Home / Romansa / Putri Rahasia Tuan Damian / 4. Situasi Yang Tidak Disangka

Share

4. Situasi Yang Tidak Disangka

Author: Riri riyanti
last update Huling Na-update: 2023-10-03 15:24:30

Acara resepsi pernikahan itu tampak ramai malam ini. Segala sisi gedung dipenuhi banyak tamu undangan berpenampilan glamor dengan dresscode warna emas. Pukul 8 tepat Evelyn beserta keluarga pada akhirnya menapakkan kaki ke tempat resepsi pernikahan Arjuna.

Sebenarnya mereka sudah sampai di Jakarta sejak menjelang siang tadi. Namun, karena merasa lelah akibat penerbangan dari Surabaya selama 1 jam lebih di atas awan, mereka memilih untuk sekedar melepas penat di rumah mempelai pria, terlebih mereka membawa seorang balita.

"Ma, Luna mau pipis!" tarikan tangan Si kecil Luna pada tangan Arini yang menggandengnya, membuat wanita baya itu menghentikan langkah kaki kemudian menaruh afeksi padanya. Evelyn dan Sang ayah yang berjalan di belakang mereka turut berhenti.

"Kebelet, ya? Baiklah." Sedikit membagi senyum untuk Luna, Arini mengalihkan tatapan pada Evelyn dan suaminya. "Eve, Mama dan Luna ke toilet dulu. Kamu temui Juna dulu bersama Papa, nanti kami menyusul."

"Iya, Ma." Sebuah anggukan dari Evelyn mengantarkan sosok Arini dan Luna melangkah menuju lorong yang menghubungkan toilet wanita yang berada di sisi kiri.

"Kau siap untuk bertemu pengantinnya sekarang?" tanya Burhan Adhitama pada Sang putri setelah istri dan cucunya menghilang dari pandangan.

"Tentu saja siap, Pa."

"Gandeng lengan Papa kalau begitu." Pria baya itu mengulurkan lengannya lengkap dengan senyum jahil. Hal itu berhasil menciptakan kernyit di dahi Evelyn.

"Kenapa?"

"Kau lihat, dari sekian banyaknya perempuan yang datang, hanya dirimu yang tidak punya gandengan. Kasihan sekali putri Papa yang satu ini," gurau Burhan sambil terkekeh ringan.

"Tidak apa-apa. Sekarang ada Papa yang menggandeng Eve, kan?" Evelyn ikut tertawa. Sekali-kali menertawai nasib sendiri tidak ada salahnya, bukan? Justru hal itu mampu mengurangi kadar stres yang dirinya rasakan. Di detik selanjutnya ia mulai menggamit lengan ayahnya kemudian mulai melangkah bersama menuju kedua mempelai pengantin di ujung sana.

"Burhan, kau kah itu?"

Namun, sebelum langkah terayun, seseorang menyebut nama ayahnya, membuat ayah dan anak itu menengok serempak ke asal suara.

"... Sultan?" Burhan menyebut nama si pelaku dengan sedikit kernyitan di dahi, menandakan bahwa ia sedikit ragu, takut salah mengingat nama dari seraut wajah itu.

"Benar." Tetapi, nyatanya sosok itu mengangguk dengan senyuman lebar. Tebakan Burhan memang tepat sasaran. "Wah, sudah lama sekali kita tidak bertemu, ya?"

"Iya, sudah puluhan tahun sepertinya?"

"Dan selama itu pula wajahmu hampir tidak ada bedanya. Kau benar-benar awet muda. Haha." kelakar Sultan, memancing Burhan untuk turut tertawa. Sedangkan Evelyn hanya menyimak saja sambil sesekali tersenyum canggung, tidak tahu harus merespons seperti apa.

"Kau ini bisa saja. Kau pun sama."

Setelah tawa Sultan mereda, pria baya yang tampak seumuran Burhan itu menyesap cocktail yang ia bawa di tangan kanan seraya menunjuk presensi Evelyn lewat lirikan mata. "Dia putrimu?"

"Tentu. Perkenalkan, namanya Evelyn."

"Salam kenal, Paman." Evelyn memberikan senyuman manis nan ramah tanda perkenalan.

"Salam kenal juga, Nak. Kau cantik sekali." Sultan memuji. Ia memperhatikan wajah jelita Evelyn dengan seksama, lengkap dengan senyum teduh yang menghiasi bibirnya. "Melihatmu Paman jadi teringat dengan anak Paman, sepertinya kalian seumuran. Omong-omong dia juga ada di sini." Tatapan pria itu kembali beralih pada Burhan setelahnya. "Hey, Burhan ... bagaimana jika kita perkenalkan anak kita, siapa tahu saja kita bisa berakhir berbesan. Haha."

"Itu mudah diatur."

Senyum Evelyn berubah kaku kala mendengar percakapan selanjutnya dari sang ayah dengan pria baya di depannya. Topik yang mereka bicarakan merupakan topik yang cukup sensitif baginya, dan wanita itu merasa kurang nyaman.

"Pa, bolehkah Eve menemui Kak Juna dulu? Papa dan Paman bisa mengobrol lebih lama, Eve bisa sendirian," pamit Evelyn, beralasan. Pada akhirnya ia memilih opsi untuk menghindar.

"Tentu."

***

"Kau sangat beruntung bisa menjadi suaminya. Kau tahu, Nina dulu adalah seorang primadona ketika kami masih berkuliah bersama."

"Wah, benarkah?" Si mempelai pria berujar tak percaya untuk merespons ucapan pria di depannya—yang Evelyn tebak adalah temannya. Sedangkan Sang mempelai wanita tampak mengerucutkan bibirnya.

"Jangan dengarkan omongannya, Sayang. Aksa memang senang berbual."

Evelyn yang sudah berada tak jauh dari mereka bertiga menjadi sedikit ragu untuk menyapa kedua mempelai pengantin. Ia hanya berdiri kaku. Arjuna Adhitama terlihat begitu asyik berbincang bersama teman lelakinya.

"Eve? Wah, akhirnya kau datang juga. Kakak sudah menunggumu sejak tadi." Namun, tak lama berselang nyatanya Arjuna menyadari kehadirannya. Pria yang merupakan kakak sepupunya itu tersenyum begitu tampan.

"Hai, Kak. Selamat menempuh hidup baru, ya ...." Evelyn balas menyapa seraya tersenyum manis dan mengulurkan tangan kanan. Meski sedikit canggung karena merasa mengganggu obrolan mereka, akhirnya ia memilih untuk bergabung.

"Terima kasih." Arjuna menjabat tangannya. Sepasang matanya tampak memindai sekitar saat menyadari ada entitas yang kurang dari Evelyn. "Ah, Si cantik Luna mana? Kenapa tidak ada bersamamu?"

"Dia sedang ke Toilet bersama Mama, kebelet pipis katanya."

"Astaga, kakak sangat merindukannya." Arjuna berkata serius, tampak dalam pacaran matanya. Dirinya memang cukup dekat dengan Luna. Jika berkunjung ke Surabaya, ia pasti membawakan berbagai macam oleh-oleh untuk gadis kecil bermata biru itu.

Yang semua orang tahu, balita bernama lengkap Luna Arkania Adhitama adalah anak bungsu dari pasangan Arini dan Burhan Adhitama, tak terkecuali Arjuna yang merupakan anak dari Kakak Burhan. Beruntung gadis kecil itu sebagian besar mewarisi genetik Evelyn. Jadi, sudah pasti ia akan mirip dengan kakek dan neneknya.

Soal mata biru yang Luna miliki, mereka beralasan bahwa balita itu mengalami sindrom Waardenburg, yakni kelainan genetik langka yang menyebabkan mata berwarna biru dan kemerahan. Meskipun pada kenyataannya, mata biru itu diwariskan dari ayah biologisnya.

"Ekhem!" dan dehaman kencang itu berhasil membuat Arjuna tersentak. Ah, ia sampai tidak sadar jika dirinya terlalu asyik berbincang dengan Sang adik sepupu.

"Astaga! Aku sampai lupa. Eve, perkenalkan ... dia Aksa Wijaya, teman sekaligus rekan kerja Kakak. Dan Aksa, dia Evelyn, adik sepupuku yang waktu itu kuceritakan padamu." Arjuna berujar memperkenalkan dua orang di depannya. Sedangkan Sang istri hanya tersenyum dan menyimak.

"Selamat malam, Eve. Ternyata aslinya kau lebih cantik dari pada di foto," ucap pria bernama Aksa, sedikit menggoda. Pria tinggi berkulit putih dengan rambut terpomade rapi itu menebar senyum tampan pada Evelyn.

"Salam kenal." Evelyn hanya merespons seadanya meskipun sejujurnya ia sedikit terkejut bahwa pria di depannya ini merupakan seseorang yang akan diperkenalkan padanya, seperti apa kata ibunya.

"Dasar, baru bertemu sudah modus saja!" dengkusan kasar itu berasal dari Arjuna. Ia berakhir terkekeh renyah.

"Ssttt ... lebih baik kau diam saja." Dan ucapan Aksa berhasil membungkan mulut kakak sepupu Evelyn. Pria itu kemudian memusatkan atensi seluruhnya pada si wanita. "Ah, Eve sudah bekerja atau masih berkuliah? Kau kelihatan masih begitu muda." Ia mulai berbasa-basi.

"Dia memang masih muda, usianya saja baru 23, selisih 1 tahun denganmu. Dia rencananya mau melanjutkan kuliahnya di kota ini." Arjuna menjelaskan tanpa diminta, lalu memberikan tatapan menggoda pada temannya itu. "Kenapa? Kau langsung tertarik pada adikku saat pertama kali bertemu, hm?"

Aksa yang digoda begitu menjadi salah tingkah juga. Ia kedapatan menggaruk tengkuknya dengan kikuk, tanpa tahu harus menjawab seperti apa. Sedangkan Evelyn justru sebaliknya. Wanita itu selalu merasa kurang nyaman jika membahas masalah perkenalan dengan pria. Ia masih belum siap untuk menjalin hubungan, bahkan kalau bisa ia ingin sendiri saja untuk selamanya.

Mengalihkan pikiran, Evelyn memilih untuk mengedarkan pandangan ke sisi kiri tubuhnya. Namun, tanpa sengaja ia justru melihat sosok tak asing. Seketika itu pula napasnya terasa tercekat, seakan oksigen begitu sukar memasuki paru-parunya. apalagi saat ia menyadari bahwa sosok itu tidak datang sendirian, ada seorang wanita cantik yang menggandeng lengannya.

"Damian?" bisikan lirih itu teralun tanpa sadar. Sungguh, ia sukar untuk mempercayai penglihatannya. Situasi ini sama sekali tak pernah ia sangka akan terjadi. Kenapa mereka harus dipertemukan hari ini?

Banyak hal yang Evelyn risaukan jikalau orang tuanya sampai melihat sosok Damian—yang merupakan ayah biologis dari Luna. Ataupun justru Damian sendiri lah yang melihat Luna. Akankah semua pengorbanan yang ia dan kedua orang tuanya perjuangkan selama ini berakhir menjadi hancur dan sia-sia?

***

Tbc...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Putri Rahasia Tuan Damian   100. Ending

    Detik demi detik terangkai, waktu berlalu dengan diiringi senyum merekah setelah mereka berdua bersatu. Setiap buncah bahagia yang tercipta kini telah membuahkan hasil dengan adanya setitik nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahim si wanita. Ya, Evelyn telah hamil untuk yang kedua kalinya, sudah memasuki bulan ke lima.Jika di kehamilan pertama terasa begitu berat, berbeda di kehamilannya kali ini. Jika dahulu ia menangis sedih ketika melihat garis dua di alat tes kehamilannya, kini air matanya diiringi oleh senyuman haru, tentu dilengkapi oleh pelukan hangat suaminya.Jika di kehamilan pertama ia merasa begitu was-was dan merasa begitu berdosa, namun di kehamilan keduanya ini ia merasa begitu bersyukur. Kehamilan ini merupakan anugerah dari Tuhan, sosok mungil itu akan melengkapi kebahagiaan di dalam keluarga kecilnya. Meski hamil dalam kondisi berbeda, namun Evelyn bisa memastikan bahwa cintanya tetap setara untuk mereka berdua; untuk Luna, ataupun si calon adik bayi. Meski tak diut

  • Putri Rahasia Tuan Damian   99. Kau dan aku, kita

    Tangis tidak selamanya berarti bahwa kesedihan tengah melingkupi seseorang. Namun, sebuah emosi ketika air mata luruh itu juga bisa hadir saat kebahagiaan datang. Tetes demi tetes itu jatuh bercucuran menuruni pipi, tetapi sebuah senyum justru terlukis indah menghiasi paras jelitanya. Ya, Evelyn menyebutnya tangis haru, menangis ketika melihat sosok Arjuna yang pada akhirnya tertangkap oleh pandangan matanya. Kakak tersayangnya itu pada akhirnya datang, padahal sebelumnya ia mengira bahwa pria itu masih belum memaafkan dirinya. Maka, ia segera bergegas memutus jarak, berjalan cepat menuju posisi sang kakak, tentu diikuti suaminya dari belakang."Kak Juna, ku kira kau tidak akan datang." Tanpa izin, Evelyn memeluk tubuh pria berambut gondrong terkuncir rendah itu, sedangkan Damian hanya berdiri di sisinya seraya menyelipkan tangan di saku celana.Arjuna balas memeluk. Ia memejamkan mata dan tersenyum tulus seakan pertengkaran yang lalu tidak pernah terjadi. "Adik tersayangku sedang me

  • Putri Rahasia Tuan Damian   98. Official Wife

    Senyum itu tak pernah sirna menghiasi wajah jelita si mempelai wanita. Sedangkan si pria ber-tuxedo tampak setia berdiri di sisinya sembari terus menggenggam tangannya. Ah, mereka tampak begitu serasi dengan pakaian serba putih. Warna yang melambangkan awal baru, seperti kanvas kosong yang siap mereka lukiskan berbagai warna dalam mengarungi rumah tangga. Hari bahagia itu pada akhirnya telah tiba, tentu kebahagiaan membuncah di hati kedua mempelai. Tangga pelaminan itu telah berhasil mereka jejaki bersama setelah melewati berbagai rintangan yang tidak mudah untuk dilalui. Dan kini mereka telah mencapai puncak, buah dari kesabaran dan perjuangan yang telah mereka usahakan untuk menyatukan hati."Selamat atas pernikahanmu ya, Eve. Aku benar-benar tidak menyangka jika pada akhirnya kau berakhir dengan pria yang kau katakan berkali-kali sebagai sahabatmu ini." Ina, satu-satunya teman dekat si mempelai wanita berdiri di depannya, menyalaminya sembari menempelkan pipi kanan dan kiri. "Ter

  • Putri Rahasia Tuan Damian   97. Semakin dekat

    "Jadi, pernikahannya benar-benar akan dilaksanakan bulan depan?" pertanyaan itu terlepas dari mulut Arini Adhitama di tengah perbincangannya dengan Sasmitha Alexander. Ya, calon besannya itu memang sedang datang berkunjung ke rumahnya, tentu saja untuk membahas persiapan acara pernikahan kedua anak mereka."Iya, sesuai kesepakatan di awal. Bertepatan dengan hari ulang tahun Luna juga, bukan?" Sasmitha menjawab seraya meletakkan kembali cangkir teh berbahan keramik putih dengan motif bunga-bunga ke atas meja, tentu saja setelah ia menyesap isinya. Gerakannya tampak begitu anggun nan santai, seakan mereka sudah cukup akrab sebelumnya. "Damian ingin jika bukan hanya dirinya dan Evelyn saja yang berbahagia di hari pernikahan mereka, tapi putri mereka juga. Bukankah dia terlihat sangat mencintai putrinya?" lanjutnya.Namun, raut gundah justru terlukis makin jelas di wajah Arini. "Tapi ... apakah waktunya akan cukup untuk persiapannya? Sedangkan saat ini, baik keluarga saya maupun keluarga

  • Putri Rahasia Tuan Damian   96. Biological Children

    Punggung wanita itu tak pernah luput dari penglihatannya, sedang membelakanginya. Sang ibu sedang menciptakan resep baru, tampak begitu sibuk berkutat di depan kompor. Aroma masakan yang tercium begitu lezat membuat Evelyn betah berlama-lama di sana."Apakah sudah selesai, Ma?" dari posisinya yang sedang duduk di kursi meja makan sambil bertopang dagu, Evelyn bertanya. Ia memang sedang menunggui ibunya memasak."Tunggu beberapa menit lagi." Arini menjawab, tak menoleh sedikit pun ke belakang.Karena sedikit merasa bosan, Evelyn bangkit berdiri kemudian mendekat pada sang ibu, berdiri di sampingnya. Ia menatap ke dalam panci, kemudian mencium dalam-dalam aroma yang menguar dari sana. Ah, ibunya sedang memasak mie dengan kuah gelap nan kental bertabur berbagai jenis seafood, menu baru yang belum diberi nama. "Wah, aku jadi tidak sabar ingin mencicipi resep baru Mama. Pasti enak!" Senyum manis mengurva, terlukis begitu indah menghiasi wajah Evelyn."Sudah pasti. Siapa dulu kokinya?" san

  • Putri Rahasia Tuan Damian   95. Milikku

    Gerbang sekolah Taman Kanak-kanak menyambut pandangan mata birunya. Damian memang berinisiatif menjemput Luna, maka ia datang lebih cepat dari waktu biasanya Burhan menjemput sang putri.Hari-hari paling menyebalkan telah berlalu dan Damian kini telah kembali pulih seperti sedia kala. Ia sembuh dengan cepat, beruntung hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa dirinya telah benar-benar sehat. Seiring stres yang berkurang, dirinya pun semakin tersenyum lepas.Damian menepikan mobilnya di seberang jalan. Masih ada beberapa menit lagi sebelum bel pulang sekolah putrinya berbunyi dan ia memilih untuk menelepon Evelyn. Ah, mengingat seraut wajah itu membuat senyum si pria semakin cerah saja. Ia segera meraih ponsel di saku celana, segera mencari kontak nomor si wanita tercinta untuk melakukan panggilan. "Halo?" dan dari ujung telepon sana, suara merdu yang sangat Damian hafal menyapa telinganya."Aku sedang berada di depan sekolahan Luna. Jika aku menjemputnya, kau tidak keberatan, buka

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status