Part 5
Malam hari aku sudah berkonsultasi dengan Mas Rizal. Dia mendukung sepenuhnya apa yang akan kulakukan.
“Maaf ya, Dek, Mas gak bisa bantu kamu. Mas sudah pakai finger buat absen. Berangkat harus pagi, pulang harus siang,” kata Mas Rizal. “Tapi kalau memang nantinya ada masalah serius, Mas akan izin di saat jam pelajaran.”
Aku memaklumi kesibukan Mas Rizal. Sebagai kepala TU, dia punya tanggung jawab banyak di sekolah. Maka, untuk urusan yang sekiranya masih bisa diselesaikan sendiri, aku tidak akan meminta bantuan padanya.
“Meida pasti dapat tekanan yang tidak biasa. Makanya dia sampai tidak berani bercerita sama kamu,” kata Mas Rizal lagi. “Dia biasanya terbuka sekali meski itu hal-hal yang sangat kecil,” katanya lagi.
“Dia memang sangat lambat untuk hal-hal yang menyangkut keterampilan. Nulisnya memang pelan, tidak seperti anak-anak lain. Waktu kelas satu, Feni sudah cerita ini sama aku. Tapi, ada kejanggalan apa sebenarnya? Kenapa sampai nasinya tumpah di tas juga? Dia juga menyapu kelas sendirian.” Sambil mengurai segala hal janggal, hatiku merasakan sakit. Ibu mana yang tidak memiliki perasaan sepertiku jika putrinya terlihat mengalami sebuah hal, tetapi ia tidak bercerita?
“Apa mungkin gurunya terlibat?” Tiba-tiba Mas Rizal mengatakan kecurigaannya.
“Jika terlibat, apa salah Meida, Mas? Meski baru kelas dua, dia siswa yang sering berprestasi. Bukankah anak kita selalu juara lomba menyanyi, pidato, puisi dan bercerita? Jika ada event lomba, sejak kelas satu Meida selalu ikut dan pulang membawa piala. Apa alasan Bu Ambar melakukan perundungan pada anak kita? Memang sih, orangnya agak gimana ya, sombong, angkuh dan suka merendahkan orang lain. Tapi, apa iya, dia melakukan itu sama anak kecil? Aku saja misalnya membenci orang tua muridku, di kelas tetap diperlakukan sama dengan siswa lain.”
“Itu ‘kan kamu, Dek. Setiap orang beda-beda,” kata Mas Rizal.
Sampai larut malam mata ini tidak bisa terpejam. Memikirkan kecurigaan Mas Rizal. Aku akui, akhir-akhir ini Bu Ambar semakin menunjukkan sikap angkuh dan merasa lebih tinggi dariku. Namun, jika benar apa yang dipikirkan Mas Rizal, untuk apa dia melakukan itu pada anak kecil?
Lagi, untuk mencari kantuk, aku memilih melihat-lihat status w******p. Kuamati foto yang dipajang Bu Ambar. Dia sangat cantik. Bulu matanya lentik, tubuhnya tinggi dan langsing dengan dua lesung pipi menambah ayu wajah wanita itu. Jika berjalan terlihat indah. Bak keturunan darah biru. Khas sekali sebagai wanita jawanya.
Jika memang kecurigaan Mas Rizal benar, maka aku benar-benar akan membuat perhitungan dengan Bu Ambar.
Pagi hari sudah tiba. Mas Rizal pagi buta sudah berangkat ke sekolah. Belum sempat sarapan dan tidak bilang apa alasannya berangkat cepat. Aku jadi memiliki waktu untuk membuatkan sarapan Meida lebih pagi dari biasanya.
“Rambutnya jangan dikepang, Ibu. Nanti lama. Aku harus berangkat pagi.” Selalu itu yang diucapkan Meida. Berangkat pagi. Untuk apa?
“Iya, dikuncir kuda saja, ya?” kataku.
Anak itu mengangguk. Aku menyuapi dan dia mengunyah dengan cepat.
“Sudah, Bu. Nanti aku terlambat,” katanya sambil bangkit dari kursi. “Oh iya, Bu, aku minta kain serbet ya?” ucapnya sambil memakai tas yang lain. Karena tas yang dipakai kemarin kotor terkena nasi.
Aku mengernyit. Dia berangkat pagi dan meminta kain lap?
“Untuk apa?”
“Untuk mengelap mulut nanti kalau aku jajan dan kotor.”
Aku tidak percaya. Akan tetapi, tetap saja kuberikan sapu tangan yang bersih.
“Kalau nanti kotor tidak apa-apa ya, Bu?” tanya Meida.
“Iya,” jawabku asal.
Entah kenapa air mata ini meleleh. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi mengapa rasanya sakit sekali? Tubuhku terduduk dan menangis seorang diri. Meida-ku sayang, apa yang sedang kamu alami? Ingin rasanya menunggu dia di sekolah. Namun, apakah itu pantas?
Tidak! Kali ini aku harus menunggu dia di sekolah. Aku akan izin dan menitipkan kelasku pada Mbak Asih. Baru saja memiliki pikiran seperti ini, ponselku berbunyi. Mbak Asih menelpon dan mengatakan kalau ia tidak berangkat karena adiknya kecelakaan dan masuk rumah sakit.
“Titip kelas ya? Dan tolong gantikan aku piket pagi. Aku harus ke rumah sakit,”
Gagal sudah rencana, malah aku harus berangkat sekarang juga untuk menggantikan dia piket menyambut murid di depan gerbang.
Saat sudah berada di dalam kelas, Mas Rizal menelpon dan memberitahu kalau sebenarnya ia berangkat pagi karena mau finger dulu, lalu dia pulang untuk ke sekolah Meida. Betapa kagetnya aku saat Mas Rizal mengatakan kalau Meida piket seorang diri. Dia juga mengatakan kalau di meja Meida berceceran bekas nasi yang dilap pakai sapu tangan yang kuberikan.
“Kamu harus ke sekolahnya nanti siang! Jangan ditunda! Aku harus kembali lagi ke sekolahku soalnya,”
“Baik …,” jawabku lirih.
Pikiranku sudah tidak karuan rasanya. Namun, ada dua kelas yang sedang menjadi tanggung jawabku saat ini dan baru pulang nanti pukul sebelas. Iya, kami berdua mengajar kelas rendah.
“Mbak Ambar sejak kapan datang?” tanya Sekar.“Tidak penting aku datang sejak kapan. Makanya, Mas, jangan menolak kebaikan orang lain. Istrimu itu lemah, setiap hari belum tentu bisa melakukan banyak hal.”“Ambar, tolong jangan buat suasana tidak nyaman! Aku tidak pernah menyuruh kamu kesini.” Dengan tegas Catur memberi ultimatum.“Aku mau menengok Ibu bagaimana keadaannya. Kasihan Ibu, jangan karena sedang tidak sadar terus tidak diurus dengan baik.”“Apa maksudnya tidak diurus dengan baik, Mbak?” Sekar langsung protes.“Lhah, pake nanya lagi. Kemarin itu aku mengelap tubuh Ibu, kasihan, tidak pernah diurus. Makanya, jangan melarang orang menjenguk dan merawat.”“Kemarin Mbak Ambar kesini, Mas?” tanya Sekar pada Catur sambil menatap tajam.“Mas Catur nggak bilang sama kamu?” Ambar balik bertanya. “Kemarin aku kesini sekaligus bawain Mas Catur makanan.”“Tapi aku tidak memakan sedikitpun makanan yang kamu bawa, Ambar. Jangan membuat masalah!” Catur menoleh memastikan tidak ada yang me
Part 6“Aku pasti punya celah untuk memisahkan kalian,” ucap Ambar sambil membanting bekal makanan yang isinya masih penuh.Wanita berpostur tinggi semampai itu lalu melepas jilbab dan mulai bersiap-siap untuk berangkat jualan.***Suasana tempat Ambar berjualan tidak terlalu ramai. Hujan yang mengguyur kota Jogja sejak sore hari sepertinya membuat warga malas untuk keluar. Hal itu membuatnya semakin emosi. Beberapa kali ia berkata yang tidak enak hati terhadap karyawan.Di rumah kontrakannya, Micella duduk termenung di teras. Sudah beberapa bulan ia memilih kembali ke Jogja, kota yang telah menciptakan banyak kenangan dalam hidup, sekaligus menorehkan luka atas rasa cinta terlarang dengan Sekar.“Masih cerewet seperti dulu,” gumamnya mengenang pertemuan dengan Sekar di warung sate.Ponselnya berdering terus, tetapi ia abaikan. Dan kali ini berbunyi lagi.“Apa? Mau nyuruh aku pulang dan jadi istri yang baik?” ucapnya ketus.“Aku butuh sendiri, aku butuh me time. Bisa tidak jangan gang
Ambar mematut diri di depan cermin. Berdandan cantik dan sudah menyiapkan bekal makanan untuk dibawa ke rumah sakit. Informasi dari Sekar jika Catur sedang di sana, membuat wanita itu punya ide untuk dijadikan peluang mendekati mantan suaminya.Parfum yang semerbak wanginya membuat beberapa orang yang berpapasan dengan Ambar di rumah sakit--menoleh memperhatikannya.Catur yang sedang duduk termangu di depan ruang ICU menoleh saat suara Ambar memanggil. “Kamu ngapain kesini?” tanya Catur kaget.“Ya mau lihat keadaan Ibu lah, Mas. Emangnya mau apa? Gak boleh? Aku mau mendoakan Ibu lho, Mas, mendukung kamu juga dalam keadaan seperti ini.” Ambar duduk di samping Catur tanpa malu.“Terima kasih sudah perhatian, tapi tolong, Ambar, aku mohon jangan seperti ini! Kita sudah bukan suami istri lagi dan posisinya aku di sini sendiri tidak ada Sekar.”“Mas, aku tidak sedang mengajak kamu tidur bersama! Jadi tidak usah berlebihan gitu kenapa?”“Kalau Sekar tahu aku berduaan dengan kamu di sini, i
Part 5Sekar tidak dapat memejamkan mata. Masih terbayang wajah Micella yang datar seolah mereka tidak saling kenal. Namun, jas hujan yang rela diberikan sudah cukup menjadi bukti kalau ia masih peduli dengan perempuan yang dulu pernah tinggal bersama.Sekar bangun dan duduk bersandar pada tembok, menatap Inggit yang sudah tertidur pulas. Ia berjuang untuk sembuh dari penyimpangan yang pernah dilakukan hingga saat ini dirinya memiliki keluarga yang bahagia. Akan tetapi otaknya terus berpikir kenapa Micella datang di saat Ambar juga kembali ke dalam kehidupan Catur.***“Ayah masih di rumah sakit, jadi Mama yang ikut rapat wali murid ya, Ndis?” Ketika menyiapkan sarapan, Sekar bertanya.“Iya.” Gendis menjawab singkat.“Inggit juga nanti ikut.”“Iya.”Sekar merasa ada perubahan yang Gendis tunjukkan setelah bertemu dengan Ambar.“Atau mau Bunda Ambar saja yang datang?”“Mama apaan sih?” Gendis menatap tidak suka.“Maaf, Mama hanya menawarkan saja.” Sekar mengusap kepala Gendis.Dengan me
Part 4“Besok ada acara pertemuan wali murid di sekolah Gendis, sementara Ibu seperti ini aku tidak tega meninggalkan, ibu,” ucap Catur pada Sekar yang saat ini sama-sama menunggu di depan ranjang ICU.“Aku yang kesana, Mas.”“Inggit ditinggal terus kasihan ya?”“Tidak apa-apa, Mas. Karena keadaan sedang seperti ini. Aku bisa ajak Inggit besok.”“Kamu pulang ya? Anak-anak kasihan di rumah tanpa kita.”“Gendis tadi sempat bilang kalau dia dijemput Ambar.”“Iya, gurunya tadi telepon kewalahan menghadapi Ambar yang terus memaksa.”“Gak papa, bagaimanapun dia ibu kandung Gendis. Aku sedang pusing menghadapi kondisi Ibu, Sekar. Jadi, tidak bisa fokus melawan sikap Ambar.”“Aku pamit ya, Mas?”“Hati-hati!”***“Mbak Ndis mau makan dimasakin Mama apa mau beli di luar?” tanya Sekar begitu sampai di rumah.“Aku gak ingin makan, Mah.”“Masih kepikiran Bunda?”Gendis diam.“Mama tidak akan melarang kamu ketemu Bunda, Ndis. Temui saja Bunda kalau Ndis ingin bertemu.”“Mama gak marah?”Sekar mengg
Season 3 Part 3Sekar tertidur di tikar ruang penunggu, ia bahkan tidak melihat kapan Ambar keluar dari ruang ICU. Bangun ketika catur menepuk pipinya dan mengajak sholat malam.Selesai sholat, mereka berdiri di ruang tunggu yang temboknya hanya setengah badan. Mata Sekar menerawang ke taman yang ada di halaman lantai bawah. Sesekali ia juga menghadap langit yang masih gelap.“Mas, apa Mbak Ambar akan datang lagi ke dalam kehidupan kalian? Jika ia berniat kembali padamu, apa kamu akan mencampakan aku?” tanya Sekar dengan nada cemas.“Ambar hanya masa lalu buat aku, Sekar. Aku akan tetap bersama kamu dalam suka keadaan apapun dan tidak ada yang bisa memisahkan kita berempat.”“Tapi Gendis, dia anak Mbak Ambar, Mas.”“Tapi kamu adalah istri aku.”“Kalau dia ambil Gendis, Mas? Apa Mas akan hidup bersama Mbak Ambar lagi?”“Kalau dia ambil Gendis, Gendis berhak memilih akan tinggal dengan siapa. Tetapi tidak dengan aku yang sudah memiliki istri kamu. Aku dan Ambar sudah selesai.”Catur dan