Share

Bagian 4 : Ingatan Itu Kembali.

Tidak ada yang abadi, semua yang memiliki awal pasti ada akhir. Layaknya sebuah hubungan, ketika kita menyakini semua itu akan bertahan selamanya, tapi kenyataan berkata sebaliknya. Semua akan kehilangan pada waktunya, hanya ada dua pilihan, ditinggalkan atau meninggalkan, ada saat semua orang merasakan hal itu.

Hidup memang memang penuh kejutan yang tak terduga, detik ini kita masih bisa tersenyum lebar dan tidak tau bahwa di detik selanjunya senyum itu bisa berubah menjadi sebuah tangisan.

"Belum tidur?"

Shira menutup cepat buku hariannya,  menemukan Indah yang malam ini ikut menumpang di gubuk deritanya. Agenda yang awalnya mampir berubah menjadi menginap, dikarenakan hujat lebat yang belum reda sedari sore.

Janda dua puluh delapan tahun itu menggeleng, memasukan buku bersampul navy ke dalam laci. "Aku emang insome, seperti biasa."

Indah mengangguk lalu menarik kursi di samping.  "Luna pules banget, gile tu anak."

"Dia mana peduli, hujan, banjir, gempa, ada maling juga bodo amad, tetep pules, bocah kebo mah biasa." Keduanya tertawa keras, tidak peduli bahwa sahabat geblegnya itu bisa saja terbangun.

"Pernah menunjukan diri di depan Farrel setelah kalian berpisah?" Shira menengok, menatap ragu sahabatnya.

"Aku hanya melihatnya dari jauh, itu sudah cukup untuk membuatku bahagia." Senyum itu begitu dipaksakan.

"Aku tau bagaimana cintamu ke Farrel. Tetapi kamu berhak bahagia, belajar melupakan, Shir, lanjutkan hidup." Bibir perempuan itu terangkat, bagaimana bisa dirinya belajar melupakan? Jika hati dan jiwanya penuh dengan nama Ken Farrel. Cinta tidak semudah itu, ketika kita disakiti berkali-kali bahkan rasa benci itu meluap bersama perasaan merindu yang lebih dalam.

"Semua terlalu berharga untuk dihilangkan, kenangan itu, akan aku membawanya hingga mati." Tidak ada yang bisa membantah, rentetan kesalahan Farrel tak berarti apapun, semua kalah dengan cinta Shira yang begitu besar, rasa yang berasal dari hati itu begitu berbahaya.

Indah menghembuskan napas pelan, seluruh saraf yang berada di tubuh Shira sudah berisi Farrel, seberapa keras dia menasehati tidak akan  mengubah apapun. "Maka, datanglah kepadanya, ungkapkan semua perasaan yang ada di hatimu. Hilangkan harga dirimu sesaat, itu lebih baik daripada kamu menahan lebih lama lagi. Walau nantinya tertolak, kamu tidak akan menyesal atau merasa malu, karena semua yang mengganjal di hati sudah kamu nyatakan ke orang yang benar."

"Sakit sekali, ketika kamu mencintai seseorang tapi tidak bisa memiliki, seperti ada peluru yang sengaja tertancap di jantungmu."

Mata Shira terpejam, menekan kuat dadanya yang berdenyut. Ketika kamu memutuskan untuh mencintai maka keputusan untuk melukai pun ikut terbuka. Rasanya begitu menyakitkan, tidak berdarah bahkan terlihat sekali pun, perihnya menjalar ke seluruh tubuh, memaksa kewarasan tetap terjaga dan jantung tetap berdetak.

Perempuan yang lebih muda dua tahun darinya itu maju, merengkuh cepat tubuh bergetar milik sahabatnya. Hidup Shira memang menyakitkan, lima tahun lalu Indah menemukan wanita ini di kolong jembatan dengan keadaan sangat menyedihkan, kedua kakinya lumpuh dan telinga yang tidak berfungsi sama sekali.

***

"Shira masih suka ngikutin kamu?"

Lelaki itu menulikan telinganya ketika Farzan, teman sesama dokter di rumah sakit tempatnya bekerja mulai mengacau urusan pribadinya. "Lu emang salah, gue tau manusia bisa aja khilaf, tapi bukanya yang buat Shira begitu kamu?"

"Nggak usah bahas itu, gue capek!"

"Lima tahun mana pernah sih lu hidup tenang?" tanya Farzan mengejek. "Keluarin semua yang ganjel di hati, buang gengsi kamu itu, minta maaf, apa susah?"

Farrel meremas kasar rambutnya, kenapa Shira harus kembali muncul? Sesuatu yang membuat dirinya semakin merasa bersalah!

"Aku juga pengen punya istri normal! Aku kangen berkemah, mendaki gunung, menyusuri pantai, keliling luar negeri, aku ingin semua itu, hal yang sulit sekali aku wujudkan bersama kamu sekarang!"

Emosinya meledak, ketika sang istri mulai bertanya kenapa belakangan ini dirinya sering sekali pergi saat sedang libur kerja, beralasan seminar, bertemu dosen atau pun sesuatu yang tidak masuk akal.

"Aku mengerti, bagaimana tersiksanya kamu dengan keadaanku saat ini." Shira mendongak, berusaha tersenyum, hal yang membuat lelaki itu membisu, Shira selalu seperti ini saat menghadapi dirinya yang sedang emosi. "Tapi tidak dengan berselingkuh, Mas. Kamu ingat, bulan madu indah kita di pulau Bali, ketika kamu mengajakku menyusuri pantai kutai, di bawah matahari yang akan muncul, kamu menggegam tanganku, berjanji bahwa suatu hari ketika rasa jenuh datang pada pernikahaan ini, baik itu di kamu dulu atau malah aku, bukankah salah satu dari kita harus jujur? Mengatakan kebenaran agar bisa diatasi bersama?"

"Kamu menyuruhku jujur? Berkata terus terang bahwa aku lelah hidup  bersamamu? Itu sama saja kamu menyuruhku untuk menyakitimu, Lashira!"

"Lebih menyakitkan aku tau dari orang lain, menyakitkan sekaligus mamalukan." Senyum itu belum juga luntur.

"Lalu maumu?" Farrel menatap tajam istrinya.

"Kamu yang main belakang, Mas, bukan aku, jadi bukankah aku yang harus bertanya apa kemauanmu?"

"Jujur, aku ingin berpisah." Farrel mengusap kasar rambutnya. "Aku ingin kamu yang dulu, yang selalu bisa menemaniku berkeliling dunia, mendaki gunung saat puncak kemerdekaan, melakukan traveling ke desa-desa terpencil, masih banyak tempat yang masih ingin aku kunjungi,  tetapi kamu ---" lanjutnya terhenti, diliriknya Shira yang terdiam sambil terus menatapnya.

Senyum itu kembali terbit, hal yang membuat Farrel begitu membencinya, dalam keadaan seperti ini kenapa istrinya masih bisa mengangkat bibir? "Kelumpuhanku memang tidak permanen, aku rajin terapi, tapi mungkin memang belum waktunya aku berjalan lagi, semua butuh kesabaran dan selama dua tahun ini kamu sudah bisa bertahan, kamu hebat, aku tidak menahan jika kesabaranmu kali ini habis."

Hening melanda. Farrel mengumpat tanpa suara, tangan kokoh itu terus saja mengacak kasar rambutnya, bertubi tapi pasti.

"Kamu mencintai wanita itu?" tanya Shira pelan.

Farrel mendongak, menemukan senyum manis Shira yang selalu dirinya dapatkan dalam situasi apapun, bahkan ketika vonis kelumpuhan terjadi pada istrinya itu.

"Dia memiliki selera yang sama denganku bahkan hobi kita pun, dia memiliki jiwa traveling yang tinggi, bahkan saat mendaki perempuan itu tidak terlihat lelah sama sekali." Sudah sejak lama semenjak kecelakaan tragis itu Farrel jarang sekali mengajaknya pillow talk. "Selama dua tahun ini sudah lebih dari lima kali kami melakukan perjalanan, tanpa sepengetahuan kamu, seminar, piknik rumah sakit dan hal lainnya, semua itu hanya alasan agar kamu membiarkanku pergi," sambung Farrel, sudah tertangkap basah memang seharusnya sekalian jujur.

"Dia lebih cantik dariku, ya?" Shira mengangkat sebelah alisnya. Farrel menengok, menatap istrinya yang menyuguhkan pertanyaan tidak masuk akal.

"Cantik itu relatif." Walau aneh lelaki itu tetap menjawab. "Kulitmu seputih susu, matamu indah dan akan bersinar saat kegelapan, senyum kamu itu unik dan menular, siapa saja yang melihatmu tersenyum pasti akan melakukan hal yang sama."

"Kalau perempuan itu?" tanya Shira kembali.

"Dia elegant, wajahnya unik, tegas, badas, dia memiliki senyum yang misterius, sedikit tomboy tapi hal itu tidak mengurangi pesonanya, saat aku bersama denganmu aku merasa nyaman begitu pun saat bersamnya."

"Jadi, kamu pilih siapa?" Menaruh kepalanya di paha Farrel. Jemari itu mulai terangkat guna menyusuri rahang tegas sang lelaki.

Farrel terperangah, berusaha menyingkirkan sentuhan itu tapi tidak berhasil. "Shira, aku serius."

"Aku juga serius, walau aku tau kamu akan memilihnya tapi aku tetap bertanya, memastikan agar hidupku kelak akan tenang walau kamu sudah berpindah ke lain hati." Senyum manis perempuan itu mulai menghilang.

"Kamu terlalu menyepelekan semua hal, Lashira!" teriak Farrel frustasi.

"Aku seperti ini karena aku masih mencintaimu, bahkan ketika aku tau kamu sudah berkhianat."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status