Seminggu berlalu setelah kepergian Davina dari rumah besar Prasaja. Rumah itu terasa lebih sunyi, tapi tidak juga menghadirkan kedamaian. Arsa justru mengurung diri. Hari-harinya hanya diisi dengan pekerjaan, dari kantor hingga larut malam, lalu kembali mengurung diri di ruang kerjanya. Ia tak pernah menengok Hana, apalagi putranya.Hingga suatu sore, pintu ruang kerjanya diketuk. Sosok Opa Bima masuk, langkahnya tenang namun sorot matanya tajam menatap cucunya.“Arsa,” ucapnya berat, “berapa lama lagi kau akan begini? Kau sibuk menutup mata, sementara wanita yang melahirkan anakmu, hanya punya waktu tujuh hari lagi di rumah ini.”Arsa tersentak, menegakkan tubuhnya. “Tujuh hari?”“Ya,” jawab Opa tegas. “Perjanjian itu jelas. Setelah waktunya habis, Hana harus pergi. Apa kau rela melepas ibu dari anakmu tanpa pernah menatapnya sebagai seorang suami? Apa kau ingin menyesal seumur hidup?”Arsa tercekat. Kata-kata itu menusuk dadanya. Selama ini ia berusaha membuang semua kerumitan denga
Davina terdiam, bibirnya kelu, jantungnya berdetak tak karuan. Foto-foto itu berserakan di lantai, potret dirinya bersama seorang pria. Senyum, sentuhan, dan kedekatan yang tidak seharusnya ada.Arsa berdiri di hadapannya dengan rahang mengeras, sorot matanya menyala penuh amarah. Urat di pelipisnya menegang, suaranya pecah saat akhirnya ia bersuara.“Selama ini, ini yang kamu lakukan di belakangku, Davina?!”Davina mundur setapak, tubuhnya gemetar. “Arsa, aku bisa jelaskan..,"“Jelaskan apa?!” bentak Arsa, menunjuk ke arah foto yang bertebaran di lantai. “Jelaskan bagaimana istri yang selama ini aku percaya, istri yang aku bela mati-matian, ternyata tidur dengan sahabatku sendiri?!”Air mata Davina tumpah, ia menutup mulutnya dengan tangan. “Arsa, aku khilaf aku.."“Jangan sebut kata khilaf! Berapa tahun kamu khilaf Davina?" potong Arsa, suaranya berat, penuh luka. “Kamu pikir aku buta? Andres, dokter yang aku percayai menjaga kesehatanmu, yang aku izinkan masuk ke dalam lingkaran ke
Sejak malam itu, Arsa tidak lagi mengunjungi kamar Hana. Hanya sesekali ia menengok dari jauh, memastikan Arshanova baik-baik saja. Sementara Hana, meski hatinya perih, tidak lagi berharap banyak. Ia hanya fokus pada putranya, satu-satunya alasan ia bertahan.Suatu sore, ketika Hana tengah menidurkan Arshanova, pintu kamarnya diketuk pelan. Ia sempat mengira Fadya atau Arsa, namun sosok yang masuk justru membuatnya terkejut, Opa Prasaja."Hana…," suara Opa tenang, namun penuh wibawa. Rambut putihnya berkilau diterpa cahaya sore, raut wajahnya teduh meski penuh garis usia.Hana segera bangkit, meletakkan Arshanova di tempat tidur, lalu merapikan kerudungnya. "Opa, ada apa? Kenapa repot-repot datang ke sini?"Opa berjalan pelan, mendekat ke arah bayi kecil itu. Senyum tipis terukir di wajahnya saat menatap cucu yang tengah tertidur pulas. "Dia, begitu tampan. Kamu tahu, saat melihatnya seperti ini mengingatkan Opa pada Arsa kecil dulu. Tapi, sorot matanya begitu indah seperti kamu Hana.
Hari begitu cepat berlalu, kehidupan Hana berputar hanya di kamar bersama putranya. Anak yang akan ia lepaskan dalam hitungan hari, tiada detik tak terlewatkan begitu saja tanpa suara anaknya."Hari ini kenapa cepat sekali berlalu? Hari membuatku semakin menjauh sedikit demi sedikit. Hari di mana aku mulai belajar melepaskan mu, nak." Gumam Hana. Ia menatap jendela. Langit malam gelap, tanpa bintang. Tapi di gendongannya, ada cahaya kecil yang memberinya kekuatan untuk bertahan.Hana semakin menutup diri di kamar. Pintu itu jarang sekali terbuka, hanya sesekali ketika Arsa masuk dengan hati-hati. Semua orang di rumah sudah tahu, tidak ada yang diperbolehkan menggendong bayi itu selain dirinya.“Jangan, jangan ada yang menyentuhnya,” suara Hana lirih namun tegas setiap kali ada tangan lain yang mencoba.Ia tahu waktunya terbatas, karena itu setiap detik terasa berharga. Bayi mungil itu selalu berada dalam pelukannya, menyusu, tertidur, bahkan ketika Hana sendiri kelelahan, ia tetap men
Hana mengulas senyum, meski sakit semakin terasa. "Mas, aku baik-baik aja. Aku ingin merasakan perjuangan ibuku saat melahirkan aku. Ini akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan," sahut Hana lirih, wajahnya semakin pucat bibirnya kering. Namun, senyum itu begitu tulus meski rasa sakit itu semakin menjadi."Kamu kesakitan, aku tidak bisa diam saja. Kamu harus nurut, kali ini ..," Hana menarik pergelangan tangan Arsa. Memintanya untuk mendekat."Aku seorang wanita, rasa sakit ini sudah menjadi kewajiban. Sekalipun nyawa ini pergi, aku mau melahirkan secara normal. Mas, aku mau kamu mendukung ku. Sakit ini tidak sebanding dengan rasa bahagiaku menjadi seorang ibu," lirihnya wajah letihnya terlihat jelas di wajahnya. Namun, Hana tidak mengeluhkan sedikitpun rasa sakit itu.Suasana rumah sakit malam itu penuh kecemasan. Keluarga besar Prasaja menunggu dengan cemas di luar, mereka tidak tenang duduk. Berapa kali Opa meminta istrinya untuk duduk, namun wanita sepuh itu enggan
Langit sore menggantung mendung ketika mobil yang membawa Hana berhenti di halaman rumah besar keluarga Prasaja. Rumah itu masih sama, mewah dan megah, namun kini terasa lebih asing. Ia turun perlahan, satu tangan menopang perutnya yang semakin besar.Ibu mertua dan para asisten rumah tangga menyambutnya dengan senyum bahagia. Namun tak ada kehangatan seperti sebelumnya. Dan dari balik jendela lantai atas, Davina menatap sinis, lalu menarik tirai dengan kasar.Hari-hari berikutnya tidak mudah bagi Hana. Meski Arsa tidak selalu berada di rumah, kehadiran Davina seperti bayangan kelam yang menghantuinya setiap saat.Di kamarnya, Hana menatap layar ponsel dan buku catatan kecil.Ia menghitung dengan teliti uang hasil tabungan pribadi dan pekerjaan kecil yang sempat ia lakukan sebelum perut membesar. Ya, Hana melakukan pekerjaan saat tinggal di apartemen dan itu ia lakukan secara sembunyi."Total hanya segini," batinnya sambil menghela napas.Ia membuka catatan kecil lain—rencana hidup se