“Wulan jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri,” ucap Bu Marti—istri Pak Amin, ketika kami telah sampai di rumahnya. Rumah mereka tidak terlalu besar. Kata Pak Amin, harga tanah di Jakarta sangat tinggi. Jadi, mereka membangun rumah dua lantai agar bisa menampung keluarga yang berkunjung.
“Kenapa tidak cari pekerjaan di Jakarta saja? Mengapa harus ke Tangerang?” tanya Pak Amin, ketika kami sedang menikmati makan malam.“Aku dan Wulan ingin kerja di pabrik, Paman,” jawab Dewi. “Sudah ada tempat yang akan dituju?” tanyanya kembali.“Sudah.”“Kalau bekerja di Jakarta, kalian berdua bisa tinggal di sini. Paman lebih mudah untuk menjagamu.”“Terima kasih, Paman. Nanti kami akan sering main ke sini. Lagi pula, Tangerang dekat.”Laki-laki itu mengangguk. Ia memberikan berbagai nasihat. Tak mudah hidup di kota besar. Sebagai perempuan harus pintar jaga diri. Di balik kemewahan ibu kota, terdapat begitu banyak masalah dan berbagai tindak kejahatan. Hati-hati dan jangan mudah percaya pada orang yang belum dikenal, pesan Pak Amin.Mereka sangat ramah dan baik. Tak ada pandangan sinis ataupun kata-kata kasar. Kadang orang lain justru lebih baik daripada saudara sendiri.***Pagi hari, Pak Amin mengantarkan kami ke Tangerang. Beliau meluangkan waktu agar kami tak tersesat. Berdasarkan petunjuk dari G****e Map, akhirnya kami sampai di sebuah pabrik yang menjadi incaranku.“Jika sudah selesai, telepon, ya. Nanti di jemput,” katanya.Tak lama, mobil pun berlalu. Aku menatap bangunan yang berpagar kukuh, dan menjulang. Beberapa satpam berdiri, memeriksa setiap orang dan kendaraan yang lalu-lalang. Kata Pak Jono, di sinilah ia pernah bertemu dengan ayahku. Seketika dada berdegup kencang, karena tak sabar mencari dan bersua dengan laki-laki yang telah lama kurindui kehadirannya, Amar Prawira.“Permisi, Pak,” sapa Dewi tanpa malu ataupun canggung.Dua orang satpam menghampiri. “Ya, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu dari mereka.“Maaf, Pak, kami ke sini mau cari pekerjaan,” jawab Dewi.“Sudah ada janji dengan HRD-nya?”“Belum. Kami baru mau daftar.”Kedua sekuriti itu saling pandang, hingga Pak Budi—nama yang tertera di dadanya—angkat bicara, “Maaf, Dik, sekarang mencari lowongan pekerjaan berbasis online. Di sana menyediakan informasi tentang persyaratan, posisi, penempatan kerja, bahkan gaji. Nanti akan diarahkan untuk mengisi data diri, dan mengunggah beberapa dokumen serta persyaratan. Jadi, sudah tidak perlu datang ke tempatnya langsung.”Mendengar penjelasan sekuriti itu, Dewi seperti kehilangan semangat. “Bagaimana, Lan?”“Bisakah kami bertemu dengan HRD-nya Pak?” tanyaku memberanikan diri.Laki-laki paruh baya itu menatap lekat, sepertinya ia paham betul, mungkin aku dan Dewi bukan yang pertama mencari pekerjaan tanpa tahu informasi dan prosedur sebelumnya. “Sebentar, saya coba tanya dulu.”Aku sedikit bernapas lega. Berulang kali aku memberanikan diri mengintip keadaan pabrik dari balik pagar yang tinggi, berharap bisa melihat orang yang kucari.“Silakan masuk, Dik.” Pak Budi membukakan pintu pagar, kemudian mengantar kami pada sebuah gedung yang terpisah dari pabrik. Saat memasuki ruangan, suasana terasa berbeda. Dingin, dan sepi. Masing-masing sibuk dengan pekerjaannya.“Silakan,” ujar Pak Budi mempersilakan duduk.Seorang perempuan memakai kacamata tampak sibuk dan tak peduli dengan keberadaan kami. Setelah sekian lama menunggu, ia berhenti menatap layar komputer, kemudian menatap aku dan Dewi bergantian. “Di sini memang sedang membutuhkan seorang pekerja, tetapi bukan karyawan pabrik, melainkan cleaning service.”Aku dan Dewi saling pandang. Jika mereka membutuhkan satu orang, berarti salah satu dari kami harus mengalah. Dewi mencoba menanyakan lagi, barangkali perusahaan ini membutuhkan dua orang supaya aku dan dia bisa bekerja. Namun, jawabannya tetap sama.Aku mempersilakan Dewi untuk melamar, dan Dewi pun diterima. Dia sangat baik, mungkin seiring berjalannya waktu, aku bisa mendapatkan pekerjaan. Lagi pula selain mencari pekerjaan, aku punya tujuan lain.Dewi diberi penjelasan tentang hak dan kewajiban yang akan ia dapatkan selama menjadi karyawan. Ia dibawa menuju tempat yang akan menjadi tugasnya, sementara aku menunggu di lantai satu. Setiap ada laki-laki yang lewat tak luput dari pandangan. Aku berharap, salah satu dari mereka adalah ayahku, Amar Prawira.Bosan menunggu, aku bangkit, kemudian berjalan mendekati Pak Budi yang sedang berdiri di dekat pintu masuk. Ia terlihat berbicara dengan seseorang. Setelah orang itu pergi, aku pun mendekat. “Pak, mau tanya.”Pak Budi menoleh. “Ya.”“Kalau pekerja di sini yang bernama Amar, Bapak tahu tidak? Usianya sekitar 40 tahunan.”Laki-laki itu tampak berpikir sejenak. “Ada. Memangnya kenapa?”“Saya ingin ketemu, Pak.”Seketika senyum terukir dari bibirku, rasa haus dan lelah hilang seketika. Pak Budi memintaku berdiri di sini. Katanya, seseorang yang bernama Amar sering lewat, karena ia bertugas di bagian gudang penyimpanan. Tak sabar aku menanti saat itu. Aku selalu bertanya pada Pak Budi, jika ada laki-laki yang lewat.“Mas!” Suara Pak Budi jelas terdengar. Ia memanggil seseorang dengan lantang, hingga laki-laki bertubuh gempal itu mendekat.Aku menatapnya lekat. Kulitnya agak gelap, serta rambutnya ikal.“Ada apa?” tanya laki-laki itu.“Ini, ada yang mencarimu.” Pak Budi menoleh padaku.Aku gelagapan. Dari penampilan serta foto yang kulihat, ini jauh sekali dari perkiraan. “Maaf, bukan, Pak. Saya salah orang.” Aku menjadi malu, ternyata itu bukan laki-laki incaranku. Untung saja ia tak marah setelah aku minta maaf.“Adik ini mau cari siapa?” Pak Budi bertanya, setelah laki-laki itu pergi.“Bapak kenal dengan Amar Prawira?” Aku beranikan menyebutkan nama kepanjangan, agar tak salah orang lagi.Reaksi Pak Budi tampak heran mendengar pertanyaanku, keningnya berkerut. “Kenapa mencari Pak Amar? Adik ini siapanya Pak Amar?”Mendengar Pak Budi menyematkan kata ‘Pak’ di nama ayahku, kemungkinan besar ia orang yang dihormati. “Saya anaknya. Eh … maksudnya, saya ini keluarga jauhnya.”Pak Budi menyunggingkan bibir, kemudian kembali menatap ke arah pabrik.Keringatku mulai bercucuran. Udara sangat panas, aku sungguh tak kuat berada di luar ruangan ini. Mungkin karena terbiasa tinggal di daerah dingin, sehingga tak mudah bagi tubuhku untuk beradaptasi.“Banyak yang mengaku sebagai keluarga Pak Amar, sahabat, atau rekan dari petinggi perusahaan ini.”Dahiku berkerut karena bingung. “Maksud, Bapak?”“Amar Prawira itu direktur di sini. Jadi tak heran jika banyak yang mengaku kerabatnya, agar bisa mendapatkan pekerjaan.”Direktur? Apakah mungkin ayahku seorang direktur? Bisa saja orang lain yang namanya mirip dengan nama Ayah. Sedikit demi sedikit, informasi tentang Amar Prawira semakin terkuak. Aku harus bertemu dengan direktur perusahaan ini, memastikan bahwa dia adalah ayahku. Aku mengucapkan terima kasih pada Pak Budi, kemudian bergegas kembali ke ruangan. Ternyata Dewi belum juga selesai. Aku kembali duduk di sofa sambil memperhatikan perempuan berkacamata itu, hingga terbesit suatu ide untuk bertanya padanya. Aku yakin, ia lebih tahu tentang direktur perusahaan ini.“Maaf, Mbak, apa teman saya sudah selesai?” tanyaku berbasa-basi.“Belum,” jawabnya tanpa menoleh. Melihatnya yang tak acuh, aku menjadi ragu untuk bertanya. Seandainya ia bersahabat seperti Pak Budi, ingin rasanya aku mendekati dan bertanya lebih dalam. Suara detak high heels terdengar nyaring beradu lantai, perempuan itu menoleh, kemudian berdiri dengan penuh hormat. “Sudah kamu dapatkan, Mira?” tanya perempuan cantik dengan tam
“Hai! Kamu dengar tidak apa yang saya ucapkan?” Lamunanku terhenti, setelah bentakan terdengar.“Maaf, Bu.” Aku tersenyum paksa, menyembunyikan rasa sakit di hati.“Jangan panggil, Bu. Panggil Bik Inah saja. Kita sama-sama pekerja di sini.” Perempuan itu tersenyum, kemudian menatap foto keluarga yang ada di depanku. “Ini keluarga Tuan Amar Prawira. Itu istrinya, Nyonya Jovita. Di sebelahnya Clarisa, putri mereka. Lalu yang laki-laki bernama Kevin.” Aku mengangguk paham. Hatiku berdenyut mendengar penjelasan Bik Inah. Pupus sudah harapanku, ketika menyaksikan ini semua. Tak mungkin aku tiba-tiba meminta pengakuan, apalagi mengajaknya pulang ke desa, sedangkan dia telah hidup bahagia dengan keluarga yang sempurna. “Sekarang, kamu diperiksa dulu, ya.”Diperiksa? Rasanya agak aneh. Aku tidak membawa senjata tajam atau benda berharga lainnya. Namun, Bik Inah bilang ini adalah aturan yang tak boleh dilanggar, maka aku harus mengikuti.“Buka bajunya.”“Apa?” Aku tersentak kaget. Biasanya
Jantung ini tak berhenti berdetak, seolah memberitahu bahwa ia benar ayahku. Walaupun sekali bertemu, aku tak ragu sedikit pun. Mungkin karena darahnya mengalir dalam tubuhku. Tak terasa mata berkaca-kaca, dan sepertinya air mata akan luruh tiba-tiba. “Pi, ini pembantu kita yang baru. Namanya Wulan,” ucap Nyonya Jovita memperkenalkanku. Laki-laki itu berjalan mendekat. Aku menatapnya lekat, sampai lupa caranya berkedip. Dada terasa sesak. Ingin kurangkul tubuh tegap itu, dan mengatakan bahwa aku adalah Wulan, putri kandungnya.“Oh,” jawabnya melirikku sekilas, kemudian menjauh bersama perempuan yang merangkulnya mesra.Aku kecewa. Harapan tak sesuai kenyataan. Ya Allah, kenapa hatiku sehancur ini? Rasanya seperti orang yang sedang patah hati, karena cinta tak terbalas. Bagaimana jika Ibu tahu, kalau laki-laki yang ia tunggu 18 tahun dan disebut namanya dalam setiap doa, ternyata telah hidup bahagia serta memiliki keluarga baru? Hati Ibu akan hancur, bahkan lebih hancur dariku.“Wul
Selesai salat Subuh, aku bergegas mengerjakan pekerjaan rumah; menyapu, dan mengepel lantai. Pantas saja Bik Inah kewalahan, rumah ini sangat besar. Belum lagi perabotannya yang banyak, dan mahal. Harus hati-hati saat membersihkannya, agar tak ada yang rusak dan pecah. Jika itu terjadi, maka siap-siap saja gaji dipotong.Sepasang suami istri itu turun, ketika matahari mulai meninggi. Aku tak tahu pukul berapa mereka bangun. Apa mungkin karena sekarang hari Minggu, jadi mereka sengaja bangun kesiangan, atau ... sudah bangun dari tadi? Keduanya segera ke meja makan, kemudian disusul Kevin dan Clarisa. Aku dan Bik Inah kembali ke dapur, memberikan waktu untuk keluarga itu bercengkerama. Berkali-kali aku mencuri pandang pada Tuan Amar, menatap parasnya yang ganteng dengan tubuh yang proporsional. Pantas rasanya jika Ibu jatuh cinta pada Ayah. Aku beralih memandang Nyonya Jovita. Ia cantik, putih, dan mulus. Jika dibandingkan dengan Ibu, tentu Ibu kalah saing. Jika Ayah disuruh memilih,
Sore hari, aku menemani Kevin bersepeda. Ia mengeluarkan dua sepeda dari garasi. Semula aku menolak, tetapi Kevin tetap memaksa. “Ini buat Mbak.” Kevin menunjuk sebuah sepeda lipat. Dengan cekatan, ia membuka lipatan, kemudian memberikan padaku. Kevin memindai penampilanku dari atas sampai bawah. “Ganti bajunya, Mbak. Kita, kan mau olahraga. Kalau pakai rok, bagaimana akan bersepeda?”Benar juga. Aku mengikuti saran Kevin, mengganti pakaian dengan baju kaos dan celana kulot, serta memakai kerudung bergo berwarna senada dengan baju. Ketika kembali ke garasi, Kevin sudah berdiri dan menyerahkan sebuah topi.“Ini buat Mbak Wulan, biar tidak kepanasan.”Masyaallah, baiknya kamu, Dik. Aku terharu. Andai kamu mengetahui hubungan kita, apakah kamu akan semakin baik, atau malah membenciku? tanyaku dalam hati dengan penuh haru.“Ayo, Mbak Wulan.”Aku mengikuti Kevin dari belakang. Ia mengendarai sepeda dengan lincah. Kami berdua beriringan melewati deretan rumah mewah yang indah. Tampak beber
Aku kaget. Dari tadi kami bicara, tak pernah sekali pun ia menyebutkan profesinya yang mulia itu. “Alhamdulillah.” Pak Arya membopong Kevin, dan didudukkan di depan teras rumahnya yang tak jauh dari lokasi kejadian. Ia masuk ke dalam, lalu keluar membawa kotak P3K. Dengan hati-hati, Pak Arya membersihkan luka, dan mulai mengobatinya. Ia sangat terampil, bahkan beberapa kali laki-laki itu mengajak Kevin bercanda guna mengalihkan perhatian agar tak sakit. “Sudah. Lain kali hati-hati, ya, Kevin.”Kevin tersenyum. “Terima kasih, Dokter … eh, Pak,” ucapku.Pak Arya terkekeh pelan. Kevin sudah diobati, tetapi aku masih cemas. Salah atau tidaknya aku, Nyonya Jovita pasti akan sangat marah. “Jangan takut, nanti saya akan hubungi Pak Amar,” ungkap Pak Arya, seperti tahu kegelisahanku. Aku pun meminjam kertas dan bolpoin pada Pak Arya. “Untuk apa?” tanyanya, ketika menyerahkan benda itu.“Pemilik mobil yang ditabrak Kevin tak ada di tempat, Pak. Wulan akan menulis surat di kertas kecil i
Semenjak kejadian itu, aku lebih banyak diam dan mengerjakan pekerjaan seperlunya. Sikap Nyonya Jovita dan suaminya tampak biasa saja, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Saat akan sarapan pagi, Kevin menatap ke arahku. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah. Aku tersenyum, mengisyaratkan seolah semua baik-baik saja. Dia membalas dengan senyuman, kemudian mulai mengambil makanan. Seperti biasa, kami duduk di dapur, menunggu keluarga itu selesai makan. “Hanya orang yang berhati baja bisa bekerja dengan Nyonya Jovita,” ungkap Bik Inah tiba-tiba.Aku menatap perempuan tua itu sekilas. “Saya ingin keluar, Bik.” Ini sudah aku pertimbangkan tadi malam. Bekerja dengan keluarga ini hanya akan menyiksa batin. Sebelum terlambat, lebih baik mundur.Bik Inah menatapku, kemudian kembali memandang keluarga bahagia itu yang sedang menikmati sarapan pagi. “Jangan keluar dulu. Tunggulah sebulan.”“Lama-lama Wulan tidak kuat, Bik.”“Nyonya Jovita itu akan bersikap kasar, jika kita melakukan kesalaha
Mataku jadi berkaca-kaca; takut, dan sedih. Beberapa kali aku berpikir, bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyak itu. Jika mengandalkan gaji sebagai pembantu, akan butuh waktu berbulan-bulan. Padahal, aku ingin keluar bulan depan dari rumah itu. Alternatif lain dengan mengatakan yang sejujurnya pada Nyonya Jovita, tetapi ... apakah ia akan percaya? Kemarin saja tanpa basa-basi ia langsung menjambak kerudungku.“Jangan menangis. Saya tidak suka perempuan cengeng.”“Wulan benar-benar tidak punya uang. Wulan hanya seorang …,” ucapanku terhenti, ketika telepon genggam laki-laki itu berdering. Ia tak banyak bicara, tetapi begitu serius mendengarkan si penelepon.“Baiklah, saya akan ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan, kemudian bangkit dari tempat duduk. “Di mana kamu tinggal?”“Di blok F nomor 4. Kenapa?”“Nanti saya akan ke sana!” Ia melangkah pergi, meninggalkanku begitu saja. Orang kaya yang suka seenaknya!“Tuan! Jangan datang!” seruku sambil mengejarnya.Langkah laki-laki itu y