Share

Dokter Istana

***

“Apa? Raja semakin melemah?”

Cantaka yang berada di dalam kamarnya tak sengaja mendengar desas desus tentang kesehatan Raja, ia hanya tahu kalau Raja Sunda-Galuh sedang menderita sakit yang parah.

Pintu kamar Cantaka terbuka, orang-orang yang berada di depan kamar Cantaka seketika terperanjat sembari melompat, mereka berdua tak lain adalah pengawal kerajaan yang kebetulan melintas.

“Apa sebenarnya yang diderita oleh Yang Mulia Raja?” tanya Cantaka.

Mulut keduanya terpaku, isu yang mereka bicarakan terbilang sangat rahasia dan tak sembarangan orang berhak bicara seenaknya. Namun, berbeda bagi Cantaka, pasalnya Raja sendiri adalah ayahnya.

“Kami tidak tahu pasti, Tuan. Namun, kami mendengar kalau kesehatannya semakin menurun,” jawab salah satu pengawal kerajaan.

Jiwa kedokteran Erland yang berada di diri Cantaka begitu bergejolak, sebagai dokter ia tidak bisa membiarkan seseorang tewas karena sikap abainya.

Bersama kedua pengawal kerajaan, Cantaka memberanikan diri pergi menemui Raja yang sedang beristirahat. Kedua pengawal itu beberapa kali mengatakan kalau anak selir dilarang masuk ke dalam Istana tanpa seizin Raja atau Permaisuri.

Tapi Cantaka tak mengindahkannya, keselamatan Raja lebih utama daripada aturan kerajaan yang begitu mengikat. Alhasil, seluruh prajurit kerajaan datang untuk memburu Cantaka dan melumpuhkannya.

Keributan yang Cantaka ciptakan membuat seisi kompleks Istana Kerajaan gempar, bahkan Citraloka, Ibu Cantaka terkaget-kaget dan pergi untuk mencegah anaknya berbuat fatal.

Tapi Cantaka berhasil masuk ke Istana Kerajaan, ia bahkan bertemu dengan tiga Permaisuri yang tengah berbincang di Balai Utama.

Mata mereka membelalak mendapati anak selir Cantaka masuk tanpa izin, mereka bisa mengetahuinya dari pakaian yang dikenakan Cantaka.

“Kenapa anak selir bisa datang kemari?! Kemana para penjaga?” tanya Ratu Saunggalah.

Ia duduk di tengah ditemani dua Ratu Sunda, Ratu Suprabha dan Ratu Darmageng. Mereka bertiga bangkit dari posisi duduknya dan mencoba menenangkan emosi Ratu Saunggalah.

“Apa yang membawamu berani datang kemari, Cantaka?” tanya Ratu Suprabha.

Tutur kata dan nada bicaranya jauh lebih lembut dari Ratu Saunggalah, tak lama datang para pengawal kerajaan yang sedari tadi mengejar Cantaka.

Dengan lantang, Ratu Saunggalah memerintahkan penjaga untuk menyeret Cantaka keluar, tak hanya itu, ia juga memerintahkan untuk mengurung Cantaka.

“Aku datang untuk menyembuhkan Raja,” ucap Cantaka ketika kedua tangannya dicengkeram dengan kencang oleh para pengawal.

“Apa kamu bilang? Kamu akan menyembuhkannya?” tanya Ratu Saunggalah, Cantaka mengangguk.

“Jangan bercanda! Tidak ada kemampuan mengobati yang lebih hebat dari tabib kerajaan.”

Ratu Saunggalah semakin berang akan sikap Cantaka, ketika wanita itu hendak berjalan menghampiri pemuda tersebut, tangannya digenggam oleh Ratu Suprabha yang sontak langsung membuat Ratu Saunggalah menghentikan langkahnya.

“Aku melihat sesuatu yang berbeda darinya. Panggil tabib kerajaan kemari,” pinta Suprabha, pelayan yang melayaninya mengangguk pelan dan pergi meninggalkan istana tersebut.

Leher Cantaka terselamatkan, Ratu Suprabha tampaknya menyadari kalau ada sesuatu yang berbeda dari tatapan Cantaka. Ratu Saunggalah masih berang, ia tidak suka melihat orang melanggar peraturan seenaknya sendiri di istananya.

“Kenapa kamu malah mendukungnya, Ratu Suprabha?” tanya Ratu Saunggalah.

Suprabha tersenyum sambil berbalik menatap kedua mata Putri Saunggalah tersebut, tidak ada maksud tertentu kenapa ia membiarkan Cantaka masuk. Ia hanya ingin yang memberikan yang terbaik bagi Raja.

“Tentu dia akan dihukum, hal itu bisa kita putuskan setelah kita melihat cara dia mengobati Yang Mulia, kan?” tanya Suprabha.

Ratu Saunggalah kesal, wanita itu langsung pergi dengan sendirinya ke ruang perawatan Raja. Cantaka masih menunggu tabib kerajaan, karena dengan merekalah Cantaka akan pergi menyembuhkan sang Raja.

“Terima kasih sudah menolongku,” ucap Cantaka.

Ratu Suprabha tersenyum sambil berjalan mendekati Cantaka, kedua matanya masih memandang pemuda yang seketika bangkit dari posisi berlututnya.

“Aku tidak menolongmu, aku mendekatkan macan kepadamu. Kini, tinggal dirimu putuskan, apa kamu akan menjinakan macan itu atau memilih diterkam olehnya,” jelas Suprabha, wanita itu berjalan melewati Cantaka dan keluar melalui lorong istana sebelah kanan.

Kata-katanya sangat menohok, tak heran banyak penjaga dan pelayan kerajaan yang ketakutan ketika Ratu Suprabha sudah berbicara. Tak lama, tabib kerajaan itu muncul dan Cantaka langsung dibawa bersama mereka.

Pintu kamar Raja terbuka, Cantaka melihat di dalamnya sudah berada empat orang pria berpakaian mewah, mereka memiliki ciri khas masing-masing, salah satunya Prabu Purana yang selalu mengenakan pakaian merah maroon.

“Siapa dia?” tanya Jayadarma.

Cantaka menundukan kepalanya di hadapan mereka, Ratu Saunggalah dan Darmageng menjelaskan identitas Cantaka kepada keempat pangeran tersebut. Alhasil dua dari mereka langsung menarik pedang dan mengacungkannya pada Cantaka.

“Aku tidak bisa membiarkan orang asing menyentuh Raja. Ia harus dihukum dengan segera!” ancam Prabu Purana, sikapnya jauh lebih tegas dan kasar dari yang Cantaka duga.

Jayadarma dan Jayagiri menghentikan pertikaian tersebut, hanya Ragasuci yang kembali menyarungkan pedangnya, berbeda dengan Purana yang masih keras kepala.

“Jika Raja sampai meninggal, aku akan pastikan kamu dan keluargamu terpenggal hari itu juga!” ancam Purana.

Keadaan yang sungguh tegang, Cantaka tidak pernah menduga akan berada di situasi seperti ini ketika hendak menyelamatkan nyawa seseorang.

Cantaka berjalan menghampiri Raja yang tengah terbaring lemah di atas pembaringan. Ia menggenggam nadi Raja dan merasakan memang lemah tapi tidak lambat. Tangan Cantaka juga ia letakan di atas dahi Raja dan memperkirakan suhu tubuhnya langsung.

“Apa yang dia lakukan?” tanya Ragasuci kepada Purana.

“Orang bodoh itu tidak tahu apa yang diperbuatnya,” cela Purana, membuat Jayadarma dan Jayagiri sontak memandang Purana dengan tajam.

Cantaka membuka mulut Raja dan dengan sengaja menarik lidah Raja keluar, sontak saja hal itu mengundang murka dari seluruh pangeran hingga Purana menarik baju Cantaka dan menjatuhkannya ke atas lantai.

“CUKUP! Kamu sudah menghina kehormatan Raja!” bentak Purana, ujung bilah pedangnya berada di leher Cantaka dan hanya sedikit saja lehernya tertebas membuatnya mati.

“Tidak, aku hanya memastikan saja apakah penyakitnya berasal dari makanan yang ia makan,” jelas Cantaka.

“Makanan?” tanya Jayadarma, ia berjongkok di depan Cantaka dengan wajah penuh keseriusan.

“Iya, lidahnya cukup pucat dan demamnya tinggi. Ini menandakan gejala tifus,” balas Cantaka, tapi sepertinya keempat Pangeran itu tidak tahu menahu tentang penyakit tifus.

“T-Tifus? Kutukan apa itu?” tanya Jayagiri.

“Itu bukan kutukan, sejenis penyakit perut yang disebabkan oleh bakteri,” balas Cantaka, lagi-lagi ucapannya tak dapat masuk ke pikiran mereka semua, bahkan tabib kerajaan baru pertama kali mendengarnya.

“Dia gila! Bawa dia keluar,” titah Purana, pengawal yang berada di luar kamar sontak menarik tangan Cantaka dan menyeret tubuh pemuda itu untuk keluar.

Langkah para pengawal terhenti ketika Ragasuci, Pangeran kedua mengangkat tangannya. Sontak Purana semakin berang karena masih ada yang mau menyelamatkan Cantaka.

“Kamu sudah mendiagnosa penyakit Raja, maka beritahu kami apa yang perlu kita siapkan untuk penyakitnya,” jawab Ragasuci.

“Pangeran Ragasuci!” erang Purana, ia sangat tidak suka jika ada orang yang menentang perintahnya.

“Orang gila tidak akan segigih itu, jika pun kamu mengetahuinya, kamu hanya mencoba menjaga kewibawaanmu sebagai Pangeran pertama, kan?” tanya Ragasuci, pertikaian keduanya semakin menjadi-jadi, tak ayal hal itu membuat tidur Raja terusik.

Pandangan Raja langsung tertuju kepada seorang pemuda yang tengah tercengkeram oleh kedua orang penjaga, Cantaka tentu mengenal sang Raja, tapi ia segan untuk memanggilnya Ayah.

“Kenapa anak selir ada di sini?” tanya Raja, Jayadarma langsung mengatakan yang sebenarnya.

“Begitu? Kemarilah, mungkin dia tahu penyakitku seperti apa,” pinta Raja.

Kedua penjaga itu melepaskan Cantaka dan membiarkan pemuda itu berjalan menghampiri sang Raja. Ia berlutut sambil sesekali memohon ampun, ia mengetahui ilmu ini dari film kolosal yang dulu pernah ia tonton.

“Apa yang harus aku makan?” tanya Raja, Cantaka mengangkat kepalanya dan memandang wajah Raja sekaligus ayahnya tersebut.

“Cacing.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status