Hidup memang memang penuh kejutan yang tak terduga, detik ini kita masih bisa tersenyum lebar dan tidak tau bahwa di detik selanjunya senyum itu bisa berubah menjadi sebuah tangisan.
"Belum tidur?"
Shira menutup cepat buku hariannya, menemukan Indah yang malam ini ikut menumpang di gubuk deritanya. Agenda yang awalnya mampir berubah menjadi menginap, dikarenakan hujat lebat yang belum reda sedari sore.
Janda dua puluh delapan tahun itu menggeleng, memasukan buku bersampul navy ke dalam laci. "Aku emang insome, seperti biasa."
Indah mengangguk lalu menarik kursi di samping. "Luna pules banget, gile tu anak."
"Dia mana peduli, hujan, banjir, gempa, ada maling juga bodo amad, tetep pules, bocah kebo mah biasa." Keduanya tertawa keras, tidak peduli bahwa sahabat geblegnya itu bisa saja terbangun.
"Pernah menunjukan diri di depan Farrel setelah kalian berpisah?" Shira menengok, menatap ragu sahabatnya.
"Aku hanya melihatnya dari jauh, itu sudah cukup untuk membuatku bahagia." Senyum itu begitu dipaksakan.
"Aku tau bagaimana cintamu ke Farrel. Tetapi kamu berhak bahagia, belajar melupakan, Shir, lanjutkan hidup." Bibir perempuan itu terangkat, bagaimana bisa dirinya belajar melupakan? Jika hati dan jiwanya penuh dengan nama Ken Farrel. Cinta tidak semudah itu, ketika kita disakiti berkali-kali bahkan rasa benci itu meluap bersama perasaan merindu yang lebih dalam.
"Semua terlalu berharga untuk dihilangkan, kenangan itu, akan aku membawanya hingga mati." Tidak ada yang bisa membantah, rentetan kesalahan Farrel tak berarti apapun, semua kalah dengan cinta Shira yang begitu besar, rasa yang berasal dari hati itu begitu berbahaya.
Indah menghembuskan napas pelan, seluruh saraf yang berada di tubuh Shira sudah berisi Farrel, seberapa keras dia menasehati tidak akan mengubah apapun. "Maka, datanglah kepadanya, ungkapkan semua perasaan yang ada di hatimu. Hilangkan harga dirimu sesaat, itu lebih baik daripada kamu menahan lebih lama lagi. Walau nantinya tertolak, kamu tidak akan menyesal atau merasa malu, karena semua yang mengganjal di hati sudah kamu nyatakan ke orang yang benar."
"Sakit sekali, ketika kamu mencintai seseorang tapi tidak bisa memiliki, seperti ada peluru yang sengaja tertancap di jantungmu."
Mata Shira terpejam, menekan kuat dadanya yang berdenyut. Ketika kamu memutuskan untuh mencintai maka keputusan untuk melukai pun ikut terbuka. Rasanya begitu menyakitkan, tidak berdarah bahkan terlihat sekali pun, perihnya menjalar ke seluruh tubuh, memaksa kewarasan tetap terjaga dan jantung tetap berdetak.
Perempuan yang lebih muda dua tahun darinya itu maju, merengkuh cepat tubuh bergetar milik sahabatnya. Hidup Shira memang menyakitkan, lima tahun lalu Indah menemukan wanita ini di kolong jembatan dengan keadaan sangat menyedihkan, kedua kakinya lumpuh dan telinga yang tidak berfungsi sama sekali.
***
Lelaki itu menulikan telinganya ketika Farzan, teman sesama dokter di rumah sakit tempatnya bekerja mulai mengacau urusan pribadinya. "Lu emang salah, gue tau manusia bisa aja khilaf, tapi bukanya yang buat Shira begitu kamu?"
"Nggak usah bahas itu, gue capek!"
"Lima tahun mana pernah sih lu hidup tenang?" tanya Farzan mengejek. "Keluarin semua yang ganjel di hati, buang gengsi kamu itu, minta maaf, apa susah?"
Farrel meremas kasar rambutnya, kenapa Shira harus kembali muncul? Sesuatu yang membuat dirinya semakin merasa bersalah!
"Aku juga pengen punya istri normal! Aku kangen berkemah, mendaki gunung, menyusuri pantai, keliling luar negeri, aku ingin semua itu, hal yang sulit sekali aku wujudkan bersama kamu sekarang!"
Emosinya meledak, ketika sang istri mulai bertanya kenapa belakangan ini dirinya sering sekali pergi saat sedang libur kerja, beralasan seminar, bertemu dosen atau pun sesuatu yang tidak masuk akal.
"Aku mengerti, bagaimana tersiksanya kamu dengan keadaanku saat ini." Shira mendongak, berusaha tersenyum, hal yang membuat lelaki itu membisu, Shira selalu seperti ini saat menghadapi dirinya yang sedang emosi. "Tapi tidak dengan berselingkuh, Mas. Kamu ingat, bulan madu indah kita di pulau Bali, ketika kamu mengajakku menyusuri pantai kutai, di bawah matahari yang akan muncul, kamu menggegam tanganku, berjanji bahwa suatu hari ketika rasa jenuh datang pada pernikahaan ini, baik itu di kamu dulu atau malah aku, bukankah salah satu dari kita harus jujur? Mengatakan kebenaran agar bisa diatasi bersama?"
"Kamu menyuruhku jujur? Berkata terus terang bahwa aku lelah hidup bersamamu? Itu sama saja kamu menyuruhku untuk menyakitimu, Lashira!"
"Lebih menyakitkan aku tau dari orang lain, menyakitkan sekaligus mamalukan." Senyum itu belum juga luntur.
"Lalu maumu?" Farrel menatap tajam istrinya.
"Kamu yang main belakang, Mas, bukan aku, jadi bukankah aku yang harus bertanya apa kemauanmu?"
"Jujur, aku ingin berpisah." Farrel mengusap kasar rambutnya. "Aku ingin kamu yang dulu, yang selalu bisa menemaniku berkeliling dunia, mendaki gunung saat puncak kemerdekaan, melakukan traveling ke desa-desa terpencil, masih banyak tempat yang masih ingin aku kunjungi, tetapi kamu ---" lanjutnya terhenti, diliriknya Shira yang terdiam sambil terus menatapnya.
Senyum itu kembali terbit, hal yang membuat Farrel begitu membencinya, dalam keadaan seperti ini kenapa istrinya masih bisa mengangkat bibir? "Kelumpuhanku memang tidak permanen, aku rajin terapi, tapi mungkin memang belum waktunya aku berjalan lagi, semua butuh kesabaran dan selama dua tahun ini kamu sudah bisa bertahan, kamu hebat, aku tidak menahan jika kesabaranmu kali ini habis."
Hening melanda. Farrel mengumpat tanpa suara, tangan kokoh itu terus saja mengacak kasar rambutnya, bertubi tapi pasti.
"Kamu mencintai wanita itu?" tanya Shira pelan.
Farrel mendongak, menemukan senyum manis Shira yang selalu dirinya dapatkan dalam situasi apapun, bahkan ketika vonis kelumpuhan terjadi pada istrinya itu.
"Dia memiliki selera yang sama denganku bahkan hobi kita pun, dia memiliki jiwa traveling yang tinggi, bahkan saat mendaki perempuan itu tidak terlihat lelah sama sekali." Sudah sejak lama semenjak kecelakaan tragis itu Farrel jarang sekali mengajaknya pillow talk. "Selama dua tahun ini sudah lebih dari lima kali kami melakukan perjalanan, tanpa sepengetahuan kamu, seminar, piknik rumah sakit dan hal lainnya, semua itu hanya alasan agar kamu membiarkanku pergi," sambung Farrel, sudah tertangkap basah memang seharusnya sekalian jujur.
"Dia lebih cantik dariku, ya?" Shira mengangkat sebelah alisnya. Farrel menengok, menatap istrinya yang menyuguhkan pertanyaan tidak masuk akal.
"Cantik itu relatif." Walau aneh lelaki itu tetap menjawab. "Kulitmu seputih susu, matamu indah dan akan bersinar saat kegelapan, senyum kamu itu unik dan menular, siapa saja yang melihatmu tersenyum pasti akan melakukan hal yang sama."
"Kalau perempuan itu?" tanya Shira kembali.
"Dia elegant, wajahnya unik, tegas, badas, dia memiliki senyum yang misterius, sedikit tomboy tapi hal itu tidak mengurangi pesonanya, saat aku bersama denganmu aku merasa nyaman begitu pun saat bersamnya."
"Jadi, kamu pilih siapa?" Menaruh kepalanya di paha Farrel. Jemari itu mulai terangkat guna menyusuri rahang tegas sang lelaki.
Farrel terperangah, berusaha menyingkirkan sentuhan itu tapi tidak berhasil. "Shira, aku serius."
"Aku juga serius, walau aku tau kamu akan memilihnya tapi aku tetap bertanya, memastikan agar hidupku kelak akan tenang walau kamu sudah berpindah ke lain hati." Senyum manis perempuan itu mulai menghilang.
"Kamu terlalu menyepelekan semua hal, Lashira!" teriak Farrel frustasi.
"Aku seperti ini karena aku masih mencintaimu, bahkan ketika aku tau kamu sudah berkhianat."
Perempuan itu turun dari mobil, melepas perlahan kacamata hitam yang melekat pada matanya. Netra itu menelisik, mencari seseorang yang akan dirinya temui, dengan langkah anggun kaki jenjang itu bergerak, melewati beberapa meja yang sudah terisi, dan ketika wanita yang akan dirinya jumpai sudah terlihat, perempuan itu mempercepat langkahnya, menarik kursi lalu terduduk di sana. "Sudah lama?" Tanyanya sambil menaruh tas kecil yang dirinya bawa ke atas meja. Wanita paruh baya itu mendongak, lalu menaruh ponsel pintarnya. "Lumayan." "Kamu semakin cantik dan sepertinya sudah tidak bodoh lagi." Raya menyeruput minumannya. "Ken baik-baik saja?" Wajah cantik itu seketika sendu. Raya tertawa. "Sepertinya saya salah, kamu masih saj
Enam tahun lalu Raya pernah ada di situasi tidak masuk akal di mana sang putra menyuruh sang istri berselingkuh agar kejadian di masa lalu terulang. Wanita paruh baya itu tidak pernah mengerti cinta seperti apa yang kedua anak muda itu miliki. Karena menurutnya tidak ada cinta yang saling menyakiti, tapi hal itu tidak berlaku untuk manusia setengah waras yang sialnya adalah anak dan menantunya. Raya yang dulu selalu ikut campur pun akhirnya menyerah, membiarkan kedua anak manusia itu menjalani kehidupan yang menurut mereka benar. Untung saja dirinya masih memiliki Keisya, putrinya yang selama ini menempuh studi di lu
"Mana ponselnya?" Lelaki itu mendekat lalu mengulurkan tangannya."Apa sih." Kaki kecil itu terangkat. "Telinga aku masih bisa dengar, nggak usah teriak."Menghembuskan napas pelan, lelaki berkemeja biru itu mencoba menahan emosi. "Mana, banyak kerjaan di situ.""Mami!" Jurus andalan anak berusia enam tahun itu keluar."Farrel, Kawa kenapa?" Wanita paruh baya itu berlari tergesa, memeluk cepat cucunya yang sudah berderai air mata."Mami." Gadis itu melempar ponsel berwarna gold itu ke sofa."Kamu! Bagaimana kalau jatuh?!" Teriaknya ketika melihat bagaimana sang anak melempar ponselnya ke sofa."Jaga nada suara kamu, Farrel!" Raya melotot."Mami, dia....""Dia siapa? Hah? Anak ini punya nama." Raya melotot tidak suka."Mami!
Shira melangkahkan kakinya, menyusuri jalanan panjang yang sepertinya tidak akan berujung. Di tangannya ada amplop putih dengan logo rumah sakit, di dalam sana ada sebuah pernyataam yang membuat hati perempuan itu campur-aduk, separuhnya bahagia dan sisanya rasa khawatir.Entah sudah sejauh apa kaki itu melangkah, nyatanya Shira sama sekali tidak merasa lelah. Pikirannya bercabang, perasaannya tidak karuan, dan tubuhnya sekarang terasa mati rasa. Jika berita ini datang di saat dia tidak mengetahui fakta tentang Ken yang berselingkuh karena dirinya mungkin Shira akan menyambut ini dengan kebahagiaan penuh tapi sayang untuk kedua kalinya buah cinta itu hadir di saat yang sangat tidak tepat.Perempuan itu memiliki janji kepada lelaki yang sangat dia cintai, sebuah janji
"Lashira?" Sebuah sentuan membuat wanita di depannya menoleh."Sandra?" Mulut Shira terbuka."Kamu apakabar?" Perempuan bergaun Hitam itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya."Aku, aku baik." Sedikit tergugup Shira mengulurkan tangan."Boleh bicara sebentar?" Sandra menunjuk cafe samping."Ha?" Shira terlihat bingung."Kalau ada waktu mau ngobrol." Perempuan itu akhirnya mengangguk, mengikuti Sandra yang sudah memasuki cafe terlebih dahulu."Kamu kembali menikah dengan Farrel, bukan?" Tanpa basa basi Sandra bertanya."Iya," jawab Shira ragu."Santai, aku nggak akan marah, aku sama Farrel juga nggak ada perasaan apapun," ujar Sandra tersenyum."Iya," jawab Shira sungkan."Kamu jalan sama lelaki lai
Sudah dua bulan sejak mereka akhirnya menikah secara hukum. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama, hanya saja ada kemajuan pada hubungan Shira dan Abil, beberapa kali Ken melihat mereka bersama dan terlihat semakin akrab. Sebenarnya ketika Abil sudah terlihat serius, Ken ingin sekali berbicara empat mata pada lelaki itu, menyerahkan seseorang yang dirinya cintai kepada lelaki yang lebih berhak. Tapi desakan maminya untuk menikahi Sandra membuat Ken mau tidak mau harus mendaftarkan pernikahannya.Masuk ke kamar mandi, Ken menghembuskan napas kasar, entah sudah berapa puluh testpack yang Shira gunakan, wanita itu ingin sekali hamil tapi kenyataannya takdir lebih memihaknya. Walau tidak menghalangi agar anak itu datang tapi Ken yakin dengan kondisinya dan Shira yang tidak cukup baik akan membuat wanita itu sulit hamil. Syukurlah, ka