Share

7. Nostalgia

Setelah bergelut dengan kemacetan lalu lintas, pada akhirnya mobil hitam metalik yang Damian kemudikan sudah berhenti di sisi gerbang rumah Arjuna. Pria itu kembali membaca peta elektronik di ponselnya, kembali memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sampai di titik tempat tujuan sesuai denah lokasi yang Evelyn kirimkan tadi malam.

"Sepertinya benar ini alamat rumahnya." Damian bergumam pada diri sendiri saat menatap hunian megah itu. Ia membuka pintu mobilnya kemudian menapakkan kaki pada paving di sekitar gerbang. Setelahnya, ia mendudukkan diri di kap mobilnya. Cuaca yang cukup terik siang itu tak sedikit pun membuatnya takut jika kulitnya akan terbakar.

[Aku sudah sampai di depan gerbang.]

Setelah yakin bahwa rumah besar bergaya Romawi itu benar tempat wanita yang ingin ia temui tinggal, Damian segera mengetikkan pesan untuknya. Ia memang sudah menantikan pertemuan ini sejak semalam. Tidak bertemu setelah bertahun lamanya membuat ia menanggung rindu yang begitu menggunung terhadap si wanita.

Dan nyatanya, penantian Damian kali ini tidak membutuhkan waktu lama. Sebab setelah pesan yang ia kirimkan terbaca, sosok Evelyn tampak keluar dari pintu besar rumah si kakak sepupu. Penampilan wanita itu terlihat fresh dengan sleeveless dress warna krem yang dipadukan dengan blazer warna hitam.

Langkah wanita itu kentara dipercepat untuk segera sampai ke arahnya. Dibantu oleh seorang satpam penjaga, Evelyn membuka gerbang besi tinggi itu agar bisa segera bertemu dengannya. Hal tersebut tentu membuat Damian refleks melengkungkan senyum bahagia, apalagi saat wanita itu sudah berdiri di depannya.

"Akhirnya kau keluar juga. Sudah siap?"

"Uhum."

Setelah anggukan singkat diterima, Damian beranjak turun untuk membukakan pintu penumpang untuk Evelyn. "Okay, kalau begitu silakan masuk."

"Kau akan membawaku ke mana?" Evelyn bertanya setelah Damian duduk di belakang kemudi, tepat di sisinya.

"Ke mana pun kau mau. Kau ingin ke mana? Kita makan siang bersama sekalian, supaya kita bisa berbincang dengan nyaman dan kenyang." Pria itu segera menyalakan mesin mobilnya untuk segera membawa wanita itu membelah jalanan kota menuju tempat tujuan.

"Terserah kau saja."

"Baiklah. Kita ke coffee shop yang baru dibuka saja, ya? Letaknya tak begitu jauh dari alun-alun kota."

"Ya."

Sedikit kernyitan muncul di kening Damian ketika merasa ada hal yang berubah dari diri Evelyn, namun ia tetap mempertahankan senyumnya. "Kuperhatikan, sekarang kau menjadi lebih irit berbicara? Sedikit berbeda dari dirimu ketika SMA."

"Itu hanya perasaanmu saja, aku masihlah Evelyn yang dulu. Justru kau lah yang banyak berubah, Dam."

"Benarkah? Menurutmu, apa saja yang berubah dariku? Secara sikap ... atau fisik?" sembari mengemudi, Damian sesekali melirik wanita yang duduk di sebelahnya.

"Fisik. Tentang sikap, kau tidak berubah sama sekali."

"Begitu, ya? Haha. Kalau begitu, apakah aku terlihat semakin tampan ketika dewasa?" pria itu bertanya main-main untuk mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung baginya.

Dan ia berhasil, sebab pada akhirnya ia mampu melihat Evelyn tersenyum bahkan tertawa untuk pertama kalinya di pertemuan mereka kali ini.

"Kau selalu saja narsis."

***

Suasana skandinavia terasa sangat kuat di dalam Wanderlust Coffee Shop. Apalagi dengan kehadiran patung-patung kepala rusa yang identik dengan wilayah bersalju seperti pada negara-negara Eropa Utara.

Coffee Shop yang mereka kunjungi cukup ramai di jam makan siang seperti ini. Mereka memilih duduk pada meja yang berada persis di sisi tembok putih. Beberapa menu kue yang tadi mereka pesan pun telah habis tak bersisa di atas meja, menyisakan 2 porsi kentang goreng beserta 2 gelas minuman kopi untuk melepas dahaga.

"Sudah merasa kenyang?" Damian adalah orang pertama yang mengajukan pertanyaan.

"Sudah. Terima kasih atas traktirannya." Dan Evelyn menjawabnya setelah selesai mengelap mulut menggunakan tisu.

"Anytime, Eve. Makanan di sini memang terkenal dengan kelezatannya, makanya meskipun baru buka selama beberapa hari, pengunjung sudah begitu membludak begini." Sedikit intermezzo, Damian menceritakan singkat tentang tempat makan yang mereka kunjungi. "Anyway, bagaimana perasaanmu setelah kembali bertemu denganku? Apa kau merasa senang?"

"Sedikit terkejut. Jujur saja aku tidak menyangka bahwa kita akan kembali bertemu setelah sekian lama."

Jawaban dari Evelyn sukses membuat senyum Damian sirna, berubah senyum hampa. Secara otomatis ia kembali mengingat masa di mana takdir harus memisahkan mereka.

"Kau membuatku kembali merasa bersalah, Eve. Maafkan aku karena pergi meninggalkan Indonesia tanpa mengabarimu terlebih dahulu. Aku tahu kau pasti mencariku, bukan?"

"Sudahlah, semua itu sudah berlalu." Evelyn terdengar enggan membahasnya. Wanita itu memilih untuk kembali meminum Mocha Latte miliknya.

"Aku hanya ingin memberikan alasanku, agar tidak ada salah paham di antara kita. Bukankah kita bersahabat?"

Sejenak tubuh wanita itu tampak membeku. Sedetik kemudian senyum miris menghiasi raut wajah jelitanya. Entah kenapa mendengar kata 'sahabat' yang lolos dari bibir Damian membuat hatinya sedikit terluka, meski benar seperti itulah kenyataannya. Kedekatan di antara mereka hanya sebatas persahabatan bagi pria itu kendati kontak fisik di antara keduanya melebihi pasangan suami-istri.

"Aku pergi secara tiba-tiba tentu memiliki alasan yang kuat, Eve. Nenekku dari pihak ayah yang tinggal di Jerman mengalami koma, makanya kami sekeluarga malam itu juga terbang ke sana. Aku tidak sempat menghubungimu atau siapa pun saat itu, kami semua panik." Damian menjelaskan alasan kepergiannya tanpa diminta.

Sedangkan Evelyn hanya berperan sebagai pendengar. Dalam diam ia menahan perih di dada, sebab ingatannya kembali mengulang masa itu tanpa permisi. Damian hanya tidak tahu betapa hancurnya dunia Evelyn di malam pria itu meninggalkannya.

"Dan nahasnya, ketika kami telah sampai di Jerman, ponselku hilang ketika baru saja menapakkan kaki di Bandara. Kau tahu, hanya ponsel itulah satu-satunya barang paling berharga bagiku, di mana nomor-nomor telepon penting orang-orang terdekatku tersimpan, termasuk nomor teleponmu. Maka dari itu aku tidak bisa menghubungimu."

Wanita itu mengangkat wajahnya demi menatap mata Damian, seakan mencari kebohongan di sana. Dan nyatanya yang ia temukan adalah kejujuran.

Jadi, sebenarnya pria itu tidak pernah berniat benar-benar meninggalkannya, bukan?

Andai ponsel milik Damian tidak hilang dan dia membaca seluruh pesan darinya, apakah pria itu akan bertanggungjawab atas hasil perbuatan dosa yang mereka lakukan?

"Maafkan aku. Andai aku bisa, aku ingin sekali kembali ke masa lalu dan memperbaiki segalanya, sehingga kita tidak perlu berpisah begitu lama," lanjut Damian dengan penyesalan. Ia menutup kalimat panjangnya dengan embusan napas rendah.

Lagi-lagi Evelyn kedapatan tersenyum pedih. Ia tidak tahu harus merespons kalimat Damian seperti apa. Karena bagaimanapun, semuanya sudah terlanjur terjadi. Meminta pertanggungjawaban pria itu sekarang pun akan menjadi percuma sebab kehidupan mereka sudah berubah dan pria itu pun sudah memiliki seseorang di sampingnya. Lagipula, kedua orang tua Evelyn sudah terlanjur menaruh rasa benci pada si pria.

"Aku kembali ke Indonesia hampir setahun lalu. Dan saat itu aku segera mencarimu ke alamat rumahmu yang dulu, tapi para tetanggamu berkata bahwa kalian sudah pindah sejak lama. Sebenarnya kau pindah ke mana, Eve? Apa ada hal yang terjadi padamu atau keluargamu saat itu? Jujur saja hal itu membuatku khawatir." Damian kembali bersuara karena Evelyn hanya diam saja sedari tadi. Namun, kali ini pria itu tampak menunggu jawaban darinya, terlihat dari tatapan kedua mata biru itu yang tidak beralih sedikit pun menatapi mimik muka si wanita.

"Tidak ada apa pun yang terjadi, kami pindah karena Papa ingin mengembangkan bisnis kulinernya di kota lain, itu saja." Pada akhirnya Evelyn memberikan alasan yang logis, alasan yang biasa ia berikan setiap kali ada teman atau saudara yang menanyakan perihal kepindahan mereka bertahun lalu. "Lagi pula nasi sudah menjadi bubur, kita tidak bisa mengulang ataupun memperbaiki masa lalu, Dam. Yang lalu biarlah berlalu. Buktinya kau sekarang masih baik-baik saja meskipun kita berpisah, bukan? Kau bahkan sudah memiliki tunangan sekarang."

Damian mengangguk sebagai pembenaran, lalu menyesap kopi Americano di cangkirnya sebelum kembali berkata. "Yah, Kiara satu-satunya wanita selain dirimu yang mampu membuatku nyaman. Dia begitu setia menemani dan menghiburku ketika di Jerman. Papa dan Mama semakin mendesakku untuk memenuhi segala ekspektasi mereka. Bahkan aku sempat merasa kehilangan diriku sendiri andai tidak bertemu dengan Kiara."

Entah berapa kali Evelyn merasa tidak nyaman pada hatinya. Kali ini dadanya terasa diremas tangan tak kasat mata. Damian bertingkah seolah mereka sama sekali tak pernah memiliki hubungan dekat, hubungan yang lebih dari sekedar sahabat. Padahal mereka pernah saling berbagi hasrat, sama-sama mereguk nikmat. Sakit sekali rasanya saat pria yang kau cintai justru menceritakan wanita lain padamu.

"Ah, aku jadi banyak bercerita begini." Damian terkekeh kecil saat menyadari jika dirinya lah yang lebih banyak berbicara ketimbang wanita yang duduk berhadapan dengannya. "Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau baik-baik saja setelah kepergianku? Kemarin kau berkata bahwa kau putus dengan Devano, kenapa? Apa dia kembali menyakitimu?"

"Aku hidup dengan baik, bahkan sangat baik. Jadi, bisakah kita berhenti bernostalgia? Aku harus segera pulang. Ada hal penting yang harus segera kuurus untuk kembali menata masa depan." Tidak sepenuhnya berbohong. Selain karena Evelyn sudah tidak sanggup lagi saling bersitatap begini, ia pun memang harus segera mengurus segala persiapan untuk kembali melanjutkan perkuliahannya.

"... oke. Aku akan mengantarmu kalau begitu. Tetapi lain kali kita harus bertemu lagi jika ada waktu luang." Dan Damian pun tidak bisa menahan wanita itu lebih lama lagi untuk tetap tinggal, dirinya mencoba mengerti.

Yah, meskipun ada sesuatu yang sedikit mengganjal di hati dan pikirannya setelah mendengar setiap kalimat yang terangkai dari mulut Evelyn. Ia merasa curiga, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu darinya.

***

Tbc...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status