Share

Bab 3

Aku mengungkapkan keinginanku pada Mas Agung. Walaupun di sini untuk urusan perut dan tempat tinggal terpenuhi, tetapi aku ingin mengubah nasib. Berharap bisa bertemu Ayah, mengajaknya pulang, dan kami hidup bersama seperti keluarga normal lainnya.

“Lan, kamu kuliah saja. Nanti Mas akan bicara dengan Bapak,” bujuk Mas Agung meyakinkanku.

“Terima kasih, Mas. Tekad Wulan sudah kuat.”

Laki-laki itu tetap tak setuju. Sekuat apa ia melarang, sekuat itu pula aku beralasan. Menurutnya pendidikan sangat penting. Walaupun Paman dengan ikhlas membiayai kuliahku, tetapi itu akan menjadi senjata baru bagi istrinya untuk mengekang kami. Orang-orang melihat hidup kami enak, tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya.

Mas Agung kalah, ia pun tak punya kuasa untuk melarang. Aku yakin ia tulus, tetapi aku juga punya ambisi dan berhak menentukan pilihan. Kehadiran Ayah sangat penting. Ia tak akan pernah tahu bagaimana rinduku pada Ayah.

***

Sebelum tidur, kuceritakan pada Ibu. Ternyata tak mudah mendapatkan restunya. Ibu takut sesuatu yang buruk menimpaku.

“Tunggulah dua tahun lagi.”

Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk bertahan menebalkan telinga dari ocehan Bibi. Hidup menumpang di rumah Paman sebagai pembantu tak akan mengubah keadaan. Nasib kami akan terus begini. Lagi pula, aku merasa Ayah tak akan pernah kembali. Mungkin ia sudah nyaman di kota, sehingga lupa bahwa dulu pernah menikahi seorang perempuan desa dan memiliki anak. Ibu bilang, Ayah laki-laki yang baik, karena itu aku ingin mencarinya dan membuktikan perkataan Ibu. Setelah berusaha keras meyakinkan Ibu dan berjanji untuk selalu menjaga diri serta kehormatan sebagai perempuan, akhirnya Ibu mengabulkan permohonanku.

“Jika Wulan dapat pekerjaan tetap, Wulan akan ajak Ibu. Kita ke kota bersama. Siapa tahu, bisa bertemu Ayah.” Aku berjanji pada Ibu.

Perempuan itu memandang sendu, kemudian jemarinya mengelus pipiku lembut.

“Jika Ayah melihat Wulan, ia pasti bisa mengenali Wulan. Dulu Ibu pernah bilang, kalau ikatan batin orang tua pada anaknya itu sangat kuat. Lagi pula, Wulan mirip dengan Ayah. Iya, kan, Bu?”

Ibu terdiam dengan bibir yang bergetar seketika.

Aku teringat, saat masih kecil dulu ketika sakit dan menangis ingin bertemu Ayah. Ibu menggendongku, kemudian berdiri di depan cermin sambil berkata, “Jika Wulan rindu dengan Ayah, lihatlah cermin, kemudian tersenyum. Wulan akan melihat Ayah di sana.”

Sejak saat itu, setiap pagi, aku akan menatap cermin dengan sebuah senyuman.

“Wulan janji akan pulang, dan membawa Ibu bersama Wulan.”

Tangis Ibu pecah, ia memelukku erat. “Dulu Ibu juga mendengar kalimat itu, tetapi dari orang yang berbeda. Cukup Ayah saja yang tak pernah kembali, tetapi Wulan harus pulang, ya, Nak!”

Aku mengangguk. Kembali kami menangis bersama. Tak terhitung lagi sudah berapa banyak air mata yang tumpah. Aku mengeratkan pelukan, menikmati dekapan hangat yang sangat kukenal. Jika kamar ini bisa bicara, mungkin ia akan bersimpati dengan nasib kami.

***

Setelah ijazah diterima, aku dan Dewi mulai mempersiapkan diri. Beberapa potong pakaian, identitas diri, serta uang telah tersimpan di tas hitam pemberian Mas Agung. Ibu juga membekali kami dengan beberapa bungkus nasi dan lauk. Mulanya Paman tak setuju aku pergi. Tak aman anak perempuan pergi sendiri, alasannya. Namun karena tujuan kami jelas, ditambah perjuangan Ibu, akhirnya Paman merestui. Sedangkan Mas Agung sudah kembali ke Depok beberapa hari yang lalu, karena ia harus kuliah.

Kami naik angkutan umum menuju stasiun. Ibu ikut mengantar. Dari tadi, aku bisa melihat raut sedih di wajahnya. Sepanjang jalan, Ibu tak lepas menggenggam tanganku dan mengucapkan nasihat yang sudah sering kudengar. “Kerudungnya jangan dilepas, ya, Nak. Ini perintah Allah. Selain itu, juga dapat melindungi kulit kita dari efek buruk sinar matahari dan pandangan laki-laki yang bukan mahram.”

“Iya, Bu.”

“Salat dan baca Al-Qur’an jangan sampai lupa. Dengan mengingat Allah, berarti Wulan sudah mengingat Ibu.”

Aku mengangguk dan tersenyum. Ibu adalah orang yang paling tulus mencintai anaknya.

Sesampainya di stasiun aku pamit, kemudian bergegas menaiki kereta bersama Dewi. Berkali-kali aku menengok ke belakang, melihat wajah sedih itu. Mungkin Ibu teringat kejadian 18 tahun lalu, kala melepas Ayah. Melihatnya menangis, air mataku pun tumpah.

Maafkan Wulan, Ibu, karena meninggalkanmu untuk sementara. Wulan berjanji akan pulang. Doakan anakmu agar bisa mewujudkan mimpinya mengubah keadaan kita dan bertemu Ayah.

***

Sepanjang perjalanan, Dewi sangat bahagia. Ia begitu antusias melihat indahnya pemandangan. Berkali-kali perempuan itu bercanda, mengungkapkan kegembiraan. Aku hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan. Suasana hati kami berbeda, ia pergi tanpa beban. Namun tidak denganku, separuh hati tertinggal bersama Ibu.

Aku terbangun, ketika suara riuh penumpang terdengar. Ternyata kereta telah sampai di Stasiun Gambir. Kami bergegas mempersiapkan diri, memastikan tak ada barang yang tertinggal.

Keluar dari stasiun, lambaian tangan seorang laki-laki paruh baya menyambut kedatangan kami. Dia adalah Pak Amin, paman Dewi beserta istrinya.

“Paman, sudah lama menunggu?” tanya Dewi, setelah mencium tangannya.

“Tidak. Baru sepuluh menit yang lalu,” jawabnya.

Dewi memperkenalkanku pada keluarga pamannya. Mereka telah tinggal di Jakarta selama 15 tahun. Walaupun jarang bertemu, tetapi dewi sangat akrab dengan mereka.

Sepanjang perjalanan, pandanganku berkelana menatap indahnya kota. Gedung tinggi menjulang, ramai penduduk, serta banyaknya kendaraan yang lalu-lalang seolah memberi pertanda begitu banyak orang bergantung pada kota ini.

Kami pun tiba di sebuah kompleks perumahan padat penduduk. Jalannya agak sempit, padahal banyak kendaraan yang melintas. Jika ada mobil berpapasan, maka salah satu harus menepi agar perjalanan lancar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status