Share

RATU YANG HILANG

PART 2. RATU YANG HILANG

“Alangkah beruntungnya Alifia, dari puing-puing dipungut menjadi seorang ratu.”

"Ah iya lihat gaunnya beludru. Ia juga memakai mahkota ratu seperti istri-istri Tuan Sadam yang lain."

"Tapi Alifia jauh lebih muda dan cantik daripada istri-istri Tuan Sadam yang tampak judes dengan alis tebal dan naik."

"Ya, tak kusangka gadis semanis itu mau menikahi Tuan Sadam yang setengah baya."

"Siapa pun tergiur dengan harta Tuan Sadam. Tak terkecuali para bidadari yang masih ingin berhias permata dan rupa-rupa harta benda."

"Sssttt ... jangan berisik ah. Kalau Tuan Sadam dengar kau pasti akan di-cut!"

Para pembisik itu menciut dan menarik garis senyum kuat-kuat tatkala Tuan Sadam Bhisma lewat. Mereka para tetamu undangan pernikahan saudagar minyak yang kaya raya, Sadam Bhisma.  Gemerlap pesta pernikahan mereka memang menyilaukan mata, bahkan pelaminan dua insan yang terpaut tiga puluh tiga tahun itu dilapisi emas permata. Meski ini bukan pernikahan pertama bagi Tuan Sadam Bhisma, pesta mesti meriah dan menaikkan gengsi sebagai orang terkaya.

“Menurutku yang beruntung itu Tuan Sadam Bhisma, istrinya masih kinyis-kinyis gitu dan lihatlah Tuan … kurasa ia udah ndak bisa naik panggung lagi,” bisik tetamu lainnya. Lalu mereka tertawa tergelak-gelak sambil melangkah ke pelaminan dengan senyum khidmat dan doa-doa panjang serta basa-basi yang berbusa-busa.

                                                               ***

Alifia dari puing-puing? Yang benar Alifia berasal dari bilik-bilik sunyi di pinggiran kota tua. Ia memang memikat, bulu matanya lentik dan tuturnya bertata krama. Tingginya seratus enam puluh lima dan kulitnya begitu terang dan bersih meski rumah keluarga kecilnya di pinggiran kota itu teramat mungil dan kumuh, hanya sepetak saja. Dulu Alifia mengenal Tuan Sadam Bhisma dari etalase jualan ibunya yang diborong oleh saudagar itu ketika tak sengaja melihat kecantikan Alifia dari kaca mobil.

“Kakak, jangan pergi. Tolong bacakan Yusuf satu buku cerita lagi.”

Adik bungsu Alifia saat itu menggamit lengannya ketika diajak Tuan Sadam mengurus rencana pernikahan.

Ibundanya, Alawiyah, tak sanggup mencegah karena Tuan Sadam Bhisma telah meminang putrinya dengan jawaban anggukan. Meski terbersit dalam dada wanita setengah baya itu bahwa Alifia hanya sungkan pada lelaki kaya yang merebutnya dari kehidupan sederhana bersama tiga adik yang sangat dicintainya, Hanifa, Sarah dan si bungsu Yusuf Anshori. Sedangkan bersak-sak semen telah dihadiahkan untuk menambah ruangan di petak mereka.

Maka berangkatlah putri pertama Alawiyah bersama Tuan Sadam Bhisma. Rumahnya megah bak istana, tetapi bak burung dalam sangkar Alifia tak bisa bebas lagi menemui keluarga dan teman-temannya. Seiring dengan masuknya Alifia dalam istana Tuan Sadam, terbongkarlah kebohongan perihal pengakuan status dudanya kepada Bu Alawiyah. Ternyata ada tiga permaisuri cantik lainnya yang selalu menemani bersama anak-anak kecil mereka. Alifia memang yang paling muda dan paling cantik. Namun serupa menghisap tebu sepah dibuang tiada sayang, lepas kumbang menghisap madu, bunga pun layu si kumbang terbang. Alifia kini merasa menjadi istri muda yang paling tersia-sia.

                                                   ***

Sepuluh tahun berlalu, Alifia tak kunjung memiliki anak dan cukuplah ia menjadi bulan-bulanan dari  para istri Tuan Sadam yang lebih tua.

“Cantik sih, tapi buat apa kalau tidak menghasilkan keturunan. Kecantikan akan sirna, anak-anak sebagai pewaris masa depanlah yang lebih utama,” 

Layla, si istri ke dua mulai menyindir Alifia.

“Lagipula dia tak pandai bersikap baik di ranjang. Pantas saja Tuan Sadam jarang menggilirnya lagi.” imbuh  istri pertama, Hamida sembari berdehem keras.

“Begitukah? Wahhh sayang ya Tuan Sadam buang-buang harta. Cukup buat kita-kita aja seharusnya ya, Kak.”

Wina, istri ketiga Tuan Sadam menambah deretan cela yang terang-terangan itu. Diucapkan di depan Alifia yang sedang menata meja makan. Mereka tertawa cekikikan. Sementara jemari Alifia gemetar memegang gelas sehingga gelas itu terjatuh dan pecah. Sontak ke tiga istri Tuan Sadam kembali mengumpat dan menghina ketidakbecusannya sebagai perempuan.

"Perempuan kampung, megang gelas aja ga becus. Apalagi megang lelaki. Harusnya kamu jadi perawan tua sampe mati!" Wina mengumpat sambil menunjuk-nunjuk wajah Alifia.

Alifia berlari menuju kamar dan mengunci pintu, air mata sudah kering untuk dikuras di rumah megah serupa sangkar emas itu. Tak ada gunanya menangis, Tuan Sadam justru memarahinya karena tak mau bergabung di meja makan keluarga. Hanya kepada Rabb yang Agung dia bisa berkeluh kesah. Untuk menghubungi anggota keluarga teleponnya dibatasi hanya waktu-waktu tertentu boleh berkabar. Lantas Alifia menitipkan surat lewat asisten rumah tangga yang dipercayanya. Surat untuk penghuni bilik-bilik sunyi.

Kepada Yusuf-lah Alifia paling terbuka, sebab ia sadar bahwa Yusuf Anshori akan menolong kakak-kakak perempuannya yang lain agar tak menyurat tadkir yang dipilihnya sendiri hanya karena hendak meringankan beban Ibunda Alawiyah.

“Dik Yusuf. Benar ‘kan kata kakak, kaulah yang menarik kami dari sumur ketepurukan dan kebodohan.  Kemiskinan tanpa ilmu adalah malapetaka nyata. Kakak sekarang berada di rumah terang yang cahayanya melebihi taburan bintang jika dilihat dari bilik sunyi kita. Tapi kakak tak cukup tenang di sini. Doakan kakak agar bisa belajar bahagia dengan kenyataan yang ada.

Namun … jagalah kakak-kakakmu yang lainnya. Jangan sampai ia terbelenggu dengan pilihan yang tak disukainya. Baiknya intan akan tetap bernilai meski legam tertutup abu. Sedangkan busuknya bangkai bisa dilapisi emas permata dan sekeranjang kata semanis madu.

Hanya orang-orang yang bisa membedakan tegasnya kepentingan dunia dan akhirat yang dapat membedakannya, aku yakin itu dirimu, Dik.”   ~ Alifia.

Betapa perih hati Yusuf Anshori membaca surat itu. Bagaimana ia bisa menolong kakak terkasih yang selalu membacakannya kisah-kisah nabi tauladan hati? Sedangkan kata-kata Kak Alifia tak menunjukkan langsung bukti kekerasan dalam rumah tangga. Hanya saja setelah itu Yusuf sangat menjaga kakak-kakak perempuannya yang lainnya sebagaimana amanah Alifia. Agar tak lena pada pinangan tuan-tuan kaya apalagi yang sok kaya. Nyatanya Alifia tidak bahagia dalam rumah yang semegah istana.

Kini Alifia masih menunggu reaksi dari Tuan Sadam Bhisma, akan diterimanya apa pun keputusan suaminya itu termasuk untuk bercerai. Sebab stigma yang dilekatkan para istri Tuan yang lainnya, sungguh Alifia bukanlah istri yang penurut dan tak bisa memberikan keturunan untuknya. Dalam jeda masa menunggu, Alifia menyibukkan diri dengan membaca kembali kitab suci. Mencari jawaban dari firman-Nya.

“Aku tak akan menceraikanmu, Alifia.” ujar Tuan Sadam Bhisma di kamar Alifia. “Pantang bagiku untuk membalikkan kata dan mengumumkan kegagalan dalam hidupku. Pintaku menurutlah saja apa mauku, lakukanlah. Jika tidak aku tak ‘kan peduli lagi pada kebahagiaanmu.”

Alifia mencoba mencerna kata-kata Tuan Sadam Bhisma. Ia bertanya apa maksudnya. Namun lelaki itu cepat-cepat bersiap meninggalkan kamarnya dan berkata di hadapan Alifia yang termangu mencari jawaban.

“Bukankah kau pernah menolakku di ranjang?” tanya Tuan Sadam Bhisma menarik leher baju Alifia. “Jadi rasakanlah bahwa kau selamanya tak kan lagi kusentuh! Juga tak kubiarkan bisa bebas dari cengkeram kuasaku.”

Maka Alifia terkunci sekian lama dalam kamarnya, tak ada pertolongan ataupun surat yang dapat dititipkan. Namun Ibunda Awaliyah merasakan pedih yang sama ketika jarum jahitnya menusuk telunjuk kanan, ada kontak batin yang begitu erat antara ibu dan anak. Cepat-cepat ia memberi tahu Yusuf Anshori yang kini bekerja sebagai jurnalis.

Yusuf Anshori, lelaki penulis muda yang mulai punya nama di kalangan jurnalis, kini memutar otak bagaimana cara agar Yusuf diterima saat mengunjungi kakaknya. Mengingat selama ini Tuan Sadam Bhisma menerapkan aturan ketat berkomunikasi dengan saudaranya sendiri. Hanya boleh di hari lebaran dan tahun baru Islam, selebihnya tak boleh ada kontak sama sekali.  Padahal sepemahaman Yusuf bukan begitu cara Nabi mendidik istri, melainkan dengan kelembutan dan kemerdekaan yang saling menghormati. Lelaki seperti Yusuf pun tak akan menyakiti hati perempuan karena meyakini dari rahim perempuan yang berdaya akan lahir bangsa yang kuat dalam iman dan ihsan.

“Begini, kami sangat kagum pada proyek kilang minyakmu di lokasi terbaru pulau Kalimantan. Bisakah kami mewawancaraimu barang sepuluh menit, Kak?” Yusuf menelepon Bhisma. “Insya Allah akan menjadi inspirasi bagi pengusaha lainnya.”

“Datang saja ke kantorku, Yusuf. Aku tunggu pada jam makan siang. Sudah lama juga aku tak mentraktir adik ipar.” sahut Sadam Bhisma berbasa-basi.

“Kenapa tidak sekalian di rumah, bukankah lebih santai? Aku ingin sekalian mengantar masakan ibu untuk Kak Alifia dan Kak Bhisma juga nih.”

Tuan Sadam Bhisma menolak dan meninggikan suara, “Tidak di rumah. Orang rumah tak mau diganggu dulu!”

Maka akhirnya Yusuf memilih untuk mengorek keterangan dari Bhisma terlebih dahulu. Siapa tahu kakak iparnya itu mau berbaik hati membagikan kabar tentang Alifia. Tetapi sayangnya wawancara basa-basi itu hanya memamerkan kehebatan seorang Sadam Bhisma belaka, tak ada sedikitpun lelaki itu bercerita perihal keluarganya. Yusuf geram dan memilih mengorek keterangan dari belakang.

“Berikan aku informasi setiap hari mengenai kakakku, Alifia. Kau akan kuberi hadiah, setiap kali memberi informasi yang benar, lima ratus ribu nilainya, paham?” Yusuf membujuk pelayan keluarga Sadam Bhisma yang seringkali ke pasar untuk belanja kebutuhan keluarga.

Demikianlah, informan orang dalam itu mau bekerja sama.

[Ratu tak makan lagi di meja keluarga], Desember 2020.

[Ratu menerima ransum tapi tak menyentuhnya] Januari 2021.

[Ratu mendapat kekerasan fisik dari suami dan tiga istri lainnya] Februari 2021.

Yusuf tak tahan lagi menanggung derita Alifia, ia segera melapor ke polisi agar rumah keluarga itu digrebek. Namun aparat yang terlanjur akrab dengan Sadam Bhisma tak langsung mempercayai Yusuf, mereka bertindak lamban sampai Yusuf mengancam membongkar kasus ini ke media massa. Barulah serombongan mobil polisi menyatroni rumah keluarga Sadam Bhisma.

“Apa-apaan ini. Apa salah kami kok sampai digrebek begini?” suara Tuan Sadam Bhisma meninggi sambil menodongkan revolvernya.

“Jangan mengancam polisi Pak! Maaf kami harus menemukan Nyonya Alifia.”

Sadam Bhisma tak berkutik setelah senjatanya dibekuk oleh aparat. Seluruh ruang utama di geledah, ternyata Alifia tak lagi ditempatkan di kamar utama. Ia dipindahkan ke kamar pembantu sejak dua bulan lalu. Tetapi setelah digeledah tak ada perempuan di situ, yang ada hanya sebuah guling yang ditutupi selimut untuk mengelabui, satu orang pelayan perempuan juga hilang.

Yusuf kalut sembari mengiringi petugas kepolisian menelusuri jejak Alifia. Mungkinkah ia berhasil kabur? Yusuf belum mengabari keluarganya karena khawatir Ibunda Alawiyah akan kumat penyakit jantungnya.

Alifia lari bersama pelayan wanita, berbekal perhiasan yang masih melekat di badan Alifia hendak menuju Pengadilan di provinsi, Tak tanggung-tanggung niatannya langsung menggugat cerai dan mendakwa Tuan Sadam Bhisma beserta para istri yang menyiksa tubuhnya dengan cemeti secara bergantian. Jatuh dan bangun ia, sebentar sadar, sebentar pingsan, traumatiknya pun menimbulkan amnesia yang dibantu kesadarannya oleh sang pelayan setia, Raudah.

Tetapi sebelum langkahnya menaiki tangga pengadilan, ada seseorang yang memperkenalkan diri sebagai pengacara berdasi, datang tergopoh-gopoh menghampirinya.

“Perkenalkan aku pengacara yang ditunjuk Yusuf untuk menolongmu.”

“Yusuf … di mana dia?” tanya Alifia menyelidik.

“Dia ada di mobil  Mari … kita harus susun startegi dulu agar kau tak kalah di pengadilan.”

Alifia dan pelayannya mengikuti pria itu, ternyata di dalam mobil hitam dengan kaca gelap itu tak ada Yusuf. Hanya ada tiga orang lainnya yang memakai topeng rajut penutup kepala, mereka menyekap Alifia dan Raudah. Setelah kejadian itu, Sang Ratu Keluarga, Alifia dan pelayannya Raudah tak pernah ditemukan lagi dalam keadaaan hidup atau mati.

                                                        ***

Shanti Agustiani

Ibundanya, Alawiyah, tak sanggup mencegah karena Tuan Sadam Bhisma telah meminang putrinya dengan jawaban anggukan. Meski terbersit dalam dada wanita setengah baya itu bahwa Alifia hanya sungkan ....

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rasya Adinda
Ahir ceritanya bkin kesel gk ada penjelasan yg memuaskan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status