“Tante ngapain di situ?” Pertanyaan Wulan mengagetkan Salma yang berdiri di depan pintu kamar. Sudah dari tadi Wulan melihatnya berdiri di depan pintu kamar mamanya. Apa yang dilakukan Salma? Kalau bukan menguping atau mencari sesuatu.“Oh … ti …tidak, tadi aku ingin mengambil minum lalu terhenti di sini karena mendengar suara aneh,” jawab Salma asal. Wulan tersenyum, “Mereka memang begitu tante, kadang aktivitas mereka terdengar sampai keluar kamar hingga suamiku pun ikut-ikutan. Dan ini akibatnya, aku hamil,” ujar Wulan memanasi. “Maklum tante, Ayah Arya lima belas tahun menduda dan mamaku Sembilan belas tahun hidup sendiri, jadi wajar jika mereka berdua bergairah melebihi pasangan perawan dan jejaka.”Salma menatap Wulan tak suka, ia tau jika perempuan hamil itu tengah memancing dirinya. “Sebaiknya tante tidur dari pada nanti tante mendengar suara-suara mereka yang akan membuat tante tak bisa tidur.”Salma menghela napas kasar, ia menatap Wulan benci lalu berlalu ke kamarnya den
Salma berjalan mengelilingi rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Hampir 100 persen dekorasinya dirubah total oleh Arya. Tak hanya itu, ia juga membuat hunian ini menjadi asri bahkan, Salma hampir tak mengenalinya. Dahi perempuan itu mengkerut ketika melihat pagar pembatas dengan rumah sebelah tak lagi terpasang. Dulu, ia sangat yakin jika rumah itu ditempati oleh seorang lelaki keturunan asing. Kenapa sekarang rumah ini menyatu dengan rumah Arya? Mungkinkah lelaki itu membelinya. “Sri, kenapa pagar pembatas di robohkan dan bangunan ini menyatu dengan rumah sebelah?” tanya Salma heran. “Itu rumah putri saya, agar kami bisa dekat dan saling menjaga ketika suaminya tak ada, jadinya sekatnya di buka.”“Rumahnya Wulan?”Sri mengangguk.Wanita itu tersenyum miring. “Mas Arya yang membelikan?” “Bukan.”“Menantumu?” Wanita itu tertawa mengejek. Pemuda kayakah menantunya? Rasanya tak mungkin. Lelaki lajang dan kaya itu langka dan sulit di dapat. Jikapun mereka kaya pasti has
“Kenapa?”“Mas Arya sangat benci perselingkuhan. Jika Sri dan mantan suaminya berselingkuh maka ia akan menceraikan wanita itu. Kesempatan ini akan aku ambil untuk kembali dalam pelukannya.”Jovita tersenyum sinis, Salma enak, ia bisa kembali pada Arya, bagaimana dengannya yang tetap sendiri.“Aku enggak mau.”“Hei, ayolah, kalau Mas Arya berpisah dari Sri, kan kamu juga bisa kembali pada Amar. Lagi pula wanita itu takkan mau kembali setelah ia dicampakkan oleh lelaki itu kecuali hanya sekedar Pelepas rindu.” Dengan bujukan Salma, Jovita menyanggupi untuk ikut andil membuat pasangan suami itu meski hati kecilnya tak yakin akan bisa menjalankan misi mereka dengan sukses. ***SPW***Setelah mendapatkan informasi tentang keluarga mantan suaminya. Salma kembali ke rumah itu dengan hati panas. Bagaimana tidak, niat hati ingin kembali pada mantan suami malah mendapati bahwa lelaki itu sudah move on darinya dan kini sedang berbahagia memiliki keluarga sempurna dilengkapi seorang buah cinta
Salma memperhatikan Sri yang tampak tenang dan tak terusik dengan ucapannya kemarin. Salma masih ingat bagaimana wajah wanita itu berubah ketika mendengar pengakuannya. Kini, sikap tenang istri mantan suaminya itu membuatnya heran. Puas melihat dari kejauhan, Salma mendekati Sri yang sedang sibuk di dapur.“Kamu masak banyak sekali seperti ada pesta? Mas Arya akan pulang sore hari, makanan itu akan dingin sebelum dia datang?” ungkap Salma tiba-tiba. “Dari mana kamu tau?” tanya Sri. Wanita itu tersenyum, niat buruknya kembali muncul untuk memanas-manasi istri Arya itu. “Aku ini mantan istrinya, jadi aku hafal jam kerja Mas Arya. Hari ini adalah jadwalnya praktek di klinik sampai pukul enam sore, jika ada kasus yang harus ia tangani, bisa saja ia akan pulang malam.”Sri menoleh menatap perempuan yang merasa menang itu. “Itu dulu, saat bersamamu. Setelah menikah denganku, Mas Arya mengurangi aktivitasnya. Hari ini tak ada jadwal praktek. Ia akan pulang setelah zuhur.”Salma mengalihka
Wulandari Prawira***SPW***“Hari ini, Ibu akan menyampaikan sebuah rahasia yang telah lama tersimpan. Ini tentang ibu dan ayahmu, Nak.”Kalimat itu sontak membuatku kaget. Dulu, berulang kali aku bertanya tentang Ayah, tetapi Ibu selalu mengelak. Sekarang, tanpa diminta Ibu bersedia membuka lembar kehidupan yang telah lama tidak tersentuh itu. Aku pun mulai memperbaiki posisi, dan duduk di depan Ibu. Sepasang netra ini menatap mata lelah perempuan yang telah melahirkanku. Ibu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Ibu mengalihkan pandangan, beliau menatap ke arahku lama. “Ayahmu masih hidup, Nak.” Jantungku berdegup kencang; antara sedih, dan bahagia mendengar kabar ini. Ayah, sosok yang ingin kuketahui keadaannya sejak dulu. Masih terbayang di ingatan, tepatnya ketika aku menginjak kelas lima sekolah dasar. Saat itu Ibu baru saja menghadiri undangan dari guru, karena anaknya ini terlibat perkelahian di sekolah. Teman-teman mengejek, karena aku tak punya Ayah. Ak
Riuh siswa yang merayakan hari kelulusan begitu menggema, kala pengumuman diterima. Namun, tidak denganku. Semua terasa hampa dan tak berarti. Mau dibawa ke mana ijazah SMA yang aku punya? Dengan langkah gontai, aku kembali pulang ke rumah Paman. Seperti biasa, Ibu duduk di samping teras memegang sebuah Al-Qur’an yang terlihat lusuh. Tak terhitung sudah berapa kali Ibu khatam membacanya. “Sudah pulang?” lirih suara Ibu terdengar, kemudian mengulurkan tangannya yang kusambut dengan sebuah ciuman.Dulu, aku tak pernah peduli mengapa Ibu suka menghabiskan waktu dengan duduk sambil membaca Al-Qur’an, dan sesekali menatap pada jalanan. Aku pikir, tindakan Ibu hanya untuk mengisi waktu luang yang sayang jika terbuang percuma. Namun ternyata tidak, tadi malam aku mendapatkan jawabannya. Ibu duduk di sana dengan harapan sang pujaan hati pulang menepati janji untuk menjemput kami, di rumah ini. Karena itu pula, Ibu enggan beranjak dari rumah Paman, walaupun caci maki sering kami dapatkan dar
Aku mengungkapkan keinginanku pada Mas Agung. Walaupun di sini untuk urusan perut dan tempat tinggal terpenuhi, tetapi aku ingin mengubah nasib. Berharap bisa bertemu Ayah, mengajaknya pulang, dan kami hidup bersama seperti keluarga normal lainnya. “Lan, kamu kuliah saja. Nanti Mas akan bicara dengan Bapak,” bujuk Mas Agung meyakinkanku.“Terima kasih, Mas. Tekad Wulan sudah kuat.”Laki-laki itu tetap tak setuju. Sekuat apa ia melarang, sekuat itu pula aku beralasan. Menurutnya pendidikan sangat penting. Walaupun Paman dengan ikhlas membiayai kuliahku, tetapi itu akan menjadi senjata baru bagi istrinya untuk mengekang kami. Orang-orang melihat hidup kami enak, tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya. Mas Agung kalah, ia pun tak punya kuasa untuk melarang. Aku yakin ia tulus, tetapi aku juga punya ambisi dan berhak menentukan pilihan. Kehadiran Ayah sangat penting. Ia tak akan pernah tahu bagaimana rinduku pada Ayah.***Sebelum tidur, kuceritakan pada Ibu. Ternyata tak
“Wulan jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri,” ucap Bu Marti—istri Pak Amin, ketika kami telah sampai di rumahnya. Rumah mereka tidak terlalu besar. Kata Pak Amin, harga tanah di Jakarta sangat tinggi. Jadi, mereka membangun rumah dua lantai agar bisa menampung keluarga yang berkunjung. “Kenapa tidak cari pekerjaan di Jakarta saja? Mengapa harus ke Tangerang?” tanya Pak Amin, ketika kami sedang menikmati makan malam.“Aku dan Wulan ingin kerja di pabrik, Paman,” jawab Dewi. “Sudah ada tempat yang akan dituju?” tanyanya kembali.“Sudah.” “Kalau bekerja di Jakarta, kalian berdua bisa tinggal di sini. Paman lebih mudah untuk menjagamu.”“Terima kasih, Paman. Nanti kami akan sering main ke sini. Lagi pula, Tangerang dekat.”Laki-laki itu mengangguk. Ia memberikan berbagai nasihat. Tak mudah hidup di kota besar. Sebagai perempuan harus pintar jaga diri. Di balik kemewahan ibu kota, terdapat begitu banyak masalah dan berbagai tindak kejahatan. Hati-hati dan jangan mudah percaya pada