Share

Bab 2

Riuh siswa yang merayakan hari kelulusan begitu menggema, kala pengumuman diterima. Namun, tidak denganku. Semua terasa hampa dan tak berarti. Mau dibawa ke mana ijazah SMA yang aku punya?

Dengan langkah gontai, aku kembali pulang ke rumah Paman. Seperti biasa, Ibu duduk di samping teras memegang sebuah Al-Qur’an yang terlihat lusuh. Tak terhitung sudah berapa kali Ibu khatam membacanya.

“Sudah pulang?” lirih suara Ibu terdengar, kemudian mengulurkan tangannya yang kusambut dengan sebuah ciuman.

Dulu, aku tak pernah peduli mengapa Ibu suka menghabiskan waktu dengan duduk sambil membaca Al-Qur’an, dan sesekali menatap pada jalanan. Aku pikir, tindakan Ibu hanya untuk mengisi waktu luang yang sayang jika terbuang percuma. Namun ternyata tidak, tadi malam aku mendapatkan jawabannya. Ibu duduk di sana dengan harapan sang pujaan hati pulang menepati janji untuk menjemput kami, di rumah ini. Karena itu pula, Ibu enggan beranjak dari rumah Paman, walaupun caci maki sering kami dapatkan dari si pemilik rumah.

Aku berjalan ke samping, melewati garasi mobil menuju sebuah kamar ukuran 3x3 meter yang terhubung dengan bangunan utama. Sepiring nasi dan sepotong ayam goreng serta tumis kangkung telah terhidang di meja. Aku makan, dan seperti biasa, Ibu akan menatapku dengan sebuah senyuman yang sulit diartikan. Ibu berkata bahwa aku adalah harta satu-satunya yang ia punya. Hanya dengan patuh pada Ibu, itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.

***

Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah Pak Jono, teman Ayah. Menurut info, Pak Jono sempat bertemu Ayah di Tangerang. Karena itulah, aku dan Ibu mendatangi kediaman beliau untuk mencari informasi keberadaan Ayah.

“Saya tidak terlalu yakin, Sri, jika itu Amar. Laki-laki itu sangat berbeda. Ia bersih, rapi, dan ganteng,” ucap Pak Jono mengingat pertemuan mereka. “Saat kami berpapasan, Amar seperti tak mengenali saya. Karena itu, saya tidak yakin itu dia.”

Mata Ibu menerawang, tubuhnya bergetar. “Aku yakin, itu Mas Amar. Tapi kenapa ia tidak pernah pulang? Aku menunggunya bertahun-tahun di sini.”

Pak Jono hanya terdiam, menyaksikan Ibu yang menangis tersedu. Dengan berat hati, laki-laki itu memberikan alamat di mana ia pernah bertemu dengan ayahku pertama kali. “Jangan salahkan saya, jika nanti dia bukan Amar suamimu, Sri.”

Aku membaca alamat yang di berikan Pak Jono. Ada rasa ragu dalam diri ini, tetapi aku bertekad akan menemuinya untuk membuktikan apakah benar ia ayahku atau bukan? Aku juga akan meminta kejelasan, mengapa ia meninggalkan kami begitu lama!

***

“Kamu kuliah, Lan?” tanya Dewi, sahabat karibku.

Nasib Dewi tak jauh beda denganku. Kedua orang tuanya bercerai, dan masing-masing telah memiliki keluarga baru. Sayang, tak ada satu pun yang mau mengajak Dewi tinggal bersama mereka. Karena itulah, dari kecil Dewi dibesarkan oleh neneknya. Walaupun begitu, Dewi lebih beruntung daripada aku. Dia masih bisa bertemu dengan kedua orang tuanya, karena rumah mereka yang tak jauh. Biaya sekolah dan keperluan sehari-hari pun didapatkan dari kiriman ayah dan ibunya.

“Tidak. Aku akan mencari kerja, Wi.”

“Di mana?” Dewi bertanya.

Aku menatap perempuan yang seusia denganku sejenak, kemudian beralih memandang ke lapangan sekolah tempat kami biasa upacara bendera. Seketika kenangan pahit ketika menuntut ilmu bersama kembali teringat. Diejek, direndahkan, dan dipermalukan teman seperti enggan untuk beranjak. Hanya Dewi yang tak mem-bully-ku, dan dia pula yang sering menemani ketika aku kesepian. Mungkin karena nasib, kami pun menjadi akrab dan dekat.

“Aku akan ke kota, Wi. Mencari pekerjaan, sekaligus mencari Ayah.”

Aku menceritakan kerinduanku pada sosok Ayah. Sebagai anak, aku ingin merasakan bagaimana disayangi, dimanja, berjalan bergandengan tangan, dan merasakan dekapan hangat kasih sayangnya.

“Aku ikut, Lan,” ucap Dewi, setelah mengetahui kota mana yang menjadi tujuan.

“Apa nenekmu akan mengizinkan, Wi?”

“Kalau kita cari kerja bersama, Nenek pasti mengizinkan,” jawabnya penuh semangat. “Lagi pula, pamanku tinggal di Jakarta. Untuk sementara, kita bisa menumpang di rumahnya, Lan. Nanti setelah dapat pekerjaan, baru kita indekos.”

Mendengar penjelasan Dewi, aku merasa senang. Jika ada teman, aku rasa Ibu akan mengizinkan. Di desa kami, perempuan-perempuan yang bekerja di pabrik atau asisten rumah tangga di kota, bahkan di luar negeri sekalipun sudah menjadi hal biasa. Banyak di antara mereka yang berhasil membeli sawah dan membangun rumah bagus di desa. Namun, tak sedikit pula yang pulang dengan kegagalan dan membawa anak hasil perbuatan tak senonoh majikan.

Dewi mengeluarkan telepon genggam miliknya. Dengan kecanggihan internet, kami mulai berselancar mencari alamat perusahaan yang diberikan Pak Jono. Hanya menunggu beberapa detik, tempat itu pun muncul di layar. Aku membaca dan memperhatikan dengan saksama. Melihat gambar bangunan di layar, rasanya sangat dekat dan aku yakin bisa.

Tak lupa, kami pun mencari petunjuk transportasi yang akan digunakan, berapa lama waktu perjalanan, serta berapa biaya yang dibutuhkan. Dengan mantap, aku dan Dewi sepakat untuk mengubah nasib. Dewi berambisi supaya bisa bekerja, kemudian membangun rumah seperti para perantau lainnya. Namun aku memiliki dua tujuan, salah satunya mencari Ayah.

***

“Wulan!”

Aku tersenyum bahagia, saat mendapati Mas Agung sudah berdiri di depan teras rumah. Ia adalah anak satu-satunya Paman. Baik, dan sangat perhatian. Dulu laki-laki ini sering membagi uang jajannya padaku. “Mas Agung!”

“Bagaimana kabarmu? Tambah gemuk, ya, sekarang.”

“Ih, Mas bisa saja.”

Kami beriringan masuk ke dalam rumah. Tak lama ia pamit ke kamar, dan kembali dengan membawa sebuah tas gendong hitam. “Ini buat Wulan.” Tangannya menyodorkan benda itu padaku. Selama tinggal di sini, Mas Agung sering membelikanku hadiah; mulai dari makanan, baju, mukena, bahkan buku. Kami sudah seperti kakak adik. Aku pun merasa dilindungi dengan keberadaannya. Karena itu, ketika ia melanjutkan kuliah di salah satu universitas negeri di Depok, aku merasa sangat kehilangan.

“Terima kasih, Mas. Wulan suka.”

“Ini sangat berguna, saat kamu kuliah nanti, Lan,” ucapnya dengan mata berbinar.

Aku tertunduk lesu. “Wulan tidak kuliah, Mas.”

Mas Agung menatapku dengan kening berkerut. “Kenapa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status