Share

Bagian 3 : Secarik Kenangan Masa Lalu.


Cinta wanita itu ke lelakinya, layaknya detak jantung yang hanya akan berhenti ketika ajal menjemput, itulah janji yang dikatakan perempuan itu ketika melakukan honeymoon indah di kota sejuta cahaya bernama Paris.

Di bawah langit yang mulai berubah warna, ketika matahari perlahan tenggelam dan semburat senja mulai terpancar, kedua anak manusia itu saling bergenggaman tangan, menikmati keindahan alam yang memanjakan mata.

Bertelanjang kaki sambil menyusuri pantai dengan kedua tangan yang tetap saling bertautan, ketika ombak menerjang dan menyapa dua pasang kaki yang masih terus berjalan beriringan, ketika tawa mulai bersorak memenuhi penjuru alam terbuka, ketika gemercik air mulai turun, berlari bersama menuju tepian lalu saling memeluk untuk sekedar menghangatkan. 

Bagi mereka, hidup berdua itu sangat menyenangkan. Saat cahaya masuk melalui jendela pertanda pagi telah datang, ketika mata mulai mengerjab lalu setelahnya terbuka, menemukan orang yang paling dicintai bergelung di sampingnya, adalah hal luar biasa yang tidak bisa dibeli dengan apapun.

Memulai hari dengan saling melumat, menandai setiap jengkal sebagai kepemilikan, melakukan rutinitas mandi bersama yang akan berakhir dengan desahan panjang, dilanjutkan sarapan pagi dengan menu favorite roti bakar alakadarnya. Mereka hanya ingin hidup seperti ini, selamanya. 

Arti pernikahan bagi keduanya begitu menajubkan, ikatan sakral seumur hidup, sebuah tanda bukti cinta yang menyatu menjadi sebuah hubungan dan tanggung jawab untuk saling memahami satu sama lain. Cinta adalah kuncinya, jika hal itu hilang maka semuanya akan melebur. 

"Aku mencintaimu." Perempuan itu tersenyum, sedikit berjinjit untuk mengecup bibir sang suami. 

"Indah sekali, ketika kita saling mencintai dan bisa bersama." Lelaki itu tersenyum, terus memandang wajah cantik bidadarinya. 

Shira meringis lalu mengulurkan tangan ke luar, menikmati tetesan air dari langit lalu memberikan ke wajah penguasa hatinya. "Kamu gombal."

"Lashira, kamu---" Perkataan Ken terhenti ketika istrinya malah kembali mencipratkan air hujan itu ke wajahnya. 

"Aku akan balas kamu." Shira tertawa keras dan berlari ke luar, membiarkan tubuh mungilnya terkena siraman hujan.

Ken menyusul, mengejar belahan jiwanya yang terus berlari, membiarkan tubuh tegapnya basah kuyub, langkah pasti itu mulai bertambah, diraih cepat wanitanya  ke dalam dekapan. 

"Ken Farrel, cukup!" Perempuan itu berteriak dengan tawa,  tubuhnya direngkuh dan digendong sedemikian rupa. 

"Mari bercinta," ujar Ken di sela langkahnya, Shira tersenyum, memeluk kuat leher sang lelaki. 

"Aku mencintaimu, sangat," ujar perempuan itu berbinar, Ken menghentikan langkahnya, meraih bibir perempuan yang sangat dia cintai untuk dia lumat, alam menyaksikan bagaimana cinta mereka meluap, tanpa menduga akan ada waktu di mana semuanya tak bersisa. 

"SHIRA BANGUN, WOI!" Perempuan itu terperanjat ketika rambutnya tertarik. "Gilak! Rame gini bisa tidur lu?" lanjut Luna berkacak pinggang, tatapan horornya mulai menjadi. 

Shira memijat kening, sebelah tangannya dia gunakan untuk membenarkan alat bantu dengar yang  mulai berdengung. "Gue mimpi Mas Ken."

"Nggak nanya, cepet cuci muka terus balik kerja, keburu si penghisep darah dateng," omel Luna terpaksa dirinya turuti, habis sudah karier sebagai pelayan kalau pemakan orok itu melihatnya tidur di jam kerja. 

*

"Buka mulutnya, Nak."

"Enggak mau, pulang saja." Gadis cilik itu menggeleng, menutup kuat mulutnya dengan kedua telapak tangan.

"Mau diperiksa pak dokter dulu nggak boleh seperti itu." Sang ibu menggeleng tidak suka, sedikit memaksa anaknya agar membuka mulut.

"Mami, enggak!" teriak gadis itu histeris membuat ibu muda itu kewalahan.

"Yasudah, biar Mami dulu yang buka mulut." Lelaki itu tersenyum, mengedipkan sebelah mata agar sang ibu menurut. "Wah tenggorakan Mami sehat, pintar jadi dapat hadiah," lanjut lelaki itu sambil menurunkan senternya, mengambil bungkusan di laci.

"Wah, Pak Dokter baik sekali, Terima kasih." Wanita itu tersenyum bahagia, melirik anak gadisnya yang mulai tertarik.

"Seeara nggak dapat?" tanya gadis itu iri.

"Anak manis pasti dapat dong." Lelaki itu mengeluarkan bungkusan dengan motif frozen. "Tapi harus buka mulut kayak Mami tadi, Seeara mau?"

Anak itu mengangguk mantap. "Dibuka aja mulutnya, tidak di suntik?"

"Disuntik dikit, boleh?"

"Sakit banyak-banyak, takut." Anak itu menggeleng.

"Ara nggak boleh kelamaan ih, kasihan pak dokternya." Wanita itu merasa tidak enak.

"Waktu saya banyak, tenang saja," ujar lelaki itu tersenyum.

"Kalau aku buka mulut dikasih tas frozen-nya?" Lelaki itu mengangguk mantap.

"Iya, Ara mau." Anak itu membuka mulut dan segera lelaki itu mengangkat senter kecil ditangan.

"Tenggorokannya sehat, pasti jarang minum es, ya? Anak pintar." Gadis kecil itu tersenyum malu.

"Wah, gelang Ara bagus sekali, Pak Dokter mau lihat, boleh?" pinta lelaki itu berbinar.

"Iya, boleh." Anak itu mengulurkan tangannya cepat.

"Suster, tolong ambil darahnya," bisik lelaki itu membuat wanita di sebelahnya mengangguk.

"Ini gelangnya beli di mana? Siapa yang beliin? Cantik sekali, Pak dokter juga mau dong." Sosok itu terus berbicara melepas pelan gelang bermotif barbie dari pergelangan kecil milik pasiennya dan mulai mengagumi.

"Ini gelang aku beli di Mall, Nenek yang belikan, bagus sekali' kan, Pak dokter?" Anak itu dengan semangat bercerita dan dibalas anggukan mantap sang dokter.

"Harganya pasti mahal." Wajah lelaki itu tertekuk sedih.

"Tidak tapi, aduh sakit." Ara berteriak ketika jarum panjang menembus kulitnya.

"Pintar sekali, Ara, darahnya sudah diambil, anak pintar." Puji lelaki itu sambil bertepuk tangan, secepat kilat suster di samping memberikan selotip kecil pada bekas jarum suntik.

"Mami...." Mata bulat Ara berkaca, memanggil sang Mami dengan bibir bergetar dan malah dibalas gelak tawa oleh ibunya.

"Dokter Farrel memang luar biasa, tidak kaget bila pasien selalu penuh dan harus membuat janji jika akan periksa." Kagum wanita itu membuat sang dokter hanya bisa terkekeh.

"Mami tangan aku perih." Rengek Ara menjebik kesal.

"Dokter minta maaf, ya. Sakitnya bentar lagi hilang, Ara' kan anak pintar." Farrel meringis penuh rasa bersalah.

"Tidak apa, Pak Dokter, Terima kasih," ujar wanita itu mewakilkan.

"Ini gelang Ara yang paling cantik Pak Dokter kembalikan." Farrel mengambil tangan mungil pasiennya untuk dia pakaiakan gelang tapi anak itu menolak.

"Ara tidak boleh nakal." Sang mami melotot tidak suka.

"Tadi Pak Dokter pengen gelangnya,itu buat anak Pak Dokter saja, nanti Ara biar di beliin Nenek lagi," ujar anak itu malu-malu.

Ibu muda itu terkejut lalu setelahnya tersenyum, mengacak perlahan rambut bergelombang putrinya. "Pak dokter belum punya anak, Sayang."

"Sudah punya, tadi' kan mau beli, pasti anaknya juga secantik aku," tukas ara sambil menyibak rambutnya.

Farrel tidak bisa menahan senyumnya, dunia anak-anak memang menyenangkan, hal yang sangat terlambat dia sadari.  "Terima kasih, Seeara, pasti gelang ini bakal Pak Dokter simpan." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status