Riuh siswa yang merayakan hari kelulusan begitu menggema, kala pengumuman diterima. Namun, tidak denganku. Semua terasa hampa dan tak berarti. Mau dibawa ke mana ijazah SMA yang aku punya?
Dengan langkah gontai, aku kembali pulang ke rumah Paman. Seperti biasa, Ibu duduk di samping teras memegang sebuah Al-Qur’an yang terlihat lusuh. Tak terhitung sudah berapa kali Ibu khatam membacanya.“Sudah pulang?” lirih suara Ibu terdengar, kemudian mengulurkan tangannya yang kusambut dengan sebuah ciuman.Dulu, aku tak pernah peduli mengapa Ibu suka menghabiskan waktu dengan duduk sambil membaca Al-Qur’an, dan sesekali menatap pada jalanan. Aku pikir, tindakan Ibu hanya untuk mengisi waktu luang yang sayang jika terbuang percuma. Namun ternyata tidak, tadi malam aku mendapatkan jawabannya. Ibu duduk di sana dengan harapan sang pujaan hati pulang menepati janji untuk menjemput kami, di rumah ini. Karena itu pula, Ibu enggan beranjak dari rumah Paman, walaupun caci maki sering kami dapatkan dari si pemilik rumah.Aku berjalan ke samping, melewati garasi mobil menuju sebuah kamar ukuran 3x3 meter yang terhubung dengan bangunan utama. Sepiring nasi dan sepotong ayam goreng serta tumis kangkung telah terhidang di meja. Aku makan, dan seperti biasa, Ibu akan menatapku dengan sebuah senyuman yang sulit diartikan. Ibu berkata bahwa aku adalah harta satu-satunya yang ia punya. Hanya dengan patuh pada Ibu, itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.***Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah Pak Jono, teman Ayah. Menurut info, Pak Jono sempat bertemu Ayah di Tangerang. Karena itulah, aku dan Ibu mendatangi kediaman beliau untuk mencari informasi keberadaan Ayah.“Saya tidak terlalu yakin, Sri, jika itu Amar. Laki-laki itu sangat berbeda. Ia bersih, rapi, dan ganteng,” ucap Pak Jono mengingat pertemuan mereka. “Saat kami berpapasan, Amar seperti tak mengenali saya. Karena itu, saya tidak yakin itu dia.”Mata Ibu menerawang, tubuhnya bergetar. “Aku yakin, itu Mas Amar. Tapi kenapa ia tidak pernah pulang? Aku menunggunya bertahun-tahun di sini.”Pak Jono hanya terdiam, menyaksikan Ibu yang menangis tersedu. Dengan berat hati, laki-laki itu memberikan alamat di mana ia pernah bertemu dengan ayahku pertama kali. “Jangan salahkan saya, jika nanti dia bukan Amar suamimu, Sri.”Aku membaca alamat yang di berikan Pak Jono. Ada rasa ragu dalam diri ini, tetapi aku bertekad akan menemuinya untuk membuktikan apakah benar ia ayahku atau bukan? Aku juga akan meminta kejelasan, mengapa ia meninggalkan kami begitu lama!*** “Kamu kuliah, Lan?” tanya Dewi, sahabat karibku.Nasib Dewi tak jauh beda denganku. Kedua orang tuanya bercerai, dan masing-masing telah memiliki keluarga baru. Sayang, tak ada satu pun yang mau mengajak Dewi tinggal bersama mereka. Karena itulah, dari kecil Dewi dibesarkan oleh neneknya. Walaupun begitu, Dewi lebih beruntung daripada aku. Dia masih bisa bertemu dengan kedua orang tuanya, karena rumah mereka yang tak jauh. Biaya sekolah dan keperluan sehari-hari pun didapatkan dari kiriman ayah dan ibunya.“Tidak. Aku akan mencari kerja, Wi.”“Di mana?” Dewi bertanya.Aku menatap perempuan yang seusia denganku sejenak, kemudian beralih memandang ke lapangan sekolah tempat kami biasa upacara bendera. Seketika kenangan pahit ketika menuntut ilmu bersama kembali teringat. Diejek, direndahkan, dan dipermalukan teman seperti enggan untuk beranjak. Hanya Dewi yang tak mem-bully-ku, dan dia pula yang sering menemani ketika aku kesepian. Mungkin karena nasib, kami pun menjadi akrab dan dekat.“Aku akan ke kota, Wi. Mencari pekerjaan, sekaligus mencari Ayah.”Aku menceritakan kerinduanku pada sosok Ayah. Sebagai anak, aku ingin merasakan bagaimana disayangi, dimanja, berjalan bergandengan tangan, dan merasakan dekapan hangat kasih sayangnya.“Aku ikut, Lan,” ucap Dewi, setelah mengetahui kota mana yang menjadi tujuan.“Apa nenekmu akan mengizinkan, Wi?”“Kalau kita cari kerja bersama, Nenek pasti mengizinkan,” jawabnya penuh semangat. “Lagi pula, pamanku tinggal di Jakarta. Untuk sementara, kita bisa menumpang di rumahnya, Lan. Nanti setelah dapat pekerjaan, baru kita indekos.”Mendengar penjelasan Dewi, aku merasa senang. Jika ada teman, aku rasa Ibu akan mengizinkan. Di desa kami, perempuan-perempuan yang bekerja di pabrik atau asisten rumah tangga di kota, bahkan di luar negeri sekalipun sudah menjadi hal biasa. Banyak di antara mereka yang berhasil membeli sawah dan membangun rumah bagus di desa. Namun, tak sedikit pula yang pulang dengan kegagalan dan membawa anak hasil perbuatan tak senonoh majikan.Dewi mengeluarkan telepon genggam miliknya. Dengan kecanggihan internet, kami mulai berselancar mencari alamat perusahaan yang diberikan Pak Jono. Hanya menunggu beberapa detik, tempat itu pun muncul di layar. Aku membaca dan memperhatikan dengan saksama. Melihat gambar bangunan di layar, rasanya sangat dekat dan aku yakin bisa.Tak lupa, kami pun mencari petunjuk transportasi yang akan digunakan, berapa lama waktu perjalanan, serta berapa biaya yang dibutuhkan. Dengan mantap, aku dan Dewi sepakat untuk mengubah nasib. Dewi berambisi supaya bisa bekerja, kemudian membangun rumah seperti para perantau lainnya. Namun aku memiliki dua tujuan, salah satunya mencari Ayah.***“Wulan!”Aku tersenyum bahagia, saat mendapati Mas Agung sudah berdiri di depan teras rumah. Ia adalah anak satu-satunya Paman. Baik, dan sangat perhatian. Dulu laki-laki ini sering membagi uang jajannya padaku. “Mas Agung!”“Bagaimana kabarmu? Tambah gemuk, ya, sekarang.”“Ih, Mas bisa saja.”Kami beriringan masuk ke dalam rumah. Tak lama ia pamit ke kamar, dan kembali dengan membawa sebuah tas gendong hitam. “Ini buat Wulan.” Tangannya menyodorkan benda itu padaku. Selama tinggal di sini, Mas Agung sering membelikanku hadiah; mulai dari makanan, baju, mukena, bahkan buku. Kami sudah seperti kakak adik. Aku pun merasa dilindungi dengan keberadaannya. Karena itu, ketika ia melanjutkan kuliah di salah satu universitas negeri di Depok, aku merasa sangat kehilangan. “Terima kasih, Mas. Wulan suka.”“Ini sangat berguna, saat kamu kuliah nanti, Lan,” ucapnya dengan mata berbinar.Aku tertunduk lesu. “Wulan tidak kuliah, Mas.”Mas Agung menatapku dengan kening berkerut. “Kenapa?”Aku mengungkapkan keinginanku pada Mas Agung. Walaupun di sini untuk urusan perut dan tempat tinggal terpenuhi, tetapi aku ingin mengubah nasib. Berharap bisa bertemu Ayah, mengajaknya pulang, dan kami hidup bersama seperti keluarga normal lainnya. “Lan, kamu kuliah saja. Nanti Mas akan bicara dengan Bapak,” bujuk Mas Agung meyakinkanku.“Terima kasih, Mas. Tekad Wulan sudah kuat.”Laki-laki itu tetap tak setuju. Sekuat apa ia melarang, sekuat itu pula aku beralasan. Menurutnya pendidikan sangat penting. Walaupun Paman dengan ikhlas membiayai kuliahku, tetapi itu akan menjadi senjata baru bagi istrinya untuk mengekang kami. Orang-orang melihat hidup kami enak, tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya. Mas Agung kalah, ia pun tak punya kuasa untuk melarang. Aku yakin ia tulus, tetapi aku juga punya ambisi dan berhak menentukan pilihan. Kehadiran Ayah sangat penting. Ia tak akan pernah tahu bagaimana rinduku pada Ayah.***Sebelum tidur, kuceritakan pada Ibu. Ternyata tak
“Wulan jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri,” ucap Bu Marti—istri Pak Amin, ketika kami telah sampai di rumahnya. Rumah mereka tidak terlalu besar. Kata Pak Amin, harga tanah di Jakarta sangat tinggi. Jadi, mereka membangun rumah dua lantai agar bisa menampung keluarga yang berkunjung. “Kenapa tidak cari pekerjaan di Jakarta saja? Mengapa harus ke Tangerang?” tanya Pak Amin, ketika kami sedang menikmati makan malam.“Aku dan Wulan ingin kerja di pabrik, Paman,” jawab Dewi. “Sudah ada tempat yang akan dituju?” tanyanya kembali.“Sudah.” “Kalau bekerja di Jakarta, kalian berdua bisa tinggal di sini. Paman lebih mudah untuk menjagamu.”“Terima kasih, Paman. Nanti kami akan sering main ke sini. Lagi pula, Tangerang dekat.”Laki-laki itu mengangguk. Ia memberikan berbagai nasihat. Tak mudah hidup di kota besar. Sebagai perempuan harus pintar jaga diri. Di balik kemewahan ibu kota, terdapat begitu banyak masalah dan berbagai tindak kejahatan. Hati-hati dan jangan mudah percaya pada
Direktur? Apakah mungkin ayahku seorang direktur? Bisa saja orang lain yang namanya mirip dengan nama Ayah. Sedikit demi sedikit, informasi tentang Amar Prawira semakin terkuak. Aku harus bertemu dengan direktur perusahaan ini, memastikan bahwa dia adalah ayahku. Aku mengucapkan terima kasih pada Pak Budi, kemudian bergegas kembali ke ruangan. Ternyata Dewi belum juga selesai. Aku kembali duduk di sofa sambil memperhatikan perempuan berkacamata itu, hingga terbesit suatu ide untuk bertanya padanya. Aku yakin, ia lebih tahu tentang direktur perusahaan ini.“Maaf, Mbak, apa teman saya sudah selesai?” tanyaku berbasa-basi.“Belum,” jawabnya tanpa menoleh. Melihatnya yang tak acuh, aku menjadi ragu untuk bertanya. Seandainya ia bersahabat seperti Pak Budi, ingin rasanya aku mendekati dan bertanya lebih dalam. Suara detak high heels terdengar nyaring beradu lantai, perempuan itu menoleh, kemudian berdiri dengan penuh hormat. “Sudah kamu dapatkan, Mira?” tanya perempuan cantik dengan tam
“Hai! Kamu dengar tidak apa yang saya ucapkan?” Lamunanku terhenti, setelah bentakan terdengar.“Maaf, Bu.” Aku tersenyum paksa, menyembunyikan rasa sakit di hati.“Jangan panggil, Bu. Panggil Bik Inah saja. Kita sama-sama pekerja di sini.” Perempuan itu tersenyum, kemudian menatap foto keluarga yang ada di depanku. “Ini keluarga Tuan Amar Prawira. Itu istrinya, Nyonya Jovita. Di sebelahnya Clarisa, putri mereka. Lalu yang laki-laki bernama Kevin.” Aku mengangguk paham. Hatiku berdenyut mendengar penjelasan Bik Inah. Pupus sudah harapanku, ketika menyaksikan ini semua. Tak mungkin aku tiba-tiba meminta pengakuan, apalagi mengajaknya pulang ke desa, sedangkan dia telah hidup bahagia dengan keluarga yang sempurna. “Sekarang, kamu diperiksa dulu, ya.”Diperiksa? Rasanya agak aneh. Aku tidak membawa senjata tajam atau benda berharga lainnya. Namun, Bik Inah bilang ini adalah aturan yang tak boleh dilanggar, maka aku harus mengikuti.“Buka bajunya.”“Apa?” Aku tersentak kaget. Biasanya
Jantung ini tak berhenti berdetak, seolah memberitahu bahwa ia benar ayahku. Walaupun sekali bertemu, aku tak ragu sedikit pun. Mungkin karena darahnya mengalir dalam tubuhku. Tak terasa mata berkaca-kaca, dan sepertinya air mata akan luruh tiba-tiba. “Pi, ini pembantu kita yang baru. Namanya Wulan,” ucap Nyonya Jovita memperkenalkanku. Laki-laki itu berjalan mendekat. Aku menatapnya lekat, sampai lupa caranya berkedip. Dada terasa sesak. Ingin kurangkul tubuh tegap itu, dan mengatakan bahwa aku adalah Wulan, putri kandungnya.“Oh,” jawabnya melirikku sekilas, kemudian menjauh bersama perempuan yang merangkulnya mesra.Aku kecewa. Harapan tak sesuai kenyataan. Ya Allah, kenapa hatiku sehancur ini? Rasanya seperti orang yang sedang patah hati, karena cinta tak terbalas. Bagaimana jika Ibu tahu, kalau laki-laki yang ia tunggu 18 tahun dan disebut namanya dalam setiap doa, ternyata telah hidup bahagia serta memiliki keluarga baru? Hati Ibu akan hancur, bahkan lebih hancur dariku.“Wul
Selesai salat Subuh, aku bergegas mengerjakan pekerjaan rumah; menyapu, dan mengepel lantai. Pantas saja Bik Inah kewalahan, rumah ini sangat besar. Belum lagi perabotannya yang banyak, dan mahal. Harus hati-hati saat membersihkannya, agar tak ada yang rusak dan pecah. Jika itu terjadi, maka siap-siap saja gaji dipotong.Sepasang suami istri itu turun, ketika matahari mulai meninggi. Aku tak tahu pukul berapa mereka bangun. Apa mungkin karena sekarang hari Minggu, jadi mereka sengaja bangun kesiangan, atau ... sudah bangun dari tadi? Keduanya segera ke meja makan, kemudian disusul Kevin dan Clarisa. Aku dan Bik Inah kembali ke dapur, memberikan waktu untuk keluarga itu bercengkerama. Berkali-kali aku mencuri pandang pada Tuan Amar, menatap parasnya yang ganteng dengan tubuh yang proporsional. Pantas rasanya jika Ibu jatuh cinta pada Ayah. Aku beralih memandang Nyonya Jovita. Ia cantik, putih, dan mulus. Jika dibandingkan dengan Ibu, tentu Ibu kalah saing. Jika Ayah disuruh memilih,
Sore hari, aku menemani Kevin bersepeda. Ia mengeluarkan dua sepeda dari garasi. Semula aku menolak, tetapi Kevin tetap memaksa. “Ini buat Mbak.” Kevin menunjuk sebuah sepeda lipat. Dengan cekatan, ia membuka lipatan, kemudian memberikan padaku. Kevin memindai penampilanku dari atas sampai bawah. “Ganti bajunya, Mbak. Kita, kan mau olahraga. Kalau pakai rok, bagaimana akan bersepeda?”Benar juga. Aku mengikuti saran Kevin, mengganti pakaian dengan baju kaos dan celana kulot, serta memakai kerudung bergo berwarna senada dengan baju. Ketika kembali ke garasi, Kevin sudah berdiri dan menyerahkan sebuah topi.“Ini buat Mbak Wulan, biar tidak kepanasan.”Masyaallah, baiknya kamu, Dik. Aku terharu. Andai kamu mengetahui hubungan kita, apakah kamu akan semakin baik, atau malah membenciku? tanyaku dalam hati dengan penuh haru.“Ayo, Mbak Wulan.”Aku mengikuti Kevin dari belakang. Ia mengendarai sepeda dengan lincah. Kami berdua beriringan melewati deretan rumah mewah yang indah. Tampak beber
Aku kaget. Dari tadi kami bicara, tak pernah sekali pun ia menyebutkan profesinya yang mulia itu. “Alhamdulillah.” Pak Arya membopong Kevin, dan didudukkan di depan teras rumahnya yang tak jauh dari lokasi kejadian. Ia masuk ke dalam, lalu keluar membawa kotak P3K. Dengan hati-hati, Pak Arya membersihkan luka, dan mulai mengobatinya. Ia sangat terampil, bahkan beberapa kali laki-laki itu mengajak Kevin bercanda guna mengalihkan perhatian agar tak sakit. “Sudah. Lain kali hati-hati, ya, Kevin.”Kevin tersenyum. “Terima kasih, Dokter … eh, Pak,” ucapku.Pak Arya terkekeh pelan. Kevin sudah diobati, tetapi aku masih cemas. Salah atau tidaknya aku, Nyonya Jovita pasti akan sangat marah. “Jangan takut, nanti saya akan hubungi Pak Amar,” ungkap Pak Arya, seperti tahu kegelisahanku. Aku pun meminjam kertas dan bolpoin pada Pak Arya. “Untuk apa?” tanyanya, ketika menyerahkan benda itu.“Pemilik mobil yang ditabrak Kevin tak ada di tempat, Pak. Wulan akan menulis surat di kertas kecil i