***
Cantaka tersadar dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh orang yang terbaring. Ruangan kesehatan yang mirip seperti bangsal rumah sakit membuat Cantaka serasa nostalgia, meski perbedaan zaman jauh terlihat di matanya.
Kepalanya diperban dengan benar, bibir dan matanya cukup nyeri ketika digerakan. Luka yang didapatkan akibat dari pertarungan tangan kosong tersebut sungguh menyiksa Cantaka.
Seorang tabib kerajaan masuk, wajahnya terlihat cemas dan panik, keringat mengucur deras dari ujung kepalanya.
“Apa yang terjadi?” tanya salah satu rekan tabib.
“Paduka Raja, tubuhnya semakin lemas, begitu juga dengan denyut nadinya yang mulai melemah,” jawab tabib tersebut.
Tak sengaja Cantaka yang mendengar perbincangan keduanya langsung mengarahkan atensinya kepada mereka. Ia juga bertanya sakit apa yang dialami oleh Raja, tetapi keduanya justru menutupi apa yang mereka ketahui.
“Aku mungkin bisa membantumu, dulu aku….”
Ucapan Cantaka terhenti, ia sadar tidak mungkin menceritakan kehidupannya di masa lalu. Kedua tabib itu justru semakin mencurigai Cantaka karena perkataannya yang belum tuntas.
“Dulu kamu apa? Jangan berhenti berbicara atau kamu akan dituduh menyebarkan desas desus tidak benar,” ancam tabib tersebut.
Cantaka menggelengkan kepala, bukan sesuatu yang perlu dibahas olehnya. Tak lama, kedua tabib itu mulai beranjak pergi menuju ruang obat dan mulai meracik ramuan untuk kesehatan Raja.
Pintu terbuka, terlihat seorang pria masuk sambil tetap memperhatikan Cantaka. Pakaiannya jauh lebih mewah dari Cantaka, hal itu menandakan kalau status sosialnya lebih tinggi darinya.
“Apa keadaanmu sudah membaik?” tanya pria bernama Jayagiri tersebut.
Cantaka mengangguk pelan, ia sama sekali tidak mengenal siapa nama pria di depannya. Jayagiri adalah teman semasa kecil Cantaka, pria itu terkenal sebagai pria tertampan di Kerajaan Sunda-Galuh.
“Iya, terima kasih. Namun, siapa namamu?” tanya Cantaka.
Semua orang yang tersadar di ruangan tersebut tersentak kaget tak percaya, pasalnya semua orang di Sunda-Galuh pasti mengenal Jayagiri.
Tentu hal itu cukup menganehkan, mengingat Jayagiri dan Cantaka dulu adalah sepasang sahabat yang tidak terpisahkan.
“Tabib,” panggil Jayagiri, tabib muda datang sesuai perintah dari pangeran tersebut.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Jayagiri tanpa memalingkan wajahnya dari Cantaka.
“Maaf, Tuan Pangeran. Sepertinya setelah tersadar dari koma, ingatannya belum sepenuhnya kembali,” jelas tabib tersebut.
Ia berdiri di samping Jayagiri dengan tetap menundukan kepalanya, seseorang yang memiliki status sosial rendah tidak boleh memandang langsung ke mata orang yang berstatus tinggi atau bangsawan.
“Begitu, yah?”
“Beri dia perlakuan khusus untuk kesehatannya, jangan biarkan aku mendengar ia terluka atau sakit lagi,” sambung Jayagiri.
Tabib di sampingnya mengangguk paham, ia melirik kepada Cantaka dengan melotot. Isyarat yang ingin ia tunjukan agar Cantaka merendahkan pandangannya pada Jayagiri.
Tapi apalah daya, ia tidak ingat siapa itu Cantaka dan kehidupannya, jikalau pun begitu ia juga tidak akan mengetahui tata krama yang berlaku di istana kerajaan.
Jayagiri berpamitan dan pergi dari ruang tersebut, tabib muda tersebut langsung menghampiri Cantaka dan menjewer telinga pria tersebut dengan keras.
“Dasar tidak sopan, kamu harusnya menundukan matamu ketika berbicara dengannya.”
“Akh! Baik, baik, lain kali aku akan menundukan mataku,” ucap Cantaka.
Tabib muda itu terlihat gemas seperti hendak membuat wajah Cantaka lebih merana lagi dari sebelumnya. Namun, ia teringat pesan Pangeran Jayagiri dan memilih melepaskan jeweran pada telinga Cantaka.
“Aish! Dasar menyebalkan,” keluh tabib sambil pergi meninggalkan Cantaka.
***
Jayagiri datang menghampiri ruang kamar tempat ayahnya terbaring lemas. Setelah mendengar berita dari tabib istana, seluruh Pangeran dan Putri dari Sunda-Galuh diperintahkan untuk kembali ke istana.
Pintu terbuka dan terpampang jelas Pangeran Jayadarma, kakaknya yang baru saja datang setelah penugasannya di daerah Galunggung.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Jayadarma.
Jayagiri berdiri sambil menatap kedua mata kakaknya tersebut, “Tabib mengatakan kalau keadannya semakin memburuk hari ke hari, sepertinya kia harus berdiskusi terkait kekuasaan selanjutnya di—”
“Jangan membicarakan tentang tahta di depan Ayah!” sela Jayadarma, ia mengangkat tangan kanannya sembari menatap tajam adiknya tersebut.
“Maafkan aku, Kak,” jawab Jayagiri sembari menundukan kepalanya di hadapan Jayadharma, “Aku akan pergi memanggil tabib itu kembali.”
Ketika Jayagiri membukakan pintu kamar Raja, terlihat Ratu Dewi Suprabha datang dan melihat kedua anaknya berada di ruangan yang sama.
Ia menghela napas sambil memandang keduanya secara bergantian. Baik Jayadarma atau pun Jayagiri, keduanya serentak menundukan kepalanya, memberi hormat kepada ibunya yang masih seorang Ratu.
“Bagaimana keadaan Galunggung, Jayadarma?” tanya Ratu Suprabha.
“Galunggung sudah kembali stabil, kekurangan pangan sudah teratasi dengan baik. Rakyat sudah kembali bekerja seperti semula,” jawab Jayadarma, suaranya jauh lebih berat dan pikirannya jauh lebih dewasa dari pangeran-pangeran yang lainnya.
“Baguslah, Ibu senang mendengarnya.”
Pandangan Ratu Suprabha kini beralih ke putra bungsunya, Jayagiri. Jika dibandingkan dengan kakaknya, Jayagiri jauh terlampaui untuk kapabilitasnya sebagai pangeran kerajaan.
“Bagaimana dengan keadaanmu, Jayagiri?” tanya Ratu Suprabha.
Jayagiri mengangguk pelan, “Keadaanku baik, bagaimana denganmu, Ibu?”
“Hmm, semenjak Yang Mulia Raja sakit, aku tidak bisa tidur semalaman. Aku terus dihantui kecemasan dan kekhawatiran padanya,” jawab Ratu Suprabha.
“Jangan khawatir, Ibu. Kami akan berusaha menyembuhkan penyakit Ayah dan membuatnya kembali sehat,” jelas Jayadarma.
Pria itu berjalan keluar meninggalkan Jayagiri dan ibunya yang masih berada di dalam ruang kamar raja, ia berjalan sembari menggenggam pedang di tangan kanannya.
Ketika Jayagiri hendak pergi mengejar kakaknya, langkah pemuda itu terhenti ketika Ratu Suprabha memintanya untuk tetap tinggal. Ia mengangguk pelan dan melaksanakan perintah dari ibunya tanpa membantah.
“Duduklah,” pinta Suprabha sambil menepuk kursi kosong di sampingnya, Jayagiri mengiyakan dan duduk dengan perlahan.
“Mereka akan datang kemari, apa kamu sudah berbicara pada Saraswati?” tanya Suprabha, mereka yang ia maksud adalah rombongan dari Pangeran ke-1, Purana.
“Aku belum sempat menemuinya, Ibu. Namun, aku pikir ia sudah mengantisipasi hal ini,” balas Jayagiri.
Ratu Suprabha bisa langsung yakin ketika bicara dengan Jayagiri, mengingat ia banyak menghabiskan waktu dengannya dari pada dengan Jayadarma.
Terlihat Ratu Suprabha mengambil kain basah yang tertempel di dahi suaminya, mengganti airnya menjadi air hangat dan kembali menempelkannya di dahi suaminya dengan lembut.
Terlihat raut kesedihan tertampak jelas dari wajah Suprabha, ia tidak menyangka jika pria yang ia kenal sebagai pria tangguh nan bijaksana bisa jatuh tak berdaya seperti di hadapannya.
“Harus. Kita tidak bisa membiarkan Pangeran Purana berlaku sewenang-wenang lagi kepada keluarga kerajaan yang lain, apalagi raja belum menentukan siapa pangeran mahkota selanjutnya,” jawab Ratu Suprabha.
Wanita itu menggenggam tangan suaminya dengan hangat, pakaian gaun panjang yang terbuat dari sutra terbaik membuat penampilannya jauh lebih anggun dari sebelumnya. Andai raja melihatnya, ia mungkin akan senang dan beruntung memiliki istri secantik Dewi Suprabha.
“Kudengar anak dari selir Citraloka sudah tersadar, apa itu benar?” tanya Ratu Suprabha, Jayagiri mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, tapi ingatannya tiba-tiba menghilang, mungkin karena efek dari kutukan yang menimpanya,” jawab Jayagiri, Suprabha berdeham pelan.
“Anak yang malang, ia harus menanggung akibat dari kecerobohan Pangeran pertama.”
“Aku akan mengunjunginya lain waktu, aku harap kamu bisa menemaniku,” ucap Suprabha, wanita itu bangkit dari duduknya sambil tangan kanannya yang lentik mengusap pipi Jayagiri.
Ia hanya tersenyum tanpa bicara apa pun, tak lama Jayagiri berpamitan kepada Suprabha dan pergi ke pintu keluar kamar.
Setelah beberapa langkah keluar dari istana kerajaan, ia melihat seorang wanita yang berjalan dengan diiringi pelayan di belakangnya, dia adalah sepupu dari Jayagiri, Nona Ayu Dyah Saraswati.
“Kebetulan aku bertemu denganmu di sini,” ucap Jayagiri, Saraswati menghentikan langkahnya dan menundukan kepala, memberi hormat.
“Apa Kak Jayagiri ada perlu denganku?” tanya Saraswati, polos.
Jayagiri mengangguk pelan sambil menatap kedua mata Saraswati, “Hmm, Pangeran Purana akan segera kembali. Berhati-hatilah.”
Saraswati tampak terkejut, matanya membelalak dan tubuhnya seketika gemetar mendengar nama Pangeran Purana. Pria itu telah memberikan kenangan buruk bagi Saraswati, meski Pangeran Purana sendiri mengakui kalau dia mencintai Saraswati.
“Apa yang harus kulakukan?” tanya Saraswati, cemas.
Jayagiri memegang pundak Saraswati dan tersenyum padanya, “Jangan dekati istana kerajaan sebelum kupastikan ia kembali ke Saunggalah.”
***“Apa kau baik-baik saja?”Saraswati datang menghampiri bersama dengan Danar yang berada di sampingnya. Anak laki-laki itu, Cantaka belum kesampaian untuk membawanya menghadap Adibaya. Rencana demi rencana yang sudah ia susun sedemikian tertata harus hancur karena dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan para penyusup.“Aku baik.”“Pangeran Cantaka. Aku membuatkan sesuatu untukmu,” ungkap Danar, membuka kedua telapak tangannya yang semula tertutup.Terlihat sebuah kalung yang terbuat dari kayu ukiran terpampang jelas di tangan lembut Danar. Tertulis kata-kata yang menyayat hati Cantaka ketika membacanya, “Aku sayang padamu.”“Itu manis sekali. Aku akan menjaga kalung ini seperti aku menjaga dirimu,” jelas Cantaka, berterima kasih seraya tersenyum.Danar bisa dibilang adalah anak laki-laki yang ceria, dia sudah melupakan kejadian mengerikan di rumahnya dan mengatakan kalau k
***Keadaan Cantaka semakin memburuk di dalam sel penjara. Sejak semalam hingga pagi datang, belum ada satu makanan pun yang masuk ke tubuhnya.Ia masih melihat noda darah yang mengering menempel di jeruji besi tempatnya menginap semalam. Pangeran muda itu bisa membayangkan betapa keji dan brutal pembunuhan yang terjadi di tempat ini.Pintu penjara terbuka, secercah cahaya masuk memantik reaksi terkejut dari diri Cantaka. Derap langkah yang kuat terdengar jelas, menimbulkan bayangan kilat tentang betapa kuasanya orang di hadapannya.Raja Sunda.Matanya berkeliling, begitu juga dengan kepala dan tubuhnya, ikut memutar. Sorot mata Raja memicing memandang pedang khusus milik pangeran tergeletak di atas tanah.“Kenapa pedangmu ada di sini?” tanya Raja, berwibawa.“Karena aku dijebak. Aku tidak mungkin membunuh mereka ketika para tahanan itu mendapatkan pengawasan tentara kerajaan yang ketat,” balas Cantaka, berargu
Mereka bertiga sepakat untuk kembali ke istana, bersama Jayagiri yang berjalan berbarengan dengan Danar.Saraswati masih syok dengan pembunuhan yang terjadi di depannya, apalagi ketika mengetahui kalau pria yang tewas terbunuh tak lain adalah pelayan istana.Pada awalnya, Saraswati menduga kalau Cantaka yang berada di balik semua ini. Setelah melihat ekspresi pemuda itu barusan, ia yakin pelayan pria itu salah satu anak buah Cantaka.Saraswati dengan tegap memegang tangan Cantaka, menghentikan langkah pemuda itu dan menatapnya lekat-lekat.Ada sesuatu yang ingin Saraswati pastikan, hal itu berkaitan dengan kejadian barusan yang mengejutkannya.“Apa ada sesuatu, Saraswati?” tanya Cantaka, bingung.“Iya dan ini berkaitan dengan kejadian penculikan tadi. Aku yakin, itu tidak terjadi atas dasar kebetulan semata.”Mereka berhenti melangkah dan pergi setelah Saraswati memberitahu Jayagiri. Danar mengiyakan karena dia
***Para penyusup itu enggan untuk berbicara, bahka membuka mulut mereka meskipun Jayadharma sudah menginterogasi dengan keras.Hal itu akan sia-sia belaka jika diteruskan, tujuan awal mereka ketika tertangkap adalah mati, maka masuk akal jika mereka tidak berbicara jika tujuan interogasi yang dilakukan adalah kematian.“Ini sulit, mereka masih tidak mau berbicara. Apa perlu aku potong kaki dan tangan mereka untuk membuatnya bicara?” tanya Jayadharma, pria itu berdiri di samping Cantaka.“Tidak perlu, itu justru akan memudahkan rencana mereka untuk mati,” jelas Cantaka, tegas.“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Jayadharma, bingung.Ia masih memandang para penyusup yang tertangkap dengan pandangan kuat. Satu persatu dari para pelaku mendapatkan cap dan siksaan yang sama dari Jayadharma, tidak satu pun dari mereka yang memiliki ruang bebas di kulit mereka dari cap besi.“Aku tahu.”
***Mereka berdua begadang hingga larut malam. Danar tidur di ruang kerja Cantaka, sedangkan Pangeran muda itu sedang berbincang dengan seorang pelayan yang merangkap sebagai anggota pasukannya.Sekitar jam 1 malam, mereka berdua berbincang di luar ruang kerja Cantaka, tepatnya di lorong kediamannya yang cukup sunyi.“Pangeran akan menggunakan anak itu sebagai alat untuk membuat Adibaya bicara?” tanya pelayan itu, berbisik.“Benar. Aku ingin kamu besok menculiknya ketika dia tengah berjalan bersamaku keluar istana,” ujar Cantaka, pelan.“Aku mengerti.”Pelayan pria itu segera meninggalkan Cantaka setelah mendengar semua perintah untuknya. Malam itu, hanya ada pasukan pengawal istana yang tengah berjaga dan berpatroli.Mereka melakukannya lebih ketat dan gencar setelah terjadi dua pembunuhan dalam waktu singkat, apalagi kejadiannya di malam hari.Seorang pasukan kerajaan datang menghampiri dan
Gunawarman melepas Cantaka pergi. Pangeran muda itu langsung beranjak pergi meninggalkan kelompok kiri yang tengah menjalani perjamuan.Ia masih menggenggam gulungan tersebut dan membuang pikirannya jauh-jauh tentang tahta. Dia hanya ingin menuntaskan kejahatan terhadap orang terdekatnya.Han yang tengah berjalan di koridor istana melihat keberadaan Cantaka. Ia segera memanggil pemuda itu dan bertanya tentang keberadaannya siang ini.“Ada sesuatu yang perlu kuurus di luar istana,” balas Cantaka, ramah.“Apa boleh aku mengetahui apa itu?” tanya Han, penasaran.Cantaka melihat kalau di sisi pelayannya tersebut, terdapat seorang dayang yang tengah membawa nampan berisi alat-alat menyulam. Keduanya hendak mengirimkan peralatan itu kepada Ratu Citraloka.“Ini hanya bisnisku. Aku sedang berusaha memperluasnya dengan kerja sama antar pihak,” ujar Cantaka, lembut.“Bisnis apakah itu, Pangeran?&r
***Cantaka mengangkat ember berisi air dingin dan langsung menyiram Adibaya yang terikat di atas kursi. Pria itu seketika bangun seraya tersentak kaget mendapati ia berada di satu rumah yang tak ia kenali.“Tch! Apa untungnya kalian menangkapku? Aku sama sekali tidak akan memberikan kalian informasi apa pun tentang penculikan itu,” timpal Adibaya, menantang.Cantaka melempar ember kosong ke depan wajah Adibaya, pemuda itu langsung menjambak rambut panjang Adibaya dan mengancam pria itu dengan siksaan yang sama seperti yang dialami Ayodya.“Lakukanlah. Aku ingin tahu seberapa gigih kalian mengancamku,” tantang Adibaya.Terpancing emosi, Pangeran muda itu langsung mendaratkan tinju pertamanya di hari itu tepat mengenai pelipis kiri Ayodya. Kekuatan Cantaka yang besar membuat Ayodya terjatuh bersama dengan kursi yang terikat dengannya.“Bawakan besi panas itu padaku,” titah Cantaka kepada anggota pasukannya.
Mereka semua pergi meninggalkan kediaman Cantaka tanpa hasil. Saraswati bisa bernapas lega, begitu juga dengan Cantaka. Dengan perginya mereka, maka Cantaka tidak akan dicurigai sebagai dalang dari penculikan Adibaya.Saraswati melepaskan tangannya dari mulut Cantaka. Wanita itu juga ikut membantu Cantaka untuk melepaskan zirah besi yang menempel di tubuhnya.Terkejutnya ia mendapati luka tusukan di punggung sebelah kiri Cantaka. setelah Saraswati membuka zirah tersebut, terlihat ujung anak panah masih tertancap dan berada di dalam tubuh Cantaka.“Siapa yang menembakkan anak panah ini?” tanya Saraswati, kaget.“Argh ... Pangeran Jayadharma.”“Pangeran Jayadharma? Bukankah sudah kukatakan padamu untuk tidak berhadapan secara langsung denngannya?” tanya Saraswati, kesal.Cantaka mengangguk pelan seraya mengangkat tangannya sejajar dengan kepala, meminta maaf karena telah bersikap bodoh dengan mengabaikan nas
***“Apa yang hendak kamu lakukan dengan pakaian besi itu, Pangeran?” tanya Han.Pagi itu, Han datang bersama seorang pelayan hendak memberikan berkas tentang pencariannya di kebun belakang rumah Ayodya. Ia benar-benar terkejut tatkala mendapati Cantaka sudah bersiap dengan zirah besi seakan-akan peperangan akan segera dimulai.“Diam dan berpura-puralah tidak melihatku, Han,” ucap Cantaka, dingin.Tanpa banyak berpikir, Pangeran muda itu segera berjalan menuju halaman belakang kediamannya dan berdiri tepat di depan 20 orang pasukan setia Cantaka.Han semakin terkejut melihat pasukan sebanyak itu, ia melihat wajah mereka tertutup topeng kelana yang berwarna merah pekat dan terlihat menyeramkan. Han baru menyadari kalau apa yang terjadi adalah imbas dari kejadian penculikan Ayodya.Cantaka menarik pedang panjang miliknya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, “Tanggalkan semua perasaan, hilangkan rasa empati, hancurkan