Tombol itu ditekan El kuat-kuat. Berulang-ulang hingga laki-laki yang memegang pedang di layar televisi itu terkapar di bawah kaki karakter pria kekar yang dimainkan El. El menarik napas panjang lalu melemparkan stik di tangannya ke atas meja. Ia kemudian berbaring di sofa, membolak-balikkan tubuh terus menerus selama lima menit.
El lalu bangkit, menyeret langkah dengan malas, dan mengambil sebatang cokelat dari dalam lemari es. Ia duduk di atas meja makan sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berbalut slipper. Suara benda keras yang dipatahkan dan dikunyah-kunyah bercampur decap di mulutnya.
Setelah memutuskan untuk pergi dari lokasi shooting tadi, El sungguh-sungguh pulang. Ia tidak pernah melarikan diri dari pekerjaan seperti ini. Sehingga ia sama sekali tidak tahu tempat apa yang bisa dikunjungi untuk melepaskan penatnya. Lagi pula, El ingin sendiri. Pergi ke tempat ramai akan membuat gadis-gadis labil mengejarnya dan, tentu saja, malah membuat kepala El semakin sakit. Jadilah El kembali ke apartemen, bermain game, browsing di tabletnya, dan melakukan hal-hal lain sendirian.
El menatap langit-langit dapur yang putih bersih. Mulutnya masih penuh dengan cokelat. Rumah Cinta bukanlah tempat yang ia rindukan. Bukan karena tempat itu buruk, tapi setiap kali ia mengingat tempat itu, berbagai kenangan lain yang menghinggapi kepalanya selalu saja membuat dadanya sakit.
Ruang tengah. Tempat pertama kali ia melihat sosok Bunda Bayu yang anggun, yang menatap El dengan sepasang mata beningnya. Dalam ingatan El, itu adalah kali pertama ada orang yang begitu tulus melihat matanya. Pertama kalinya El merasa diinginkan. Pertama kalinya El merasa bahwa ia tidak terlahir tanpa maksud ke dunia ini.
Tapi, ingatan indah pasti selalu diiringi dengan ingatan buruk, bukan? Kalau tidak ada sesuatu yang buruk, bagaimana kita bisa tahu kalau sesuatu yang lain itu termasuk kategori indah?
Ingatan hari itu selalu mengundang ingatan seminggu sebelumnya. Seminggu sebelum El bertemu dengan Bunda Bayu di ruang tengah adalah hari di mana El dipukuli habis-habisan hingga dua tulang rusuknya patah.
Saat usia El empat tahun, sepasang suami istri itu menemuinya dengan kedua tangan terbentang dan senyuman sumringah. Membawa El pulang bersama mereka dengan janji manis yang melambungkan El.
“Nanti El bisa sekolah. El bisa punya banyak mainan. El bisa makan apa aja yang El mau.”
El kecil mengangguk riang, berpikir kalau akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang bisa ia panggil ‘ibu’. Ibu. Seseorang yang pernah membuangnya saat ia masih berwujud bayi merah.
El baru saja menjulurkan kaki panjangnya ke lantai saat ia mendengar bunyi ‘bip’ tiga kali dari pintu depan disusul dua orang yang kemudian masuk dengan derap langkah pelan dan terdengar agak diseret. El beranjak, kemudian mendapati Harlan tengah menuntun gadis pendek berjaket merah ke atas sofa.
El melirik Harlan tanpa berkata apa-apa. Tapi, manajernya itu sudah tahu apa yang diinginkan El. “Kakinya kena kaca. Untung tadi ada anak sekolah yang nolongin,” jawab Harlan. Sementara, gadis yang sedang mereka bicarakan tampak duduk dengan tenang, lalu melepas jaketnya.
“Lain kali kalau mau pergi, bisa bilang dulu, kan?” sindir El sambil menaruh kembali stik yang ia lemparkan tadi ke tempat semula kemudian mematikan televisi dan game console-nya. “Dan, lain kali kamu bisa tanya aku dulu di mana kamar yang bisa kamu pakai sebelum tidur seenaknya di atas sofa ini.”
Harlan yang baru saja kembali dari dapur dengan segelas air minum segera menyenggol lengan El, meminta pria itu untuk tidak meneruskan pesan-pesan sarkastiknya pada Aby.
“Di apartemen ini memang ada cleaning service yang aku bayar untuk membersihkan seluruh ruangan. Tapi, bukan untuk membersihkan susu yang kamu tumpahkan di atas karpet.”
Aby tidak menjawab. Tapi, siapa pun dapat melihat dengan jelas kalau di wajah gadis itu sama sekali tak ada penyesalan. Ekspresinya bahkan terbaca oleh El sebagai ekspresi ‘aku-enggak-peduli-sama-apa-pun-yang-akan-kamu-katakan-selanjutnya’ dan kenyataan itu membuat El semakin jengah. “Bisa jawab, kan?” tantang El dengan suara yang meninggi. Ia semakin kehilangan kepercayaan diri untuk mengurus anak kurang ajar di depannya itu.
“Elden,” tegur Harlan sekali lagi. Harlan menyerahkan satu gelas kristal yang berembun karena air dingin di dalamnya pada Aby. Beberapa detik setelah Harlan merasa Aby tak menyambutnya, ia akhirnya meletakkan gelas itu di atas meja begitu saja.
“Lihat, kan? Begitu tata kramanya terhadap orang yang lebih tua?” El terdengar semakin ketus dan itu membuat Harlan khawatir apakah dua orang ini akan baik-baik saja jika ia tinggalkan dalam satu rumah.
“Abigail, ayo masuk ke kamar,” ajak Harlan kemudian. Ia sama sekali tak bisa membaca apa pun dari wajah datar Aby. Tapi, yang ia tahu dengan jelas, siapa pun akan sakit hati jika terus mendengarkan omongan El. “Kamarnya ada di belakang kamu.”
Aby bergeming. Menatap lurus televisi yang tidak menyala di depannya.
“Benar-benar nggak pernah diajarin tata krama ya? Aku dengar kamu baru sebulan tinggal di Rumah Cinta.” El tersenyum mengejek. “Ya, aku paham. Karena anak yang tinggal lebih dari satu bulan dengan Bunda Bayu, pasti nggak akan kurang ajar kayak kamu. Sebelumnya kamu tinggal dengan siapa sampai bisa sekurang ajar ini?”
“Elden!”
Kali ini Harlan bisa melihat Aby menoleh dengan cepat dengan mata berkilat, dadanya naik turun dengan mulut terkatup rapat. Kemudian dengan langkah terpincang-pincang, Aby masuk ke dalam kamar yang tadi ditunjuk Harlan dan membanting pintunya keras-keras.
“Gue enggak ngerti kenapa Bunda Bayu menitipkan anak itu sama gue. Apa karena gue dulu seburuk itu?”
Harlan menarik napas panjang, menatap El yang serba salah. Ia tahu semua luka yang pernah diderita El. Ia juga tahu apa saja yang sudah dilewati El selama ini. Harlan tahu semua. Itu sebabnya kenapa ia memilih berdiri kemudian mengetuk pintu kamar Aby yang ternyata sudah terkunci dari dalam.
v
Gedung apartemen itu tidak terlalu besar. Desainnya juga biasa saja. Hanya terdiri dari limabelas lantai dengan pekarangan yang lumayan luas. Sebagian menjadi taman dengan air mancur kecil di tengahnya. Sebagian lagi menjadi lahan parkir dan pos satpam.
Kalau saja tadi Askar menyerah menawarkan bantuan pada Aby, mungkin ia tidak akan tahu di mana Little Red Riding Hood itu tinggal. Askar tidak tahu siapa laki-laki berwajah ramah yang mereka temui di pos satpam tadi. Yang jelas, saat Aby menurut untuk ikut dengannya, Askar langsung percaya kalau laki-laki itu pastilah orang yang dikenal oleh Abigail.
Askar tersenyum menatap dua plastik putih di tangannya. Satu berisi roti dan susu, sedangkan yang satunya lagi berisi alkohol, obat luka, dan perban. Hari sudah siang dan beberapa anak sekolah mulai melintas melewati jalanan. Dia harus segera kembali sebelum nenek mencemaskannya.
Askar berbalik arah, membelakangi gedung apartemen, dan mulai berjalan melalui jalanan sempit di sebelah barat apartemen itu. Askar mendongak, memanjangkan lehernya. Melihat jendela-jendela kaca berbaris petak-petak seperti kotak yang disusun rapi. Cowok itu mulai menghitung dalam hati. Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ... enam ... tujuh ... delapan ... sembilan ... sepuluh ... sebelas … duabelas ... tigabelas ... empatbelas ... limabelas. Kemudian matanya menyipit. Di lantai mana kira-kira gadis itu tinggal? Di jendela mana Askar bisa melihat wajahnya lagi?
Askar tertawa kecil menyadari kebodohannya. Ia kemudian kembali berjalan tanpa berniat untuk mendongak lagi. Tapi sedetik kemudian, ia kembali teringat sesuatu. Pertanyaannya tadi.
“Abigail. Nama kamu bagus. Artinya apa?”
Dan gadis itu terdiam lama sekali tanpa menjawab pertanyaan Askar.
v
Aby meringkuk, memegangi kedua lututnya kuat-kuat di balik pintu itu. Ia masih bisa mendengar Harlan beradu argumen dengan El. El yang terus-terusan menyebut Aby kurang ajar dan Harlan yang terlalu baik membelanya. Aby meringis, tidak mengerti kenapa laki-laki yang telalu sering tersenyum itu selalu berpihak padanya di saat Elden Clay terus bersikap sinis.
Lima menit setelah suara-suara di luar hilang, Aby mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana jeans-nya. Ia menatap putus asa layarnya yang kosong. Tidak ada panggilan tak terjawab ataupun pesan masuk dari mamanya. Aby kemudian bangkit, berjalan tertatih-tatih menuju jendela. Jendela yang mengarah ke jalanan yang sama seperti yang ia lihat tadi pagi. Jalanan di mana ia kira ia telah menemukan sosok mamanya.
Mata Aby menyipit saat cahaya matahari garang menerpa wajahnya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Bukan, bukan karena jalanan itu sepi. Tapi, karena wajah yang ia cari sejak tadi tidak muncul lagi. Aby kemudian berbalik, menyandari dinding hingga tubuh mungilnya merosot. Terduduk di lantai.
Beberapa detik setelah itu, wanita berwajah pucat di bawah sana kembali mendongak. Melihat ke atas. Melihat wajah putih putus asa di atas sana. Gadis kecilnya. Akankah dia baik-baik saja? Apakah keputusan ini sudah benar?
Wanita dengan blazer krem muda itu kembali mengenakan topinya, berbalik dengan langkah cepat sebelum seseorang menemukannya seperti pagi tadi. Ia tidak boleh lemah. Hatinya tidak boleh lemah seperti tubuhnya. Ia harus kuat. Harus.
***
El memijat batang hidungnya yang tinggi setelah meletakkan kembali tablet ke atas meja kerjanya. Email dari sebuah rumah produksi baru saja ia buka. Tawaran film layar lebar lagi. Yang ketiga dalam bulan ini. Dua judul yang sebelumnya ditolak mentah-mentah oleh El karena tidak sesuai dengan image-nya. Tapi, email barusan membuat El sedikit goyah. Kali ini Sutarjo Pramudya, seorang sutradara muda yang beberapa bulan lalu mendapatkan penghargaan dari sebuah ajang bergengsi di luar negeri. Film pendek debutannya menang dalam kategori ‘Penyutradaraan Terbaik’. El sudah menonton film itu dan sepertinya masa depan sutradara tersebut cukup menjanjikan. Sejujurnya, meskipun belum bisa memberi keputusan, El menyukai ide cerita yang mereka tawarkan. El melirik jam dinding yang tergantung di depan pintu. Sudah lewat tengah malam. Harlan sudah pulang setelah mengantar makanan ke dalam kamar Aby. El sendiri sama sekali belum keluar dari kamar dan tidak berminat menemui anak
Laki-laki itu masuk ke kamar Aby dengan senyuman lebar. Kemejanya yang disetrika kelewat rapi membuat lipatannya kentara dan tampak tajam sekali. Dan, entah mengapa warna peach itu terlihat berkilauan di mata Aby. Ia duduk di pinggir ranjang tanpa meminta izin, kemudian meletakkan nampan berisi bubur ayam hangat dan susu cokelat yang masih berasap. “Kamu cuman minum susu cokelat, kan?” Aby tidak menjawab. Kepalanya masih berdenyut-denyut. Laki-laki terlihat terlalu ramah dan itu menakutkan bagi Aby. “Bisa makan sendiri? Atau....” “Enggak usah. Aku bisa sendiri kok,” tahan Aby ketika melihat tangan Harlan hampir menyentuh ujung sendok. Harlan tersenyum. “Aku mau antar El dulu ke lokasi shooting. Obatnya jangan lupa diminum, ya? El pesan jangan ke mana-mana dulu. Kamu tau kan El nggak suka kalau kamu pergi seenaknya?” Aby mengangguk sekali kemudian mengambil gelas berisi susu dan meneguknya untuk menyembunyikan rasa
Musik klasik itu mengalun lembut melalui piano yang dimainkan di atas stage kecil yang berjarak tujuh meter dari meja El. Pianis pria yang mengenakan suit hitam lengkap dengan sepatu kilatnya itu memainkan salah satu gubahan Beethoven dengan jari-jarinya yang lihai. El sejak tadi duduk di bangkunya dengan gelisah. Tak menyentuh sedikit pun minuman di depannya. Beberapa artis junior yang berada di ruangan yang sama dengannya itu tampak terus-terusan memerhatikan El. El memang tak terlalu dekat artis lain. Itu sebabnya ke mana pun El pergi, ia selalu saja menjadi pusat perhatian. El tahu sebagian di antara mereka mengagumi El sebagai aktor, tapi tetap saja tatapan-tatapan itu membuatnya risih. “Hai, Elden!” Orang yang sejak tadi ia tunggu di acara itu akhirnya muncul juga. Sutarjo Pramudya. Sutradara itu menyebut acara ini sebagai perayaan kesuksesan film pertamanya kemarin. El sudah menebak kalau di akhir acara ini laki-laki itu pasti akan membombardir El untuk memb
Saat pertama kali mengangsurkan kotak itu pada Aby, sejujurnya Harlan merasa sedikit cemas. Ia pikir Aby akan meletakkan kotak berisi seragam dan perlengkapan sekolah itu di ruang tengah begitu saja. Tapi, saat gadis itu melongok ke dalam dan membawa kotak itu masuk ke kamarnya, Harlan merasa lega. Diam-diam ia mengikuti langkah gadis itu. Aby tampak sedikit terkejut ketika mendapati Harlan berdiri di balik punggungnya saat ia baru saja meletakkan kotak pemberian Harlan di atas ranjang. Karena gadis itu tidak mengatakan apa-apa setelah melihatnya, Harlan segera mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan. “Di kamar ini masih banyak barang-barangku.” Aby hanya menoleh sekilas kemudian duduk di kursi kecil yang entah sejak kapan ada di dekat jendela. “Biasanya kamar ini aku pakai kalau jadwal El sedang padat. Dia sering lupa banyak hal dan kalau sudah capek akan susah dibangunkan. Makanya, aku tidur di sini.” “Aaah. Ya, nggak apa-apa,” j
Dasar bodoh. Aby tersenyum samar sebelum ia masuk ke dalam ruang kelas. Askar. Cowok itu melompat-lompat dan melambai-lambai dengan bodohnya di tangga tadi. Untung saja dia tidak terpeleset. Kalau iya, mungkin saja guru sangar dengan kumis tebal ala Pak Raden di samping Aby ini akan segera menghukumnya. Ruang kelas dengan AC yang dipasang kelewat dingin itu mendadak hening dari keriuhan. Pak Darwin berdeham kuat setelah menutup pintu. Sementara Aby mengikutinya dengan tangan menggenggam erat tali ranselnya. “Selamat pagi, anak-anak!” “Selamat pagi, Pak!” sahut anak-anak serempak, seolah kata-kata itu sudah lebih dari sejuta kali mereka lafalkan. Sejauh mata memandang, hanya ada wajah-wajah asing. Aaah ... sejujurnya Aby benci berada dalam posisi seperti ini. “Ayo, Aby. Perkenalkan dirimu.” Aby menatap Pak Darwin dan seisi kelas dengan kikuk. Ia mencoba untuk tidak menatap lurus-lurus ke wajah seluruh penghuni ruangan itu. Aby
Lagu itu mengalun lembut di telinga Aby. Lagu yang sudah ratusan kali dia putar di mp3 player-nya. Satu-satunya lagu yang ada di dalam benda hitam itu. Satu-satunya lagu yang dimasukkan mamanya ke sana. Mungkin mamanya tidak pernah tahu, kalau setelah lagu itu, Aby sama sekali tak pernah menambahkan lagu lain ke dalamnya. Mungkin mamanya juga tidak tahu kalau Aby selalu memasang headset hitam pada telinga bukan karena ia suka mendengarkan musik. Tapi, ia tidak suka keramaian yang menyakitkan di sekitarnya. Mamanya juga mungkin tidak tahu kalau rubik dan puzzle itu dimainkan Aby bukan karena dua hal itu membuatnya senang. Tapi, dengan dua benda itu, kepalanya bisa memikirkan hal lain selain tentang hidup dan mamanya. Mamanya yang entah ada di mana sekarang. “Hei! Ngelamun?” Seseorang menyentuh pundak Aby pelan. Aby mengira itu Sarah. Ternyata bukan. “Belum pulang?” “Belum. Nunggu bus.” Aby sengaja melepas headset, kemudian memasukkannya ke dalam tas. “Ng
Aby menutup buku matematika setelah menyelesaikan hampir dua puluh soal sejak pulang sekolah tadi. Ini masih pukul tiga siang dan tak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Semua tugas sekolah—termasuk pelajaran Sejarah yang paling tak disukai Aby—sudah selesai dia kerjakan. Ternyata, sekolah tak seburuk yang Aby kira. Mungkin semua itu karena teman-teman barunya tak tahu soal Aby. Gadis itu benar-benar bersyukur hidupnya sekarang jauh lebih tenang. Setelah meregangkan otot punggung yang pegal, Aby lantas duduk di bangku kecil di depan jendela kamar sambil melihat ke jalanan di bawah. Banyak sekali orang yang lalu lalang. Mulai dari yang berjalan kaki sampai yang mengendarai sepeda motor. Bahkan, mobil-mobil pun masih nekat melintas. Aby menatap lama pada pria yang membawa gadis kecil dalam gendongan. Sesekali kedua tangan kekar laki-laki itu melempar pelan tubuh si anak ke atas kemudian menangkapnya lagi ke dalam pelukan, lalu mereka berdua tertawa. Aby sama sekali tidak bisa
“Waaaah. Gimana caranya ngerjain fisika secepat itu?” Sarah tampak takjub memandangi Aby yang sibuk dengan buku kerja fisikanya. Ini jam istirahat. Tapi, karena sibuk memerhatikan Aby yang sedang serius, Sarah jadi ikut-ikutan tidak ke kantin. “Ini kan udah diketahui semua. Tinggal masukin ke rumus aja kok.” Aby menghentikan gerakan pensilnya untuk melihat wajah Sarah sebentar. Sedetik kemudian, ia kembali mencoret-coret bukunya. “Wah, keren. Harusnya kamu masuk sepuluh satu, By. Pak Hardi juga kemaren bilang kalau nilai matematika kamu paling bagus di kelas.” Aby hanya tersenyum sekilas. Ia tidak ingat sejak kapan ia bisa serius mengerjakan soal-soal pelajaran eksakta yang dibenci sebagian besar teman-temannya. Yang jelas, Aby hanya merasa tenang karena pikiran-pikiran tidak enak itu bisa enyah untuk sementara waktu, digantikan deretan angka-angka. “Nggak haus?” tanya Sarah sambil celingukan memegang kerongkongan. Mungkin karena mereka baru mas