Share

Namaku Cantaka

***

Pakuan (kini menjadi Bogor) tahun 1220

Erland terbangun dari tidurnya yang panjang, ia merasa berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya.

Terbesit ingatan singkat dari kejadian sebelumnya di mana ia terjatuh dari atas tebing, hal itu sontak mengejutkan Erland yang langsung panik dan cemas.

Beberapa pelayan datang, mereka masuk dengan berpenampilan baju kebaya berwarna biru muda, ditambah kain samping yang membelit bagian pinggang ke bawah. Mereka adalah pelayan kerajaan yang mengurusi kebutuhan Selir Citraloka.

Mereka menundukan kepalanya, rambut mereka terikat rapi dengan gaya sanggul. Erland sontak terperanjat kaget sembari bangkit dari atas kasurnya.

“Siapa kalian? Kenapa kalian kemari?” tanya Erland.

Salah satu pelayan memajukan tubuhnya dan berlutut dengan sopan, “Kami sangat bahagia Tuan bisa tersadar.”

“Memangnya aku kenapa? Tunggu! Kenapa kalian memanggilku Tuan?” tanya Erland.

Ia masih berdiri di depan ketiga pelayan yang datang ke kamarnya. Perhatian Erland teralihkan ketika melihat cermin besar yang memantulkan bentuk wajah dan tubuhnya yang sekarang.

Erland tidak dapat berkata apa-apa lagi, wajah yang muncul dari balik cermin bukanlah wajah aslinya, begitu juga dengan pakaian yang ia kenakan.

“T-Tunggu dulu, siapa aku? Dan aku sedang berada di mana?” tanya Erland.

Kepanikan menjalar di sekujur tubuh Erland, wajahnya begitu pucat hingga membuat pelayan yang duduk di depannya ikut cemas karena khawatir Erland jatuh sakit kembali.

“Tuan adalah Putra dari Selir Raja Dharmasiksa, Citraloka,” jelas pelayan.

Mendengarnya saja membuat Erland tersenyum dengan mata membelalak, sesekali ia tertawa kecil menanggapi kejadian tidak masuk akal yang sedang terjadi.

“Raja Dharmasiksa? Apa yang kalian bicarakan? Siapa dia itu?” tanya Erland.

Wajahnya penasaran sambil sesekali melirik furnitur kamarnya yang terbilang kuno.

Citraloka mendengar kalau putranya yang sakit sudah tersadar. Ia segera berlari dari ruang arsip menuju kamar Cantaka –nama Putra Citraloka.

Pintu terbuka, pandangan Erland teralihkan pada sesosok wanita yang masih muda, berkulit putih dengan mengenakan setelan gaun panjang berwarna hitam pekat, rambutnya tidak diikat sanggul melainkan dibiarkan terjuntai di sisi bahu kanannya.

“Cantaka…!” Citraloka memeluk tubuh Erland dan mendekapnya dengan erat, tangisan wanita itu membuat Erland semakin bingung dengan keadaannya kini.

“Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, tapi aku sangat bersyukur kalau kamu sudah sadar dari penyakitmu,” sambung Citraloka.

“Nona….”

Citraloka melepas pelukannya pada Erland dan memandang mata, wajah hingga tubuh putranya dari bawah sampai atas. Ia masih tidak percaya dengan mukjizat yang diberikan dewa kepada Cantaka.

“Saudaramu yang lain begitu mengkhawatirkanmu,” ujar Citraloka.

Tangan halus wanita itu mengusap pelan pipi Cantaka, tatapan seorang Ibu yang begitu merindukan kehadiran putranya yang telah lama sakit. Doa-doa yang ia panjatkan dengan segenap hati akhirnya terjawabkan pagi itu.

“Saudara? Maaf, mungkin kamu salah orang. Aku bukanlah…,” ucap Erland.

Mulutnya seketika membeku ketika matanya menatap kedua mata Citraloka, sesuatu di dalam hatinya terasa bergejolak, seperti seseorang yang menahan rindu.

“Bukan apa, Taka?” tanya Citraloka, Taka adalah panggilan untuk nama putranya, Cantaka.

Erland terdiam, ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia genggam tangan Citraloka dan mengecupnya perlahan, wanita itu tersenyum mendapati keramahan yang Cantaka tunjukan.

“Bukan maksudku untuk lancang, tapi aku memang menunggu untuk bertemu dengan saudaraku yang lain,” ucap Erland.

Ia tidak mungkin menambah kesedihan Citraloka dengan menyebutkan kalau Cantaka yang ia maksud adalah orang lain.

Citraloka tersenyum sambil berjalan menjauhi Cantaka, ia keluar dari ruang putranya dengan ditemani seorang pelayan yang menemaninya.

Ketiga pelayan yang berada di kamar Cantaka segera berdiri dan mulai mempersiapkan Cantaka untuk hari ini. Pria itu berdiri di depan cermin, memikirkan hal-hal baru yang terjadi pada hidup sebagai anak selir raja.

Cantaka tidak menduga, hamparan hijau yang indah terbentang di depan kamarnya, padang sabana yang memanjakan mata terlihat begitu terawat dihiasi taman luas di sekitarnya.

“Sebenarnya aku sedang berada di mana?” tanya Cantaka.

“Tuan sedang berada di Kerajaan Sunda Galuh,” jawab singkat pelayan yang tengah sibuk merapikan kasur yang sudah menemani Cantaka selama dua tahun.

“Sunda Galuh? Apa Majapahit sudah berdiri?” tanya Cantaka.

Di dunianya yang dulu, ia suka membaca buku sejarah, baik dunia maupun Indonesia. Ia mengingat betul kalau Majapahit berdiri di antara tahun 1200-1300 M.

Pelayan itu tidak tahu apa yang tengah dibicarakan oleh Cantaka. Wanita itu hanya tersenyum sambil berjalan menghampiri pria muda tersebut.

“Saya tidak tahu apa yang sedang Tuan bicarakan, setahuku tidak ada kerajaan bernama Majapahit saat ini,” jelas pelayan tersebut, Cantaka mengangguk seraya berdeham pelan.

“Lupakan saja, aku hanya berbual tentang dunia khayalanku,” ucap Cantaka.

Tak lama, ketiga pelayan itu keluar setelah izin pamit dengan Cantaka. Kini, pria itu hanya sendiri saja di ruang kamarnya yang masih asing, ia melihat jajaran buku yang tersusun rapi di atas meja dan mengambilnya satu.

Ia tertawa kecil, apa yang tertulis di atas kertas tidak dapat ia mengerti. Tulisan, hingga kata-kata yang terlukis jelas tidak mampu menjawab rasa ingin tahu Cantaka yang besar.

Pintu kamar dibuka dengan kasar, Cantaka tersentak kaget dan langsung menatap dua pria yang datang.

Mereka berpakaian sama dengan Cantaka, hanya saja keduanya memiliki rambut panjang yang terurai panjang hingga dada mereka.

“Kamu! Aku menunggu saat-saat seperti ini,” balas pria bernama Adibaya, ia menunjuk Cantaka dengan raut wajah kesalnya.

Cantaka tidak mengingat siapa mereka, tapi keduanya langsung membawa Cantaka keluar kamar dengan menyeretnya.

Beberapa koridor Cantaka lewati hingga sampailah ia di tengah lapangan gersang beralaskan tanah kering.

“Aku meminta pertandingan ulang dari tempo hari,” tantang Adibaya.

Pria itu membuka pakaiannya dan kini hanya mengenakan celana panjang hitam dengan atasan kaus oblong.

Meski begitu, dari tubuhnya terlihat jelas otot-otot yang atletis menandakan kalau Adibaya banyak berlatih sejak pertarungan mereka yang terakhir.

“Tunggu apa lagi? Cepat buka pakaianmu dan bertarunglah denganku!” tantang Adibaya, Cantaka mengangguk tanpa membantah sedikit pun.

Belum selesai membuka pakaian, Adibaya sudah menerjang tubuh Cantaka dan menjatuhkan pria itu dengan keras.

Beberapa pukulan dari Adibaya mendarat di wajah dan perut Cantaka, sontak hal itu membuat orang-orang terkejut tak percaya.

“Akh!” erang Cantaka, kesakitan.

Pukulan Adibaya benar-benar telak menghantam tubuh Cantaka, ia beberapa kali memuntahkan darah hingga pandangannya cukup kabur menatap musuh dalam pertarungannya tersebut.

“Bangun! Aku tidak mengenal Cantaka yang lemah seperti ini!” bentak Adibaya.

Cantaka bangun dan berdiri dengan kedua kakinya yang hampir rapuh karena luka yang ia terima, ia akhirnya bisa mengikuti pertarungan tersebut hingga satu waktu ketika Adibaya melompat sambil menendang wajah Cantaka, pria itu tersungkur dengan keras membuatnya pingsan.

Ternyata pertarungan antar anak selir raja tersebut disaksikan langsung oleh sepupu Ratu ketiga, Putri Dyah Ayu Saraswati.

Ia juga kaget melihat Cantaka terdampar lemas di atas tanah dengan wajah yang penuh lebam, baru kali ini ia melihat pria itu kalah dengan telak.

“Apa dia baik-baik saja?” tanya Saraswati, pelayannya mengangguk pelan.

“Iya, Nona. Ia langsung dibawa kembali ke ruang kesehatan,” balas pelayan tersebut, Saraswati mengangguk dan pergi meninggalkan tempat tersebut.

Sedangkan Cantaka harus masuk ruang kesehatan untuk memulihkan kondisinya. Sungguh malang pengalaman pertamanya di dunia yang baru ini harus beradu fisik dengan komandan pasukan cadangan, Adibaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status