Share

Kedatangan Sarah

Sarah keluar dari gedung hotel dengan langkah kasar. Membawa amarah yang masih sepenuhnya menguasai hatinya. Kenapa lelaki brengsek itu muncul lagi di hidupnya yang sudah tenang? sepanjang langkahnya, tak hentinya Sarah mengutuk Danar.

 

Sarah menghentikan langkahnya. Pandangannya menyusuri mobil yang berjejer rapi. Dirinya belum menyadari dengan siapa ia datang kesini.

"Sial" umpatnya dalam hati ketika dirinya mulai sadar. Ia lantas memesan taxi online.

Beberapa menit kemudian, Sarah menaiki taxi pesanannya.

"Diskotik Ex*****s," ucap Sarah pada supir.

Kemudian Mobil itu berjalan, hingga sampai ditempat yang dituju.

Sarah berlari kecil setelah membayar tumpangannya. Menghampiri mobil merahnya yang terlihat mencolok dari kejauhan. Dirinya lantas membuka tas mungil brandednya, mencari sesuatu di sana. Sampai ia menumpahkan semua isinya di atas mobil, namun ia tetap dapat menemukan kunci mobilnya.

Sarah terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Namun percuma, karena setelah meminum bir semalam, dirinya tak mengingat apapun lagi.

Sarah melihat jam tangan. Pukul sepuluh pagi.

"Berantakan semuanya!" gerutunya dalam hati. Semua rencananya gagal karena Danar membawanya. Padahal ia berencana langsung menjemput Aris kala matahari belum terbit. Berharap Suaminya telah melakukan tugasnya, kemudian segera pergi dari Apartemen itu.

Fikiran Sarah benar-benar kalut. Memikirkan antara suaminya dan rahasia besar yang selama ini ia tutup-tutupi akan terancam, jika Danar kembali menemuinya dan membongkar semuanya.

Atau mungkin Danar datang untuk membalaskan dendamnya?

Ingatan Sarah berputar pada masalalu. Saat dirinya mengusik pernikahan Danar dengan istrinya yang ia ketahui bernama Sinta. Putri tunggal perusahaan textil terbesar di kotanya.

Saat itu, susah payah ia mencari tahu nomor pribadi Sinta, hingga akhirnya ia mendapatkannya dari orang suruhannya dengan cara yang tidak mudah.

Dirinya lantas menghubungi nomor itu, mengajaknya bertemu disebuah cafe secara pribadi. Ia bersandiwara dengan tangis yang bercucuran di depan Istri Danar. Menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, hingga sampai Danar hilang tanpa kabar sama sekali setelah dirinya kehilangan rahimnya.

Dirinya juga menyertakan bukti foto- foto panasnya bersama Danar. Membuat Sinta yang kala itu tengah hamil besar lantas berdiri, dan pergi meninggalkan kafe, dengan membawa serta semua fotonya bersama air mata yang sudah mengembung sejak pertama dirinya menceritakan masalalunya bersama Danar.

Kala itu, dirinya begitu puas dengan seringai kemenangannya. Membayangkan sebentar lagi akan ada pertengkaran hebat yang akan menghancurkan pernikahan mantan kekasihnya.

Namun, semuanya meleset tak sesuai keinginannya. Malam itu juga, ia mendengar kabar bahwa Istri Danar kecelakaan setelah ia keluar dari kafe tempat mereka bertemu. Nyawanya tak dapat tertolong bersama dengan bayinya, hingga membuat Danar depresi. Smpai akhirnya, Orang tua Danar membawa Danar ke luar negeri.

Sejak saat itu, dirinya memulai hidup barunya. Tak ada penyesalan atas apa yang terjadi pada mantan kekasihnya.

.

.

.

.

Sarah menggelengkan kepalanya, mengakhiri ingatannya itu. Kemudian ia kembali memesan Taxi online untuk mengantarkannya ke apartemen.

"Bisa lebih cepat lagi Pak?" tanyanya cemas, membayangkan suaminya yang terlalu lama berduaan dengan Nisa.

"Iya Non," balas sang supir, kemudian mempercepat lajunya.

Tiga puluh menit kemudian, mobil itu sampai ditempat tujuan.

Sarah bergegas turun. Lantas melangkahkan kakinya memasuki gedung dengan langkah tergesa. Bayangan Suaminya menyambut dan memeluknya, membuat Sarah semakin tak sabar. Sampai menit kemudian, lift berdenting, pertanda sudah sampai.

Sarah memencet pas code pintu apartemen, membiarkannya terbuka. Namun, apa yang ia lihat tak seperti bayangannya. Ruangan ini tampak begitu sepi.

Sarah berjalan cepat ke kamar yang semalam di tempati suaminya bersama Nisa. Kemudian membuka pintunya dengan kasar, namun yang ia dapati masih sama. Hening. Tak ada siapapun.

Tanpa ragu, Sarah mengitari ranjang. Melihatnya dengan teliti. Ranjang itu seharusnya berantakan, dan ada bercak darah. Tetapi yang ia lihat begitu tertata rapi dengan sprei yang masih sama.

Sarah mengeluarkan benda pipih di dalam tasnya, menghubungi suaminya.

Suara dering ponsel terdengar di luar kamar, membuat Sarah berlari kecil mencari asal suara. Sarah mengumpat saat melihat ponsel Aris tergeletak di atas meja. Tak ada pilihan, dirinya harus menunggu sampai mereka kembali.

Sarah duduk di ruang tengah sembari memainkan ponselnya. Sampai ia mendengar dentingan pintu yang terbuka, membuatnya lantas berdiri. Menunggu sampai mereka masuk.

Padahal Sarah ingin langsung menghambur ke pelukan Aris. Namun dirinya dikejutkan dengan tangan suaminya yang menggenggam erat gadis itu. Hatinya seperti tergores. Terlebih melihat mereka seperti pengantin sungguhan, membuat hatinya begitu tercubit.

Sarah menatap tajam pada Nisa, berharap gadis itu tahu posisinya yang sebenarnya. Sampai kemudian, membiarkan Nisa berlalu tanpa bicara.

"Darimana kamu Mas?"

"Dari belanja, bahan-bahan dapur sudah habis," jawabnya datar, sembari berlalu menyusul Nisa, membuat Sarah seperti di abaikan.

"Tunggu!" ucapnya membuat langkah Aris terhenti.

Sarah lantas menghampiri Aris. Memeriksa barang-barang apa saja yang dibelinya.

"Kenapa kamu membawa wanita itu kesana? terlalu berlebihan, dan aku tidak suka! Lain kali, aku tidak akan mengizinkanmu keluar bersama gadis itu. Kenapa Mas tidak memikirkan bagaimana tanggapan orang-orang? ini bahaya untukmu Mas!" ucapnya tak terima.

Aris menatap Sarah dengan sorot mata tajam.

"Pelankan suaramu Sarah!" pintanya setengah berbisik, menutup mulut istrinya dengan emosi.

"Nggak! kenapa jadi seperti ini? Mas gak suka dengan ucapanku? atau Mas takut jika gadis itu mendengar pembicaraan kita?"

Tanpa basa-basi, Aris lantas menarik tangan Sarah ke kamar utama.

"Tolong pakai sedikit perasaanmu!" pinta Aris, sembari melepaskan tangan Sarah dengan kasar.

Sarah tersenyum sinis, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hebat ya! baru semalam Mas bersamanya, tapi Mas langsung berubah! perasaan siapa Mas? perasaan siapa yang harus di jaga! disini aku yang paling tersakiti! aku yang berjuang untuk-"

"Cukup, cukup!" Sahut Aris sembari menutup telinganya.

"Jangan mengatasnamakan pernikahan kita untuk pembelaanmu yang tak sedikitpun memakai nurani. Jika sikapmu terus seperti ini, aku tidak akan melakukan rencana licikmu itu!" imbuhnya, kemudian keluar kamar. Meninggalkan Sarah dengan wajah merah padam.

Aris melangkah mencari Nisa. Ia longok ke dapur, tak ada. Kemudian mencari ke kamar, namun tetap tak ada. Aris sedikit panik, takut jika Nisa mendengar perkataan Sarah dan pergi dari sini. Namun hatinya sedikit lega, ketika mendengar suara percikan air dari kamar mandi.

"Nisa ..." ucapnya sembari mengetuk pintu kamar mandi pelan.

"Ya ..." terdengar jawaban dari dalam. Membuat Aris menghembuskan napas semakin lega.

"Mas, cari Nisa?" tanyanya setelah keluar dari kamar mandi.

"Itu, barang-barang kamu. Kamu simpan dilemari ya," titahnya sembari menunjuk beberapa tas berisi belanjaannya. Sebenarnya Aris hanya ingin memastikan perubahan wajah Nisa. Ia sedikit lega karena sepertinya Nisa tak mendengarnya.

"Iya Mas," balasnya sembari mengeluarkan pakaian, kemudian melipatnya dengan rapi.

"Sebenarnya ini terlalu berlebihan buat Saya. Apa baju ini sebaiknya tidak  diberikan pada Mbak Sarah saja?" ucap Nisa tanpa fikir sembari tetap melipatnya.

"Berikan saja jika memang baju itu muat untuk mbakmu," balas Aris menahan senyumnya. Membuat Nisa menyadari perbedaan tubuhnya dengan Sarah.

Aris yang melihat perubahan mimik wajah Nisa semakin menggodanya. Membuat pipi Nisa semakin merona.

"Ayo, berikan sana! mumpung ada orangnya di luar!" ledeknya.

Nisa melengos, kesal. Ia tak suka pada posisi seperti ini.

"Gak jadi!" jawabnya ketus. Membuat Aris semakin gemas.

"Ya udah, biar Mas saja yang panggil!"

Nisa langsung menerkam dan membungkan mulut Suaminya sebelum Aris meneriakkan nama Sarah. Membuat mata mereka bersitatap. Sangat dekat. Untuk beberapa saat mereka tetap diam, merasakan debaran yang kian terasa cepat.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu membuat Nisa terlonjak, melepaskan bungkaman tangannya.

"Ma-maaf! Nisa gak bermaksud ..." pintanya salah tingkah, kemudian berlalu membukakan pintu.

"Mana Mas Aris?" tanya Sarah dingin seraya masuk tanpa permisi. Sarah merasa masih berhak keluar masuk ruangan manapun. Karena apartemen ini miliknya dan suaminya.

Annisa merasa canggung berdiri di ambang pintu. Dirinya lantas berjalan keluar. Meninggalkan suaminya bersama Sarah di dalam ruangan yang kemarin katanya sudah menjadi kamarnya.

"Kita pulang sekarang ya Mas," ucap Sarah sembari bergelanyut manja pada leher Aris.

"Aku minta maaf, atas sikapku tadi," imbuhnya lagi, kemudian mengecup lembut pipi Aris.

Sementara Aris seperti risih atas perlakuan Sarah. Dirinya kaget ketika Sarah memasuki kamar pribadi Nisa tanpa permisi. Tak ingin bertengkar lagi, Aris lantas mengiyakan kemauan Sarah. Membiarkan Sarah menggandengnya dengan erat sepanjang langkahnya.

"Tunggu sebentar," Ucap Aris  menghentikan langkahnya yang sudah diambang pintu. Kemudian melepaskan tangan Sarah yang melingkar erat dipinggangnya.

Aris mencari Nisa yang berada di dapur. Dilihatnya Nisa sedang memasukkan sayuran ke kulkas.

"Aku pulang dulu," pamitnya seperti tertahan.

"Iya," Hanya itu yang Nisa ucapkan. Kemudian Nisa meraih tangan suaminya. Menciumnya dengan takzim, membuat Aris merasa gemetar. Dirinya merasa begitu di hormati sebagai seorang Suami karena ini pertama kalinya tangannya dicium saat pamit. Sarah, jangankan mencium, melihat Aris pun tidak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status