Share

Sedikit tentang Sarah

Sarah meninggalkan Apartemen dengan langkah berat. Sesekali ia menoleh ke belakang dengan gelisah. Ingin rasanya ia kembali. Namun, hatinya tak cukup kuat untuk melihat suaminya bersama Nisa. Ia tak mau mendengar sesuatu yang akan membuatnya menggagalkan malam panas mereka. Karena bagaimanapun juga, dirinya adalah seorang Istri, yang tak akan rela jika suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain.

Sarah menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya memasuki mobil dan melaju di tengah keramaian jalan kota. Fikirannya kalut, beserta dadanya yang terasa sesak membayangkan Suaminya menyentuh wanita selain dirinya.

Sebuah penyesalan tiba-tiba menyusup merasuki hatinya. Kenapa juga dia menikahkan suaminya?

"Semua karena rahim kosong si*lan ini!" ucapnya dalam hati, sembari memukul setir dengan kasar. Dirinya semakin frustasi mengingat masalalunya yang kelam.

Fikiran Sarah seakan buntu, ia tak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan emosinya yang seperti ini. Ia tak mau melampiaskan amarahnya, dengan membanting barang-barang yang mungkin akan menjadi masalah baru jika sampai Bi Imah mengadu pada mertuanya.

Tak ada pilihan, Sarah membanting setir, dan berbelok arah dengan kecepatan tinggi di jalanan yang mulai sepi.

Sampai akhirnya, mobilnya berhenti di tempat parkiran sebuah bar. Tak ada cara lain lagi, mungkin hanya ini satu satunya cara agar ia dapat melupakan satu malam sialan ini. 

Sarah turun dari mobil dengan langkah kasar, memasuki ruangan remang-remang yang semakin ramai pengunjung ketika malam semakin larut.

Tanpa basa-basi, Sarah memesan minuman beralkohol, kemudian meneguknya tanpa beban, hingga ia tak menyadari, seseorang tengah mngintai dirinya. Menunggu sampai ia benar-benar mabuk hingga tak sadarkan diri.

Seorang Laki-laki menghampiri Sarah, yang sudah pingsan karena terlalu banyak minum. Laki-laki itu membayar minuman milik Sarah, kemudian membawanya ke hotel yang tak jauh dari tempat itu dengan seringai menjijikkan di sepanjang jalan.

.

.

.

.

Sarah menggeliat, saat mentari mulai merangkak naik menyilaukan matanya. Kepalanya masih sangat pusing. Ia menatap sekeliling, di ruangan yang terasa asing. Dirinya mencoba mengingat-ingat, namun tak kunjung berhasil. Sampai ia sadari, sebuah tangan kekar melingkar di pinggangnya. Sarah tersenyum, membayangkan wajah suaminya. Sampai pemilik tangan itu mempererat pelukannya, membenamkan wajah di tengkuknya, membuat Sarah kembali memejamkan mata.

Merasa ada yang berbeda, sontak Sarah membuka mata. Dengan sigap ia membalikkan tubuh. Matanya terbelalak melihat siapa lelaki di sampingnya. Reflek ia bangkit dari ranjang. Terkejut bukan main, ketika ia lihat tubuhnya tak lagi memakai busana. Sarah lantas memunguti bajunya yang tercecer di lantai. Membawanya lari ke kamar mandi, kemudian menutup pintunya dengan kasar, serta menguncinya rapat-rapat.

"Dasar bajingaaan!" jeritnya menggema memenuhi seluruh ruangan. Hingga membuat lelaki itu terbangun dengan seringainya yang tanpa dosa.

Lelaki itu tetap tak bergeming pada tempatnya. Sampai Sarah keluar dari kamar mandi dengan sorot mata tajam.

"Hai, Sayang?" sapa lelaki itu ketika Sarah menghampirinya dengan langkah gontai, lantas meludah tepat di wajahnya.

Lelaki itu bangkit, kemudian mengusapnya dengan senyum sinis.

"Kenapa? apa kau tak merindukanku?" ucapnya menyeringai.

"Brengsek kamu Danar! belum puas kamu menghancurkan hidupku, hah!" cecarnya emosi.

"Menghancurkan? kau sendiri yang menghancurkan hidupmu Sarah! apa kau lupa? atau bahkan kau sudah pikun?" balasnya.

"Kau, dasar bajingan!" ucapnya menunjuk wajah Danar dengan tatapan nyalang. Kemudian memukul dada lelaki itu tiada henti.

Flashback On.

Danar. Lelaki berada yang pernah bertahta di hati Sarah. Dua tahun lamanya mereka merajut cinta. Namun Orang tua Danar tak merestui hubungan mereka. Sampai waktu itu Sarah mengatakan jika dirinya hamil, tapi Danar terlanjur dijodohkan dengan wanita lain.  Meski begitu, Danar meminta Sarah tetap menjaga kandungannya, dan ia berjanji menanggung seluruh kebutuhan Sarah berikut bayi yang akan dilahirkannya nanti. Danar juga berjanji akan menikahi Sarah meski tidak dalam waktu dekat. Namun perkataan Danar malah membuat Sarah mengamuk, dan mengambil jalan pintas. Sarah malah bertekad menggugurkan kandungannya.

Entah sudah berapa macam obat obatan yang Sarah telan, namun bayi itu tetap bersemayam di rahimnya. Hingga kandungannya mencapai usia tiga bulan, Sarah merasakan sakit yang begitu hebat di rahimnya. Ia mencoba menghubungi Danar yang kala itu tengah bulan madu bersama istrinya. Membuat Danar terpaksa meninggalkan istrinya dengan seribu alasan.

Sesampainya Danar di apartemen Sarah, Sarah sudah tergeletak tak berdaya dengan darah segar mengucur deras dari pusatnya. Danar dengan sigap membawa Sarah ke Rumah Sakit. Sampai akhirnya, Doker mengatakan jika Sarah harus di operasi. Bayinya keguguran, dan rahimnya harus di angkat karena Infeksi akibat mengkonsumsi berbagai macam obat keras. Jangan tanya betapa marahnya Danar waktu itu, ia begitu kecewa dengan Sarah. Hatinya hancur, melihat bayinya sudah tiada. Padahal Danar selalu mengirimkan uang dengan jumlah banyak di setiap bulannya, meminta Sarah untuk berhenti bekerja demi untuk menjaga kandungannya.

Dan semenjak hari itu. Setelah Danar menemani Sarah melewati operasinya, Danar meninggalkan uang untuk hidup Sarah kedepannya. Danar tak pernah lagi menghubungi Sarah. Rasa cintanya terhadap Sarah tak mampu menutupi rasa sakit di hatinya saat Sarah dengan sengaja menghilangkan nyawa dirahimnya.

Flashback Off

.

.

.

.

Di dalam sebuah gedung pencakar langit. Terdapat dua insan yang sesekali bercanda kecil, tampak malu-malu. Sesekali mereka tertawa bersama dengan mata yang saling menatap, tanpa peduli dengan orang-orang yang melihat mereka dengan tatapan masing-masing.

Orang-orang tak menyadari, bahwa yang memakai pakaian rumahan itu adalah Aris Putra Sanjaya. Pemimpin perusahaan terbesar di kota ini, yang memiliki cabang dimana-mana, sekaligus pemilik Mall yang mereka pijaki saat ini.

Setelah Aris membawa Nisa di bagian sepatu wanita. Kemudian Aris membawanya ke tempat pakaian, yang tentunya sesuai dengan style Nisa. Pusat berbagai macam gamis, dengan berbagai model hijabnya yang kekinian.

"Kita ngapain kesini?" tanya Nisa bingung. Sedang Aris hanya tersenyum membalas pertanyaan istrinya.

Tanpa basa basi, Aris memanggil pelayan, dan menyuruh Nisa mencoba berbagai pakaian yang pas di tubuhnya.

Beberapa kali Nisa keluar dari ruang ganti, menunjukkan pada suaminya dengan malu-malu. Membuat Aris beberapa kali terpana melihat Nisa yang begitu anggun dan sangat cantik di matanya.

"Yang ini gak usah diganti ya!" pintanya kala Nisa memakai baju terakhirnya.

"Kenapa? emang boleh ya," tanya Nisa lugu.

"Itu kan udah dibeli, Nisa," jawab Aris seraya menghampiri istrinya. Ia lantas mengacak kepala Nisa gemas.

Setelahnya, Aris membawa Nisa belanja kebutuhan dapur. Nisa terbelalak melihat setiap angka yang menempel pada bungkus plastik bahan-bahan mentah yang ia sentuh.

"Kamu kenapa?" tanya Aris saat melihat Nisa berulang kali meletakkan sayur dan daging yang ia pegang.

"Belinya jangan disini, ya, Mas," bisik Nisa.

"Lah, emang kenapa. Memangnya kamu mau beli dimana, Nisa," tanya Aris.

"Sini, biar aku saja yang ambil!" Aris memasukkan apa yang menurutnya dibutuhkan tanpa lagi melihat Nisa yang terperangah. Nisa tak mungkin menghentikan Aris, karena bukan dia yang membayar semua ini.

Sesampainya di mobil. Nisa menggerakkan jarinya. Aris yang melihat itu merasa lucu. Ia tahu Nisa mungkin tengah menghitung belanjaan tadi.

"Tadi belanjanya habis berapa ya Mas?" tanya Nisa kemudian.

"Kalo aku yang belanja. Seratus ribu udah dapat lengkap Mas. Tapi belinya di pasar," imbuhnya lagi. Mendengar itu, Aris seketika tergelak, membuat Nisa bingung.

"Kok Mas Aris malah ketawa sih! emang lucu?" Nisa menekuk wajahnya. Sebenarnya dirinya sangat malu. Beberapa kali Aris tertawa ketika dirinya menjawab ataupun angkat bicara. Apanya yang salah?

Aris melirik Nisa yang tengah cemberut memanyunkan bibirnya. Meski begitu, drinya melihat ada rona merah di pipi Nisa saat ia beberapa kali menertawakan tingkahnya. Tanpa berkata, Aris menyodorkan nota belanjanya pada Nisa. Nisa mendelik saat melihat dengan jelas nominal yang tertera di kertas kecil panjang itu, sembari membacanya dengan teliti.

"Mas, kamu ambil semua baju yang Nisa coba tadi?" tanyanya.

"Buat apa sebanyak itu? semuanya mahal, dan, aku gak mungkin bisa ganti kalo nanti aku cerai dari Mas," ucapnya enteng, namun semakin lirih ketika menyebut kata cerai.

Aris mengerem mendadak mendengar perkataan Nisa. Membuat Nisa tersentak mengucap Istighfar.

"Kenapa kamu bicara seperti itu Nisa. Aku suamimu, menafkahi dan membelanjakanmu itu adalah kewajibanku, dan kenapa kamu berkata cerai? memangnya kamu sudah siap menjadi janda di usia muda?" tanyanya sembari menatap istrinya, dalam. Mencoba berkata sesetabil mungkin. Padahal kata cerai yang keluar dari mulut Nisa sangat  menghantam hatinya.

"Bukan begitu Mas. Tapi perjanjiannya memang seperti itu kan? Mas harus menceraikanku ketika aku sudah melahirkan anak Mas, dan aku juga sudah menandatanganinya. Bagaimanapun janji tetaplah janji."

Suara klakson membuat suasana tegang seketika mencair. Sadar, Aris bergegas menyalakan mobilnya. Setelahnya, mereka larut dalam fikiran masing-masing. Sampai tak terasa, mobil mereka telah sampai di gedung Apartemen.

Aris membukakan pintu mobil Nisa. Tangannya menenteng belanjaan yang penuh di tangan kirinya.

"Biar Nisa bantu bawa Mas," pintanya mengulurkan tangan, menyentuh salah satu tas belanjaan di tangan Aris.

"Gak usah, biar Mas aja yang bawa," tolaknya yang dibalas anggukan Nisa.

Aris lantas meraih tangan istrinya, menggandengnya. Mereka bersitatap sebentar, dengan senyum yang sama. Setelahnya masuk, dan menaiki lift. Menit kemudian, mereka sampai. Aris memasukkan pas code, kemudian pintu itu terbuka.

Aris tetap tak melepaskan genggamannya dari tangan Nisa sampai keruang tengah. Betapa terkejutnya mereka melihat siapa yang datang.

"Mbak Sarah?" ucap Nisa lirih, ia spontan melepaskan tangannya dari gennggaman Aris.

Sarah menatap intens mereka bergantian.

"Dari mana kamu Mas?" tanyanya menatap penuh selidik.

"Dari belanja, bahan-bahan di dapur habis," jawab Aris datar. Kemudian berlalu menyusul Nisa.

"Tunggu!" Sarah melihat banyaknya tas yang berada dalam genggaman Aris. Hatinya seperti tersaingi. Dirinya tak terima. Tas itu adalah brand dari tempat yang sering ia kunjungi. Sungguh berlebihan jika benar Aris mengajak gadis kampungan itu kesana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status