"Astogeh, emang Shira ini otaknya nggak pernah di pakai, pagi sebelum kerja harus banget nyamperin si pentolan, mit amit dah akhlaknya." Tatapan jijik setia terpancar dari kedua mata Luna.
"Kalau ngomong yang bener woy, laki gue yang cakepnya bikin pusing begitu dibilang pentolan?! Mata lu katarak atau gimana!" Shira tersungut, merasa tidak terima pangeran yang pernah menghangatkan ranjangnya terhina.
"Eh, Maemunah! Gue panggil laki lu pakai nama kaga boleh, katanya mulut gua karatan dan nggak pantas sebut nama dia! Ya udah, paling bagus gua panggil dia si pentolan!"
"Kerjaan lu berdua ribut mulu, dipecat juga baru tau rasa," teriak Indah frustasi, menyaksikan kedua sahabatnya bertengkar memang sudah biasa, tetapi jika sedang di tempat kerja mau atau tidak dirinya harus menengahi.
"Ada apa ini, kenapa malah gosip?"
Ketiganya terkatup, menengok serentak dan menemukan sesosok wanita berambut panjang dengan bibir merah yang membahana, persis seperti habis memakan orok.
"Ini, Bu, Shira alat bantu dengarnya tadi ngedengung, jadi kita mau benerin." IQ Indah memang yang paling tinggi, selalu bisa membuat alasan walau terkadang tidak masuk akal tapi setidaknya membantu.
Luna mengangguk cepat. "Iya, Bu, tadi Shira minta tolong, jadi kita ---"
"Up to you, saya nggak peduli, cepat kerja, keburu ada pelanggan," potong perempuan itu cepat lalu berlalu untuk pergi ke ruangan atas.
"Bener-bener itu penghisap darah, sombong amat mentang-mentang tajir." Bibir Luna mencebik, melempar kesal kanebo yang berada di tangan.
"Kenapa sih gue mulu yang jadi kambing hitam? Alat bantu dengar gua kapan ngedengung?!" Sungut Shira tidak terima.
"Indah, gebleg, gua cuma ngikut dia." Luna dan segala kemenangannya, mana mau manusia satu ini disalahkan.
"Mulut gue asal nyaplak aja tadi, daripada kena semprot, pilih mana hayo?"
"Ada apa ini? Kok tumben rame?" Genk cecans serentak membisu, menatap lelaki berperawakan tinggi yang mulai mendekat.
"Eh, Pak Arga." Luna tersenyum malu, hatinya berdesir setiap bos tampannya ini mengajak berinteraksi.
"Alat bantu dengar Shira tadi bermasalah, jadi kita bantuin." Lagi-lagi janda high class itu menjadi kambing hitam. Indah meringis, menatap tanpa dosa ke arah sahabatnya.
"Kamu kenapa, Shira? Ada yang sakit? Kalau kurang sehat kamu bisa istirahat." Pak Arga dan segala perhatinya.
"Anu, Pak ---" Shira tergugup.
"Tadi alat bantu dengar dia lepas, udahlah mas nggak apa, ayo keburu telat," potong wanita itu sambil berjalan ke arah mereka, matanya terus melirik galak ketiga perempuan di depannya.
"Oh begitu, lain kali kalau ada masalah jangan sungkan buat bilang ke saya," jawab lelaki itu cepat, memandang Shira dengan tatapan penuh kelembutan, seperti biasa.
"Iya Pak Arga, baik banget sih," saut Luna kilat.
"Jaga mata kalian dari suami saya!"
"Calon mbak belum juga ijab qobul." Luna menyaut tidak terima, membuat kakinya refleks terinjak dan untung saja teriakan itu bisa ditahan.
"Maksud si Luna bukan ---" Indah berusaha menjelaskan. Ekor matanya melirik galak sahabat geblegnya itu sedangkan Shira hanya diam menunduk, sadar Arga terus mencuri pandang ke arahnya.
"Mas ayo cepetan!" Dengan wajah merah padam Liza menarik tangan tunanganya menjauh.
"Gila! Kenapa bisa babang tamvab Arga gue nyangkut ama penghisep darah, Woi!" teriak Luna frustasi ketika dua orang itu sudah menghilang. "Bener-bener di santet, yakin gue mah!" lanjut perempuan itu berapi-api.
"Dahlah kerja, yang penting pas jam istirahat gue bisa nyamperin Mas Ken." Bibir Shira terangkat, hanya dengan melihat lelaki yang dia cintai dari jauh, itu sudah sangat cukup bagi Shira dan kewarasannya.
"Eling Shira, itu bukan laki lu lagi!" teriak kedua sahabatanya serentak.
"Bodo!"
*
"Bakso Mamang enak banget, ya? Sampe Neng geulis tiap hari ini makan di sini?"
"Sssstt."Shira menaruh telunjuknya di bibir, memperingatkan agar si mamang mengatupkan bibir.
"Eh, ini kurang satu atuh, Neng geulis satunya ke mana?" Mamang terus saja berbicara.
"Indah ada urusan, dia pinter cari alasan nggak kek aku, goblog banget kalo mau ngelak." Luna mengerucut, menyindir sahabatnya yang tidak perasa ini.
"Tapi pasti Mbak Luna senang' kan bisa makan bakso Mamang yang mantul ini?"
"Mang, besok Luna ke sini bawa makan lain tapi numpang aja, boleh?" Satu bakso besar masuk ke mulutnya.
"Diem ngapa Lu Siti!" Tatapan tajam Shira mengkilat.
"Nggak ngarti lagi dah gua." Luna mengambil es teh di depan dan menengaknya cepat. Mamang menggelengkan kepalanya lalu kembali ke gerobak, melayani pembeli yang baru saja datang.
"Mas Ken Keluar," teriak Shira histeris, senyum semanis gula terbit hanya karena lelaki yang sudah menjadi mantan suaminya itu. "Lun, perempuan itu siapa? Kenapa beda dari yang kemaren?" lanjutnya pelan, menatap seseorang yang ikut masuk ke dalam mobil Ken.
"Siapa lagi kalau bukan penghangat ranjangnya." Luna melirik lelaki itu sambil terus mengunyah rambak yang berada di tangan.
"Mas Ken nggak gitu." Dan entah sudah ke berapa kalinya perempuan itu tetap membela mantan suaminya.
"Nggak gitu?" Luna tertawa. "Dia tega cerain kamu di saat ---"
"Ssst aku nggak mau dengar!"
"Belain aja terus, sampe kuda bertelur!"
Perempuan itu turun dari mobil, melepas perlahan kacamata hitam yang melekat pada matanya. Netra itu menelisik, mencari seseorang yang akan dirinya temui, dengan langkah anggun kaki jenjang itu bergerak, melewati beberapa meja yang sudah terisi, dan ketika wanita yang akan dirinya jumpai sudah terlihat, perempuan itu mempercepat langkahnya, menarik kursi lalu terduduk di sana. "Sudah lama?" Tanyanya sambil menaruh tas kecil yang dirinya bawa ke atas meja. Wanita paruh baya itu mendongak, lalu menaruh ponsel pintarnya. "Lumayan." "Kamu semakin cantik dan sepertinya sudah tidak bodoh lagi." Raya menyeruput minumannya. "Ken baik-baik saja?" Wajah cantik itu seketika sendu. Raya tertawa. "Sepertinya saya salah, kamu masih saj
Enam tahun lalu Raya pernah ada di situasi tidak masuk akal di mana sang putra menyuruh sang istri berselingkuh agar kejadian di masa lalu terulang. Wanita paruh baya itu tidak pernah mengerti cinta seperti apa yang kedua anak muda itu miliki. Karena menurutnya tidak ada cinta yang saling menyakiti, tapi hal itu tidak berlaku untuk manusia setengah waras yang sialnya adalah anak dan menantunya. Raya yang dulu selalu ikut campur pun akhirnya menyerah, membiarkan kedua anak manusia itu menjalani kehidupan yang menurut mereka benar. Untung saja dirinya masih memiliki Keisya, putrinya yang selama ini menempuh studi di lu
"Mana ponselnya?" Lelaki itu mendekat lalu mengulurkan tangannya."Apa sih." Kaki kecil itu terangkat. "Telinga aku masih bisa dengar, nggak usah teriak."Menghembuskan napas pelan, lelaki berkemeja biru itu mencoba menahan emosi. "Mana, banyak kerjaan di situ.""Mami!" Jurus andalan anak berusia enam tahun itu keluar."Farrel, Kawa kenapa?" Wanita paruh baya itu berlari tergesa, memeluk cepat cucunya yang sudah berderai air mata."Mami." Gadis itu melempar ponsel berwarna gold itu ke sofa."Kamu! Bagaimana kalau jatuh?!" Teriaknya ketika melihat bagaimana sang anak melempar ponselnya ke sofa."Jaga nada suara kamu, Farrel!" Raya melotot."Mami, dia....""Dia siapa? Hah? Anak ini punya nama." Raya melotot tidak suka."Mami!
Shira melangkahkan kakinya, menyusuri jalanan panjang yang sepertinya tidak akan berujung. Di tangannya ada amplop putih dengan logo rumah sakit, di dalam sana ada sebuah pernyataam yang membuat hati perempuan itu campur-aduk, separuhnya bahagia dan sisanya rasa khawatir.Entah sudah sejauh apa kaki itu melangkah, nyatanya Shira sama sekali tidak merasa lelah. Pikirannya bercabang, perasaannya tidak karuan, dan tubuhnya sekarang terasa mati rasa. Jika berita ini datang di saat dia tidak mengetahui fakta tentang Ken yang berselingkuh karena dirinya mungkin Shira akan menyambut ini dengan kebahagiaan penuh tapi sayang untuk kedua kalinya buah cinta itu hadir di saat yang sangat tidak tepat.Perempuan itu memiliki janji kepada lelaki yang sangat dia cintai, sebuah janji
"Lashira?" Sebuah sentuan membuat wanita di depannya menoleh."Sandra?" Mulut Shira terbuka."Kamu apakabar?" Perempuan bergaun Hitam itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya."Aku, aku baik." Sedikit tergugup Shira mengulurkan tangan."Boleh bicara sebentar?" Sandra menunjuk cafe samping."Ha?" Shira terlihat bingung."Kalau ada waktu mau ngobrol." Perempuan itu akhirnya mengangguk, mengikuti Sandra yang sudah memasuki cafe terlebih dahulu."Kamu kembali menikah dengan Farrel, bukan?" Tanpa basa basi Sandra bertanya."Iya," jawab Shira ragu."Santai, aku nggak akan marah, aku sama Farrel juga nggak ada perasaan apapun," ujar Sandra tersenyum."Iya," jawab Shira sungkan."Kamu jalan sama lelaki lai
Sudah dua bulan sejak mereka akhirnya menikah secara hukum. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama, hanya saja ada kemajuan pada hubungan Shira dan Abil, beberapa kali Ken melihat mereka bersama dan terlihat semakin akrab. Sebenarnya ketika Abil sudah terlihat serius, Ken ingin sekali berbicara empat mata pada lelaki itu, menyerahkan seseorang yang dirinya cintai kepada lelaki yang lebih berhak. Tapi desakan maminya untuk menikahi Sandra membuat Ken mau tidak mau harus mendaftarkan pernikahannya.Masuk ke kamar mandi, Ken menghembuskan napas kasar, entah sudah berapa puluh testpack yang Shira gunakan, wanita itu ingin sekali hamil tapi kenyataannya takdir lebih memihaknya. Walau tidak menghalangi agar anak itu datang tapi Ken yakin dengan kondisinya dan Shira yang tidak cukup baik akan membuat wanita itu sulit hamil. Syukurlah, ka