Share

Bagian 2 : Masih Mencintai.

"Lama-lama lu berdua diamuk si bos datang telat melulu!" Indah berkacak pinggang sambil memandang kedua sahabatnya yang sedang membersihkan meja.

"Astogeh, emang Shira ini otaknya nggak pernah di pakai, pagi sebelum kerja harus banget nyamperin si pentolan, mit amit dah akhlaknya." Tatapan jijik setia terpancar dari kedua mata Luna.

"Kalau ngomong yang bener woy, laki gue yang cakepnya bikin pusing begitu dibilang pentolan?! Mata lu katarak atau gimana!" Shira tersungut, merasa tidak terima pangeran yang pernah menghangatkan ranjangnya terhina.

"Eh, Maemunah! Gue panggil laki lu pakai nama kaga boleh, katanya mulut gua karatan dan nggak pantas sebut nama dia! Ya udah, paling bagus gua panggil dia si pentolan!"

"Kerjaan lu berdua ribut mulu, dipecat juga baru tau rasa," teriak Indah frustasi, menyaksikan kedua sahabatnya bertengkar memang sudah biasa, tetapi jika sedang di tempat kerja mau atau tidak dirinya harus menengahi.

"Ada apa ini, kenapa malah gosip?"

Ketiganya terkatup, menengok serentak dan menemukan sesosok wanita berambut panjang dengan bibir merah yang membahana, persis seperti habis memakan orok.

"Ini, Bu, Shira alat bantu dengarnya tadi ngedengung, jadi kita mau benerin." IQ Indah memang yang paling tinggi, selalu bisa membuat alasan walau terkadang tidak masuk akal tapi setidaknya membantu.

Luna mengangguk cepat. "Iya, Bu, tadi Shira minta tolong, jadi kita ---"

"Up to you, saya nggak peduli, cepat kerja, keburu ada pelanggan," potong perempuan itu cepat lalu berlalu untuk pergi ke ruangan atas.

"Bener-bener itu penghisap darah, sombong amat mentang-mentang tajir." Bibir Luna mencebik, melempar kesal kanebo yang berada di tangan.

"Kenapa sih gue mulu yang jadi kambing hitam? Alat bantu dengar gua kapan ngedengung?!" Sungut Shira tidak terima.

"Indah, gebleg, gua cuma ngikut dia." Luna dan segala kemenangannya, mana mau manusia satu ini disalahkan.

"Mulut gue asal nyaplak aja tadi, daripada kena semprot, pilih mana hayo?"

"Ada apa ini? Kok tumben rame?" Genk cecans serentak membisu, menatap lelaki berperawakan tinggi yang mulai mendekat.

"Eh, Pak Arga." Luna tersenyum malu, hatinya berdesir setiap bos tampannya ini mengajak berinteraksi.

"Alat bantu dengar Shira tadi bermasalah,  jadi kita bantuin." Lagi-lagi janda high class itu menjadi kambing hitam. Indah meringis, menatap tanpa dosa ke arah sahabatnya.

"Kamu kenapa, Shira? Ada yang sakit? Kalau kurang sehat kamu bisa istirahat." Pak Arga dan segala perhatinya.

"Anu, Pak ---" Shira tergugup.

"Tadi alat bantu dengar dia lepas, udahlah mas nggak apa, ayo keburu telat," potong wanita itu sambil berjalan ke arah mereka, matanya terus melirik galak ketiga perempuan di depannya.

"Oh begitu, lain kali kalau ada masalah jangan sungkan buat bilang ke saya," jawab lelaki itu cepat,  memandang Shira dengan tatapan penuh kelembutan, seperti biasa.

"Iya Pak Arga, baik banget sih," saut Luna kilat.

"Jaga mata kalian dari suami saya!"

"Calon mbak belum juga ijab qobul." Luna menyaut tidak terima, membuat kakinya refleks terinjak dan untung saja teriakan itu bisa ditahan.

"Maksud si Luna bukan ---" Indah berusaha menjelaskan. Ekor matanya melirik galak sahabat geblegnya itu sedangkan Shira hanya diam menunduk, sadar Arga terus mencuri pandang ke arahnya.

"Mas ayo cepetan!" Dengan wajah merah padam Liza menarik tangan tunanganya menjauh.

"Gila! Kenapa bisa babang tamvab Arga gue nyangkut ama penghisep darah, Woi!" teriak Luna frustasi ketika dua orang itu sudah menghilang. "Bener-bener di santet, yakin gue mah!" lanjut perempuan itu  berapi-api.

"Dahlah kerja, yang penting pas jam istirahat gue bisa nyamperin Mas Ken." Bibir Shira terangkat, hanya dengan melihat lelaki yang dia cintai dari jauh, itu sudah sangat cukup bagi Shira dan kewarasannya.

"Eling Shira, itu bukan laki lu lagi!" teriak kedua sahabatanya serentak.

"Bodo!"

*

"Bakso Mamang enak banget, ya? Sampe Neng geulis tiap hari ini makan di sini?"

"Sssstt."Shira menaruh telunjuknya di bibir, memperingatkan agar si mamang mengatupkan bibir.

"Eh, ini kurang satu atuh, Neng geulis satunya ke mana?" Mamang terus saja berbicara.

"Indah ada urusan, dia pinter cari alasan nggak kek aku, goblog banget kalo mau ngelak." Luna mengerucut, menyindir sahabatnya yang tidak perasa ini.

"Tapi pasti Mbak Luna senang' kan bisa makan bakso Mamang yang mantul ini?"

"Mang, besok Luna ke sini bawa makan lain tapi numpang aja, boleh?" Satu bakso besar masuk ke mulutnya.

"Diem ngapa Lu Siti!" Tatapan tajam Shira mengkilat.

"Nggak ngarti lagi dah gua." Luna mengambil es teh di depan dan menengaknya cepat. Mamang menggelengkan kepalanya lalu kembali ke gerobak, melayani pembeli yang baru saja datang.

"Mas Ken Keluar," teriak Shira histeris, senyum semanis gula terbit hanya karena lelaki yang sudah menjadi mantan suaminya itu. "Lun, perempuan itu siapa? Kenapa beda dari yang kemaren?" lanjutnya pelan, menatap seseorang yang ikut masuk ke dalam mobil Ken.

"Siapa lagi kalau bukan penghangat ranjangnya." Luna melirik lelaki itu sambil terus mengunyah rambak yang berada di tangan.

"Mas Ken nggak gitu." Dan entah sudah ke berapa kalinya perempuan itu tetap membela mantan suaminya.

"Nggak gitu?" Luna tertawa. "Dia tega cerain kamu di saat ---"

"Ssst aku nggak mau dengar!"

"Belain aja terus, sampe kuda bertelur!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status