Share

Bab 2

last update Last Updated: 2023-03-08 20:18:02

Riuh siswa yang merayakan hari kelulusan begitu menggema, kala pengumuman diterima. Namun, tidak denganku. Semua terasa hampa dan tak berarti. Mau dibawa ke mana ijazah SMA yang aku punya?

Dengan langkah gontai, aku kembali pulang ke rumah Paman. Seperti biasa, Ibu duduk di samping teras memegang sebuah Al-Qur’an yang terlihat lusuh. Tak terhitung sudah berapa kali Ibu khatam membacanya.

“Sudah pulang?” lirih suara Ibu terdengar, kemudian mengulurkan tangannya yang kusambut dengan sebuah ciuman.

Dulu, aku tak pernah peduli mengapa Ibu suka menghabiskan waktu dengan duduk sambil membaca Al-Qur’an, dan sesekali menatap pada jalanan. Aku pikir, tindakan Ibu hanya untuk mengisi waktu luang yang sayang jika terbuang percuma. Namun ternyata tidak, tadi malam aku mendapatkan jawabannya. Ibu duduk di sana dengan harapan sang pujaan hati pulang menepati janji untuk menjemput kami, di rumah ini. Karena itu pula, Ibu enggan beranjak dari rumah Paman, walaupun caci maki sering kami dapatkan dari si pemilik rumah.

Aku berjalan ke samping, melewati garasi mobil menuju sebuah kamar ukuran 3x3 meter yang terhubung dengan bangunan utama. Sepiring nasi dan sepotong ayam goreng serta tumis kangkung telah terhidang di meja. Aku makan, dan seperti biasa, Ibu akan menatapku dengan sebuah senyuman yang sulit diartikan. Ibu berkata bahwa aku adalah harta satu-satunya yang ia punya. Hanya dengan patuh pada Ibu, itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.

***

Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah Pak Jono, teman Ayah. Menurut info, Pak Jono sempat bertemu Ayah di Tangerang. Karena itulah, aku dan Ibu mendatangi kediaman beliau untuk mencari informasi keberadaan Ayah.

“Saya tidak terlalu yakin, Sri, jika itu Amar. Laki-laki itu sangat berbeda. Ia bersih, rapi, dan ganteng,” ucap Pak Jono mengingat pertemuan mereka. “Saat kami berpapasan, Amar seperti tak mengenali saya. Karena itu, saya tidak yakin itu dia.”

Mata Ibu menerawang, tubuhnya bergetar. “Aku yakin, itu Mas Amar. Tapi kenapa ia tidak pernah pulang? Aku menunggunya bertahun-tahun di sini.”

Pak Jono hanya terdiam, menyaksikan Ibu yang menangis tersedu. Dengan berat hati, laki-laki itu memberikan alamat di mana ia pernah bertemu dengan ayahku pertama kali. “Jangan salahkan saya, jika nanti dia bukan Amar suamimu, Sri.”

Aku membaca alamat yang di berikan Pak Jono. Ada rasa ragu dalam diri ini, tetapi aku bertekad akan menemuinya untuk membuktikan apakah benar ia ayahku atau bukan? Aku juga akan meminta kejelasan, mengapa ia meninggalkan kami begitu lama!

***

“Kamu kuliah, Lan?” tanya Dewi, sahabat karibku.

Nasib Dewi tak jauh beda denganku. Kedua orang tuanya bercerai, dan masing-masing telah memiliki keluarga baru. Sayang, tak ada satu pun yang mau mengajak Dewi tinggal bersama mereka. Karena itulah, dari kecil Dewi dibesarkan oleh neneknya. Walaupun begitu, Dewi lebih beruntung daripada aku. Dia masih bisa bertemu dengan kedua orang tuanya, karena rumah mereka yang tak jauh. Biaya sekolah dan keperluan sehari-hari pun didapatkan dari kiriman ayah dan ibunya.

“Tidak. Aku akan mencari kerja, Wi.”

“Di mana?” Dewi bertanya.

Aku menatap perempuan yang seusia denganku sejenak, kemudian beralih memandang ke lapangan sekolah tempat kami biasa upacara bendera. Seketika kenangan pahit ketika menuntut ilmu bersama kembali teringat. Diejek, direndahkan, dan dipermalukan teman seperti enggan untuk beranjak. Hanya Dewi yang tak mem-bully-ku, dan dia pula yang sering menemani ketika aku kesepian. Mungkin karena nasib, kami pun menjadi akrab dan dekat.

“Aku akan ke kota, Wi. Mencari pekerjaan, sekaligus mencari Ayah.”

Aku menceritakan kerinduanku pada sosok Ayah. Sebagai anak, aku ingin merasakan bagaimana disayangi, dimanja, berjalan bergandengan tangan, dan merasakan dekapan hangat kasih sayangnya.

“Aku ikut, Lan,” ucap Dewi, setelah mengetahui kota mana yang menjadi tujuan.

“Apa nenekmu akan mengizinkan, Wi?”

“Kalau kita cari kerja bersama, Nenek pasti mengizinkan,” jawabnya penuh semangat. “Lagi pula, pamanku tinggal di Jakarta. Untuk sementara, kita bisa menumpang di rumahnya, Lan. Nanti setelah dapat pekerjaan, baru kita indekos.”

Mendengar penjelasan Dewi, aku merasa senang. Jika ada teman, aku rasa Ibu akan mengizinkan. Di desa kami, perempuan-perempuan yang bekerja di pabrik atau asisten rumah tangga di kota, bahkan di luar negeri sekalipun sudah menjadi hal biasa. Banyak di antara mereka yang berhasil membeli sawah dan membangun rumah bagus di desa. Namun, tak sedikit pula yang pulang dengan kegagalan dan membawa anak hasil perbuatan tak senonoh majikan.

Dewi mengeluarkan telepon genggam miliknya. Dengan kecanggihan internet, kami mulai berselancar mencari alamat perusahaan yang diberikan Pak Jono. Hanya menunggu beberapa detik, tempat itu pun muncul di layar. Aku membaca dan memperhatikan dengan saksama. Melihat gambar bangunan di layar, rasanya sangat dekat dan aku yakin bisa.

Tak lupa, kami pun mencari petunjuk transportasi yang akan digunakan, berapa lama waktu perjalanan, serta berapa biaya yang dibutuhkan. Dengan mantap, aku dan Dewi sepakat untuk mengubah nasib. Dewi berambisi supaya bisa bekerja, kemudian membangun rumah seperti para perantau lainnya. Namun aku memiliki dua tujuan, salah satunya mencari Ayah.

***

“Wulan!”

Aku tersenyum bahagia, saat mendapati Mas Agung sudah berdiri di depan teras rumah. Ia adalah anak satu-satunya Paman. Baik, dan sangat perhatian. Dulu laki-laki ini sering membagi uang jajannya padaku. “Mas Agung!”

“Bagaimana kabarmu? Tambah gemuk, ya, sekarang.”

“Ih, Mas bisa saja.”

Kami beriringan masuk ke dalam rumah. Tak lama ia pamit ke kamar, dan kembali dengan membawa sebuah tas gendong hitam. “Ini buat Wulan.” Tangannya menyodorkan benda itu padaku. Selama tinggal di sini, Mas Agung sering membelikanku hadiah; mulai dari makanan, baju, mukena, bahkan buku. Kami sudah seperti kakak adik. Aku pun merasa dilindungi dengan keberadaannya. Karena itu, ketika ia melanjutkan kuliah di salah satu universitas negeri di Depok, aku merasa sangat kehilangan.

“Terima kasih, Mas. Wulan suka.”

“Ini sangat berguna, saat kamu kuliah nanti, Lan,” ucapnya dengan mata berbinar.

Aku tertunduk lesu. “Wulan tidak kuliah, Mas.”

Mas Agung menatapku dengan kening berkerut. “Kenapa?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RAHASIA IBU   Bab 90

    Salma memperhatikan Sri yang tampak tenang dan tak terusik dengan ucapannya kemarin. Salma masih ingat bagaimana wajah wanita itu berubah ketika mendengar pengakuannya. Kini, sikap tenang istri mantan suaminya itu membuatnya heran. Puas melihat dari kejauhan, Salma mendekati Sri yang sedang sibuk di dapur.“Kamu masak banyak sekali seperti ada pesta? Mas Arya akan pulang sore hari, makanan itu akan dingin sebelum dia datang?” ungkap Salma tiba-tiba. “Dari mana kamu tau?” tanya Sri. Wanita itu tersenyum, niat buruknya kembali muncul untuk memanas-manasi istri Arya itu. “Aku ini mantan istrinya, jadi aku hafal jam kerja Mas Arya. Hari ini adalah jadwalnya praktek di klinik sampai pukul enam sore, jika ada kasus yang harus ia tangani, bisa saja ia akan pulang malam.”Sri menoleh menatap perempuan yang merasa menang itu. “Itu dulu, saat bersamamu. Setelah menikah denganku, Mas Arya mengurangi aktivitasnya. Hari ini tak ada jadwal praktek. Ia akan pulang setelah zuhur.”Salma mengalihka

  • RAHASIA IBU   Bab 89

    “Kenapa?”“Mas Arya sangat benci perselingkuhan. Jika Sri dan mantan suaminya berselingkuh maka ia akan menceraikan wanita itu. Kesempatan ini akan aku ambil untuk kembali dalam pelukannya.”Jovita tersenyum sinis, Salma enak, ia bisa kembali pada Arya, bagaimana dengannya yang tetap sendiri.“Aku enggak mau.”“Hei, ayolah, kalau Mas Arya berpisah dari Sri, kan kamu juga bisa kembali pada Amar. Lagi pula wanita itu takkan mau kembali setelah ia dicampakkan oleh lelaki itu kecuali hanya sekedar Pelepas rindu.” Dengan bujukan Salma, Jovita menyanggupi untuk ikut andil membuat pasangan suami itu meski hati kecilnya tak yakin akan bisa menjalankan misi mereka dengan sukses. ***SPW***Setelah mendapatkan informasi tentang keluarga mantan suaminya. Salma kembali ke rumah itu dengan hati panas. Bagaimana tidak, niat hati ingin kembali pada mantan suami malah mendapati bahwa lelaki itu sudah move on darinya dan kini sedang berbahagia memiliki keluarga sempurna dilengkapi seorang buah cinta

  • RAHASIA IBU   Bab 88

    Salma berjalan mengelilingi rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Hampir 100 persen dekorasinya dirubah total oleh Arya. Tak hanya itu, ia juga membuat hunian ini menjadi asri bahkan, Salma hampir tak mengenalinya. Dahi perempuan itu mengkerut ketika melihat pagar pembatas dengan rumah sebelah tak lagi terpasang. Dulu, ia sangat yakin jika rumah itu ditempati oleh seorang lelaki keturunan asing. Kenapa sekarang rumah ini menyatu dengan rumah Arya? Mungkinkah lelaki itu membelinya. “Sri, kenapa pagar pembatas di robohkan dan bangunan ini menyatu dengan rumah sebelah?” tanya Salma heran. “Itu rumah putri saya, agar kami bisa dekat dan saling menjaga ketika suaminya tak ada, jadinya sekatnya di buka.”“Rumahnya Wulan?”Sri mengangguk.Wanita itu tersenyum miring. “Mas Arya yang membelikan?” “Bukan.”“Menantumu?” Wanita itu tertawa mengejek. Pemuda kayakah menantunya? Rasanya tak mungkin. Lelaki lajang dan kaya itu langka dan sulit di dapat. Jikapun mereka kaya pasti has

  • RAHASIA IBU   Bab 87

    “Tante ngapain di situ?” Pertanyaan Wulan mengagetkan Salma yang berdiri di depan pintu kamar. Sudah dari tadi Wulan melihatnya berdiri di depan pintu kamar mamanya. Apa yang dilakukan Salma? Kalau bukan menguping atau mencari sesuatu.“Oh … ti …tidak, tadi aku ingin mengambil minum lalu terhenti di sini karena mendengar suara aneh,” jawab Salma asal. Wulan tersenyum, “Mereka memang begitu tante, kadang aktivitas mereka terdengar sampai keluar kamar hingga suamiku pun ikut-ikutan. Dan ini akibatnya, aku hamil,” ujar Wulan memanasi. “Maklum tante, Ayah Arya lima belas tahun menduda dan mamaku Sembilan belas tahun hidup sendiri, jadi wajar jika mereka berdua bergairah melebihi pasangan perawan dan jejaka.”Salma menatap Wulan tak suka, ia tau jika perempuan hamil itu tengah memancing dirinya. “Sebaiknya tante tidur dari pada nanti tante mendengar suara-suara mereka yang akan membuat tante tak bisa tidur.”Salma menghela napas kasar, ia menatap Wulan benci lalu berlalu ke kamarnya den

  • RAHASIA IBU   Bab 86

    Salma duduk di kursi jati yang terletak di samping rumah. Ia begitu kagum melihat pemandangan di depan mata. Tanah kosong yang dulu hanya ditanami rumput, kini telah berubah menjadi taman bunga yang indah. Aneka mawar dan warna warni anggrek tampak cantik mengelilingi kolam ikan. Suara gemircik air mancur yang terpancar dari dinding batu alam terdengar begitu merdu. Siapapun akan betah duduk berlama-lama di sini menikmati indahnya taman yang begitu terawat.Lamunan Salma terhenti ketika derit suara kursi terdengar di geser. Ia menoleh ke samping, senyum wanita itu mengembang mendapati sang lelaki pujaan duduk tak jauh darinya. Bahkan hembusan angin malam memanjakan hidung Salma yang telah lama tak merasakan aroma lelaki itu.“Ada apa kamu ke sini?” suara itu terdengar dingin melebihi udara malam yang membelai kulitnya. Salma menoleh ke dalam ruangan, dari kejauhan ia bisa melihat istri lelaki itu sedang duduk memangku sang anak. Suara gelak tawa Wulan yang menghibur Arkan terdengar d

  • RAHASIA IBU   Bab 85

    Tak menyaia-nyiakan kesempatan, aku menerima tawaran Farah untuk ikut bergabung dengan mereka meski Mas Amar terlihat tak nyaman. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku kembali duduk di mobil yang dikendari lelaki itu. Mas Amar menyetir dalam diam, sementara aku dan Farah duduk di jok belakang. Sesekali aku bertanya pada perempuan itu. Ia tampak luwes dan mudah akrab. Sikapnya ini membuatku takut. Rasanya takkan butuh waktu lama bagi Farah untuk menaklukkan Mas Amar.Mobil berhenti di depan sebuah restoran sunda yang belum pernah aku kunjungi. Kami duduk di meja yang tak jauh dari tempat bermain. Suasana restoran yang asri di tambah air mancur buatan membuat tempat ini sangat cocok untuk bersantai, apalagi suara percikan air terdengar bak alunan musik menemati makan siang kami. Satu persatu pelayan datang menghidangkan makanan. Dengan cekatan, Farah mengambil piring kemudian menyendokkan nasi lalu memberikannya pada Mas Amar. Lelaki itu membalas dengan senyuman. “Ini cumi b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status