Share

Bab 4

“Wulan jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri,” ucap Bu Marti—istri Pak Amin, ketika kami telah sampai di rumahnya. Rumah mereka tidak terlalu besar. Kata Pak Amin, harga tanah di Jakarta sangat tinggi. Jadi, mereka membangun rumah dua lantai agar bisa menampung keluarga yang berkunjung.

“Kenapa tidak cari pekerjaan di Jakarta saja? Mengapa harus ke Tangerang?” tanya Pak Amin, ketika kami sedang menikmati makan malam.

“Aku dan Wulan ingin kerja di pabrik, Paman,” jawab Dewi.

“Sudah ada tempat yang akan dituju?” tanyanya kembali.

“Sudah.”

“Kalau bekerja di Jakarta, kalian berdua bisa tinggal di sini. Paman lebih mudah untuk menjagamu.”

“Terima kasih, Paman. Nanti kami akan sering main ke sini. Lagi pula, Tangerang dekat.”

Laki-laki itu mengangguk. Ia memberikan berbagai nasihat. Tak mudah hidup di kota besar. Sebagai perempuan harus pintar jaga diri. Di balik kemewahan ibu kota, terdapat begitu banyak masalah dan berbagai tindak kejahatan. Hati-hati dan jangan mudah percaya pada orang yang belum dikenal, pesan Pak Amin.

Mereka sangat ramah dan baik. Tak ada pandangan sinis ataupun kata-kata kasar. Kadang orang lain justru lebih baik daripada saudara sendiri.

***

Pagi hari, Pak Amin mengantarkan kami ke Tangerang. Beliau meluangkan waktu agar kami tak tersesat. Berdasarkan petunjuk dari G****e Map, akhirnya kami sampai di sebuah pabrik yang menjadi incaranku.

“Jika sudah selesai, telepon, ya. Nanti di jemput,” katanya.

Tak lama, mobil pun berlalu. Aku menatap bangunan yang berpagar kukuh, dan menjulang. Beberapa satpam berdiri, memeriksa setiap orang dan kendaraan yang lalu-lalang. Kata Pak Jono, di sinilah ia pernah bertemu dengan ayahku. Seketika dada berdegup kencang, karena tak sabar mencari dan bersua dengan laki-laki yang telah lama kurindui kehadirannya, Amar Prawira.

“Permisi, Pak,” sapa Dewi tanpa malu ataupun canggung.

Dua orang satpam menghampiri. “Ya, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu dari mereka.

“Maaf, Pak, kami ke sini mau cari pekerjaan,” jawab Dewi.

“Sudah ada janji dengan HRD-nya?”

“Belum. Kami baru mau daftar.”

Kedua sekuriti itu saling pandang, hingga Pak Budi—nama yang tertera di dadanya—angkat bicara, “Maaf, Dik, sekarang mencari lowongan pekerjaan berbasis online. Di sana menyediakan informasi tentang persyaratan, posisi, penempatan kerja, bahkan gaji. Nanti akan diarahkan untuk mengisi data diri, dan mengunggah beberapa dokumen serta persyaratan. Jadi, sudah tidak perlu datang ke tempatnya langsung.”

Mendengar penjelasan sekuriti itu, Dewi seperti kehilangan semangat. “Bagaimana, Lan?”

“Bisakah kami bertemu dengan HRD-nya Pak?” tanyaku memberanikan diri.

Laki-laki paruh baya itu menatap lekat, sepertinya ia paham betul, mungkin aku dan Dewi bukan yang pertama mencari pekerjaan tanpa tahu informasi dan prosedur sebelumnya. “Sebentar, saya coba tanya dulu.”

Aku sedikit bernapas lega. Berulang kali aku memberanikan diri mengintip keadaan pabrik dari balik pagar yang tinggi, berharap bisa melihat orang yang kucari.

“Silakan masuk, Dik.” Pak Budi membukakan pintu pagar, kemudian mengantar kami pada sebuah gedung yang terpisah dari pabrik. Saat memasuki ruangan, suasana terasa berbeda. Dingin, dan sepi. Masing-masing sibuk dengan pekerjaannya.

“Silakan,” ujar Pak Budi mempersilakan duduk.

Seorang perempuan memakai kacamata tampak sibuk dan tak peduli dengan keberadaan kami. Setelah sekian lama menunggu, ia berhenti menatap layar komputer, kemudian menatap aku dan Dewi bergantian. “Di sini memang sedang membutuhkan seorang pekerja, tetapi bukan karyawan pabrik, melainkan cleaning service.”

Aku dan Dewi saling pandang. Jika mereka membutuhkan satu orang, berarti salah satu dari kami harus mengalah. Dewi mencoba menanyakan lagi, barangkali perusahaan ini membutuhkan dua orang supaya aku dan dia bisa bekerja. Namun, jawabannya tetap sama.

Aku mempersilakan Dewi untuk melamar, dan Dewi pun diterima. Dia sangat baik, mungkin seiring berjalannya waktu, aku bisa mendapatkan pekerjaan. Lagi pula selain mencari pekerjaan, aku punya tujuan lain.

Dewi diberi penjelasan tentang hak dan kewajiban yang akan ia dapatkan selama menjadi karyawan. Ia dibawa menuju tempat yang akan menjadi tugasnya, sementara aku menunggu di lantai satu. Setiap ada laki-laki yang lewat tak luput dari pandangan. Aku berharap, salah satu dari mereka adalah ayahku, Amar Prawira.

Bosan menunggu, aku bangkit, kemudian berjalan mendekati Pak Budi yang sedang berdiri di dekat pintu masuk. Ia terlihat berbicara dengan seseorang. Setelah orang itu pergi, aku pun mendekat. “Pak, mau tanya.”

Pak Budi menoleh. “Ya.”

“Kalau pekerja di sini yang bernama Amar, Bapak tahu tidak? Usianya sekitar 40 tahunan.”

Laki-laki itu tampak berpikir sejenak. “Ada. Memangnya kenapa?”

“Saya ingin ketemu, Pak.”

Seketika senyum terukir dari bibirku, rasa haus dan lelah hilang seketika. Pak Budi memintaku berdiri di sini. Katanya, seseorang yang bernama Amar sering lewat, karena ia bertugas di bagian gudang penyimpanan. Tak sabar aku menanti saat itu. Aku selalu bertanya pada Pak Budi, jika ada laki-laki yang lewat.

“Mas!” Suara Pak Budi jelas terdengar. Ia memanggil seseorang dengan lantang, hingga laki-laki bertubuh gempal itu mendekat.

Aku menatapnya lekat. Kulitnya agak gelap, serta rambutnya ikal.

“Ada apa?” tanya laki-laki itu.

“Ini, ada yang mencarimu.” Pak Budi menoleh padaku.

Aku gelagapan. Dari penampilan serta foto yang kulihat, ini jauh sekali dari perkiraan. “Maaf, bukan, Pak. Saya salah orang.” Aku menjadi malu, ternyata itu bukan laki-laki incaranku. Untung saja ia tak marah setelah aku minta maaf.

“Adik ini mau cari siapa?” Pak Budi bertanya, setelah laki-laki itu pergi.

“Bapak kenal dengan Amar Prawira?” Aku beranikan menyebutkan nama kepanjangan, agar tak salah orang lagi.

Reaksi Pak Budi tampak heran mendengar pertanyaanku, keningnya berkerut. “Kenapa mencari Pak Amar? Adik ini siapanya Pak Amar?”

Mendengar Pak Budi menyematkan kata ‘Pak’ di nama ayahku, kemungkinan besar ia orang yang dihormati. “Saya anaknya. Eh … maksudnya, saya ini keluarga jauhnya.”

Pak Budi menyunggingkan bibir, kemudian kembali menatap ke arah pabrik.

Keringatku mulai bercucuran. Udara sangat panas, aku sungguh tak kuat berada di luar ruangan ini. Mungkin karena terbiasa tinggal di daerah dingin, sehingga tak mudah bagi tubuhku untuk beradaptasi.

“Banyak yang mengaku sebagai keluarga Pak Amar, sahabat, atau rekan dari petinggi perusahaan ini.”

Dahiku berkerut karena bingung. “Maksud, Bapak?”

“Amar Prawira itu direktur di sini. Jadi tak heran jika banyak yang mengaku kerabatnya, agar bisa mendapatkan pekerjaan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status