Menghadiri pesta pernikahan nan meriah adalah hal yang cukup merepotkan untuk Damian. Ia merupakan tipe pria penyuka ketenangan. Bila boleh jujur, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik klasik di kamarnya daripada harus berkumpul dengan banyak orang seperti ini. Beruntung seseorang yang ia ajak bersedia untuk menemaninya malam ini.
"Itu dia pengantinnya. Kita langsung ke sana?" pria tinggi berperawakan asing itu menunjuk kedua mempelai pengantin lewat tatapan kedua mata birunya. Dan wanita yang mengamit lengannya merekahkan senyum manis pertanda setuju."Boleh."Namun, di tengah langkah beriringan mereka, Damian kedapatan mengerutkan keningnya. Ia baru sadar bahwa ada sosok yang tampak familier di dekat kedua pengantin."Bukankah itu Aksa?" lirihnya, lebih pada diri sendiri.Ah, rupanya ia tak menyadari kehadiran satu sosok lain. Sosok bertubuh mungil yang tampak terhalang sosok Si pengantin pria, Evelyn. Wanita itu memang sengaja mengatur posisinya agar tak sampai disadari pria yang baru saja datang itu."Aksa?" dan nyatanya lirihan itu direspon oleh wanita di sisinya."Dia temanku, pria tinggi yang berdiri di dekat pengantin." Damian menjelaskan singkat seiring langkahnya yang semakin panjang agar lebih cepat sampai ke sana. Tanpa dikira senyum pria itu semakin melebar saat menyentuh punggung tegap pria itu. "Aksa? Ah, ternyata benar. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."Evelyn membatu saat melihat Damian ternyata sudah berdiri di sekitarnya, hanya beberapa meter saja darinya. Sedangkan sepasang mempelai pengantin dan Aksa tampak antusias menyambut pria itu."Wah, siapa sangka Cassanova kita ini akan datang ke pesta pernikahan Arjuna?" Aksa tampak memberi pelukan singkat seraya terkekeh. "Lama tidak bertemu, Damian. Aku merindukanmu."Damian balas terkekeh menyambut pelukan singkat ala pria yang Aksa berikan padanya. "Kau ini bisa saja. Aku datang ke sini untuk menggantikan ayahku." Setelah mengatakan alasan kedatangannya, ia beralih menatap kedua sejoli pengantin untuk sekedar memberikan satu dua patah kata. "Ah, selamat atas pernikahan Anda berdua. Saya Damian Alexander, datang untuk menggantikan ayah saya, Benedict Alexander dari agensi periklanan Gama Enterprises. Beliau tidak bisa hadir karena suatu urusan mendesak.""Terima kasih. Tidak apa-apa, sampaikan saja salam saya untuk Tuan Benedict." Arjuna menanggapinya dengan senyum sopan penuh bahagia. Dan Damian membalas senyum itu segera."Akan saya sampaikan.""Selamat menikmati pestanya, Tuan Damian."Mungkin ini merupakan keajaiban dari Tuhan, Evelyn merasa bahwa Damian tidak menyari kehadirannya. Ia mundur satu langkah, mencoba menghindar. Rencananya ia akan diam-diam pergi dari sana, menuju ke sudut lain gedung atau mungkin menyusul Luna dan ibunya ke kamar mandi.Namun—"Hey, Eve ... kau mau ke mana?"Usahanya untuk melarikan diri digagalkan oleh Sang kakak sepupu.Damian yang awalnya hendak melangkah menjauh mengurungkan langkah kakinya saat sebuah nama terucap dari mulut Si pengantin. Ia kembali memutar kepala, menatap pada seraut wajah jelita yang terasa begitu akrab di ingatannya."Eve? Kau ... Evelyn?" tanya pria itu memastikan."Ah, i-iya." Dan mau tidak mau Evelyn mengangguk membenarkan. Adanya Arjuna dan istrinya beserta Aksa adalah hal yang membuatnya tak mampu mengelak kenyataan.Atas pengakuan Evelyn, terbitlah senyuman lebar Damian. Tanpa ia sangka dadanya menghangat karena pada akhirnya mereka kembali bertemu. Saking bahagianya, ia merasa seperti mimpi."Astaga, Eve! Ya ampun! Aku sempat pangling tadi." Secara refleks Damian memeluk si wanita, tanpa menyadari bahwa apa yang ia lakukan membuat tubuh wanita itu membeku. Ia memang sempat tak mengenalinya tadi, sebab wajah itu tampak lebih dewasa dan lebih cantik dari beberapa tahun silam. "Kau tidak mengingatku?""Aku ingat." Meskipun tubuhnya seakan membatu karena begitu terkejut dengan pelukan yang ia dapatkan secara tiba-tiba, Evelyn tetap berusaha menjawabnya setenang mungkin. Padahal dadanya sudah sangat berdebar-debar, bahkan hampir meledak."Lalu kenapa kau diam saja padahal melihatku, hm?" Damian melepas dekapannya, kedua telapak tangannya memegang bahu kecil Evelyn saat memberikan tatapan sarat kerinduan."Aku mengira kalau kau sudah lupa padaku." Evelyn menjawab seadanya, selirih bisikan angin malam hingga nyaris tak terdengar."Mana mungkin aku melupakanmu, huh? Aku selalu mengingatmu. Aku mencarimu ke mana-mana tapi tidak pernah ketemu. Kau ke mana saja?"'Benarkah?'Rasa hangat tanpa tahu malu menyelusup di dada Evelyn kala mendengar kalimat Damian. Sesaat ia lupa bahwa ada satu wanita cantik yang berdiri di sisi pria itu. Entah kenapa di hatinya mulai muncul sebuah harapan bahwa Damian memang menaruh rasa yang sama padanya.Ya, Evelyn mengakuinya sekarang. Rasa cintanya pada pria di depannya ini tak pernah mau hilang meskipun sudah berulang kali ia mencoba menguburnya dalam-dalam. Terlebih dengan hadirnya Luna, membuat ia semakin sukar untuk memupuskan rasa itu pada ayah biologis gadis kecilnya."Tunggu ... kalian saling mengenal?" Arjuna yang sedari tadi diam menyimpan banyak tanya atas interaksi Sang adik sepupu bersama pria bernama Damian pada akhirnya menyerukan rasa ingin tahunya. Dan pernyataan itu seakan mewakili keingintahuan Aksa dan juga Karenina, istrinya."Tentu saja. Dia satu-satunya orang terdekatku ketika kami masih di bangku SMA. Yah, meskipun kami tidak satu kelas, dia adik kelasku." Damian menjawabnya dengan melingkarkan lengan di bahu pendek Evelyn, namun tatapan mata biru itu terarah pada Arjuna Adhitama. Di detik selanjutnya ia kembali memusatkan atensi pada mata indah nan cemerlang wanita di sisinya. "Bagaimana kabarmu, Eve?""Baik. Kau sendiri?""Yah, aku baik. Seperti yang terlihat."Saat pandangan mata indah Evelyn tanpa sengaja kembali jatuh pada wanita yang datang bersama Damian, rasa penasaran kembali datang mengganggu. Setelah sedikit menimbang, pada akhirnya ia memilih opsi untuk mengutarakan isi pikirannya."Nggg ... wanita yang bersamamu?"Satu pernyataan dari Evelyn membuat Damian segera melepaskan rengkuhannya kemudian kedapatan menepuk jidatnya. "Ah, astaga! Aku sampai lupa memperkenalkan kalian." Ia menggeser posisinya mendekat pada wanita yang datang bersamanya, berganti melingkarkan lengan di pinggang si wanita dengan posesif. "Perkenalkan. Dia Evelyn, dia temanku. Dan, Eve, dia bernama Kiara. Dia ... tunanganku."Seakan disambar petir, tubuh Evelyn menegang sempurna seiring setitik harapan itu sirna. Bahkan hubungan Damian dengan wanita berparas jelita dengan rambut kecokelatan sebahu bernama Kiara sudah lebih dari sekedar pasangan kekasih.Jangan ditanya bagaimana kondisi hatinya. Sudah pasti telah hancur lebur. Perihnya seakan tercabik-cabik tanpa ampun.Sedangkan Kiara tampak mengulurkan tangannya. Ia berusaha menampilkan senyuman manis pada Evelyn, hal yang membuat wanita itu mau tidak mau menjabat tangannya."Senang bisa berkenalan denganmu, Eve. Kau tahu, Damian banyak bercerita tentangmu padaku."Dan demi apa pun! Bukan hanya parasnya saja yang menawan, bahkan suara Kiara terdengar begitu merdu di telinga. Evelyn tersenyum sendu, pantas saja Damian jatuh cinta pada wanita itu."Begitu." Yah, ia hanya bisa merespons seadanya. Ia terlalu sibuk menyatukan kepingan demi kepingan hatinya."Wah, dunia ternyata begitu sempit, ya? Aku tidak menyangka kalau kau berteman sangat dekat dengan adikku. Kau teman Aksa juga?" Arjuna kembali bersuara. Tentu pertanyaan itu ditujukan untuk Damian."Iya, kami satu Universitas ketika di Jerman.""Bisa dibilang, kami adalah sahabat. Kau pasti terkejut, bukan?" kali ini Aksa turut menimpali diselingi tertawa renyah."Sangat tidak terduga. Kita bisa semakin akrab kalau begitu." Dan tawa itu menular cepat pada Arjuna. Setelahnya, Si pengantin pria kembali menatap Damian. "Mulai sekarang kau tidak perlu berbicara formal padaku, anggap saja aku seperti kakakmu.""Tentu. Terima kasih, Kak---""Juna. Namaku Arjuna Adhitama."Perbincangan itu terasa kabur di telinga Evelyn. Sembari menahan nyeri di dada, ia hanya mampu berharap semoga Luna beserta ayah dan ibunya tidak buru-buru menghampiri mereka.***Tbc...Detik demi detik terangkai, waktu berlalu dengan diiringi senyum merekah setelah mereka berdua bersatu. Setiap buncah bahagia yang tercipta kini telah membuahkan hasil dengan adanya setitik nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahim si wanita. Ya, Evelyn telah hamil untuk yang kedua kalinya, sudah memasuki bulan ke lima.Jika di kehamilan pertama terasa begitu berat, berbeda di kehamilannya kali ini. Jika dahulu ia menangis sedih ketika melihat garis dua di alat tes kehamilannya, kini air matanya diiringi oleh senyuman haru, tentu dilengkapi oleh pelukan hangat suaminya.Jika di kehamilan pertama ia merasa begitu was-was dan merasa begitu berdosa, namun di kehamilan keduanya ini ia merasa begitu bersyukur. Kehamilan ini merupakan anugerah dari Tuhan, sosok mungil itu akan melengkapi kebahagiaan di dalam keluarga kecilnya. Meski hamil dalam kondisi berbeda, namun Evelyn bisa memastikan bahwa cintanya tetap setara untuk mereka berdua; untuk Luna, ataupun si calon adik bayi. Meski tak diut
Tangis tidak selamanya berarti bahwa kesedihan tengah melingkupi seseorang. Namun, sebuah emosi ketika air mata luruh itu juga bisa hadir saat kebahagiaan datang. Tetes demi tetes itu jatuh bercucuran menuruni pipi, tetapi sebuah senyum justru terlukis indah menghiasi paras jelitanya. Ya, Evelyn menyebutnya tangis haru, menangis ketika melihat sosok Arjuna yang pada akhirnya tertangkap oleh pandangan matanya. Kakak tersayangnya itu pada akhirnya datang, padahal sebelumnya ia mengira bahwa pria itu masih belum memaafkan dirinya. Maka, ia segera bergegas memutus jarak, berjalan cepat menuju posisi sang kakak, tentu diikuti suaminya dari belakang."Kak Juna, ku kira kau tidak akan datang." Tanpa izin, Evelyn memeluk tubuh pria berambut gondrong terkuncir rendah itu, sedangkan Damian hanya berdiri di sisinya seraya menyelipkan tangan di saku celana.Arjuna balas memeluk. Ia memejamkan mata dan tersenyum tulus seakan pertengkaran yang lalu tidak pernah terjadi. "Adik tersayangku sedang me
Senyum itu tak pernah sirna menghiasi wajah jelita si mempelai wanita. Sedangkan si pria ber-tuxedo tampak setia berdiri di sisinya sembari terus menggenggam tangannya. Ah, mereka tampak begitu serasi dengan pakaian serba putih. Warna yang melambangkan awal baru, seperti kanvas kosong yang siap mereka lukiskan berbagai warna dalam mengarungi rumah tangga. Hari bahagia itu pada akhirnya telah tiba, tentu kebahagiaan membuncah di hati kedua mempelai. Tangga pelaminan itu telah berhasil mereka jejaki bersama setelah melewati berbagai rintangan yang tidak mudah untuk dilalui. Dan kini mereka telah mencapai puncak, buah dari kesabaran dan perjuangan yang telah mereka usahakan untuk menyatukan hati."Selamat atas pernikahanmu ya, Eve. Aku benar-benar tidak menyangka jika pada akhirnya kau berakhir dengan pria yang kau katakan berkali-kali sebagai sahabatmu ini." Ina, satu-satunya teman dekat si mempelai wanita berdiri di depannya, menyalaminya sembari menempelkan pipi kanan dan kiri. "Ter
"Jadi, pernikahannya benar-benar akan dilaksanakan bulan depan?" pertanyaan itu terlepas dari mulut Arini Adhitama di tengah perbincangannya dengan Sasmitha Alexander. Ya, calon besannya itu memang sedang datang berkunjung ke rumahnya, tentu saja untuk membahas persiapan acara pernikahan kedua anak mereka."Iya, sesuai kesepakatan di awal. Bertepatan dengan hari ulang tahun Luna juga, bukan?" Sasmitha menjawab seraya meletakkan kembali cangkir teh berbahan keramik putih dengan motif bunga-bunga ke atas meja, tentu saja setelah ia menyesap isinya. Gerakannya tampak begitu anggun nan santai, seakan mereka sudah cukup akrab sebelumnya. "Damian ingin jika bukan hanya dirinya dan Evelyn saja yang berbahagia di hari pernikahan mereka, tapi putri mereka juga. Bukankah dia terlihat sangat mencintai putrinya?" lanjutnya.Namun, raut gundah justru terlukis makin jelas di wajah Arini. "Tapi ... apakah waktunya akan cukup untuk persiapannya? Sedangkan saat ini, baik keluarga saya maupun keluarga
Punggung wanita itu tak pernah luput dari penglihatannya, sedang membelakanginya. Sang ibu sedang menciptakan resep baru, tampak begitu sibuk berkutat di depan kompor. Aroma masakan yang tercium begitu lezat membuat Evelyn betah berlama-lama di sana."Apakah sudah selesai, Ma?" dari posisinya yang sedang duduk di kursi meja makan sambil bertopang dagu, Evelyn bertanya. Ia memang sedang menunggui ibunya memasak."Tunggu beberapa menit lagi." Arini menjawab, tak menoleh sedikit pun ke belakang.Karena sedikit merasa bosan, Evelyn bangkit berdiri kemudian mendekat pada sang ibu, berdiri di sampingnya. Ia menatap ke dalam panci, kemudian mencium dalam-dalam aroma yang menguar dari sana. Ah, ibunya sedang memasak mie dengan kuah gelap nan kental bertabur berbagai jenis seafood, menu baru yang belum diberi nama. "Wah, aku jadi tidak sabar ingin mencicipi resep baru Mama. Pasti enak!" Senyum manis mengurva, terlukis begitu indah menghiasi wajah Evelyn."Sudah pasti. Siapa dulu kokinya?" san
Gerbang sekolah Taman Kanak-kanak menyambut pandangan mata birunya. Damian memang berinisiatif menjemput Luna, maka ia datang lebih cepat dari waktu biasanya Burhan menjemput sang putri.Hari-hari paling menyebalkan telah berlalu dan Damian kini telah kembali pulih seperti sedia kala. Ia sembuh dengan cepat, beruntung hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa dirinya telah benar-benar sehat. Seiring stres yang berkurang, dirinya pun semakin tersenyum lepas.Damian menepikan mobilnya di seberang jalan. Masih ada beberapa menit lagi sebelum bel pulang sekolah putrinya berbunyi dan ia memilih untuk menelepon Evelyn. Ah, mengingat seraut wajah itu membuat senyum si pria semakin cerah saja. Ia segera meraih ponsel di saku celana, segera mencari kontak nomor si wanita tercinta untuk melakukan panggilan. "Halo?" dan dari ujung telepon sana, suara merdu yang sangat Damian hafal menyapa telinganya."Aku sedang berada di depan sekolahan Luna. Jika aku menjemputnya, kau tidak keberatan, buka