Share

7. ayah

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2024-08-29 08:13:10

"Yuna, Yudi?"

"Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran.

"Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya.

"Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi.

"Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja...."

"Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?"

"Tidak begitu Nak..."

"Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?"

"Tidak juga."

"Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat.

"Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil tersenyum sinis.

"Tutup mulutmu jalang! Andai tak menahan, aku akan menamparmu!" ucap Yuna, anak bangsuku. Dia nampaknya sangat tersinggung ibunya dihina demikian.

"Hahaha, mana berani kau berbuat sejauh itu," jawab Santi yulisa dengan pedenya.

"Kenapa tidak, kau pikir aku akan segan pada ayah yang tidak mengurus kami dan memberi kami perhatian?"

"Yuna, Yudi, setidaknya ayah percaya bahwa ibumu juga membina kalian dengan kasih sayang dan perhatian yang pantas. Kalian tidak diajarkan kurang ajar, jadi ayah mohon..."

"Untuk beberapa jenis orang, sikap tegas harus ditunjukkan. Oh ya ibu... kenapa ibu sekamar dengan jalang itu?"

"Sssstt, Nak, jangan bilang begitu. Tidak sopan, durhaka, sayang...."

"Kenapa ibu tidak pindah?"

"Karena tidak ada ruangan lain," jawabku sambil menggeleng pelan.

"Bukannya malah sembuh, ibu akan makin tersiksa sekamar dengan orang gila. Mana dia duanya kurang ajar lagi," ujar Yudi sambil mendelik pada yulisa.

"Kau pikir aku senang ada ibumu yang cari perhatian itu pada suamiku? harusnya ia tahu diri dan menjaga marwahnya sebagai janda."

"Kau sadar, kau yang buat ibuku menjanda!" Yudi hampir melempar ranjang si yulisa dengan tiang infus andai tidak ditahan oleh Yuna.

"Aku bukan pelakor, aku menikah jauh setelah ayahmu bercerai dengan Fatimah!" teriak wanita itu emosi. Seorang perawat yang kebetulan lewat segera datang dan melerai kami.

"Tolong... Di sini fasilitas umum dan tempatnya orang sakit, Tolong jangan berteriak dan buat keributan karena tidak enak didengar orang-orang, tolong jaga ketertiban dan kenyamanan, saya mohon," ujar perawat itu sambil menangkupkan kedua belah tangan.

"Sayangnya, kami sekamar dengan musuh kebuyutan," jawab Yudi.

"Meski pun bermusuhan, harusnya lihat kondisi dan keadaan. Tolong sekali lagi, mohon jaga ketertiban ya, Pak, Bu...."

"Baik, maafkan kami," jawab Mas Fendi sambil menahan rasa malu.

Usai berdebat seperti itu, anakku membalikkan badan dan mengurusi diri ini sementara Mas Fendi kembali mengurusi istrinya juga. Sekitar pukul 09.00 pagi seorang petugas Rumah sakit datang memasangkan tirai. Juga seorang dokter dan perawatnya yang datang memeriksa keadaanku.

"Apakah saya sudah boleh pulang dokter?"

"Kalau kondisi Ibu membaik maka besok pagi, bisa keluar."

"Tidak bisa hari ini ya, Dok?"

"Tidak bisa kalau kondisi Ibu masih lemah."

"Ya ampun." Aku hanya bisa bersabar sambil sedikit bersyukur bahwa tirai sudah terpasang sehingga sedikit tidaknya aku punya pembatas yang menghalangi pandanganku terhadap Mas Fendi dan istrinya. Aku lega sekali.

*

Kini Yudi dan Yuna menghamparkan tikar lalu bermain ponsel dekat ranjangku, kedua kakak beradik yang amat kucintai itu nampaknya sangat cemas denganku hingga rela meninggalkan tugas sekolah mereka demi mengurusi diri ini. Mereka memberiku perhatian, menawari air dan makanan setiap 5 menit sekali.

"Bu ...."

"Iya," jawabku pada Yudi.

"Bagaimana sikap ayah kepada ibu?" bisiknya.

"Baik, dia membantu ibu kemarin."

"Aku kira dia bersikap keterlaluan."

"Istrinya yang begitu," jawabku lirih.

"Andai ayah tidak di sini, aku pelintir kepala dan kuperas wanita itu seperti cucian basah."

"Jangan begitu, Nak."

"Sikapnya arogan dan kurang ajar sekali," gumam Yudi.

"Sekarang setidaknya ada pembatas, jadi, kita tak melihat mereka."

"Aku benci pada ayah, dia tidak bisa menempatkan diri dan menjaga perasaan ibu. Dia tidak tahu bersikap bijak dan melihat posisi, harusnya dia mengalah dan mengajak istrinya pulang dibanding ibu harus menyaksikan kemesraannya dengan istri barunya. Aku benci sekali," gumam anakku sambil memicingkan mata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RINDU SETELAH BERCERAI    62

    "Jadi kalau sudah begitu mau bagaimana lagi," ujarku pada Mas Fendi."Jangan terlalu dipikirkan, dia sudah punya banyak keluarga, luka hatinya akan membaik seiring berjalannya waktu, jangan khawatir, Fat.""Kok bisa segitunya ya, Mas?""Ya, mungkin karena dia sudah terlalu sayang dan cinta.""Kalau terlalu sayang jangan terlalu mengekang, kalau memang dia percaya padaku, mengapa dia sampai terus menyakiti orang lain dan mencurigainya, aku tak nyaman.""Tidak ingatkah kamu bahwa kamu juga berpartisipasi untuk menyakiti hatiku saat itu.""Konteks perbuatan yang kulakukan hanya karena cemburu dengan dokter Rudi, bukan karena aku ingin mencelakakanmu. Jadi tolong pahamilah keadaan itu dan maafkan aku.""Ya tentu saja aku memaafkan maksudnya kalau aku tidak memaafkanmu maka kita tidak akan bersama sampai sekarang." Aku tersenyum tipis dan mengajaknya masuk untuk ganti baju dan membongkar perhiasan yang menutupi kepala dan badan.Ada kejadian lucu ketika aku baru saja keluar dari kamar man

  • RINDU SETELAH BERCERAI    61

    Perlahan langkah kakiku beranjak menyusuri jalan setapak ditaburi bunga menuju pelaminan, dengan diapit kedua iparku yang ada di kanan dan kiri aku melangkah anggun menebar senyum dan pandanganku ke tamu undangan. Mereka terlihat berdecak kagum dan tatapan mata mereka lekat padaku, ada ibuku, adikkuu dan Mba arimbi yang tak kuasa menahan air mata menyaksikan pada akhirnya aku jadi pengantin dan diperlakukan dengan layak.Ijab kabul sudah usai diikrarkan, kini aku dan suami duduk berdampingan di pelaminan diapit oleh anak dan orang tua kami. Ada senyum bahagia dan raut kegembiraan yang tidak bisa disembunyikan oleh Mas Fendi dari hadapanku dan tamu kepada tamu undangan yang memberi selamat."Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Pendi sambil menggenggam tanganku yang sudah dihias dengan Inai Henna berwarna putih. Pada akhirnya ada cincin emas yang melingkar di jari manisku, cincin yang mengikat hubungan dengan sah, aku bahagia menatapnya sambil terus menyentuhnya."Alhamdulillah,

  • RINDU SETELAH BERCERAI    60

    Mendengar kalimat yang sudah terlontar dari mulut semua orang, Yulisa tentu saja merasa sangat kecewa. Dengan kekesalan dan wajah penuh emosi wanita itu segera beranjak mengajak keluarganya untuk pulang. Jenis-jenis suasana di rumahku kembali seperti semula anak-anak sibuk bercanda dengan nenek dan bibinya sementara aku dan Mas Fendi pergi ke belakang untuk menyiapkan makan malam.Hari ini keluarga mas Fendi membawa banyak makanan yang rencananya akan kami nikmati bersama jadi aku bertugas untuk menyiapkannya di meja makan. Sambil menuangkan makanan ke dalam mangkuk, menghampiri dan menyonggengkan senyum kepadaku senyum godaan sekaligus ekspresi wajah penuh arti bahagia bahwa pada akhirnya aku mau kembali padanya."Terima kasih ya atas keputusan bijakmu karena pada akhirnya semua harapanku terkabul juga. Akhirnya kita bisa bersama lagi."Aku lakukan demi kebahagiaan anak-anak dan ibu mertua," jawabku lirih."Dan kebahagiaanmu sendiri bagaimana?""Iya ... Aku bahagia," jawabku pe

  • RINDU SETELAH BERCERAI    59

    "Ya tentu saja boleh, kalau memang Bunda setuju dan ayah juga bersedia untuk kembali kepada kami ... asal beliau tetap setia dan bersikap baik, why not, kenapa tidak?" Jawab Yudi."Kalau begitu mari persiapkan acara lamaran, dan kita nikahkan orang tuamu dengan layak, nenek akan adakan hajatan untuk menyambut menantu baru karena dulu nenek tidak melakukan kenduri dengan layak untuk ibumu.""Ah, tidak usah begitu, Bu. Malu saya sudah tua...." Aku yang merasa tidak enak langsung saja menatap kedua anakku dan iparku."Jangan sungkan, kami akan lakukan yang terbaik untuk membahagiakanmu dan mulai sekarang Aku ingin melakukan segala sesuatu dengan layak untukmu," jawab Ibu mertua.Senyum di bibir ibu mertua dan kedua iparku juga anakku terkembang bahagia mereka saling merangkul dan bersorak gembira bahwa aku dan ayah mereka akan kembali bersama lagi. Tak lama dari situ motor Mas fendi da tiba di depan rumah. Tentu saja dia kagetan merasa heran karena tiba-tiba rumah kami ramai dengan ora

  • RINDU SETELAH BERCERAI    58

    Mendengar jawaban anak-anak yang tegas, kedua bibinya saling memandang dengan tatapan yang mungkin pusing dan putus asa."Gimana Tante Apakah nenek akan mau datang ke sini?""Kami tidak tahu ya tapi kami akan mencoba bicara dengannya.""Saya pun juga berharap nenek bisa datang.""Nak, kita mengalah aja," bisikku, "kita kan yang muda ya.""Tidak Bu, Jika nenek punya niat baik, biarkan beliau menunjukkannya.""Tapi itu akan memberatkan untuk beliau.""Tidak akan berat jika nenek punya niat baik jika beliau sudah mengirimkan kedua tante untuk datang ke sini itu artinya beliau sudah setuju atas segala kemungkinan.""Baiklah," jawabku lirih.Usai berbincang panjang lebar akhirnya Dewi dan Yanti memutuskan untuk pamit pulang karena hari sudah menjelang petang. Cepat ku tawarkan agar mereka makan malam bersama kami tapi kedua wanita yang statusnya belum menikah itu menolaknya dengan halus."Justru kami berharap Mbak Fatimah dan anak-anak yang bisa datang ke rumah besok malam untuk menikmati

  • RINDU SETELAH BERCERAI    57

    Selama seminggu tinggal di sukamaju anak anak sangat menikmati waktu dan kegiatan mereka, pun Mas Fendi yang kini bekerja sebagai supir pengantar barang di sebuah perusahaan distibusi makanan ringan dan sembako sering mampir untuk sekedar membawakan anaknya makanan. Belakangan kami sering makan malam bersama, bertukar pikiran dan cerita keseharian, sering bercanda dan tertawa, seakan lepassejenak dari semua beban pikiran yang menghimpit. Bila tiba pukul sembilan malam Mas Fendi akan izin pulang dan kami pun melanjutkan istirahat.*Suatu sore, saat aku sedang menyaou halaman datanglah kedua adik Mas Fendi, Yanti dan dewi, mereka menyapa dari balik pagar besi lalu aku bergegas membuka pintu kemudian mempersilakan mereka masuk.“Mbak kami ke sini cuma mau tanya, apakah belakangan ini Mas Fendi merasa nyaman datang ke sini?”“Kalau masalah merasa nyaman aku gak tahu ya … tapi dia nampak sekalli merindukan anaknya dan mencari momen yang tepat untuk bersama mereka. Aku sih, tidak berhak me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status