Share

[ Roses ] ; 05

"Sering kali cinta saja tak cukup untuk memenuhi asupan ego manusia.”

Sadar dari mabuknya semalam, Serena berjalan dengan badan yang masih lemas. Netranya menyusuri setiap sudut ruangan yang ia tempati. Dilihat dari perabotannya, ia tahu ini apartemen Julian. 

"Sudah bangun, Ser?" Julian yang sedang memasak bubur untuk Serena mengalihkan fokusnya dari kompor. 

"Menurut kamu gimana?" Serena malah membalas dengan nada sengau. Julian termangu. Perbedaan Serena sangat nyata. Setahun ini ia kira itu semua hanya ilusi dalam pikirannya saja karena mereka tak berada di kampus yang sama. Nyatanya, Serena memang berubah.

Dengan suasana tegang, Serena dan Julian makan. Tanpa ada suara. Tanpa ada tawa. Tanpa ada debaran. Semuanya hambar. Kini cinta rasanya sudah tak lagi bersarang di tempatnya. 

"Sekarang jam berapa, Jul?" Serena sudah menyelesaikan makannya dan menaruh mangkuknya di mesin pencuci piring. 

"Jam 9, kenapa Ser?"

"What? Are you serious?"

"Ada apa, Ser?"

"Oh shit! Seharusnya kamu bangunin aku lebih pagi! Aku hari ini ada pertemuan keluarga besar. Aku bisa dimarahi habis-habisan sama mami." Serena mengambil sepatu, jaket, dan tasnya, lalu memakainya asal. 

"Sorry by, aku enggak tahu."

"Kenapa enggak pulangin aku ke rumah aja sih?"

"Mami pasti marah kalau lihat kamu mabuk kayak semalem. Kamu juga. Sejak kapan kamu main ke bar dan mabuk, Ser? Kamu kenapa?" Julian pura-pura tidak tahu mengenai racauan Serena semalam.

"Aku kacau karena kamu, Julian! Lalu, kamu juga tahu apa tentang aku dan keluarga aku, Juven Juliansyah Lesmana? Udahlah!" sentak Serena, menekankan setiap penggalan nama Julian.

Bentar. Karena gua? Enggak salah denger? 

Serena berjalan keluar tergopoh sambil mengomeli Julian atas hal yang laki-laki itu tidak tahu. Jika saja Julian tahu, ia akan membangunkan Serena pagi-pagi sekali agar sempat kembali ke rumah dan mengganti baju.

Sebelum Serena melangkah pergi dari apartemen Julian, gadis itu menatap nyalang Julian.  “Kamu benar-benar enggak bisa diandalkan Julian. Kamu enggak kayak Kak William. Gara-gara kamu, aku bisa terancam keluar dari daftar warisan!" Serena mengucapkan dengan nada tinggi dan menunjuk-nunjuk wajah Julian.

Blam! 

Pintu apartemen Julian dibanting dengan sangat keras. Ia tak mempedulikan jika pintu itu copot. Tetapi, siapa William? Seingat Julian, Serena anak tunggal dan hanya memiliki satu sepupu perempuan yang juga tak pernah Serena kenalkan padanya.

Dengan lunglai Julian duduk di sofa berwarna biru yang dulu Serena minta. Banyak sekali perabotan apartemen miliknya yang dibeli atas dasar permintaan Serena. Foto mesra mereka yang diambil saat mereka berlibur berdua ke Uluwatu tergantung di ruang makan pun atas kemauan Serena. 

Julian sudah membakar semua mimpinya demi Serena. Membuang jauh-jauh keinginannya untuk masuk sekolah seni dan memilih jurusan bisnis. Begitu pula dengan cita-citanya yang Julian korbankan menjadi sia-sia begitu melihat Serena yang mulai enggan peduli dengan hubungan mereka.

Melepas sebuah cita-cita yang ia impikan sejak kecil demi mendekap Serena agar tetap di sampingnya adalah hal terbodoh yang pernah Julian lakukan. 

"Buat apa sih Julian kamu jadi penyanyi. Uangnya enggak seberapa. Mending kamu lanjutin perusahaan Papa Reno. Kamu mau ngasih makan aku apa kalo kita nikah nanti? Lagu? Enggak kenyang!"

Itu yang Serena ucapkan saat mereka akan mendaftar kuliah. Julian yang tak berpikir panjang pun memilih mendaftar jurusan bisnis, alih-alih sekolah seni yang dia mau. 

"Kalau gua bisa ngulang waktu, gua bakal nolak kemauan mama buat dikenalin sama kamu, Ser," monolog Julian dalam hati. 

[...]

"Kamu ngapain ke sini?" Dahi Rosea mengkerut melihat sahabatnya, Hana, sudah sangat cantik gaun midi berwarna pastel berada di depan pintu indekosnya. 

“Mau ikut kamu kuliah.” Hana menaik-naikkan alisnya.

“Hah? Ngapain?”

“Aku mau kuliah di kampusmu aja. Aku males cari-cari lagi.” 

“Ikut-ikut! Enggak kre-a-tif!” Hana membalas cibiran Rosea dengan juluran lidahnya. 

Rosea mempersilakan Hana masuk. Hana melihat kamar yang tak begitu luas dengan nuansa merah muda yang mendominasi. Rosea sekali. 

Di bawah sebelah tempat tidur terdapat karpet bulu-bulu berwarna putih. Di atasnya ada meja lipat dengan piring bekas makan Rosea dan juga gawai yang masih memutar drama korea. Hana mematikan gawai Rosea serta membereskan piring dan alat makan yang tergeletak. 

Sembari menunggu Rosea yang sedang mandi, Hana menengok setiap sudut kamar Rosea. Begitu banyak printilan artis korea di sana. 

Hana terkekeh saat matanya mendapati foto mereka semasa SMA. Hana dan Rosea terlihat begitu lucu dengan rambut dikepang dua semacam gadis desa. Kala itu Rosea yang mempunyai ide mengepang rambut saat pergi ke pusat perbelanjaan, pun tak lupa mengabadikannya.

Bertahun-tahun mengenal Rosea, Hana tahu bagaimana terampilnya gadis itu. Dilihat dari hiasan dinding yang Hana yakini Rosea sendiri yang membuatnya. Ada juga piala keemasan di pojok meja belajar Rosea bertuliskan ‘Juara 1 Solo Tari’. 

“Ayo!” Rosea dengan rok sejengkal di bawah lutut berwarna lilac dengan kemeja yang senada terlihat begitu manis. Pantas saja dulu saat di SMA banyak yang menggilai sahabatnya itu. Pikir Hana. 

“Itu gedung fakultasku, Han. FISIP. Kalau yang ungu itu fakultas psikologi. Katanya dulu kamu mau masuk psikologi kan?”

“Dulu itu mah…”

“Lah terus sekarang kamu mau masuk apa?” tanya Rosea heran. 

“Bisnis.”

“Widih widih… Dulu aja bilang, ‘Ngapain masuk bisnis, entar kerja kayak mami papi, dih capek enggak mau!’ Labil!” Rosea memperagakan bagaimana Hana dulu mencemooh jurusan itu.  “Oh ya Han, ntar kamu masuk kelasku aja gapapa, daripada nunggu di luar sendirian.”

“Gila! Enggak mau ah! Aku tunggu di kantinnya aja gapapa.”

“Dosenku endak bakal nyadar kali kalo ketambahan murid baru. Ayo, keburu telat!”

Hana mengekor Rosea menuju ruang kelasnya. 

[...]

“Ada gajah di balik batu

Batunya hilang gajahnya datang

Aku tahu maksud dirimu

Diam-diam suka padaku.”

Sudah menjadi hobi Hanzel untuk bernyanyi setiap saat. Ketiga sahabatnya hanya bisa menambah stok kesabaran.

“E-e-ah, ada yang lagi deketin aku.” Hanzel masih meneruskan nyanyiaanya.

“Mana ada yang mau deketin lu, Han!”

“Weits! Perang nih! Bentar-bentar gelar karpet dulu!” Seperti biasa. Hanzel dan Royan adu mulut serta Dinan yang menggelar laga. Julian? Duduk manis menikmati es teh sembari melihat perkembangan harga saham lewat tabletnya.

Cuaca sedang panas-panasnya. Pojok kanan kantin FISIP memang tempat yang cocok untuk mencari kesejukan. Kipas anginnya nampol.

Kalo kata Dinan mah, “Yakali udah dandan cakep gini keteknya basah? Apa kata dunia?”

“Kok laper lagi ya?”

“Lu sih kebanyakan ngomel, jadi laper kan?” Hanzel memberikan ekspresi terjeleknya untuk mengejek Royan.

“Udah-udah mending pesen makan lagi aja. Gua bayarin makanan hari ini.” Julian sangat loyal pada teman-temannya. Apalagi saat keuntungannya bermain saham sedang tinggi-tingginya, ia bisa mentraktir teman-temannya liburan ke Singapura. 

Keuntungan besar yang dimiliki Julian pun tak lepas dari modalnya yang juga besar pastinya. Ia belajar banyak dari papanya yang selain tampan juga ahli dalam bermain saham. 

“Sini duitnya, biar gua yang beliin!”

“Tumben Han? Biasanya lu males.” Julian menatap tak percaya pada Hanzel. “Ada maunya pasti.”

“Yaelah enggak, Jul. Percaya deh!” Julian menyipitkan matanya curiga sambil memberikan dua lembar uang seratus ribuan.

“OH… GUA TAHU…”

Julian dan Royan serempak menatap ke arah Dinan. Ada apa?

Dinan menunjuk seorang gadis berambut blonde dengan celana jeans biru muda, “Noh! Ada cewek bule cakep lagi mesen nasi goreng di warung Bu Denok!”

“Ck! Kebiasaan!” decak Royan dan Julian berbarengan.

[...]

Jam menunjukkan pukul 2 siang. Langit sudah tak sepanas beberapa jam yang lalu. Dua wanita berparas cantik sekarang berjalan beriringan. Rosea ingin menunjukkan tempat favoritnya. Danau kampus.

“Kamu udah enggak takut air, Ros?”

“Masih takut sih kadang-kadang,” jawab Rosea dengan nada yang melemah. 

“Trus…?”

Dengan senyumnya, Rosea menjawab kekhawatiran Hana, “Capek dibayangin ketakutan terus-terusan, Han. Udah bukan waktunya lagi nyemasin hal yang belum tentu kejadian. Udah gede juga. Kayak endak pantes aja gitu.”

“Tapi jangan pernah bohongin apa yang kamu rasain juga, Ros. Usia enggak menjadi batasan seseorang buat ngerasa takut dan cemas.”

“Kalo itu mah pasti ya, tapi aku nyoba buat nanganin semua perasaan itu.”

“Gemes banget Rosea udah gede sekarang!” Hana menguyel-uyel pipi Rosea gemas.

“Aih… mau 21 tahun ya udah gede,” omel Rosea.  

Hana senang melihat Rosea sekarang tumbuh menjadi perempuan yang dewasa. Yang sudah tahu bagaimana menyikapi ketakutan serta kecemasannya. Namun, akankah Rosea seteguh ini jika dihantam dengan trauma masa lalunya? Hana berharap, jika satu hal itu datangㅡsemoga tidakㅡia bisa mendampingi Rosea untuk bangkit kembali. Persis sama yang ia lakukan saat masih SMA dahulu.

“Nah, ini dikayuh kayak gini, Han. Pelan-pelan aja, sambil nikmatin suasananya.” Rosea mengajari Hana cara mengayuh 

“Ros, tahu enggak sih dulu tuh sebenernya alasan aku ambil pertukaran pelajar kelas 12 bukan karena pengen,” Rosea bingung. “Papi jodohin aku gitu sama anak sahabatnya.”

Rosea mulai memahami apa yang diceritakan Hana. “Terus sebulanan aku cobalah sama dia. Beuh… Anak mama banget. Bukan cowok yang sat-set-sat-set gitu lho, Ros. Tahu kan maksudku?” Rosea mengangguk paham.

“Dia enggak peka juga. Kaku kayak kanebo kering. Kata nyokapnya sih karena pertama kali deket sama cewek. Tapi, kamu tau kan aku sukanya yang dewasa, yang mateng gitu, berwibawa. Tapi anehnya ya, dia kadang tiba-tiba tuh bahas keadaan masyarakat sekarang. Kek nih orang serius amat, mau jadi politisi apa gimana? Bayangin ya, kamu seumur hidup bakalan sama dia, terus tiap hari diajak ngobrol masalah perekonomian dunia. Ya menurutmu ini acara seminar?” Rosea menahan tawa mendengar Hana yang menggebu-gebu saat bercerita.

“Kamu kok bisa nyimpulin segitu banyak tentang dia?” Sebelah alis Rosea terangkat.

Hana menempelkan telunjuknya di depan bibir, “Sst… Aku nyuruh asisten aku buntutin dia. Ya ilegal sih emang, tapi gimana lagi orangnya enggak meyakinkan gitu…”

“Terus akhirnya gimana, Han? Gagal perjodohannya?”

“Yaiyalah! Ogah banget sama cowok kayak begituan. Enggak bisa diandelin. Pasti kalo ada keputusan-keputusan besar, pertimbangan dia bukan dari dirinya sendiri, tapi atas dasar opini orang di sekitarnya. Yakali kami nikah trus mau beli rumah nih, mau nanya tetangga dulu.”

Rosea tertawa terpingkal mendengar perbandingan Hana yang tak masuk akal, “Ya enggak gitu juga kali Han, hahaha…”

“Ya bisa jadi kan?” Rosea manggut-manggut dengan tawanya.

Hening menghinggapi mereka. Hana dan Rosea menikmati sepoi angin. Waktu yang terbuang selama dua tahun, mulai terbayar sedikit demi sedikit sekarang.

“Han, kalo aku suka sama orang gimana?” Hana sontak menoleh.

“Ya gapapa? Enggak ada salahnya. Kamu sendiri dulu yang ngomong mau hidup selayaknya cewek normal lainnya. Punya temen. Punya pacar. Ya kan?”

“Ya iya sih.” Rosea menceritakan semua hal tentang laki-laki yang ia temui di hari sialnya. Lalu, dipertemukan lagi di beberapa hari berikutnya seperti permainan takdir yang sungguh nyata.

“Tapi hati-hati ya, Ros. Kita enggak tahu bagaimana kedalaman pikiran dan hati manusia. Buah yang nampak berwarna indah, belum tentu manis rasanya.”

“Siap kapten!” Keduanya tertawa lepas. Suara semilir angin seperti pengiring yang indah tawa keduanya.

Dari balik pohon yang rindang, ada seseorang yang mencuri dengar tawa mereka. Kenapa suara tawanya pun semirip dia?

[…]

Harum aroma kopi tubruk memenuhi indra penciuman Julian. Remang kamar dengan warna abu yang mendominasi menambah kesan kelabu hati laki-laki itu. Nampaknya ia akan mengambil keputusan akan hubungannya dengan Serena. Memang benar ia masih sangat mencintai Serena. Tetapi jika perempuan itu tidak mencintainya lagi, lalu apa yang perlu dipertahankan?

Julian membuang mimpinya, mengejar hal yang tak pernah ia inginkan. Ia tak suka bekerja di balik meja, memerhatikan tablet setiap waktu untuk mengikuti perkembangan pasar saham, dan harus bertemu banyak orang untuk menjalin kerja sama. 

Serena merubah banyak hal pada diri Julian. Julian yang dahulu walaupun tidak terlalu pandai bersosialisasi, tetapi saat bersama ketiga sahabatnya Julian menjadi pribadi yang menyenangkan. Karena hanya bersama ketiga sahabatnya, Julian bisa jujur menjadi dirinya sendiri. Hidupnya dipenuhi hal-hal yang menyenangkan. Ia mengisi waktu di sela sibuknya jadwal sekolah dan les di studio band rumahnya, pergi ke luar kota bahkan luar negeri untuk melepas bosan, atau berkeliling kota saat malam.

Setelah ada Serena, setahun pertama seperti hubungan remaja lainnya. Sangat menyenangkan. Julian juga bisa lebih santai saat harus berkomunikasi dengan orang lain. Kemampuan bersosialisasinya meningkat. Serena mengajarkan Julian banyak hal tentang dunia luar. Hal-hal yang tak ia dapat saat berada di sekolah.

Berbanding terbalik di tahun kedua, perlahan-lahan Serena menjadi pribadi yang lebih mementingkan bagaimana masa depan berjalan. Pandangannya tentang hubungan mereka dan isi percakapan keduanya juga sedikit banyak berubah. Seakan dunia Julian hanya tentang profit, uang, dan hubungan mereka.

Iya memang perlu memikirkan jalannya masa depan. Tetapi, bukankah priotitas kita adalah yang kita jalani saat ini?

Serena berdalih bahwa ia tak mau hidup di dunia yang abu-abu, tidak jelas. Ia tak mau hidup dalam ketidakpastian, seperti Julian yang memiliki keinginan menjadi seorang penyanyi yang belum tahu jelas sebesar apa uang yang akan laki-laki itu dapatkan.  

Senyum getir tercetak di bibir Julian. Tak pernah terbersit bahwa Serenaㅡgadis yang ia yakini berpendidikan dan beretikaㅡmalah bermain silang. Entah pria mana yang Serena kencani. Pria mana yang mampu mendebarkan jantung Serena lebih cepat ketimbang saat berada di dekat Julian.

Hidung Julian menghirup dalam-dalam aroma kopi yang ia seduh sendiri. Mencari kengahatan yang mungkin mampu menenangkan hatinya. Dengan perlahan, laki-laki itu menyesap kopinya.

Sunyi malam ini membuat notifikasi gawai Julian terdengar sangat nyaring. Julian terpaku pada layar gawainya. Notifikasi di layar gawai memunculkan pesan singkat yang dikirim para sahabatnya.

‘Lu lihat cewek kesayangan lu!’ Pesan dari grup percakapan mereka disertai sebuah tautan dari media sosial, I*******m.

Deg! Serena mengunggah foto bersama pria lain berlatar pemandangan pantai di sore hari. Serena, kekasih Julian, menggunakan bikini berwarna biru tua berenda. Tangan Serena pun mengalung ke leher pria itu dan menciumnya, benar-benar romantis.

Tak perlu waktu lebih lama lagi untuk menimbang keputusannya. Esok ia akan membeberkan bukti perslingkuhan Serena pada orang tuanya dan menghubungi orang tua Serena agar membatalkan perjodohan mereka.

Julian tersenyum sinis, perempuan dari keluarga konglomerat dan berpendidikan seperti Serena bisa melakukan hal murahan. Dengan merasa jijik, Julian mengirim pesan pada calon mantannya.

‘Tolong temui saya besok di Restoran Le Quartier. Ada yang harus saya bicarakan.”

Tidak ada lagi kata manis dan memuja. Tidak ada lagi kata cinta.

Julian muak.

Tangan Julian bersidekap menatap figura kecil di atas nakasnya. Figura yang menampilkan potret dirinya dengan Serena. Ia mengambil dan membantingnya membabi buta. 

Nafas Julian memburu. Dadanya kembang kempis. Semua ingatan manis tentang Serena berlalu-lalang di otaknya. Nakas di samping tempat tidurnya terasa kosong. Tak ada lagi figura yang selalu ia peluk kala merindukan Serena, gadisnya. 

“Argh!” Julian mengusap kepalanya kasar. Air mata yang selama ini ia tahan, sudah tak terbendung lagi. Ia benar-benar menjadi manusia bodoh. Bagaimana bisa ia dibutakan oleh cinta dan membuatnya terlihat sangat menyedihkan? 

Sesaat kilatan amarah di netra Julian meredup. Matanya menatap sebungkus bola-bola cokelat dengan kertas berwarna merah mudah di bawahnya.

Pilu menyerbu Julian tanpa ampun. Gadis yang memberikan cokelat itu padanya memiliki senyum, tawa, dan tatapan Serena beberapa tahun yang lalu. Senyum, tawa, dan tatapan yang membuat Julian jatuh hati sebegitunya.

“Argh!” Julian kembali berteriak frustasi. Dadanya naik turun menahan marah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status