
Aby merasa matanya masih sangat berat saat ia merasakan benda di dalam saku celana jeans-nya bergetar. Tanpa melihat sekelilingnya terlebih dulu, gadis itu lantas buru-buru mengeluarkan benda itu. Aby langsung mendengus saat membaca tulisan di layar monokrom ponselnya.
Pengingat:
Mama janji akan cerita soal Papa.
Pengingat itu dibuat Aby dua bulan yang lalu saat ia bertengkar hebat dengan Joanna, mamanya. Malam itu Aby demam tinggi. Ia berulang kali menghubungi mamanya tapi tidak ada jawaban. Saat jam berdentang duabelas kali, barulah wanita itu kembali bersama laki-laki asing yang sebulan terakhir selalu berada di samping Joanna.
“Abigail, kamu belum tidur?”
Aby yang berdiri sambil menopang tubuhnya ke tembok hanya memandangi Joanna dengan mata berkaca-kaca. Kepalanya nyeri sekali, dia merasa hampir mati, dan ibunya malah pergi berkencan seenaknya.
“Apa Mama udah nggak peduli lagi sama aku?”
“Abigail…” Joanna meletakkan tas tangannya di atas meja dan berjalan mendekat saat ia menyadari wajah Aby terlihat lebih pucat dari biasanya. “Kamu ... sakit?”
Aby menepis tangan Joanna yang hampir menyentuh wajahnya. “Kalau Mama udah enggak mau ngurus aku lagi, kenapa Mama enggak kasih tahu di mana Papa? Papa masih hidup, kan? Aku rela memohon sama laki-laki itu agar dia mau menghidupi aku!”
“Abigail! Bicara apa kamu?”
“Aku capek, Ma. Aku capek lihat hidup Mama yang kayak gini. Mama juga pasti capek kan ngurus aku?”
“Aby….”
“Kenapa Mama biarin aku tetap hidup kalau pada akhirnya harus kayak gini?”
Joanna lalu berjalan mendekati putrinya yang mulai terisak itu. Ia lantas meraih kepala Aby dan memeluknya erat. Itu adalah pelukan pertama mereka selama sepuluh tahun terakhir.
“Maafin Mama. Kasih Mama waktu dua bulan lagi. Mama janji, setelah Mama menyelesaikan urusan Mama dengan Philip, Mama pasti akan cerita tentang Papamu.”
Laki-laki itu Philip. Laki-laki yang membawa Mamanya pergi sehari setelah wanita itu berjanji untuk bercerita tentang ayahnya. Laki-laki yang membuat Mamanya tega meninggalkan Aby di Rumah Cinta untuk mendapatkan orang tua asuh.
Setelah menyurukkan kembali benda tua itu ke tempat semula, Aby kemudian menekan dadanya kuat-kuat. Ia seharusnya tidak berharap sesuatu yang lain akan muncul di layar ponselnya. Ia seharusnya tahu, mamanya tidak akan pernah menghubungi apalagi kembali padanya. Ia seharusnya sadar kalau saat ini mamanya sudah memilih laki-laki itu, bukan dirinya. Aby seharusnya tahu kalau ia tak pantas untuk kecewa dengan semua keputusan yang dibuat mamanya.
Aby duduk dan saat kedua kakinya yang terjuntai menyentuh bulu-bulu karpet lembut itu, ia baru sadar di mana ia berada sekarang. Di sini, di atas sofa. Di apartemen yang dipenuhi dengan foto-foto besar pemiliknya dan berbingkai mahal. Di apartemen dengan cat dan perabotan serba putih yang terlihat begitu asing bagi Aby. Semakin lama Aby memperhatikan isi ruangan itu, Aby merasa semakin terasing.
***
El menyeret sepasang kakinya yang telanjang dengan mata setengah terpejam ke ruang tengah. Ia merasa sesuatu yang asing dan lengket menempel di telapak kakinya. Detik itu juga El segera berjinjit. Sayang, karena kesadarannya belum kembali sepenuhnya, ia berdiri sempoyongan hingga tubuhnya mundur beberapa langkah. Kepalanya kemudian membentur pintu kamar. “Aaaw!!!” El mengusap kuncirannya yang hampir lepas itu kuat-kuat. Benturan itu membuat kepalanya lumayan sakit dan berhasil membuat nyawa El terkumpul sempurna. Saat matanya membulat penuh, mulut El juga menganga lebar. Di tengah terang benderang lampu, ia bisa melihat jelas dua cup mi instan yang berkuah kuning dan menjijikkan tergeletak di atas meja. Karpet bulu yang menjadi alas meja bergeser tak keruan. Sementara cushion sudah jatuh berserakan.Lalu, ada … jejak-jejak kaki besar berwarna cokelat yang mengotori lantai kesayangannya. Lantai marmer yang dipilih oleh El sendiri tiga tahun lalu. Lantai yang harganya lebih
“El, udah jam 12 siang. Shooting dimulai setengah jam lagi dan kamu masih di sini?” Harlan memandangi El yang sedang berbaring di ranjang, membelakanginya. Dua jam yang lalu Harlan menyangka sesuatu yang buruk terjadi saat El menelepon dan berteriak-teriak panik. Harlan sudah membayangkan seorang ABG labil masuk ke apartemen dan melakukan tindakan asusila padanya atau mungkin barang-barang kesayangan El hilang karena perampok. Nyatanya, bocah itu mengamuk karena menemukan ruang tengahnya berantakan, karpet yang terkena tumpahan susu, kakinya yang lengket, dan jejak kaki menjijikkan di mana-mana.“Gue udah menduga bakal kayak gini. Seharusnya dari awal anak itu nggak usah tinggal di sini! Sekarang apa? Dia bahkan menghilang setelah membuat kekacauan di rumah gue! Karpet itu....”“Karpetnya kan udah dibawa ke laundry. Sofa dan lantai juga udah dibersihkan.”El memutar kepala dan tetap memeluk bantal juga guling. “Ini masih hari pertama, Lan. Gimana besok? Atau besoknya lagi? Jangan-jang
Aby sengaja berjalan dengan langkah super cepat begitu ia menyadari anak laki-laki aneh berseragam SMA itu masih berada di balik punggungnya. Cowok itu bersiul riang sambil menggoyang-goyangkan plastik putih di tangannya ke sana-sini. Langkah kakinya berirama. Satu, dua, satu, dua. Terdengar lambat, tapi tetap bisa menyamai langkah Aby. Mungkin karena kakinya yang kelewat panjang. “Beneran kamu enggak mau susunya?” tanya suara itu lagi. Anak itu begitu menjengkelkan. Dia laki-laki tapi kenapa cerewet sekali? Di halte bus tadi ia bahkan mendadak muncul di depan wajah Aby dan langsung mengulurkan kantong berisi makanan, seolah Aby adalah anak jalanan yang sedang kelaparan dan menunggu seseorang datang menolongnya. Aby memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, berbalik sekilas, dan memberikan tatapan sinis pada anak kurang kerjaan itu. Aby sempat berusaha membaca badge nama di dada kirinya, namun karena durasi pandang yang terlalu cepat itu ia hanya bisa mel
Tombol itu ditekan El kuat-kuat. Berulang-ulang hingga laki-laki yang memegang pedang di layar televisi itu terkapar di bawah kaki karakter pria kekar yang dimainkan El. El menarik napas panjang lalu melemparkan stik di tangannya ke atas meja. Ia kemudian berbaring di sofa, membolak-balikkan tubuh terus menerus selama lima menit. El lalu bangkit, menyeret langkah dengan malas, dan mengambil sebatang cokelat dari dalam lemari es. Ia duduk di atas meja makan sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berbalut slipper. Suara benda keras yang dipatahkan dan dikunyah-kunyah bercampur decap di mulutnya. Setelah memutuskan untuk pergi dari lokasi shooting tadi, El sungguh-sungguh pulang. Ia tidak pernah melarikan diri dari pekerjaan seperti ini. Sehingga ia sama sekali tidak tahu tempat apa yang bisa dikunjungi untuk melepaskan penatnya. Lagi pula, El ingin sendiri. Pergi ke tempat ramai akan membuat gadis-gadis labil mengejarnya dan, tentu saja, malah membuat kepala El
El memijat batang hidungnya yang tinggi setelah meletakkan kembali tablet ke atas meja kerjanya. Email dari sebuah rumah produksi baru saja ia buka. Tawaran film layar lebar lagi. Yang ketiga dalam bulan ini. Dua judul yang sebelumnya ditolak mentah-mentah oleh El karena tidak sesuai dengan image-nya. Tapi, email barusan membuat El sedikit goyah. Kali ini Sutarjo Pramudya, seorang sutradara muda yang beberapa bulan lalu mendapatkan penghargaan dari sebuah ajang bergengsi di luar negeri. Film pendek debutannya menang dalam kategori ‘Penyutradaraan Terbaik’. El sudah menonton film itu dan sepertinya masa depan sutradara tersebut cukup menjanjikan. Sejujurnya, meskipun belum bisa memberi keputusan, El menyukai ide cerita yang mereka tawarkan. El melirik jam dinding yang tergantung di depan pintu. Sudah lewat tengah malam. Harlan sudah pulang setelah mengantar makanan ke dalam kamar Aby. El sendiri sama sekali belum keluar dari kamar dan tidak berminat menemui anak
Laki-laki itu masuk ke kamar Aby dengan senyuman lebar. Kemejanya yang disetrika kelewat rapi membuat lipatannya kentara dan tampak tajam sekali. Dan, entah mengapa warna peach itu terlihat berkilauan di mata Aby. Ia duduk di pinggir ranjang tanpa meminta izin, kemudian meletakkan nampan berisi bubur ayam hangat dan susu cokelat yang masih berasap. “Kamu cuman minum susu cokelat, kan?” Aby tidak menjawab. Kepalanya masih berdenyut-denyut. Laki-laki terlihat terlalu ramah dan itu menakutkan bagi Aby. “Bisa makan sendiri? Atau....” “Enggak usah. Aku bisa sendiri kok,” tahan Aby ketika melihat tangan Harlan hampir menyentuh ujung sendok. Harlan tersenyum. “Aku mau antar El dulu ke lokasi shooting. Obatnya jangan lupa diminum, ya? El pesan jangan ke mana-mana dulu. Kamu tau kan El nggak suka kalau kamu pergi seenaknya?” Aby mengangguk sekali kemudian mengambil gelas berisi susu dan meneguknya untuk menyembunyikan rasa
Musik klasik itu mengalun lembut melalui piano yang dimainkan di atas stage kecil yang berjarak tujuh meter dari meja El. Pianis pria yang mengenakan suit hitam lengkap dengan sepatu kilatnya itu memainkan salah satu gubahan Beethoven dengan jari-jarinya yang lihai. El sejak tadi duduk di bangkunya dengan gelisah. Tak menyentuh sedikit pun minuman di depannya. Beberapa artis junior yang berada di ruangan yang sama dengannya itu tampak terus-terusan memerhatikan El. El memang tak terlalu dekat artis lain. Itu sebabnya ke mana pun El pergi, ia selalu saja menjadi pusat perhatian. El tahu sebagian di antara mereka mengagumi El sebagai aktor, tapi tetap saja tatapan-tatapan itu membuatnya risih. “Hai, Elden!” Orang yang sejak tadi ia tunggu di acara itu akhirnya muncul juga. Sutarjo Pramudya. Sutradara itu menyebut acara ini sebagai perayaan kesuksesan film pertamanya kemarin. El sudah menebak kalau di akhir acara ini laki-laki itu pasti akan membombardir El untuk memb
Saat pertama kali mengangsurkan kotak itu pada Aby, sejujurnya Harlan merasa sedikit cemas. Ia pikir Aby akan meletakkan kotak berisi seragam dan perlengkapan sekolah itu di ruang tengah begitu saja. Tapi, saat gadis itu melongok ke dalam dan membawa kotak itu masuk ke kamarnya, Harlan merasa lega. Diam-diam ia mengikuti langkah gadis itu. Aby tampak sedikit terkejut ketika mendapati Harlan berdiri di balik punggungnya saat ia baru saja meletakkan kotak pemberian Harlan di atas ranjang. Karena gadis itu tidak mengatakan apa-apa setelah melihatnya, Harlan segera mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan. “Di kamar ini masih banyak barang-barangku.” Aby hanya menoleh sekilas kemudian duduk di kursi kecil yang entah sejak kapan ada di dekat jendela. “Biasanya kamar ini aku pakai kalau jadwal El sedang padat. Dia sering lupa banyak hal dan kalau sudah capek akan susah dibangunkan. Makanya, aku tidur di sini.” “Aaah. Ya, nggak apa-apa,” j