“El, udah jam 12 siang. Shooting dimulai setengah jam lagi dan kamu masih di sini?” Harlan memandangi El yang sedang berbaring di ranjang, membelakanginya. Dua jam yang lalu Harlan menyangka sesuatu yang buruk terjadi saat El menelepon dan berteriak-teriak panik. Harlan sudah membayangkan seorang ABG labil masuk ke apartemen dan melakukan tindakan asusila padanya atau mungkin barang-barang kesayangan El hilang karena perampok. Nyatanya, bocah itu mengamuk karena menemukan ruang tengahnya berantakan, karpet yang terkena tumpahan susu, kakinya yang lengket, dan jejak kaki menjijikkan di mana-mana.
“Gue udah menduga bakal kayak gini. Seharusnya dari awal anak itu nggak usah tinggal di sini! Sekarang apa? Dia bahkan menghilang setelah membuat kekacauan di rumah gue! Karpet itu....”
“Karpetnya kan udah dibawa ke laundry. Sofa dan lantai juga udah dibersihkan.”
El memutar kepala dan tetap memeluk bantal juga guling. “Ini masih hari pertama, Lan. Gimana besok? Atau besoknya lagi? Jangan-jangan, dia bakal ngehancurin seisi apartemen ini. Dan, sekarang, kemana coba anak itu?”
Mendengar pertanyaan El barusan, Harlan langsung menepuk jidatnya pelan. Ya, terus-terusan membujuk El sepertinya membuat Harlan lupa tentang Abigail. Begitu teringat tentang Abigail, Harlan otomatis juga teringat pada surat perjanjian yang ditandatangani El kemarin dan beberapa pesan penting yang disampaikan Hadian Munir padanya.
“Abigail ... dia nggak bilang sama kamu dia ke mana?” tanya Harlan panik. Kekesalan El yang belum hilang ternyata benar-benar membuatnya tak peduli. El duduk di tepi ranjang dan mencari ponselnya di balik selimut.
Harlan menarik napas panjang. “El.…”
“Hmm?”
Harlan berharap El tidak akan menjawab ‘enggak’ untuk pertanyaan yang akan dilontarkannya beberapa saat lagi. “Kamu … nggak baca seluruh isi perjanjian itu?”
“Perjanjian apa?” El yang sudah menemukan benda yang dicarinya mulai sibuk menggerakkan jarinya di atas layar touchscreen itu.
“Jangan bilang ... kamu nggak baca surat perjanjian yang diserahkan Hadian Munir kemarin?” Harlan menatap El penuh harap. Ia benar-benar tidak ingin El terkejut karena sesuatu yang ia lakukan sendiri.
“Enggak. Kenapa?” El masih cuek saja, melirik Harlan sebentar, kemudian segera tersenyum sumringah pada sesuatu di layar ponselnya.
“Dan, kamu menandatanganinya gitu aja?”
El mulai terusik dengan nada bicara Harlan yang terdengar sangat serius. Hampir semenit mereka saling pandang sampai El tersadar tentang kebodohan yang sudah dilakukannya. “Mana ... suratnya?”
v
El menatap nanar tablet milik Harlan di tangannya. Perlahan tapi pasti, tangannya merosot, menjatuhkan benda di tangannya itu ke ranjang.
SURAT PERJANJIAN
Pihak Pertama,
Nama : Tri Bayu Adyaningtyas
Umur : 66 tahun
Alamat : Jalan Mawar Putih No. 43
Dengan ini menyerahkan hak asuh atas Abigail kepada Pihak Kedua
Nama : Elden Alexander Clay
Alamat : Jalan Mekar Wangi II
Setelah ditandatanganinya perjanjian ini, segala hal yang berkaitan dengan Abigail akan menjadi tanggung jawab pihak kedua sepenuhnya. Termasuk hal-hal di bawah ini:
Abigail tidak diperkenankan meninggalkan rumah atau tinggal di rumah yang berbeda dengan pihak kedua
Abigail wajib meneruskan sekolah dengan pengawasan pihak kedua
Pihak kedua akan menjadi wali bagi Abigail untuk semua urusan
Apabila terjadi sesuatu yang buruk pada Abigail, maka semua akan menjadi tanggung jawab pihak kedua
Pihak kedua wajib memenuhi segala keinginan Abigail selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan poin-poin di atas
Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, secara otomatis, Abigail berhak atas segala aset milik pihak kedua.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian ini, maka pihak kedua siap menghadapi tuntutan secara hukum.
Pihak Pertama, Bayu Pihak Kedua, El
“Ini....” El sama sekali tidak bisa berkata apa-apa lagi, sementara Harlan terus menatapnya prihatin. El tahu ia memang berkewajiban memenuhi permintaan Bunda Bayu. El juga tahu kalau ia sudah terikat perjanjian sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di Rumah Cinta. El hanya tidak menyangka kalau isi perjanjian yang dibuat oleh ibu asuhnya itu akan semengerikan ini.
“Kalau kamu membaca sebelum menandatanganinya, mungkin kita masih bisa membicarakannya kembali dengan Bunda Bayu.”
El mendesah berat, kemudian mengacak-acak rambutnya kasar. Sudah lama sekali sejak ia terakhir kali datang ke sana. Kalau dihitung dengan perkiraan, mungkin sudah hampir sembilan tahun. Tanggal berapa, El tidak ingat. Tapi yang pasti hari itu adalah hari pertama El mendapatkan peran sebagai figuran di sebuah sinetron. Kunjungan itu bukanlah kunjungan spesial. Hanya sekadar meminta restu dari Bunda Bayu. Setelahnya, El nyaris tidak pernah menghubungi Bunda Bayu lagi. Segala hal yang berkaitan dengan sumbangan berkala untuk Rumah Cinta sudah diatur oleh manajemen dan El tidak pernah memantaunya sendiri. Sekarang, rasanya, El sama sekali tidak punya muka untuk sekedar meminta ‘keringanan’ atas apa yang sudah diminta Bunda Bayu padanya.
Mata El menerawang. Segala ingatan yang berputar-putar di kepalanya membuatnya berpikir kembali, apa ia pantas memprotes semua itu?
v
“Elden, mau makan apa?” Wanita anggun dengan rambut tersanggul rapi itu ikut berjongkok di depan bocah yang duduk memeluk lutut dengan wajah ketakutan di atas ranjang. Saat wanita itu mencoba mendekat, anak berambut pirang itu terus berusaha menjauh. Menyudut sendiri di ruangan.
Anak itu tidak menjawab. Hanya menggeleng berulang kali. Bukan karena memar-memar di sekitar wajahnya terlalu menyakitkan untuk bicara, tapi bocah itu sama sekali tidak bisa bicara. Usianya hampir tujuh tahun dan tidak ada sepatah kata pun yang bisa diucapkannya selain ‘aaa’, ‘nggg’, dan gumaman tak jelas lainnya.
“Perut Elden masih sakit?” Tangan wanita itu terulur, berusaha menggapai puncak kepala Elden. Ia merasa hatinya begitu terenyuh saat mata Elden bertemu dengan matanya. Mata hazel yang indah, namun tidak bisa menyembunyikan kesepian yang teramat dalam.
“Mungkin Elden harus diterapi lebih lanjut, Bun. Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua angkatnya benar-benar membuat mentalnya tidak normal dan perkembangan psikologisnya terganggu.”
Wanita yang dipanggil Bunda Bayu itu kemudian bangkit dengan gerakan sangat pelan. Ia membalikkan tubuh kemudian menyeka air yang menggenangi sudut matanya. Ada apa dengan orang tua anak-anak ini? Mereka sama sekali tidak meminta untuk dilahirkan. Lalu, kenapa mereka berhak atas semua penderitaan ini?
“Untuk apa mereka mengadopsi anak kalau pada akhirnya malah menghancurkan anak ini? Untuk apa anak kalau perlakuan mereka lebih kejam dari perlakuan mereka terhadap binatang peliharaan. Lihat….” Bunda Bayu tidak sanggup meneruskan lagi kata-katanya. Luka-luka di sekujur tubuh Elden sudah menjadi jawabannya.
Wanita itu menatap sekali lagi sepasang mata hazel El dengan lembut. Ia tidak berusaha mengatakan apa pun lagi pada Elden. Tidak berusaha menyentuh tangan mungil yang gemetaran. Hanya lewat mata itu, tapi Elden masih ingat dengan sangat jelas bahwa wanita di depannya itu berjanji akan terus melindunginya. Lewat tatapannya, wanita itu berjanji untuk tidak membiarkan Elden terluka lagi. Dengan susah payah, Elden kemudian memercayai itu.
“El!”
El tersentak. Botol kaca di tangannya hampir saja terjatuh. Ia baru saja selesai mengganti pakaian saat asisten sutradara itu berjalan mendekat ke arahnya dengan wajah masam. El tidak mengatakan apa-apa, hanya menegakkan punggung dan menaikkan sebelah alisnya.
“Kamu kenapa hari ini? Hari ini adalah hari terbanyak kamu melakukan NG[1]? Kamu lihat kan muka Pak Sulton hari ini? Dia bahkan nggak ngasih pujian apa pun sama kamu seperti biasa.”
El meringis. Hari ini ia pergi tanpa Harlan dan pikirannya benar-benar kacau. Ada banyak hal yang memaksa saraf-saraf di kepalanya bekerja lebih keras dari biasanya. Ada banyak hal yang mengusik El dan membuat semua konsentrasi yang selama ini selalu ia jaga dengan baik hancur begitu saja. Dua hari lagi sinetron ini akan tayang dan mereka masih belum menyelesaikan setengah dari skrip. El benar-benar merasa benci pada keadaan ini, juga pada dirinya sendiri. “Maaf.” Hanya itu yang akhirnya bisa ia ucapkan, walaupun El sendiri tidak benar-benar memaknainya.
Kardi, si asisten sutradara yang sudah beberapa kali bekerja dengan El dalam satu proyek itu hanya angkat bahu. Ia sudah tahu kalau El adalah seorang aktor pemilih, banyak omong, dan terkadang tindakannya yang kekanak-kanakan sering kali membuat para staf jengkel. Tapi, tetap saja, soal kualitas akting, Elden Clay masih berada di tingkat atas dan sampai sekarang belum ada yang bisa membantahnya. Makanya, banyak orang yang lebih memilih sabar bekerja dengan El daripada harus mengeluh tentang sifat menyebalkan cowok itu.
“Hari ini saya ingin break dulu. Saya mau pulang,” ucap El. Kardi yang tadinya sudah lega karena berpikir El akan segera melanjutkan shooting dengan baik (karena ia baru saja mengatakan maaf), langsung menahan El yang hampir berdiri.
“Pulang?”
El tidak menyahut. Ia hanya melihat dengan ekor matanya kalau Pak Sulton sedang membuat isyarat-isyarat pada Kardi untuk melarangnya pergi. El memang sering membuat permintaan aneh pada staf, tapi pergi di tengah-tengah shooting adalah hal yang baru.
“Dua hari lagi episode ini mau tayang, El. Kamu mana bisa begini.”
“Daripada saya membuang waktu kalian untuk sesuatu yang pada akhirnya harus diulang-ulang, lebih baik kalian kasih saya waktu sekarang untuk istirahat.” El langsung menyambar tas di atas meja yang ada di depannya, kemudian berjalan dengan langkah lebar-lebar. Ia masih bisa mendengar suara Kardi yang mengumpat dan Pak Sulton yang marah-marah dengan pengeras suara di tangannya. El sudah tidak peduli lagi. Kali ini ia benar-benar ingin sendirian.
***
[1] No Good = Adegan salah ketika shooting
Aby sengaja berjalan dengan langkah super cepat begitu ia menyadari anak laki-laki aneh berseragam SMA itu masih berada di balik punggungnya. Cowok itu bersiul riang sambil menggoyang-goyangkan plastik putih di tangannya ke sana-sini. Langkah kakinya berirama. Satu, dua, satu, dua. Terdengar lambat, tapi tetap bisa menyamai langkah Aby. Mungkin karena kakinya yang kelewat panjang. “Beneran kamu enggak mau susunya?” tanya suara itu lagi. Anak itu begitu menjengkelkan. Dia laki-laki tapi kenapa cerewet sekali? Di halte bus tadi ia bahkan mendadak muncul di depan wajah Aby dan langsung mengulurkan kantong berisi makanan, seolah Aby adalah anak jalanan yang sedang kelaparan dan menunggu seseorang datang menolongnya. Aby memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, berbalik sekilas, dan memberikan tatapan sinis pada anak kurang kerjaan itu. Aby sempat berusaha membaca badge nama di dada kirinya, namun karena durasi pandang yang terlalu cepat itu ia hanya bisa mel
Tombol itu ditekan El kuat-kuat. Berulang-ulang hingga laki-laki yang memegang pedang di layar televisi itu terkapar di bawah kaki karakter pria kekar yang dimainkan El. El menarik napas panjang lalu melemparkan stik di tangannya ke atas meja. Ia kemudian berbaring di sofa, membolak-balikkan tubuh terus menerus selama lima menit. El lalu bangkit, menyeret langkah dengan malas, dan mengambil sebatang cokelat dari dalam lemari es. Ia duduk di atas meja makan sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berbalut slipper. Suara benda keras yang dipatahkan dan dikunyah-kunyah bercampur decap di mulutnya. Setelah memutuskan untuk pergi dari lokasi shooting tadi, El sungguh-sungguh pulang. Ia tidak pernah melarikan diri dari pekerjaan seperti ini. Sehingga ia sama sekali tidak tahu tempat apa yang bisa dikunjungi untuk melepaskan penatnya. Lagi pula, El ingin sendiri. Pergi ke tempat ramai akan membuat gadis-gadis labil mengejarnya dan, tentu saja, malah membuat kepala El
El memijat batang hidungnya yang tinggi setelah meletakkan kembali tablet ke atas meja kerjanya. Email dari sebuah rumah produksi baru saja ia buka. Tawaran film layar lebar lagi. Yang ketiga dalam bulan ini. Dua judul yang sebelumnya ditolak mentah-mentah oleh El karena tidak sesuai dengan image-nya. Tapi, email barusan membuat El sedikit goyah. Kali ini Sutarjo Pramudya, seorang sutradara muda yang beberapa bulan lalu mendapatkan penghargaan dari sebuah ajang bergengsi di luar negeri. Film pendek debutannya menang dalam kategori ‘Penyutradaraan Terbaik’. El sudah menonton film itu dan sepertinya masa depan sutradara tersebut cukup menjanjikan. Sejujurnya, meskipun belum bisa memberi keputusan, El menyukai ide cerita yang mereka tawarkan. El melirik jam dinding yang tergantung di depan pintu. Sudah lewat tengah malam. Harlan sudah pulang setelah mengantar makanan ke dalam kamar Aby. El sendiri sama sekali belum keluar dari kamar dan tidak berminat menemui anak
Laki-laki itu masuk ke kamar Aby dengan senyuman lebar. Kemejanya yang disetrika kelewat rapi membuat lipatannya kentara dan tampak tajam sekali. Dan, entah mengapa warna peach itu terlihat berkilauan di mata Aby. Ia duduk di pinggir ranjang tanpa meminta izin, kemudian meletakkan nampan berisi bubur ayam hangat dan susu cokelat yang masih berasap. “Kamu cuman minum susu cokelat, kan?” Aby tidak menjawab. Kepalanya masih berdenyut-denyut. Laki-laki terlihat terlalu ramah dan itu menakutkan bagi Aby. “Bisa makan sendiri? Atau....” “Enggak usah. Aku bisa sendiri kok,” tahan Aby ketika melihat tangan Harlan hampir menyentuh ujung sendok. Harlan tersenyum. “Aku mau antar El dulu ke lokasi shooting. Obatnya jangan lupa diminum, ya? El pesan jangan ke mana-mana dulu. Kamu tau kan El nggak suka kalau kamu pergi seenaknya?” Aby mengangguk sekali kemudian mengambil gelas berisi susu dan meneguknya untuk menyembunyikan rasa
Musik klasik itu mengalun lembut melalui piano yang dimainkan di atas stage kecil yang berjarak tujuh meter dari meja El. Pianis pria yang mengenakan suit hitam lengkap dengan sepatu kilatnya itu memainkan salah satu gubahan Beethoven dengan jari-jarinya yang lihai. El sejak tadi duduk di bangkunya dengan gelisah. Tak menyentuh sedikit pun minuman di depannya. Beberapa artis junior yang berada di ruangan yang sama dengannya itu tampak terus-terusan memerhatikan El. El memang tak terlalu dekat artis lain. Itu sebabnya ke mana pun El pergi, ia selalu saja menjadi pusat perhatian. El tahu sebagian di antara mereka mengagumi El sebagai aktor, tapi tetap saja tatapan-tatapan itu membuatnya risih. “Hai, Elden!” Orang yang sejak tadi ia tunggu di acara itu akhirnya muncul juga. Sutarjo Pramudya. Sutradara itu menyebut acara ini sebagai perayaan kesuksesan film pertamanya kemarin. El sudah menebak kalau di akhir acara ini laki-laki itu pasti akan membombardir El untuk memb
Saat pertama kali mengangsurkan kotak itu pada Aby, sejujurnya Harlan merasa sedikit cemas. Ia pikir Aby akan meletakkan kotak berisi seragam dan perlengkapan sekolah itu di ruang tengah begitu saja. Tapi, saat gadis itu melongok ke dalam dan membawa kotak itu masuk ke kamarnya, Harlan merasa lega. Diam-diam ia mengikuti langkah gadis itu. Aby tampak sedikit terkejut ketika mendapati Harlan berdiri di balik punggungnya saat ia baru saja meletakkan kotak pemberian Harlan di atas ranjang. Karena gadis itu tidak mengatakan apa-apa setelah melihatnya, Harlan segera mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan. “Di kamar ini masih banyak barang-barangku.” Aby hanya menoleh sekilas kemudian duduk di kursi kecil yang entah sejak kapan ada di dekat jendela. “Biasanya kamar ini aku pakai kalau jadwal El sedang padat. Dia sering lupa banyak hal dan kalau sudah capek akan susah dibangunkan. Makanya, aku tidur di sini.” “Aaah. Ya, nggak apa-apa,” j
Dasar bodoh. Aby tersenyum samar sebelum ia masuk ke dalam ruang kelas. Askar. Cowok itu melompat-lompat dan melambai-lambai dengan bodohnya di tangga tadi. Untung saja dia tidak terpeleset. Kalau iya, mungkin saja guru sangar dengan kumis tebal ala Pak Raden di samping Aby ini akan segera menghukumnya. Ruang kelas dengan AC yang dipasang kelewat dingin itu mendadak hening dari keriuhan. Pak Darwin berdeham kuat setelah menutup pintu. Sementara Aby mengikutinya dengan tangan menggenggam erat tali ranselnya. “Selamat pagi, anak-anak!” “Selamat pagi, Pak!” sahut anak-anak serempak, seolah kata-kata itu sudah lebih dari sejuta kali mereka lafalkan. Sejauh mata memandang, hanya ada wajah-wajah asing. Aaah ... sejujurnya Aby benci berada dalam posisi seperti ini. “Ayo, Aby. Perkenalkan dirimu.” Aby menatap Pak Darwin dan seisi kelas dengan kikuk. Ia mencoba untuk tidak menatap lurus-lurus ke wajah seluruh penghuni ruangan itu. Aby
Lagu itu mengalun lembut di telinga Aby. Lagu yang sudah ratusan kali dia putar di mp3 player-nya. Satu-satunya lagu yang ada di dalam benda hitam itu. Satu-satunya lagu yang dimasukkan mamanya ke sana. Mungkin mamanya tidak pernah tahu, kalau setelah lagu itu, Aby sama sekali tak pernah menambahkan lagu lain ke dalamnya. Mungkin mamanya juga tidak tahu kalau Aby selalu memasang headset hitam pada telinga bukan karena ia suka mendengarkan musik. Tapi, ia tidak suka keramaian yang menyakitkan di sekitarnya. Mamanya juga mungkin tidak tahu kalau rubik dan puzzle itu dimainkan Aby bukan karena dua hal itu membuatnya senang. Tapi, dengan dua benda itu, kepalanya bisa memikirkan hal lain selain tentang hidup dan mamanya. Mamanya yang entah ada di mana sekarang. “Hei! Ngelamun?” Seseorang menyentuh pundak Aby pelan. Aby mengira itu Sarah. Ternyata bukan. “Belum pulang?” “Belum. Nunggu bus.” Aby sengaja melepas headset, kemudian memasukkannya ke dalam tas. “Ng