Aku mengungkapkan keinginanku pada Mas Agung. Walaupun di sini untuk urusan perut dan tempat tinggal terpenuhi, tetapi aku ingin mengubah nasib. Berharap bisa bertemu Ayah, mengajaknya pulang, dan kami hidup bersama seperti keluarga normal lainnya.
“Lan, kamu kuliah saja. Nanti Mas akan bicara dengan Bapak,” bujuk Mas Agung meyakinkanku.“Terima kasih, Mas. Tekad Wulan sudah kuat.”Laki-laki itu tetap tak setuju. Sekuat apa ia melarang, sekuat itu pula aku beralasan. Menurutnya pendidikan sangat penting. Walaupun Paman dengan ikhlas membiayai kuliahku, tetapi itu akan menjadi senjata baru bagi istrinya untuk mengekang kami. Orang-orang melihat hidup kami enak, tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya.Mas Agung kalah, ia pun tak punya kuasa untuk melarang. Aku yakin ia tulus, tetapi aku juga punya ambisi dan berhak menentukan pilihan. Kehadiran Ayah sangat penting. Ia tak akan pernah tahu bagaimana rinduku pada Ayah.***Sebelum tidur, kuceritakan pada Ibu. Ternyata tak mudah mendapatkan restunya. Ibu takut sesuatu yang buruk menimpaku.“Tunggulah dua tahun lagi.”Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk bertahan menebalkan telinga dari ocehan Bibi. Hidup menumpang di rumah Paman sebagai pembantu tak akan mengubah keadaan. Nasib kami akan terus begini. Lagi pula, aku merasa Ayah tak akan pernah kembali. Mungkin ia sudah nyaman di kota, sehingga lupa bahwa dulu pernah menikahi seorang perempuan desa dan memiliki anak. Ibu bilang, Ayah laki-laki yang baik, karena itu aku ingin mencarinya dan membuktikan perkataan Ibu. Setelah berusaha keras meyakinkan Ibu dan berjanji untuk selalu menjaga diri serta kehormatan sebagai perempuan, akhirnya Ibu mengabulkan permohonanku.“Jika Wulan dapat pekerjaan tetap, Wulan akan ajak Ibu. Kita ke kota bersama. Siapa tahu, bisa bertemu Ayah.” Aku berjanji pada Ibu.Perempuan itu memandang sendu, kemudian jemarinya mengelus pipiku lembut.“Jika Ayah melihat Wulan, ia pasti bisa mengenali Wulan. Dulu Ibu pernah bilang, kalau ikatan batin orang tua pada anaknya itu sangat kuat. Lagi pula, Wulan mirip dengan Ayah. Iya, kan, Bu?”Ibu terdiam dengan bibir yang bergetar seketika.Aku teringat, saat masih kecil dulu ketika sakit dan menangis ingin bertemu Ayah. Ibu menggendongku, kemudian berdiri di depan cermin sambil berkata, “Jika Wulan rindu dengan Ayah, lihatlah cermin, kemudian tersenyum. Wulan akan melihat Ayah di sana.”Sejak saat itu, setiap pagi, aku akan menatap cermin dengan sebuah senyuman.“Wulan janji akan pulang, dan membawa Ibu bersama Wulan.”Tangis Ibu pecah, ia memelukku erat. “Dulu Ibu juga mendengar kalimat itu, tetapi dari orang yang berbeda. Cukup Ayah saja yang tak pernah kembali, tetapi Wulan harus pulang, ya, Nak!”Aku mengangguk. Kembali kami menangis bersama. Tak terhitung lagi sudah berapa banyak air mata yang tumpah. Aku mengeratkan pelukan, menikmati dekapan hangat yang sangat kukenal. Jika kamar ini bisa bicara, mungkin ia akan bersimpati dengan nasib kami.***Setelah ijazah diterima, aku dan Dewi mulai mempersiapkan diri. Beberapa potong pakaian, identitas diri, serta uang telah tersimpan di tas hitam pemberian Mas Agung. Ibu juga membekali kami dengan beberapa bungkus nasi dan lauk. Mulanya Paman tak setuju aku pergi. Tak aman anak perempuan pergi sendiri, alasannya. Namun karena tujuan kami jelas, ditambah perjuangan Ibu, akhirnya Paman merestui. Sedangkan Mas Agung sudah kembali ke Depok beberapa hari yang lalu, karena ia harus kuliah.Kami naik angkutan umum menuju stasiun. Ibu ikut mengantar. Dari tadi, aku bisa melihat raut sedih di wajahnya. Sepanjang jalan, Ibu tak lepas menggenggam tanganku dan mengucapkan nasihat yang sudah sering kudengar. “Kerudungnya jangan dilepas, ya, Nak. Ini perintah Allah. Selain itu, juga dapat melindungi kulit kita dari efek buruk sinar matahari dan pandangan laki-laki yang bukan mahram.”“Iya, Bu.”“Salat dan baca Al-Qur’an jangan sampai lupa. Dengan mengingat Allah, berarti Wulan sudah mengingat Ibu.”Aku mengangguk dan tersenyum. Ibu adalah orang yang paling tulus mencintai anaknya.Sesampainya di stasiun aku pamit, kemudian bergegas menaiki kereta bersama Dewi. Berkali-kali aku menengok ke belakang, melihat wajah sedih itu. Mungkin Ibu teringat kejadian 18 tahun lalu, kala melepas Ayah. Melihatnya menangis, air mataku pun tumpah.Maafkan Wulan, Ibu, karena meninggalkanmu untuk sementara. Wulan berjanji akan pulang. Doakan anakmu agar bisa mewujudkan mimpinya mengubah keadaan kita dan bertemu Ayah.***Sepanjang perjalanan, Dewi sangat bahagia. Ia begitu antusias melihat indahnya pemandangan. Berkali-kali perempuan itu bercanda, mengungkapkan kegembiraan. Aku hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan. Suasana hati kami berbeda, ia pergi tanpa beban. Namun tidak denganku, separuh hati tertinggal bersama Ibu.Aku terbangun, ketika suara riuh penumpang terdengar. Ternyata kereta telah sampai di Stasiun Gambir. Kami bergegas mempersiapkan diri, memastikan tak ada barang yang tertinggal.Keluar dari stasiun, lambaian tangan seorang laki-laki paruh baya menyambut kedatangan kami. Dia adalah Pak Amin, paman Dewi beserta istrinya.“Paman, sudah lama menunggu?” tanya Dewi, setelah mencium tangannya.“Tidak. Baru sepuluh menit yang lalu,” jawabnya.Dewi memperkenalkanku pada keluarga pamannya. Mereka telah tinggal di Jakarta selama 15 tahun. Walaupun jarang bertemu, tetapi dewi sangat akrab dengan mereka.Sepanjang perjalanan, pandanganku berkelana menatap indahnya kota. Gedung tinggi menjulang, ramai penduduk, serta banyaknya kendaraan yang lalu-lalang seolah memberi pertanda begitu banyak orang bergantung pada kota ini.Kami pun tiba di sebuah kompleks perumahan padat penduduk. Jalannya agak sempit, padahal banyak kendaraan yang melintas. Jika ada mobil berpapasan, maka salah satu harus menepi agar perjalanan lancar.“Wulan jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri,” ucap Bu Marti—istri Pak Amin, ketika kami telah sampai di rumahnya. Rumah mereka tidak terlalu besar. Kata Pak Amin, harga tanah di Jakarta sangat tinggi. Jadi, mereka membangun rumah dua lantai agar bisa menampung keluarga yang berkunjung. “Kenapa tidak cari pekerjaan di Jakarta saja? Mengapa harus ke Tangerang?” tanya Pak Amin, ketika kami sedang menikmati makan malam.“Aku dan Wulan ingin kerja di pabrik, Paman,” jawab Dewi. “Sudah ada tempat yang akan dituju?” tanyanya kembali.“Sudah.” “Kalau bekerja di Jakarta, kalian berdua bisa tinggal di sini. Paman lebih mudah untuk menjagamu.”“Terima kasih, Paman. Nanti kami akan sering main ke sini. Lagi pula, Tangerang dekat.”Laki-laki itu mengangguk. Ia memberikan berbagai nasihat. Tak mudah hidup di kota besar. Sebagai perempuan harus pintar jaga diri. Di balik kemewahan ibu kota, terdapat begitu banyak masalah dan berbagai tindak kejahatan. Hati-hati dan jangan mudah percaya pada
Direktur? Apakah mungkin ayahku seorang direktur? Bisa saja orang lain yang namanya mirip dengan nama Ayah. Sedikit demi sedikit, informasi tentang Amar Prawira semakin terkuak. Aku harus bertemu dengan direktur perusahaan ini, memastikan bahwa dia adalah ayahku. Aku mengucapkan terima kasih pada Pak Budi, kemudian bergegas kembali ke ruangan. Ternyata Dewi belum juga selesai. Aku kembali duduk di sofa sambil memperhatikan perempuan berkacamata itu, hingga terbesit suatu ide untuk bertanya padanya. Aku yakin, ia lebih tahu tentang direktur perusahaan ini.“Maaf, Mbak, apa teman saya sudah selesai?” tanyaku berbasa-basi.“Belum,” jawabnya tanpa menoleh. Melihatnya yang tak acuh, aku menjadi ragu untuk bertanya. Seandainya ia bersahabat seperti Pak Budi, ingin rasanya aku mendekati dan bertanya lebih dalam. Suara detak high heels terdengar nyaring beradu lantai, perempuan itu menoleh, kemudian berdiri dengan penuh hormat. “Sudah kamu dapatkan, Mira?” tanya perempuan cantik dengan tam
“Hai! Kamu dengar tidak apa yang saya ucapkan?” Lamunanku terhenti, setelah bentakan terdengar.“Maaf, Bu.” Aku tersenyum paksa, menyembunyikan rasa sakit di hati.“Jangan panggil, Bu. Panggil Bik Inah saja. Kita sama-sama pekerja di sini.” Perempuan itu tersenyum, kemudian menatap foto keluarga yang ada di depanku. “Ini keluarga Tuan Amar Prawira. Itu istrinya, Nyonya Jovita. Di sebelahnya Clarisa, putri mereka. Lalu yang laki-laki bernama Kevin.” Aku mengangguk paham. Hatiku berdenyut mendengar penjelasan Bik Inah. Pupus sudah harapanku, ketika menyaksikan ini semua. Tak mungkin aku tiba-tiba meminta pengakuan, apalagi mengajaknya pulang ke desa, sedangkan dia telah hidup bahagia dengan keluarga yang sempurna. “Sekarang, kamu diperiksa dulu, ya.”Diperiksa? Rasanya agak aneh. Aku tidak membawa senjata tajam atau benda berharga lainnya. Namun, Bik Inah bilang ini adalah aturan yang tak boleh dilanggar, maka aku harus mengikuti.“Buka bajunya.”“Apa?” Aku tersentak kaget. Biasanya
Jantung ini tak berhenti berdetak, seolah memberitahu bahwa ia benar ayahku. Walaupun sekali bertemu, aku tak ragu sedikit pun. Mungkin karena darahnya mengalir dalam tubuhku. Tak terasa mata berkaca-kaca, dan sepertinya air mata akan luruh tiba-tiba. “Pi, ini pembantu kita yang baru. Namanya Wulan,” ucap Nyonya Jovita memperkenalkanku. Laki-laki itu berjalan mendekat. Aku menatapnya lekat, sampai lupa caranya berkedip. Dada terasa sesak. Ingin kurangkul tubuh tegap itu, dan mengatakan bahwa aku adalah Wulan, putri kandungnya.“Oh,” jawabnya melirikku sekilas, kemudian menjauh bersama perempuan yang merangkulnya mesra.Aku kecewa. Harapan tak sesuai kenyataan. Ya Allah, kenapa hatiku sehancur ini? Rasanya seperti orang yang sedang patah hati, karena cinta tak terbalas. Bagaimana jika Ibu tahu, kalau laki-laki yang ia tunggu 18 tahun dan disebut namanya dalam setiap doa, ternyata telah hidup bahagia serta memiliki keluarga baru? Hati Ibu akan hancur, bahkan lebih hancur dariku.“Wul
Selesai salat Subuh, aku bergegas mengerjakan pekerjaan rumah; menyapu, dan mengepel lantai. Pantas saja Bik Inah kewalahan, rumah ini sangat besar. Belum lagi perabotannya yang banyak, dan mahal. Harus hati-hati saat membersihkannya, agar tak ada yang rusak dan pecah. Jika itu terjadi, maka siap-siap saja gaji dipotong.Sepasang suami istri itu turun, ketika matahari mulai meninggi. Aku tak tahu pukul berapa mereka bangun. Apa mungkin karena sekarang hari Minggu, jadi mereka sengaja bangun kesiangan, atau ... sudah bangun dari tadi? Keduanya segera ke meja makan, kemudian disusul Kevin dan Clarisa. Aku dan Bik Inah kembali ke dapur, memberikan waktu untuk keluarga itu bercengkerama. Berkali-kali aku mencuri pandang pada Tuan Amar, menatap parasnya yang ganteng dengan tubuh yang proporsional. Pantas rasanya jika Ibu jatuh cinta pada Ayah. Aku beralih memandang Nyonya Jovita. Ia cantik, putih, dan mulus. Jika dibandingkan dengan Ibu, tentu Ibu kalah saing. Jika Ayah disuruh memilih,
Sore hari, aku menemani Kevin bersepeda. Ia mengeluarkan dua sepeda dari garasi. Semula aku menolak, tetapi Kevin tetap memaksa. “Ini buat Mbak.” Kevin menunjuk sebuah sepeda lipat. Dengan cekatan, ia membuka lipatan, kemudian memberikan padaku. Kevin memindai penampilanku dari atas sampai bawah. “Ganti bajunya, Mbak. Kita, kan mau olahraga. Kalau pakai rok, bagaimana akan bersepeda?”Benar juga. Aku mengikuti saran Kevin, mengganti pakaian dengan baju kaos dan celana kulot, serta memakai kerudung bergo berwarna senada dengan baju. Ketika kembali ke garasi, Kevin sudah berdiri dan menyerahkan sebuah topi.“Ini buat Mbak Wulan, biar tidak kepanasan.”Masyaallah, baiknya kamu, Dik. Aku terharu. Andai kamu mengetahui hubungan kita, apakah kamu akan semakin baik, atau malah membenciku? tanyaku dalam hati dengan penuh haru.“Ayo, Mbak Wulan.”Aku mengikuti Kevin dari belakang. Ia mengendarai sepeda dengan lincah. Kami berdua beriringan melewati deretan rumah mewah yang indah. Tampak beber
Aku kaget. Dari tadi kami bicara, tak pernah sekali pun ia menyebutkan profesinya yang mulia itu. “Alhamdulillah.” Pak Arya membopong Kevin, dan didudukkan di depan teras rumahnya yang tak jauh dari lokasi kejadian. Ia masuk ke dalam, lalu keluar membawa kotak P3K. Dengan hati-hati, Pak Arya membersihkan luka, dan mulai mengobatinya. Ia sangat terampil, bahkan beberapa kali laki-laki itu mengajak Kevin bercanda guna mengalihkan perhatian agar tak sakit. “Sudah. Lain kali hati-hati, ya, Kevin.”Kevin tersenyum. “Terima kasih, Dokter … eh, Pak,” ucapku.Pak Arya terkekeh pelan. Kevin sudah diobati, tetapi aku masih cemas. Salah atau tidaknya aku, Nyonya Jovita pasti akan sangat marah. “Jangan takut, nanti saya akan hubungi Pak Amar,” ungkap Pak Arya, seperti tahu kegelisahanku. Aku pun meminjam kertas dan bolpoin pada Pak Arya. “Untuk apa?” tanyanya, ketika menyerahkan benda itu.“Pemilik mobil yang ditabrak Kevin tak ada di tempat, Pak. Wulan akan menulis surat di kertas kecil i
Semenjak kejadian itu, aku lebih banyak diam dan mengerjakan pekerjaan seperlunya. Sikap Nyonya Jovita dan suaminya tampak biasa saja, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Saat akan sarapan pagi, Kevin menatap ke arahku. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah. Aku tersenyum, mengisyaratkan seolah semua baik-baik saja. Dia membalas dengan senyuman, kemudian mulai mengambil makanan. Seperti biasa, kami duduk di dapur, menunggu keluarga itu selesai makan. “Hanya orang yang berhati baja bisa bekerja dengan Nyonya Jovita,” ungkap Bik Inah tiba-tiba.Aku menatap perempuan tua itu sekilas. “Saya ingin keluar, Bik.” Ini sudah aku pertimbangkan tadi malam. Bekerja dengan keluarga ini hanya akan menyiksa batin. Sebelum terlambat, lebih baik mundur.Bik Inah menatapku, kemudian kembali memandang keluarga bahagia itu yang sedang menikmati sarapan pagi. “Jangan keluar dulu. Tunggulah sebulan.”“Lama-lama Wulan tidak kuat, Bik.”“Nyonya Jovita itu akan bersikap kasar, jika kita melakukan kesalaha