LOGIN"Untuk apa kamu datang ke sini?" Bu Dania, menetralkan detak jantungnya. Wanita paruh baya itu memilih duduk di sofa, tanpa mempersilahkan tamunya duduk."Apa kabar Tante? Masih ingat aku kan?" "Angel? Lama tidak bertemu. Oh, ya. Kabar tente sangat baik." Ujarnya sinis. "Katakan ada apa?" tanyanya tanpa mempedulikan wanita di depannya. "Tante benar, sudah lama kita tidak bertemu. Sebenarnya aku ke sini ingin mengajak kerjasama, pastinya akan menguntungkan kita berdua tan. Bagaimana kalau kesepakatan itu kita sahkan sekarang?" Ujar Angel.Bu Dania terdiam cukup lama, jemarinya mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar.Kerja sama itu menggiurkan terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Lagi pula, Angel bukan orang asing baginya.Ambisius, licik, dan bebas tapi, justru itu yang membuat Angel berbahaya.Jika ia setuju, Angel akan “mengurus” semuanya.Sita akan tersingkir dari kehidupan putranya.Devan akan kembali pada jalur yang ia harapkan tanpa menunggu anak itu lahir. Keuntungan bisnis pun men
Bara yang sama sekali tidak curiga berjalan santai menuju ruang olahraga yang tampak kosong. Ia pikir Arsa ingin membicarakan sesuatu tentang pekerjaan keluarga, bukan sesuatu yang mencurigakan.Begitu pintu tertutup, Arsa langsung menghampirinya dengan wajah gelap.“Sa?” Bara mengernyit, tak sempat melanjutkan kalimatnya karena tinju pertama Arsa sudah mendarat tepat di rahangnya.Bara terhuyung. “Gila! Kamu kenapa—”Pukulan kedua dan ketiga menyusul, lebih keras, penuh amarah yang selama ini ditahan.“Berani kamu sentuh Hana?” desis Arsa, napasnya memburu.Wajah Bara memucat. “Aku, itu, itu sudah lama, dan—”“Diam!” Arsa menarik kerah sepupunya itu. “Aku tahu semua. Kamu coba melecehkan dia saat dia masih jadi istri kedua ku. Dan setelah perceraian, kamu berani tawarkan uang supaya dia ikut kamu?” Suaranya menggema di ruangan, getir dan menyala.Bara mencoba melepaskan diri, tapi tak ada tenaga untuk melawan. “Sa, maafkan aku. Aku, waktu itu hanya..,"Pukulan demi pukulan Arsa laya
Rumah sederhana Bu Ira mulai sepi. Para tamu undangan dan sahabat serta tetangga mulai meninggalkan pesta kecil nan sederhana itu, kini hanya pihak WO yang mulai merapihkan tenda.Devan menatap Sita yang masih duduk di ruang tamu, memegang buket sederhana pemberian tetangganya.“Boleh kita bicara sebentar?” tanyanya pelan.Sita mengangguk. Ia sudah bisa menebak apa yang akan dibahas hari ini, di antara semua kekacauan dan kebahagiaan, ia tahu Devan masih menyimpan nama sahabatnya Hana. Itu membuat dadanya sedikit mengencang.Namun ketika Devan duduk di depannya, ekspresinya serius.“Aku tahu kamu ragu sama aku. Aku sadar selama ini aku banyak bikin kamu terluka,” ucapnya, suaranya rendah tapi mantap. “Tapi mulai hari ini, aku cuma mau mikirin kamu, rumah tangga kita, dan bayi kita. Nggak ada lagi yang lain.”Sita menunduk, jemarinya meremas buket.“Terserah kamu. Aku tidak memiliki hak untuk melarang kamu berhenti memikirkan orang lain. Pernikahan ini hanya untuk memberikan status pad
Devan ingin buru-buru mendekat, tapi langkahnya tertahan oleh suara ibunya Sita.“Jangan membuatnya terluka lebih dari ini. Jika itu terjadi, aku bersumpah akan membuat hidupmu menderita seumur hidup. Kamu tahu kan sumpah wanita teraniaya tidak akan pernah melesat?"Devan menahan napas. Matanya hanya fokus pada Sita yang memalingkan wajah, enggan untuk menatapnya.“Sita, maafkan aku. Maaf sudah membuatmu seperti ini. Aku tahu aku salah, izinkan aku..,Dan saat itu, wajah Sita semakin pucat dan keringat dingin membasahi pelipis dan tubuhnya.Perawat yang lewat spontan masuk ke dalam ruang perawatan begitu Devan keluar dari ruang perawatan.“Tolong keluar dulu! Kondisi ibu dan janinnya turun naik! Cepat panggil dokter Erna!" Devan membeku, melihat keadaan Sita yang semakin memperihatinkan. Pintu ditutup tepat di depan wajah Devan oleh perawat.Ia berdiri di koridor, napas tersengal, seluruh jiwanya remuk. Begitu jahat dirinya yang meminta Sita minum obat pencegah kehamilan, bahkan tid
Berbekal alamat yang bahkan tidak bisa disebut secara detail oleh Arsa. Alamat hanya nama kota kecil di Jawa Tengah, Devan tetap memaksakan diri berangkat. Tidak ada petunjuk rumah, tidak ada nomor, tidak ada siapa pun yang bisa ia hubungi. Hanya sebuah kota, dan penyesalan yang menyesakkannya setiap detik. Di dalam mobil, tangan Devan terus menggenggam ponselnya erat. Berkali-kali ia membuka kembali pesan singkat dari Arsa, padahal isinya sama. “Kotanya di sana. Sisanya kamu cari sendiri.” Meski samar, tekadnya tidak gentar. Wanita yang bersedia menjadi pelampiasan tanpa menuntut apapun. Bahkan, lebih kejam lagi ia tega memberikan obat pencegah kehamilan. "Maafkan aku Sita, maafkan." Gumamnya lirih. Tatapannya nanar keluar jendela, sang sopir pribadi hanya bisa melihatnya tanpa berani menganggu. “Aku harus ketemu dia,” gumamnya lirih, nyaris seperti janji pada diri sendiri. Perjalanan panjang membuat kepalanya berdenyut. Mual itu datang lagi, gejala yang seharusnya tidak ia r
Sepulangnya Hana dari kota kecil yang kini menjadi tempat tinggal Sita. Hana mencoba untuk memahami keadaan sang sahabat meski banyak pertanyaan yang tidak ada satu pun ada jawabannya. Hana berkali-kali melamun, gelisah, dan mudah tersentak. Arsa memperhatikan semua tanpa perlu ditanya, ia tahu Hana sedang memikul sesuatu yang berat.Malam itu, Hana duduk termenung di ruang tengah, memegang cangkir teh yang sudah dingin. Arsa datang mendekat, meraih cangkir itu dan meletakkannya di meja.“Kamu nggak bisa begini terus, sayang." ucap Arsa pelan. “Kamu kepikiran Sita, kan?”Hana mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca. “Dia sendirian, Mas. Hamil, nggak ada suami, kamu tahu kan mas, ibunya sakit. Aku nggak ngerti gimana dia bisa sekuat ini."Arsa menghela napas panjang. Ada sesuatu yang menggeram di dalam dirinya, campuran marah, iba, dan rasa tanggung jawab sebagai seseorang yang suaminya alam melindungi seorang istri yang tengah hamil.“Kamu tunggu di rumah,” katanya akhirnya. “Biar aku







