Sesaat setelah dokter Rian memasuki ruangan, aku tersadar dengan cucuku yang terus saja tidur. Ini sudah tak normal lagi. Masa dia tak terganggu sejak tadi pagi. Napasnya teratur dan badannya tidak panas. Tapi kenapa tidur terus?
Aku menanyakan pada perawat, ke ruangan mana harus memeriksakan cucuku. Dengan senang hati dia mengantarku menemui dokter spesialis anak.
“Kenapa cucu saya tidur terus, Dok?” cecarku ketika dokter perempuan itu selesai memeriksa cucuku. Dia menghembuskan napas berat dan memintaku duduk.
“Saya menemukan campuran obat tidur dalam susu yang tertumpah di bajunya. Bayi sangat wajar jika sering menangis, Bu. Itu caranya berkomunikasi dengan orang dewasa jika dia lapar, ngompol atau buang air besar.”
Aku menekan dada dan memelotot. Tak menyangka kalau baby sitter itu membrikan campuran obat tidur buat cucuku. Keterlaluan sekali. Lalu apa kerjanya di rumah itu?
“Menangis juga bisa menandakan kalau dia sedang tak tak enak badan atau tidak nyaman. Sangat tidak dianjurkan memberikan bahan kimia yang bisa menyebabkan kantuk pada bayi. Andaipun mau diberikan pada anak, harusnya sudah berusia di atas dua tahun. Itupun harus dengan cara dan dosis yang benar,” lanjut dokter.
“Saya baru datang dari kampung, Dok. Saya juga heran kenapa cucu saya tidur terus. Dia ini diasuh oleh baby sitter,” jelasku.
“Astagfirulloh. Jahat sekali dia.” Dokter juga kelihatan kaget, apalagi aku yang merupakan nenek kandung bayi ini.
Aku sempat berpikir kalau Delon dan simpanannya hanya ingin menyingkirkan putriku, tapi ternyata cucuku yang tak tahu apa-apa pun diberikan obat tidur agar tak mengganggu mereka. Aku semakin yakin kalau perempuan itu bukan baby sitter sungguhan, tapi selingkuhan Delon yang menyamar jadi pengasuh agar tidak dicurigai warga sekitar.
Apa Delon tak punya rasa kasih sayang pada bayi sekecil ini? Darah dagingnya sendiri. Lalu Maya, dia juga perempuan. Apa tak berpikir kalau dia juga nanti akan menjadi seorang ibu? Hatiku semakin panas memikirkan kedua orang itu.
“Apa yang harus saya lakukan agar cucu saya sehat, Dokter?”
“Untuk sekarang biar dia di rawat dulu untuk diperiksa lebih lanjut. Semoga saja tidak fatal akibatnya.”
“Lakukan yang terbaik buat cucu saya, Dok.”
“Pastinya, Bu. Sepertinya Ibu ini belum makan, ya? Wajahnya pucat.”
Ah, iya. Aku baru teringat hanya mengganjal perut dengan teh manis dan sepotong roti saat bus istirahat mau sholat subuh di mesjid yang berdekatan dengan warung. Setelahnya, perutku belum diisi apa-apa
“Apa boleh saya keluar untuk cari makan, Dok? Saya memang sudah lapar.”
“Boleh, Bu. Silakan saja. Cucunya akan ada yang yang jaga. Tidak usah cemas. Rumah sakit ini menggunakan CCTV di hampir semua sudut. Jadi tidak akan ada yang berani macam-macam pada cucu Ibu jika kebetulan nanti perawat tidak berjaga.”
Aku menarik napas lega dan mengucapkan terima kasih pada dokter baik hati itu. Langsung keluar untuk mencari warung makan terdekat. Tak kulihat lagi di mana menantu dan besanku. Karena perut juga sudah melilit, aku harus bergegas mengisinya. Jangan sampai aku ikutan tumbang. Anak dan cucuku membutuhkan wanita tua ini.
Tepat di seberang rumah sakit, aku memesan makan di warung sederhana. Lumayan ramai orang-orang dengan penampilan biasa-biasa saja. Mungkin mereka juga keluarga pasien. Aku makan dengan lahap, bukan karena masakannya yang enak di lidah. Namun, aku makan agar punya energi menghadapi kenyataan hidup yang masih terjal.
Sebelum berangkat naik bus, aku memang tak enak mau makan. Salah satunya takut akan muntah di jalan, sedangkan aku hanya pergi sendirian. Tak ada yang membantu mengurut tengkukku pakai minyak kayu putih. Aku harus memperhatikan diriku sendiri. Andai saja tahu begini keadaan Alina, aku tentu akan memaksa suamiku ikut agar ada sandaran dan teman diskusi untuk menentukan sikap.
Dari kemarin malam sampai sekarang baru makan, rasanya aku sudah gemetaran. Betapa sakitnya perut putriku selama ini terancam makan. Entah mulai kapan dia kelaparan di dalam kamar pengap itu.
Suara dering ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh saku gamis dan mengambil benda pipih berwarna hitam itu. Nama putraku tertera di layar. Ya Allah, aku sampai lupa mengabari mereka. Begitu panggilan kuangkat, Raka mengucapkan salam dan langsung kubalas.
“Ibu dimana? Belum sampai rumah Alina? Dari tadi kami cemas di sini, Bu.”
Nada khawatir kentara dalam intonasi bicara putraku. Aku mengatur napas agar suaraku lebih tenang.
“Ibu sudah sampai sejak jam 8 pagi tadi.”
“Astagfirulloh, Bu. Ibu ini bikin cemas saja. Kirain tadi entah nyasar kemana, rupanya setelah ketemu putri kesayangannya dan cucu tercinta, lupa pada kami semua di sini.”
Raka tertawa di seberang sana. Kudengar juga Sri dan suamiku ikutan tertawa. Berarti mereka sedang kumpul di sana.
“Bu, dimana Alina? Kenapa dia tak bicara pada bapaknya ini? Ingat, Bu. Kamu yang melahirkannya, tapi saya juga berjuang mati-matian untuk menghidupi dan menyekolahkannya. Jangan ajari putrimu itu pilih kasih. Cepat kasih telponnya pada putriku!”
Suamiku mulai cemburu. Memang Alina lebih dekat dengannya sejak masih kecil hingga gadis. Tak pernah malu jika diantar bapaknya memakai motor astrea jika mau jalan sama temannya. Kemarin suamiku tak bisa ikut, tapi akan menyusul seminggu lagi karena ada acara adat di kampung kami. Suamiku orang yang dituakan di kampung, jadi segan jika tak hadir dalam acara meriah itu.
“Putrimu tak mau bicara padamu, Pak.”
“Kenapa? Dia merajuk juga karena Bapak belum datang?” cecar suamiku tak sabar.
“Bukan hanya padamu, Pak. Alina juga tak mau bicara padaku. Ibu tak tahu apakah dia masih akan mau bicara pada kita, Pak.”
Aku mulai terisak. Padahal, sudah berusaha agar terlihat tegar dan tidak membuat mereka kepikiran. Terdengar mereka di seberang sana mulai panik dan terus bertanya, tapi aku tak bisa jawab lagi. Kumatikan panggilan sepihak, lalu mengirimkan foto putriku yang sudah tak ada senyuman di bibirnya.
Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama
Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.
Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri
*Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic
Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa
“Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p