Share

[ Roses ] ; 06

"Ketika hatimu remuk, semuanya akan menjadi sangat menyesakkan.”

Pikirannya kacau dan semua perih bergelung di dada. Kepedihan meringsak masuk menggerogoti perasaannya. Sehancur apapun keadaannya, dunia tetap berputar, waktu tetap berjalan.

Julian menggendong tas gitarnya menuju mobil yang terparkir di depan gedung FEB. Sahabat-sahabatnya sudah pergi entah kemana sejak ia tinggal mengambil gitar dari ruang UKM seni.

Hari ini, hari pertama Julian bekerja sebagai penyanyi kafe, di Kafe Aletha. Perasaannya bercampur aduk. Antara senang dan gundah, tetapi bagi Julian pantang untuk mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan.

Rosea memandang lurus ke arah panggung dari balik meja kasir. Julian sudah nampak siap dengan gitar di pangkuannya. Ia mulai menyapa para pengunjung kafe. Semua nampak antusias.

Lagu dimulai dengan permainan gitar yang menghanyutkan setiap jiwa yang ada di sana. Julian memejamkan matanya, menyatukan dirinya dengan lagu yang ia mainkan. 

“Sunday night after a rainy day

I delete all your pictures

I walk away from you”

Lagu yang Julian nyanyikan, membuat pikirannya terlempar pada kejadian sekitar setahun yang lalu.

“Julian, kita pergi yuk!” Serena mengalungkan tangannya ke leher Julian. 

“Maaf ya, Ser, Papa minta tolong aku buat ngecek keadaan proyek di pinggiran kota sore ini. Lain kali aja ya?” Dengan tatapan penuh cinta, Julian merapikan rambut Serena yang sedikit berantakan setelah mereka olahraga bersama. Julian berharap kekasihnya itu akan mengerti. 

“Kamu selalu bilang lain kali, Julian! Aku sebel kamu tinggal terus!” Serena melepaskan tangannya dari leher Julian. 

“Tapi, ini kan mau kamu sendiri, Ser. Kamu mau aku kerja keras mulai dari sekarang biar kita bisa hidup enak kan nantinya? Ini aku lakuin demi kamu, Ser. “ 

“Tapi enggak dengan sering ninggalin aku!” Serena menghentak-hentakkan kakinya dan pergi meninggalkan diri Julian yang pasrah.

Sejak Julian memutuskan untuk belajar bisnis dan saham pada papanya, awalnya Serena terlihat sangat senang permintaannya diwujudkan oleh Julian. Namun, gadis itu semakin ke sini tak suka Julian yang semakin mahir dan akhirnya sering kali diminta papanya untuk mengurus keperluan perusahaan.

“Nights are the hardest

But I’ll be okay

If we are meant to be

Hey, we’ll find our way

But now, let it be”

Sejam sebelum Julian pergi ke Kafe Aletha, ia datang ke Restoran Le Quartier untuk menemui Serena. Tadi pagi Papa Reno dan Mama Hesita dibuat terkejut bukan main melihat unggahan foto Serena dengan laki-laki lain. Mama Hesita tak ingin memercayai itu. Serena yang ia kenal adalah gadis yang baik, bukan berkelakuan layaknya jalang. Seakan percuma keluarga Lim menggelontorkan uang bermiliaran untuk dana pendidikan Serena.

Papa Reno masih berpikiran positif dan mengingat-ingat apakah Keluarga Lim memiliki seorang anak laki-laki yang seumuran dengan Julian. Nyatanya tidak ada. Dengan kepala dingin, Papa Reno menelpon calon besannya meminta penjelasan. Kendra Lim, papa Serena Lim, juga terkejut akan unggahan anaknya.

Kendra meminta maaf sebesar-besarnya pada Keluarga Lesmana dan mengiyakan pemutusan hubungan perjodohan anak mereka.

“Hai, Jul…” Serena datang dengan gaun selutut. Rambutnya digerai dengan jepit berhias berlian menghiasi rambutnya menjepit poninya. Mata Julian menyipit menatap leher keunguan Serena. Julian dan Serena sudah hampir berumur 21 tahun. Mereka sudah dewasa. Tak mungkin itu gondongan, sudah jelas itu jejak ciuman seseorang di leher gadisnya.

Seulas senyum dilemparkan Julian.

Tingkah laku Serena yang menunjukkan wanita berkelas, benar-benar sukses menutupi sifat aslinya. Sepertinya gadis itu masih belum menyadari raut wajah penuh kekecewaan Julian. Serena malah dengan santai memanggil pelayan dan memesankan beberapa makanan untuk dirinya serta Julian.

Sebelum makanan-makanan itu datang, Julian membuka obrolan.

“Serena…” Gadis yang ia panggil hanya berdeham, matanya masih menatap layar gawainya dengan senyum mengembang di bibirnya. Julian tak habis pikir. Apa yang membuat Serena tersenyum senang seperti itu saat menatap gawainya? Apakah pesan dari laki-laki yang bersamanya waktu itu? Laki-laki yang ia sebut dengan ‘William’ atau ‘Kak Lu’ saat di apartemen Julian?

“Serena Lim…”

Panggilan kedua yang penuh penekanan dari Julian mampu merebut atensi Serena. “Ada apa?”

“ Cause you know what they say

If you love somebody

Gotta set them free”

“Saya mau kita putus!” Julian menatap mata Serena lekat.

“Bentar, bentar, maksud kamu apa? Enggak bisa gitu dong. Kita udah terikat perjodohan Julian.”

“Papa kamu sudah setuju membatalkannya tadi pagi. Mari kita akhiri semua ini!”

“Enggak, enggak. Enggak bisa kayak gini. Keluarga kamu berutang banyak ke keluargaku Julian. Jangan menjadi orang yang lupa akan kulitnya.”

“Jaga mulut kamu Lim! Keluarga saya sudah mengembalikan semua uang keluarga kamu.”

“Kamu bohong! Papa enggak pernah bilang seperti itu.”

“Saya datang saat penandatanganan pelunasan utang itu, Lim!”

Don’t call me, Lim!” Serena berteriak hingga seluruh pelayan di sana melihat ke arahnya.

“Sekarang saya tanya sama kamu. Apa yang bikin kamu ngelakuin hal sehina itu?”

“Apasih Julian? Hal hina apa? Kamu jangan pernah fitnah orang sembarangan!” Nada suara Serena meninggi.

“Lihat leher kamu!” Deg! Serena mati kutu. Ia memegang lehernya. Rasanya sangat susah menelan saliva untuk saat ini. Hal yang sangat ia jaga rapat menguar dengan bodohnya.

“Julian maaf…. Aku pergi sama laki-laki lain saat kamu sibuk dengan urusan kamu. Maaf…” Serena menurunkan egonya. Ia bersimpuh di hadapan laki-laki yang masih sangat ia cintai walaupun telah bermalam bersama laki-laki lain. Laki-laki yang sudah mapan dan mampu memanjakan dirinya.

“Sejak kapan Serena?”

Serena sempat terdiam sesaat, “Saat kamu ke Singapura-” Serena tak sampai hati melanjutkan perkataannya, “-setahun yang lalu.”

“I love you but I’m letting go

I love you but I’m letting go

I love you and I’m letting go

I love you but I’m letting go

“Ser? Kamu bohong kan? Kamu bilang, kamu mau hidup sama saya. Saya sudah memertaruhkan semuanya, Ser. Saya memertaruhkan semua mimpi-mimpi saya, buat bahagiain kamu.”

“Tapi itu kenyataannya, Jul. Maaf aku harus membagi perasaan aku buat kamu dengan laki-laki lain. Aku janji. Aku janji bakal berubah. Aku mohon maafin aku.” Serena menundukkan kepalanya lebih dalam.

”Little did I know, love is easy

But why was it so hard?

It was like never enough

I gave you all still you want more”

“Kadang aku juga capek sama kamu, Jul. Seakan dunia kamu bukan aku lagi. Ambisi kamu memang buat membahagiakan aku, tapi kamu lupa kalau kebahagiaan aku yang utama itu saat kita lagi ngabisin waktu bareng. Perlu kamu tahu, perasaan aku selalu ada buat kamu sampai kapanpun itu.” Serena berdiri, lalu pergi dari hadapan Julian dengan air mata berlinang.

Serena tak bisa memungkiri perasaan hangat yang diberikan William Adna Lubis ̶ selingkuhan Serena yang selalu ia panggil dengan sebutan Kak Lu ̶ mampu mengisi harinya yang sepi tanpa Julian setahun ini.

Kala Julian pergi untuk urusan apapun itu, kuliah, sahabat, maupun pekerjaannya, Serena akan menghubungi William. Tak jarang juga mereka menghabiskan waktu bersama, memadu cinta dari malam hingga mentari menyapa. Sudah sejauh itu hubungan mereka, tetapi perasaan Serena pada Julian masih ada hingga detik ini.

Uang dan kenyamanan membutakan Serena. Ia menjadi gadis yang serakah. Jauh berbeda dengan Serena yang Julian kenal dulu. Atau memang ini sifat asli gadis itu?

“Can’t you see?

Can’t you see?

That you want someone that I’m not

Yes, I love but I can’t

So I am letting you go now and baby one day

When you finally found what you want

And you’re ready to open your heart to anyone

Don’t push people away again

Easier, I know, but it’s also very lonely, yeah”

Setelah semua yang Julian berikan untuk Serena, mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya. Serena mengkhianatinya.

“I love you but I’m letting go

I love you but I’m letting go

I love you and I’m letting go

It is the only way, you know?

And from now on I will hold my own hand

Until one day you’ll hold my lonely hand

Ooh, ooh“

Lagu ditutup dengan indah. Semua pengunjung kafe bertepuk tangan. Ruangan yang awal mulanya senyap akibat terbawa suasana lagu Julian berubah menjadi meriah. 

“I love you, but I’m letting you go, Ser. Semoga kamu bahagia.” Monolog Julian dalam hati.

Senyum bulan sabit Julian nampak jelas dari balik meja kasir. Rosea menikmati bagaimana Julian bernyanyi dan memainkan gitarnya. Tanpa sadar gadis itu menarik sudut bibirnya kala memandang manisnya senyum Julian.

Dari netra Julian, Rosea menangkap ada pedih yang ia hantarkan melalui lagu milik Pamungkas yang laki-laki itu bawakan.

[...]

Malam ini Rosea pulang berjalan seperti biasanya. Julian sedang tidak enak badan, jadi tak bisa mengantarnya. Rosea menatap nanar bintang-bintang. Langkahnya sedikit gontai menuju indekosnya. Rosea sedikit kesal memikirkan pesan yang dikirim adiknya beberapa menit yang lalu.

Gaji yang Rosea dapatkan dari bekerja paruh waktu tak begitu banyak. Hanya cukup membayar sewa, makannya sehari-hari, dan kebutuhan kuliahnya. Tetapi Aji, adiknya itu meminta beberapa ratus ribu. Rosea tak tahu untuk apa uang itu. 

Saat beberapa pesan masuk dari Aji, Rosea masih tak mengindahkan. Lalu, telepon beruntun pun datang dan sangat mengganggu Rosea yang sedang bekerja. 

“Udahlah kasih aja kenapa sih? Pelit banget! Lagian uang kakak mau buat apa? Pergi ke tempat hiburan malam?”

Karena tak tahan mendengar celotehan Aji, Rosea dengan emosi yang menguasai lantas mengiyakan permintaan Aji untuk mengirimkan uang. Aih… sepertinya Rosea harus lebih berhemat.

Jika dalam novel yang Rosea baca, di kala sepeti ini tokoh utama merindukan masa kecil mereka dan dengan keyakinan penuh mengulangnya, Rosea tidak. Sudah cukup penderitaannya. 

Dengan baju dan keringat yang masih menempel di badannya, Rosea tertidur. Ia terlalu lelah untuk memikirkan banyak hal.

Bayangan bertahun-tahun yang Rosea simpan di alam bawah sadarnya, perlahan timbul dalam mimpinya malam ini. Rasa takut, cemas, kesepian, menghinggapi dirinya.

Rosea terjaga di dekat kolam renang rumah berlantai dua. Di sana sangat sunyi. Cahaya juga sangat minim. Rosea takut akan sepi dan gelap. Ia beranjak pergi, namun...

“Jangan, tolong jangan!”

Serasa ada tangan yang mendekatinya. Rosea mencoba menghindar, namun badannya tak berdaya untuk menampik sentuhan orang yang berada di belakangnya. Rosea takut setengah mati dalam mimpinya. Ini seakan mereka ulang kejadian mengerikan itu.

“E-enggak! Jangan…” Rosea berkata lirih.

Tubuh Rosea tersentak, membuatnya terbangun dari mimpi buruknya. Badannya bergetar. Nafasnya tak beraturan. Perlahan, tangisnya pecah. Rasa takut yang sama besar menyergap pertahanannya.

Dengan keadaan yang masih terguncang, Rosea menelepon Hana.

“Hana… Aku enggak pantas buat hidup ya?” Suara Rosea lirih hingga sangat sulit didengar Hana.

“...”

“Han… Aku enggak pantas ada di dunia ini. Aku malu...”

“Tunggu di sana! Diem! Jangan sentuh apa pun! Jangan ngapa-ngapain, diem!”

[...]

Tangan Hana terkepal kuat mendengar pertanyaan konyol Rosea. Hatinya sungguh perih setiap Rosea mengatakan bahwa dirinya tidak pantas untuk hidup. Dirinya selalu merasa seperti sampah. Seharusnya yang merasa seperti sampah dan pantas dihukum atas penderitaan ini adalah orang yang menciptakan trauma pada Rosea, bukan Rosea. 

"Anjing! Keparat!" Hana membanting gawainya. 

"Rasanya pengen aku jeblosin ke penjara tuh orang. Kalau Rosea waktu itu enggak nahan aku, udah aku pastiin dia udah membusuk di penjara sekarang. Duh Ros, kamu itu kalau baik mikir-mikir dong… Enggak semua orang pantes dibaikin." 

Hana mengacak rambutnya frustasi. Ia memutuskan untuk berganti baju dan pergi ke indekos Rosea. Tidak mungkin Rosea ditinggal sendirian jikalau keadaannya seperti ini. Terakhir kali Hana melihat Rosea seperti ini ketika SMA, perempuan itu sudah hampir membunuh dirinya sendiri. Untung saja Hana datang tepat waktu.

Hana menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh membelah jalanan yang mulai sepi. Satu tangannya mengurut hidungnya, pening. Ia tak bisa tenang sampai melihat secara pasti keadaan Rosea.

Untung pagar indekos Rosea belum dikunci, Hana masuk dan mendapati kamar Rosea yang gelap gulita. Dengan pencahayaan yang minim dari luar kamar, Hana melihat Rosea duduk bersedekap di karpet berbulu di sebelah tempat tidurnya, menatap bintang-bintang buatan yang berpendar di langit kamarnya. 

Hana menutup mulutnya, menggelengkan kepala tak percaya. Ia rasanya ingin menangis melihat Rosea dengan tatapan kosonya. 

Hana meraba tembok untuk mencari saklar lampu kamar. Dengan hati-hati, Hana menyingkirkan segala benda tajam dan benda yang terbuat dari kaca di kamar itu. Meminimalisir tindakan tak terduga dari Rosea yang sedang tak stabil. Ia juga menyalakan lilin aromaterapi dengan varian mawar yang sengaja ia bawa dari rumah.

Hana memposisikan diri duduk bersila di depan Rosea. Berusaha mengurai ketakutan sahabatnya lewat usapan pelan di lengan Rosea. Hana pun menghindari menyentuh bagian-bagian tubuh yang Rosea benci hingga saat ini. 

“Ros…”

Rosea masih bergeming. Tatapannya kosong. Menyiratkan seberapa banyak hal menyakitkan yang ia simpan sepanjang hidupnya.

“Mau aku bikinin teh?”

Rosea hanya menggeleng lemah.

“Tidur ya, Ros. Aku temenin di sini.”

Rosea mulai membuka mulut, suaranya sangat lirih, namun telinga Hana masih menangkapnya. "Aku ngerasa enggak pantas buat hidup, Hana… Aku enggak pantes untuk dicintai siapapun… A-aku lebih pantes mati, Hana…"

Hati Hana terasa diremas. Air mata Rosea mengalir tanpa henti. Isakannya begitu pilu. Trauma itu masih setia tinggal di pikiran Rosea. Ketakutan itu masih berteman dengan Rosea. 

"Aku capek ngerasa takut terus-menerus…"

"Aku capek selalu ngerasa waspada ketika dekat dengan laki-laki…"

"Aku pengen jadi manusia normal, Hana. Aku pengen jadi manusia yang utuh lagi. Aku harus apa? HANA JAWAB AKU HARUS APA?" Rosea berteriak mendapati Hana yang menatapnya iba. Tangisnya semakin keras. Tangan Rosea mencoba memukul-mukul kepalanya sendiri cukup keras, berusaha melampiaskan semua perasaannya. Hana dengan sigap menahan tangan Rosea.

“Hana… Aku capek… Aku enggak mau hidup lagi…” Tangisan Rosea mulai melemah diikuti dengan tangan yang tak lagi memukul-mukul kepalanya. Hana mencekal kedua tangan Rosea semenjak tadi. Akan jadi apa Rosea jika memukuli dirinya membabi buta seperti tadi?

 “Iya aku paham perasaan kamu. Kamu capek kan? Kepala kamu rasanya nyeri banget kan? Dada kamu sesek kan?” Rosea mengangguk menjawab pertanyaan beruntun Hana.

“Ros, tidur ya? Aku temenin. Aku ada di sini. Kamu aman.”

Rosea mengangguk dan berpindah ke tempat tidurnya. Dengan telaten, Hana menyelimuti Rosea. Lewat gawainya, Hana memutar lagu yang sering mereka nyanyikan di saat hidup terasa sangat menyesakkan bagi keduanya.

Though we'll be fine today”

Aku lebih rela kamu meninggal saat itu juga, Ros, ketimbang kamu hidup dengan bayang-bayang kejadian mengerikan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status