Share

Something Called Happiness

Aby sengaja berjalan dengan langkah super cepat begitu ia menyadari anak laki-laki aneh berseragam SMA itu masih berada di balik punggungnya. Cowok itu bersiul riang sambil menggoyang-goyangkan plastik putih di tangannya ke sana-sini. Langkah kakinya berirama. Satu, dua, satu, dua. Terdengar lambat, tapi tetap bisa menyamai langkah Aby. Mungkin karena kakinya yang kelewat panjang.

            “Beneran kamu enggak mau susunya?” tanya suara itu lagi. Anak itu begitu menjengkelkan. Dia laki-laki tapi kenapa cerewet sekali? Di halte bus tadi ia bahkan mendadak muncul di depan wajah Aby dan langsung mengulurkan kantong berisi makanan, seolah Aby adalah anak jalanan yang sedang kelaparan dan menunggu seseorang datang menolongnya.

            Aby memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, berbalik sekilas, dan memberikan tatapan sinis pada anak kurang kerjaan itu. Aby sempat berusaha membaca badge nama di dada kirinya, namun karena durasi pandang yang terlalu cepat itu ia hanya bisa melihat dua huruf saja. As....

            “Askar Dzakwan!” serunya cepat. Ia kemudian tertawa kecil. “Makanya, jalannya jangan cepet-cepet. Jadinya nggak bisa baca badge namaku, kan?”

            Aby tidak menyahut. Mendadak ia menyesal tidak membawa headset-nya ke sini. Ia sudah terlalu terbiasa dengan hening yang diciptakan benda hitam itu dan sekarang suara satu orang yang sama dan terus-menerus itu membuat kupingnya berdenging.

            “Askar Dzakwan. Askar itu tentara. Dzakwan itu cerdas. Tentara yang cerdas!” Lagi-lagi ia bicara tanpa diminta. “Kalau kamu? Nama kamu siapa?” Askar masih terus menggoyangkan benda di tangannya sampai ia sadar kalau gadis di depannya mendadak berhenti. Askar hampir saja menabrak Aby yang sudah berjongkok sambil meringis kesakitan.

            Askar buru-buru meletakkan plastik yang ada di tangannya dan ikut-ikutan berjongkok di depan Aby. Dalam jarak sedekat itu, Askar bisa melihat dengan jelas kaki kanan Aby yang kotor dengan warna merah yang … “Kaki kamu berdarah.” Tangan Askar hampir saja menyentuh punggung kaki Aby kalau gadis itu tidak buru-buru menariknya.

            “Aaaw!” Aby mengatupkan rahangnya kuat-kuat sambil berharap agar rasa perih luar biasa yang menjalar di kakinya ini segera menghilang. Ini semua karena slipper sialan yang hilang itu.

            “Kamu kena kaca.” Askar terlihat mulai panik. Ia sibuk menoleh ke kanan-kiri, berusaha menemukan sesuatu yang bisa menolong Aby.

            “Nggak apa-apa,” sahut Aby dingin.

            “Ini lukanya lebar. Darahnya banyak.”

            “Gue bilang, enggak apa-apa,” Aby bersikukuh. Ia benci dengan cara Askar menatapnya. Tatapan kasihan itu membuat Aby merasa ... lemah.

            “Tunggu di sini,” Askar menatap Aby serius, berusaha meminta Aby untuk menuruti kata-katanya dengan tatapan itu. “Tunggu di sini ... Abigail,” pesannya sebelum menghilang dari pandangan Aby.

            Aby tercenung. Anak itu ... baru saja memanggil namanya? Bagaimana dia bisa tahu?

            Aby benar-benar sudah buntu. Bahkan untuk berpikir tentang hal yang  paling sederhana sekali pun. Misalnya, tentang bordiran benang merah tua yang ada di bagian samping capuchon yang dipakainya, yang membentuk kata ‘Abigail’.

v

Sudah berhenti sekolah sejak tahun lalu

Tidak begitu menyukai cahaya dan warna terang

Tidak suka makanan manis

Tidak bisa minum susu kecuali rasa cokelat

Tidak banyak bicara

Tertutup dan kadang sinis

Suka mendengarkan musik dengan headset hitam kesayangannya

Suka bermain rubik dan puzzle

Suka menyendiri

Memiliki riwayat sakit mag dan sesak napas yang cukup parah

Harlan meletakkan catatan kecil itu di atas dashboard sambil tidak berhenti berpikir tentang anak bernama Abigail. Semakin lama, semua ini semakin terlihat aneh. Bunda Bayu menitipkan Abigail dengan sebuah perjanjian tak masuk akal,  sedikit keterlaluan, dan tidak adil untuk El. Sekarang, ada catatan tambahan untuk El, seolah-olah El adalah baby sitter yang harus memerhatikan segala keperluan anak itu dan tidak boleh melanggarnya? Kalau El melihat semua ini sekarang, bocah itu pasti akan bertambah stres.

Baru saja Harlan menerima telepon dari kru sinetron terbaru El, Kardi. Dia bilang El minggat dari lokasi shooting dan itu membuat Sulton, sutradara yang menggarap sinetron itu, murka. Sepertinya, masalah ini benar-benar berat sampai harus membuat El melarikan diri dari pekerjaannya.

Harlan menyalakan mesin mobil sambil menerka-nerka ke mana perginya Abigail. Setelah semua kekacauan yang dibuatnya tadi pagi, gadis itu sama sekali belum memperlihatkan batang hidungnya. Harlan tidak takut bocah itu akan tersesat karena Harlan sudah meninggalkan nomor ponselnya dan password apartemen El saat mereka keluar dari kantor Hadian Munir kemarin. Harlan hanya sedikit khawatir kalau sesuatu yang buruk menimpa Abigail. Gadis itu punya penyakit asma dan mag. Bagaimana kalau....

Aaah ... Harlan segera menepis semua firasat buruknya dan bergegas menekan pedal gasnya perlahan. Mungkin ia harus kembali ke jalanan di sekitar apartemen El. Mungkin saja Abigail sedang berkeliling. Ya. Tidak akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi pada Abigail. Tidak boleh.

v

            “Udah,” Askar tersenyum, kemudian merapatkan sekali lagi perban yang meliliti kaki Aby. Untung luka di kakinya tidak terlalu lebar. Askar langsung membersihkannya dengan alkohol dan mengobatinya dengan salep sebelum memasang perban. Cowok itu kemudian melepas ransel dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sepasang sandal berwarna merah muda dengan kepala Hello Kitty besar yang menempel di atasnya. Askar meletakkan sandal itu di dekat kaki Aby.

            Aby menautkan kedua alisnya dan menjauhkan kedua kakinya dari sana. “Apa-apaan ini?”

            “Sandal. Kenapa?”

            “Nggak usah,” Aby berusaha berdiri sampai kemudian ia sadar kakinya masih terlalu sakit untuk berjalan, apalagi tanpa alas apa pun. Tapi, sandal itu terlihat mengerikan dan Aby masih berpikir ulang untuk memakainya.

            Askar tidak mengatakan apa pun lagi tentang sandal itu. Ia kemudian duduk di sebelah Aby dengan plastik obat yang masih dipegangnya di tangan kiri. “Abigail….”

            Kali ini Aby tidak mau tertipu karena kebodohannya lagi. Ia tahu Askar membaca tulisan dari benang yang terukir di capuchon-nya. Kenapa tadi dia bisa berpikir yang aneh-aneh?

            “Nama kamu bagus. Artinya pasti juga bagus.”

            Mendengar kalimat barusan, Aby refleks menatap Askar tajam. Kali ini, setelah sekian lama, ia mendengar kata-kata itu lagi.

            “Namanya Abigail. Bagus. Artinya juga pasti bagus.”

            “Abigail itu artinya ... pembawa kebahagiaan.”

v

            “Abigail itu artinya pembawa kebahagiaan.

            Aby menatap wajah sembab mamanya dari balik kaca transparan. Joanna berulang kali menyeka air mata yang membanjiri wajahnya. Aby tahu wanita itu sudah kelewat lelah terus-terusan membawanya ke rumah sakit selama ini. Penghasilannya sebagai seorang karyawan rendahan sudah terkuras habis. Aby tahu wanita itu menyimpan sakit. Mungkin juga sesal. Sesal karena sudah mempertahankan sesuatu yang dia kira bisa membuatnya bahagia, tapi kenyataan yang terjadi malah sebaliknya.

            Aby yang terbaring di atas ranjang dengan selang infus dan gerakan dada yang naik turun tak teratur itu pun membuang muka. Tak ingin melihat lagi wajah sendu itu. Juga tidak ingin bertatapan dengan mata-mata yang iba padanya. Aby benci menjadi lemah. Aby ingin kuat. Setidaknya untuk dirinya sendiri.

            “Daya tahan tubuh Aby memang lemah. Makanya, dia sakit-sakitan terus sejak kecil.”

            “Mungkin karena aku yang nggak bisa menjaga dia dengan baik.”

            “Abigail itu artinya pembawa kebahagiaan….

           

Joanna menatap bayi mungil merah di dalam boks dengan mata berkaca-kaca. Ia masih tidak percaya kalau keputusan berat itu sudah diambilnya. Keputusan untuk tetap melahirkan anak ini. Tetap berusaha sekuat tenaga untuk membesarkannya tanpa berpikir kalau tahun-tahun yang akan ia lewati selanjutnya akan menjadi masa-masa yang sulit. Bukan hanya bagi dirinya. Tapi juga bagi bayi kecil itu.

           

“Abigail itu artinya pembawa kebahagiaan….

            Pagi itu Joanna pulang ke rumah dengan wajah penuh memar. Ia tidak mengatakan apa pun. Ia bahkan tidak memedulikan Aby yang berusaha bernapas dengan normal dan mengajak dadanya berkompromi untuk tidak memberinya rasa sakit. Ia ingin memeluk mamanya. Tapi, wanita itu acuh. Ia hanya menyerahkan selembar amplop cokelat pada Aby.

            “Ini uang untuk beli obat. Resep yang dikasih dokter kemarin masih ada, kan?”

            Aby mengangguk lemah.

            “Mama pergi dulu.”

            Setelah mengganti blusnya dengan seragam kerja, Joanna kemudian pergi. Aby tidak tahu kemana ibunya pergi malam itu dan apa yang terjadi padanya. Tiga hari kemudian, seorang laki-laki bertubuh tambun dan berjas hitam mengantarkan mamanya pulang.

            Aby mencoba menutup telinga sambil meringkuk di depan lemari pakaian. Tapi, dinding itu terlalu tipis untuk membuat Aby tidak mendengar suara bentak-bentakan itu.

            “Aku nggak mungkin menceraikan istriku! Aku kan sudah bilang!”

            “Tapi aku nggak bisa hidup terus-terusan kayak gini, Mas! Aku dan Aby juga butuh kepastian!”

            “Bukannya aku sudah kasih kamu uang? Siapa yang suruh kamu melahirkan anak yang sakit-sakitan itu? Kalau anak itu sehat, setidaknya hidup kamu akan jadi lebih mudah, kan?”

            “Mas….”

            “Kalau kamu mau memasukkan anak itu ke panti asuhan, aku akan mempertimbangkan keputusanku untuk menikahimu.”

            “Enggak! Aku nggak mungkin menitipkan Aby ke panti asuhan! Aku ibunya dan aku masih hidup!” Joanna tampak berusaha menantang mata laki-laki itu. “Aku kira Mas melakukan semua ini karena Mas juga menyayangi Aby,” lirih Joanna dengan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.

 Bukannya luluh, pria itu malah berkacak pinggang dan meludah sembarangan. “Kamu kira aku donatur? Konglomerat yang merawat wanita dan anak-anak terlantar seperti kamu dan anakmu?”

“Bramantyo!” bentak Joanna dengan suara yang ditegar-tegarkan. Ia hampir berhasil mendaratkan sebuah tamparan ke wajah penuh bekas cukuran itu kalau saja tangan besarnya tak berhasil menahan, kemudian balas mendorong tubuh kecil Joanna hingga terjerembap ke jalanan.

Dengan bertopang pada mobil hitam di sebelahnya, Joanna bangkit dan kelengahan yang berlangsung hanya beberapa detik itu berhasil membuatnya meninju dada laki-laki itu tiga kali. Sayang, justru tamparan dan pukulan bertubi-tubi yang kemudian diterima Joanna. Ini membuat matanya membiru, pipinya memerah, dan bibirnya berdarah.

Aby yang tadi bersusah payah berdiri untuk melihat Joanna, akhirnya merosot terduduk di depan jendela dengan tangan masih menggenggam erat ujung kain gorden.

“Abigail itu artinya pembawa kebahagiaan….

           

Beberapa menit kemudian Joanna masuk dengan tubuh terhuyung dan kepalanya hampir menabrak sudut meja.

Aby mengepalkan tangannya kuat-kuat melihat mamanya.

Sebenarnya kebahagiaan apa yang diharapkan Joanna darinya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status