Share

Harus Serba Hati-hati

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2022-12-28 10:11:52

 Setelah beberapa saat, ponselku kembali berdering. Raka menelpon lagi. Kalau tidak diangkat, takutnya mereka semakin cemas dengan berbagai dugaan buruk. Aku membayar makanan dan bergegas mencari tempat yang agak sepi agar tidak mengundang perhatian orang banyak. 

“Bu, apa maksud foto itu? Siapa dia?” cecar Raka. 

“Kamu tak mengenali adikmu sendiri, Raka?” sergahku.

“Mirip Alina, tapi itu pakai aplikasi edit wajah, kan, Bu? Gak mungkin adikku kurus begitu? Ibu dan Alina hanya mengerjai kami, kan?”

Ah, andai saja Alina benar-benar hanya mengerjaiku, tentu aku tak perlu berada di rumah sakit ini. Tapi kenyataannya, dia memang sangat kurus sekarang. Mungkin jika aku berada di posisi Raka, dikirimi foto Alina seperti ini, diri ini tak akan percaya begitu saja. Kalau bukan mata tua ini melihat tubuh tak berdaya itu dengan jelas dan langsung, mungkin aku juga akan mengira foto kurus putriku hanyalah bohong-bohongan. S

“Bu, tolong hidupkan video call-nya. Raka yakin Alina sedang menahan tawa di samping Ibu karena tidak berhasil mengerjai kami.”

Raka masih saja belum percaya dengan foto yang yang kukirimkan. Aku menerima panggilan video dan langsung mengarahkan kamera ke gapura rumah sakit.

“Ya Allah, jadi Ibu gak berbohong?” Suara Raka mulai bergetar. Anak lelakiku itu suka jahil dengan adiknya, begitu juga sebaliknya. Tapi biar bagaimanapun, mereka saling menyangi dan membela satu sama lain jika ada orang usil yang mengganggu. Bagiku dan suami, salah satu keberhasilan sebagai orang tua adalah membuat mereka menjadi saudara yang saling dukung.

“Buat apa Ibu berbohong, Raka? Tak ada gunanya, kan? Begitulah keadaan adikmu sekarang. Dia tak memeluk Ibu. Dia juga tak bicara. Jiwanya seolah mati, Nak.” Tangisku yang sudah reda jadi terpancing lagi ketika melihat putraku mengusap-usap sudut matanya yang berair.

“Bagaimana ceritanya bisa seperti itu, Bu? Siapa yang berani menyakiti putriku?” Suara suamiku terdengar lantang meskipun kamera masih menghadap Raka. Aku menjelaskan singkat saja saat pertama kali melihat kondisi Alina di ruangan tak layak itu.

“Brengs*ek si Delon itu. Bapak akan bun*h anak itu. Berani sekali dia menelantarkan putri kita dengan sengaja. Bapak akan menyusul ke sana nanti malam,” tegas bapaknya Alina.

Aku bergidik ngeri. Jika terjadi pertumpahan darah, itu artinya suamiku pun akan mendapat masalah baru. Aku tak mau dia membun*uh lelaki yang masih sah menjadi menantu kami. 

“Tak usah datang kalau dalam keadaan emosi, Pak! Apa Bapak bisa bahagia jika harus masuk penjara karena menghilangkan nyaw* Delon?” 

“Iya, Pak. Ini bukan masalah yang sederhana. Tidak perlu membalas sakit hati dengan kekerasan karena kita sendiri yang akan terpental,” ujar Raka. Aku tak melihat wajah mereka lagi. Hanya plafon rumah yang terlihat. 

“Bu, sebisa mungkin jagalah Alina di sana. Bapak akan berangkat nanti malam dan janji tidak akan melakukan kekeras*an.” Suara suamiku melunak. Kini kamera ponsel menyorot penuh wajahnya.

“Bukannya Bapak masih harus ikut acara adat?” 

“Apa yang lebih penting dari keluarga, Bu? Acara adat bisa diwakilkan nanti pada Raka.”

“Raka akan ikut. Sekarang juga aku akan beli tiket dan menyiapkan semuanya,” timpal putraku. Aku senang mendengarnya, terlebih dokter Rian adalah teman dari putraku. Dia akan lebih cerdas berdiskusi dengan dokter itu untuk memikirkan cara agar putriku sehat kembali. Badan Raka juga lebih kekar dan bisa bela diri bila sewaktu-waktu ada bahaya yang mengancam. Tak bisa diprediksi apa yang akan dilakukan Delon dan keluarganya pada kami.

“Lalu bagaimana dengan Sri? Siapa temannya di sana, Nak? Pikirkan juga istri dan anakmu,” ujarku. Aku tak boleh egois dengan mengabaikan menantuku yang perempuan.

“Gak apa-apa, Bu. Bang Raka ikut saja. Sri bisa kok ngurus Ahmad sendirian. Nanti bisa diajak anak tetangga untuk tidur di sini malam hari,” ujar menantuku. Cucuku Ahmad memang sudah pulih. Meskipun badannya lebih kecil dari teman-teman seusianya, tapi tidak sakit-sakitan lagi. 

Aku merasa bersyukur kalau Sri tidak keberatan ditinggal suaminya untuk sementara. Untuk sekarang, aku butuh Raka dan bapaknya agar kami lebih kuat. Keluarga besanku bukan orang sembarangan. Aku yakin mereka sedang memikirkan strategi selanjutnya untuk menggagalkan rencanaku memenjarakan Delon.

“Baiklah, kami akan datang ke sana, Bu. Tapi jangan buat laporan ke polisi dulu. Aku tak mau kalau Ibu dalam bahaya. Ibu harus hati-hati dan jangan sampai lengah dengan keadaan di luar. Jika Delon bisa setega itu pada istrinya, tak menutup kemungkina jika dia bisa berbuat keji juga pada mertuanya,” pesan Raka. Kami pun mengakhiri obrolan karena mereka mau berkemas-kemas. Hatiku sedikit lebih lega. Beban di dada terasa berkurang. 

Aku harus kembali masuk ke rumah sakit untuk melihat keadaan putriku. Jalanan cukup lengang dari kenderaan yang berlalu lalang sehingga aku bisa langsung menyeberang. Seperti pesan Raka, aku harus hati-hati dan tak boleh lengah di sini. Sebelum sampai ke seberang, tiba-tiba sebuah motor melaju kencang ke arahku. Dengan sekuat tenaga aku berlari untuk menghindar. Pengendara motor tanpa plat itu diteriaki warga yang kebetulan melihat kejadian. Ada yang mengejar dan melemp*ri dengan batu hingga sedikit oleng, tapi dia berhasil kabur.

“Ibu tak apa-apa?” tanya seorang pemuda. Dia menyodorkan minuman botol ke arahku. Aku mengusap dada dan mengucapkan terima kasih pada empat orang yang membantuku. Kuteguk air mineral itu perlahan dan mataku menatap sekeliling. Pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di balik sebuah pohon besar di pinggir jalan. Dia terlihat kesal dengan lawan bicaranya di ponsel. Ketika dia melirik ke arahku, lelaki yang sangat kukenali itu langsung memasukkan ponselnya ke kantong dan bergegas mau pergi.

“Itu, itu laki-laki yang menyuruh orang untuk menabrak saya. Tolong tangkap dia!” seruku sambil menunjuk ke arah Delon. Empat laki-laki yang masih muda itu kompak menoleh pada arah telunjukku dan langsung berlari mengejar menantuku yang kurang *jar itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
nurdianis
menantu brengsek
goodnovel comment avatar
Tempe
kurang ajar delon. celaka kamu. biar hidup terseksa hingga akhir hayat
goodnovel comment avatar
Nur Elhuda
ibu alina kuat dn cerdas..trs hati2 ya bu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Ending

    Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Gadis yang Dikenalkan Mama

    Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Mama Mau Menjodohkanku

    Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Ide Gila Mama

    *Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Belum Siap Kecewa Lagi

    Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Pergilah dari Hidupku

    “Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status