Home / Young Adult / Putri Rahasia Sang Idola / A Lonely Person Who Wants To Be Alone

Share

A Lonely Person Who Wants To Be Alone

Author: Dita Safitri
last update Last Updated: 2023-07-22 23:35:58

“El, udah jam 12 siang. Shooting dimulai setengah jam lagi dan kamu masih di sini?” Harlan memandangi El yang sedang berbaring di ranjang, membelakanginya. Dua jam yang lalu Harlan menyangka sesuatu yang buruk terjadi saat El menelepon dan berteriak-teriak panik. Harlan sudah membayangkan seorang ABG labil masuk ke apartemen dan melakukan tindakan asusila padanya atau mungkin barang-barang kesayangan El hilang karena perampok. Nyatanya, bocah itu mengamuk karena menemukan ruang tengahnya berantakan, karpet yang terkena tumpahan susu, kakinya yang lengket, dan jejak kaki menjijikkan di mana-mana.

“Gue udah menduga bakal kayak gini. Seharusnya dari awal anak itu nggak usah tinggal di sini! Sekarang apa? Dia bahkan menghilang setelah membuat kekacauan di rumah gue! Karpet itu....”

“Karpetnya kan udah dibawa ke laundry. Sofa dan lantai juga udah dibersihkan.”

El memutar kepala dan tetap memeluk bantal juga guling. “Ini masih hari pertama, Lan. Gimana besok? Atau besoknya lagi? Jangan-jangan, dia bakal ngehancurin seisi apartemen ini. Dan, sekarang, kemana coba anak itu?”

Mendengar pertanyaan El barusan, Harlan langsung menepuk jidatnya pelan. Ya, terus-terusan membujuk El sepertinya membuat Harlan lupa tentang Abigail. Begitu teringat tentang Abigail, Harlan otomatis juga teringat pada surat perjanjian yang ditandatangani El kemarin dan beberapa pesan penting yang disampaikan Hadian Munir padanya.

“Abigail ... dia nggak bilang sama kamu dia ke mana?” tanya Harlan panik. Kekesalan El yang belum hilang ternyata benar-benar membuatnya tak peduli. El duduk di tepi ranjang dan mencari ponselnya di balik selimut.

Harlan menarik napas panjang. “El.…”

“Hmm?”

Harlan berharap El tidak akan menjawab ‘enggak’ untuk pertanyaan yang akan dilontarkannya beberapa saat lagi. “Kamu … nggak baca seluruh isi perjanjian itu?”

“Perjanjian apa?” El yang sudah menemukan benda yang dicarinya mulai sibuk menggerakkan jarinya di atas layar touchscreen itu.

“Jangan bilang ... kamu nggak baca surat perjanjian yang diserahkan Hadian  Munir kemarin?” Harlan menatap El penuh harap. Ia benar-benar tidak ingin El terkejut karena sesuatu yang ia lakukan sendiri.

“Enggak. Kenapa?” El masih cuek saja, melirik Harlan sebentar, kemudian segera tersenyum sumringah pada sesuatu di layar ponselnya.

“Dan, kamu menandatanganinya gitu aja?”

El mulai terusik dengan nada bicara Harlan yang terdengar sangat serius. Hampir semenit mereka saling pandang sampai El tersadar tentang kebodohan yang sudah dilakukannya. “Mana ... suratnya?”

v

El menatap nanar tablet milik Harlan di tangannya. Perlahan tapi pasti, tangannya merosot, menjatuhkan benda di tangannya itu ke ranjang.

SURAT PERJANJIAN

Pihak Pertama,

Nama             : Tri Bayu Adyaningtyas

Umur               : 66 tahun

Alamat           : Jalan Mawar Putih No. 43

Dengan ini menyerahkan hak asuh atas Abigail kepada  Pihak Kedua

Nama             : Elden Alexander Clay

Alamat           : Jalan Mekar Wangi II

Setelah ditandatanganinya perjanjian ini, segala hal yang berkaitan dengan Abigail akan menjadi tanggung jawab pihak kedua sepenuhnya. Termasuk hal-hal di bawah ini:

Abigail tidak diperkenankan meninggalkan rumah atau tinggal di rumah yang berbeda dengan pihak kedua

Abigail wajib meneruskan sekolah dengan pengawasan pihak kedua

Pihak kedua akan menjadi wali bagi Abigail untuk semua urusan

Apabila terjadi sesuatu yang buruk pada Abigail, maka semua akan menjadi tanggung jawab pihak kedua

Pihak kedua wajib memenuhi segala keinginan Abigail selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan poin-poin di atas

Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, secara otomatis, Abigail berhak atas segala aset milik pihak kedua.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian ini, maka pihak kedua siap menghadapi tuntutan secara hukum.

Pihak Pertama, Bayu                                                                                            Pihak Kedua, El

                       

“Ini....” El sama sekali tidak bisa berkata apa-apa lagi, sementara Harlan terus menatapnya prihatin. El tahu ia memang berkewajiban memenuhi permintaan Bunda Bayu. El juga tahu kalau ia sudah terikat perjanjian sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di Rumah Cinta. El hanya tidak menyangka kalau isi perjanjian yang dibuat oleh ibu asuhnya itu akan semengerikan ini.

            “Kalau kamu membaca sebelum menandatanganinya, mungkin kita masih bisa membicarakannya kembali dengan Bunda Bayu.”

            El mendesah berat, kemudian mengacak-acak rambutnya kasar. Sudah lama sekali sejak ia terakhir kali datang ke sana. Kalau dihitung dengan perkiraan, mungkin sudah hampir sembilan tahun. Tanggal berapa, El tidak ingat. Tapi yang pasti hari itu adalah hari pertama El mendapatkan peran sebagai figuran di sebuah sinetron. Kunjungan itu bukanlah kunjungan spesial. Hanya sekadar meminta restu dari Bunda Bayu. Setelahnya, El nyaris tidak pernah menghubungi Bunda Bayu lagi. Segala hal yang berkaitan dengan sumbangan berkala untuk Rumah Cinta sudah diatur oleh manajemen dan El tidak pernah memantaunya sendiri. Sekarang, rasanya, El sama sekali tidak punya muka untuk sekedar meminta ‘keringanan’ atas apa yang sudah diminta Bunda Bayu padanya.

            Mata El menerawang. Segala ingatan yang berputar-putar di kepalanya membuatnya berpikir kembali, apa ia pantas memprotes semua itu?

v

            “Elden, mau makan apa?” Wanita anggun dengan rambut tersanggul rapi itu ikut berjongkok di depan bocah yang duduk memeluk lutut dengan wajah ketakutan di atas ranjang. Saat wanita itu mencoba mendekat, anak berambut pirang itu terus berusaha menjauh. Menyudut sendiri di ruangan.

            Anak itu tidak menjawab. Hanya menggeleng berulang kali. Bukan karena memar-memar di sekitar wajahnya terlalu menyakitkan untuk bicara, tapi bocah itu sama sekali tidak bisa bicara. Usianya hampir tujuh tahun dan tidak ada sepatah kata pun yang bisa diucapkannya selain ‘aaa’, ‘nggg’, dan gumaman tak jelas lainnya.

            “Perut Elden masih sakit?” Tangan wanita itu terulur, berusaha menggapai puncak kepala Elden. Ia merasa hatinya begitu terenyuh saat mata Elden bertemu dengan matanya. Mata hazel yang indah, namun tidak bisa menyembunyikan kesepian yang teramat dalam.

            “Mungkin Elden harus diterapi lebih lanjut, Bun. Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua angkatnya benar-benar membuat mentalnya tidak normal dan perkembangan psikologisnya terganggu.”

            Wanita yang dipanggil Bunda Bayu itu kemudian bangkit dengan gerakan sangat pelan. Ia membalikkan tubuh kemudian menyeka air yang menggenangi sudut matanya. Ada apa dengan orang tua anak-anak ini? Mereka sama sekali tidak meminta untuk dilahirkan. Lalu, kenapa mereka berhak atas semua penderitaan ini?

Untuk apa mereka mengadopsi anak kalau pada akhirnya malah menghancurkan anak ini? Untuk apa anak kalau perlakuan mereka lebih kejam dari perlakuan mereka terhadap binatang peliharaan. Lihat….” Bunda Bayu tidak sanggup meneruskan lagi kata-katanya. Luka-luka di sekujur tubuh Elden sudah menjadi jawabannya.

            Wanita itu menatap sekali lagi sepasang mata hazel El dengan lembut. Ia tidak berusaha mengatakan apa pun lagi pada Elden. Tidak berusaha menyentuh tangan mungil yang gemetaran. Hanya lewat mata itu, tapi Elden masih ingat dengan sangat jelas bahwa wanita di depannya itu berjanji akan terus melindunginya. Lewat tatapannya, wanita itu berjanji untuk tidak membiarkan Elden terluka lagi. Dengan susah payah, Elden kemudian memercayai itu.

            “El!”

            El tersentak. Botol kaca di tangannya hampir saja terjatuh. Ia baru saja selesai mengganti pakaian saat asisten sutradara itu berjalan mendekat ke arahnya dengan wajah masam. El tidak mengatakan apa-apa, hanya menegakkan punggung dan menaikkan sebelah alisnya.

            “Kamu kenapa hari ini? Hari ini adalah hari terbanyak kamu melakukan NG[1]? Kamu lihat kan muka Pak Sulton hari ini? Dia bahkan nggak ngasih pujian apa pun sama kamu seperti biasa.”

            El meringis. Hari ini ia pergi tanpa Harlan dan pikirannya benar-benar kacau. Ada banyak hal yang memaksa saraf-saraf di kepalanya bekerja lebih keras dari biasanya. Ada banyak hal yang mengusik El dan membuat semua konsentrasi yang selama ini selalu ia jaga dengan baik hancur begitu saja. Dua hari lagi sinetron ini akan tayang dan mereka masih belum menyelesaikan setengah dari skrip. El benar-benar merasa benci pada keadaan ini, juga pada dirinya sendiri. “Maaf.” Hanya itu yang akhirnya bisa ia ucapkan, walaupun El sendiri tidak benar-benar memaknainya.

            Kardi, si asisten sutradara yang sudah beberapa kali bekerja dengan El dalam satu proyek itu hanya angkat bahu. Ia sudah tahu kalau El adalah seorang aktor pemilih, banyak omong, dan terkadang tindakannya yang kekanak-kanakan sering kali membuat para staf jengkel. Tapi, tetap saja, soal kualitas akting, Elden Clay masih berada di tingkat atas dan sampai sekarang belum ada yang bisa membantahnya. Makanya, banyak orang yang lebih memilih sabar bekerja dengan El daripada harus mengeluh tentang sifat menyebalkan cowok itu.

            “Hari ini saya ingin break dulu. Saya mau pulang,” ucap El. Kardi yang tadinya sudah lega karena berpikir El akan segera melanjutkan shooting dengan baik (karena ia baru saja mengatakan maaf), langsung menahan El yang hampir berdiri.

            “Pulang?”

            El tidak menyahut. Ia hanya melihat dengan ekor matanya kalau Pak Sulton sedang membuat isyarat-isyarat pada Kardi untuk melarangnya pergi. El memang sering membuat permintaan aneh pada staf, tapi pergi di tengah-tengah shooting adalah hal yang baru.

            “Dua hari lagi episode ini mau tayang, El. Kamu mana bisa begini.”

            “Daripada saya membuang waktu kalian untuk sesuatu yang pada akhirnya harus diulang-ulang, lebih baik kalian kasih saya waktu sekarang untuk istirahat.” El langsung menyambar tas di atas meja yang ada di depannya, kemudian berjalan dengan langkah lebar-lebar. Ia masih bisa mendengar suara Kardi yang mengumpat dan Pak Sulton yang marah-marah dengan pengeras suara di tangannya. El sudah tidak peduli lagi. Kali ini ia benar-benar ingin sendirian.

***

[1] No Good = Adegan salah ketika shooting

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putri Rahasia Sang Idola   Epilog

    El merentangkan tangan, merasakan rerumputan hijau yang lembap itu menyentuh kulit tangannya. Menghirup aromanya, merasakan hangatnya matahari yang muncul malu-malu dari balik awan, dan matanya menyipit. Dongeng yang pernah ia bayangkan itu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi, sekarang El tidak mau itu menjadi dongeng. Negeri di atas pelangi atau apa pun itu, El akan mewujudkannya. Di sini. Bersama wanita yang mengenakan dress putih selutut yang sekarang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Wajah itu muncul begitu saja dengan rambut hitam yang nyaris terjatuh mengenai muka El. Gadis itu tersenyum lebar. Mata mereka bertemu dan dada El berdesir. “Terlalu luas,” katanya sambil mengangkat kepala ke sekeliling mereka kemudian duduk di samping El dengan kaki yang diluruskan.&nb

  • Putri Rahasia Sang Idola   The End for The New Beginning

    Aby merapatkan capuchon jaketnya saat ia melintasi kerumunan itu. Sudah seminggu sejak terakhir kali ia melihat El secara langsung. Dan tadi, untuk pertama kalinya, ia melihat El lagi. Wajah lelah itu, lingkaran di sekeliling matanya yang menghitam membuat mata Aby membasah. Semua orang membicarakan mereka. Semua orang memberitakan El dengan anak kandung dari masa lalunya. Kilatan blitz masih membuat mata El menyipit. Wartawan-wartawan belum berhenti memberikan berbagai pertanyaan pada El. Beberapa orang di antara mereka bahkan melontarkan tudingan dan menuduh El sedang mencari sensasi. Kali ini, air mata Aby sungguh-sungguh membasahi wajahnya. Ia sudah membuat laki-laki itu melalui banyak hal karena dirinya. Aby ingin memeluk El dan menepuk-nepuknya seperti yang dilakukan pria itu padanya. Aby masih ingin membuatkan te

  • Putri Rahasia Sang Idola   Bring That Memories Back

    Aroma rerumputan basah itu langsung menerpa hidung El lembut saat ia tiba di tempat itu. Suara kicauan burung dan desauan angin menyapa senyum El yang melebar. El merentangkan tangan dan menikmati setiap hembusan napas yang ia hela. Dan kepalanya perlahan mulai membayangkan banyak hal. Bukit kecil berpadang rumput dengan sebuah rumah kecil di depannya. Jendela-jendela kayu yang terbuka membawa aroma pepohonan. Bersama wanita itu di sini, berbaring di atas rerumputan. Mendengarkan musik yang sama dengan jemari yang saling bertaut. Saling pandang, tersenyum satu sama lain seperti dalam dongeng. Lalu, di sana, di antara bunga-bunga yang mereka tanam dan mereka siram bersama setiap hari, kaki-kaki mungil itu berlari-lari. Tertawa riang sambil sesekali memanggil mereka berdua. 

  • Putri Rahasia Sang Idola   It Hurts, So Bad

    “El. Mungkin dia sama El sekarang. Kamu tenang dulu, Ann.” Joanna tampak tidak peduli dan masih sibuk mengenakan kardigan hitamnya. Ia bahkan terlalu lemah untuk berjalan, tapi ia malah nekat meminta Philip mengantarnya mencari Aby. “Enggak mungkin, Phil. Aku kenal dia dengan baik. Dalam keadaan kayak gini dia nggak akan mungkin ada di sini atau bersama El. Dia pasti pergi ke tempat yang mungkin sulit ditemukan. Dalam keadaan kayak gitu gimana aku bisa ngebiarin dia sendirian. Aku harus cari dia, Phil.” “Ann.” Joanna mencoba berdiri sambil menopang tubuhnya di ujung ranjang. Ia baru saja menurunkan kedua kakinya saat mendadak tubuhnya hampir merosot dan terjatuh. Ia memang sakit, tapi ia tidak berpikir ia selemah ini. Joann

  • Putri Rahasia Sang Idola   Another Page of Destiny Has Been Unveiled

    Tubuh Joanna merosot ke lantai ketika mendengar apa yang dikatakan dokter di depannya itu. Hasil tes dua hari yang lalu tidak berubah sama sekali. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam ruang periksa itu. Selama seminggu lamanya Joanna menyendiri. Memikirkan banyak hal. Memikirkan dirinya, juga sesuatu yang hidup dalam dirinya. Dia merasa begitu ketakutan, tapi ini adalah kesalahan yang sudah ia buat dan tidak ada yang bisa memperbaikinya lagi. “Rahim kamu lemah. Dan kehamilan ini mungkin akan sangat beresiko, Ann. Saya tidak menyarankan untuk meneruskannya. Kamu bisa mundur kalau kamu nggak sanggup.” Joanna tidak menggeleng. Juga tidak mengatakan akan melanjutkan semua ini. Tapi, membayangkan wajah laki-laki itu di depan matanya, ia merasa akan sangat kej

  • Putri Rahasia Sang Idola   The Truth Is Always Hurt

    El tersenyum menatap catatan yang ia buat di ponselnya itu. Carissa juga tak bisa menahan senyumnya. Sejak tadi El bercerita dengan begitu antusias. Tentang hari minggu yang mereka habiskan bersama. Tentang telur enak yang dibuatkan Aby untuknya. Tentang nilai-nilai sempurna Aby di sekolah. Juga tentang game yang mereka mainkan tadi malam. Melihat El yang seperti ini, rasanya Carissa benar-benar melihatnya sebagai seorang manusia seutuhnya. Bukan sebagai Elden Clay si aktor itu. Bukan sebagai senior yang ia hormati. Laki-laki yang sekarang duduk di sebelahnya itu tidak lebih dari seorang manusia biasa, seorang ayah yang sedang menceritakan tentang putri kesayangannya pada teman. Tentang seorang ayah yang sedang mencari tahu hal menarik apa yang kira-kira akan membuat putrinya senang. “Kamar warna pink dengan sprei bergambar Princess Disney ini memang harus ya?” tanya El. 

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status