Share

[ Roses ] ; 04

“Yang sungguh cinta, sejauh apapun ia pergi pasti kembali pulang karena hati adalah kompas alami manusia.”

“Bu, pesen es teh manisnya 3, es susu cokelatnya 1, sama mi ayam 4 pedes semua.” 

“Oke tunggu sebentar ya, mas.”

“Siap!” Hanzel yang memesan makanan di warung Bu Denok untuk para sahabatnya.

Mereka sedang menikmati suasana kantin FISIP sembari memandang gadis-gadis cantik, kecuali Julian. Julian semenjak duduk, ia hanya memerhatikan gawainya. Membuka-tutup aplikasi pesan singkat. Menanti balasan pesan dari Serena.

Serena, gadis itu berkuliah di tempat yang berbeda dengan Julian. Tahun pertama kuliah hubungan mereka masih sangat hangat. Hampir setiap hari mereka bertemu. Bahkan di saat Julian sangat sibuk, laki-laki itu masih berusaha menyempatkan waktu. Tetapi, memasuki tahun kedua, Serena mulai berubah.

Entahlah mungkin gadis itu mulai bosan. Atau benar-benar sudah jatuh ke pelukan laki-laki lain.

“Udahlah enggak usah dipikirin banget. Lepasin aja tuh cewek, kayak enggak ada cewek lain aja!” ujar Royan menginterupsi lamunan Julian.

“Ya namanya juga cinta. Lu mana paham soal beginian. Pacaran aja enggak pernah,” balas Dinan sewot. Royan mencebikkan bibir kesal. 

“Udah-udah mending makan, trus cabut ke toko tanaman.” Hanzel yang hari ini sedikit normal pun menengahi pertengkaran mereka.

“Hah? Ngapain?” Julian bingung sendiri. Ada hal apalagi yang direncanakan teman-temannya?

“Beli tanaman buat nyokap lu. Lupa lu kalo nyokap lu mau ulang tahun?” Julian langsung membuka kalender di gawainya dan ya ia lupa.

“Durhaka lu…”

[…]

Mela dan Bela menatap bingung pada Rosea. Temannya itu hanya diam saja. Terasa sangat aneh jika tak mendengar Rosea bicara sedikit pun. Biasanya dialah yang meramaikan obrolan mereka.

Bela menyenggol lengan Mela yang duduk di sebelahnya. Matanya melirik ke depan, di mana tempat Rosea duduk di kelas, meminta Mela untuk menanyakan kondisi Rosea.

“Sst… sst… Cewek… Kiw! Kiw!”

Sadar dirinya dipanggil, ia membalikkan tubuh menatap Mela dan Bela, “Ada apa?”

“Kok diem aja? Kenapa Ros?” Rosea bingung harus mengatakan mulai dari mana. Mela dan Bela tak pernah ia ceritakan siapa Hana. Rosea begitu tertutup masalah pribadinya pada teman-temannya, sekalipun itu Mela dan Bela.

Rosea trauma.

Bukan karena ia tak mau terbuka pada dua teman terdekatnya. Dahulu saat di bangku menengah pertama, ada satu kejadian yang membuat dirinya menjadi tak begitu percaya pada orang-orang di dekatnya. Terutama teman-temannya. Rosea sendiri pernah mengalami krisis kepercayaan pada Hana, namun ia tepis perasaan-perasaan itu. Beruntungnya Hana adalah orang yang dapat dipercaya.

“Hm… Endak kenapa-napa kok. Cuma agak endak enak badan aja.” Rosea tidak sepenuhnya bohong. Maag-nya kambuh, perutnya sangat tidak nyaman sekarang. Itupun terjadinya karena Rosea sedang banyak pikiran. Psikis seseorang sangat memengaruhi keadaan fisiknya.

“Serius nih gapapa?” tanya Mela memastikan.

Rosea memegang tangan Mela dan Bela, “Iya serius.” Sebuah seni mengelabuhi seseorang yang ciamik dari Rosea Damita.

“Yaudah yuk pulang!” Rosea mengajak untuk keluar kelas dan segera pulang. Kelas sudah berakhir 10 menit yang lalu.

“Kuy…!”

Di saat Rosea beranjak berdiri, saku celananya bergetar. Seseorang yang sama meneleponnya tadi malam, namanya terpampang jelas di layar gawai Rosea sekarang.

[…]

Para pejantan jalan beriringan menuju parkiran. Mereka akan pergi ke salah satu pusat toko tanaman di pinggiran kota. Di antara mereka hanya Julian yang membawa kendaraan hari ini. Yang lain? Tidak. Katanya biar hemat bensin.

“Cik cik periuk belanga’ sumpit dari Jawe. 

Datang nek kecibok bawa’ kepiting dua’ ekok.

Cak cak bur dalam belanga’, idong picak gigi rongak. 

Sape ketawa’ dolok dipancung raje tunggal, HEI!”

“Ya Tuhan… Lu nyanyi itu terus dari seminggu yang lalu apa enggak bosen?” Dinan memprotes Hanzel yang menyanyikan lagu ‘Cik Cik Periuk’ dari Kalimantan Barat dengan semangat membara sepanjang hari.

“Ini namanya usaha untuk melestarikan budaya. Bukan begitu tuan muda Julian?” Julian hanya menunjukkan jempol tangannya.

“Noh! Julian aja setuju!” ucap Hanzel dengan lagaknya.

“Melestarikan sih melestarikan, tapi enggak bikin kuping gua pengang. Lu kalo nyanyi kayak ngajak orang tawuran tahu enggak?” Royan mulai mengomel.

“Gelut! Gelut! Gelut! Ayo lanjutin gelutnya, gua gelar tikar dulu!” Dinan mengompori sembari seakan-akan sedang menggelar tikar untuk pertandingan gladiator.

Julian menyaksikan ketiga sahabatnya bertengkar hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir.

Kekesalan Royan makin bertambah, ia mengeluarkan segala sumpah serapah pada Hanzel dan Dinan. Malangnya omelan hanya sekadar omelan. Hanzel dan Dinan malah memerhatikan orang yang jauh berada di belakang Royan.

Rosea.

Gadis itu terlihat berlari tergopoh. Rambutnya yang dikuncir kuda bergerak kesana-kemari mengikuti tempo kaki Rosea yang tak beraturan.

“Ngapain tuh anak lari-lari gitu?” Hanzel menunjuk Rosea yang sepertinya akan keluar gerbang kampus.

“Lah, nangis enggak sih, Han? Tadi kayak ngelap matanya gitu.” Dinan menimpali.

“Iya anjir nangis tadi gua lihat.”

Julian dan Royan mengikuti gerakan tangan Hanzel pada Rosea.

“Cewek lu tuh, Jul!”

“Congor lu Han!” Royan menepuk beberapa kali mulut Hanzel gemas.

“Jahat kamu mas!” Hanzel memukul manja Royan dan berlari dengan gaya yang dilebih-lebihkan ke arah parkiran.

[…]

Rosea dengan kasar membuka pintu Kafe Aletha. Suara gemerincing bel yang di pasang di pintu bersuara sangat nyaring. Menampilkan Rosea dengan air mata berderai.

“Hana…”

Matanya menemukan seseorang yang ia rindukan. Gadis yang langsung ia bisa kenali walau hanya melihat punggungnya.

“Rosea…”

Keduanya berlari dengan air mata berlinang, memberikan pelukan dan mengurai semua kerinduan. Ada perasaan nyeri sekaligus lega yang datang di hati Rosea.

“Kamu apa kabar?”

Sebuah pertanyaan berjuta makna yang selalu Hana tanyakan setiap bertemu Rosea.

Jujur, Rosea hancur ketika ditinggal sendirian. Dia tak punya siapapun di dekatnya. Saat itu Hanalah yang mampu mengurai semua cemas yang Rosea rasakan. Sedekat apapun ia dengan Ibu Salma dan Tiara, tetap Hanalah pengobat laranya.

“Maaf…” Hana menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Rosea. Memeluk sahabatnya erat seakan tak mau kehilangan untuk kedua kalinya.

Setahun setelah pertukaran pelajar yang Hana jalani, sebuah musibah besar mendatanginya. Kedua orang tuanya bercerai. Hana bimbang menentukan akan ikut dengan siapa. Saat itu bertepatan dengan Rosea yang akan memasuki bangku kuliah.

Apakah ia harus tinggal di Belanda bersama mamanya atau di Indonesia bersama papanya. Keduanya sangat berarti bagi Hana. Namun, ia harus tetap memilih di antara keduanya. Setelah menimbang-nimbang, Hana memilih mamanya, perempuan yang telah melahirkannya.

Saat di Belanda, Hana benar-benar kacau. Sebulan pertama semenjak di sana, sebulan juga perceraian orang tuanya, Hana seperti kehilangan arah. Hana keluar masuk klab malam dan selalu pulang dalam keadaan mabuk berat.

Hingga satu malam di saat Hana mabuk, tasnya dicopet. Hana yang berusaha menahan tasnya malah terseret motor pelaku dan kepalanya terbentur aspal. Hana mengalami amnesia selama hampir dua tahun lamanya. Baru tiga bulan lalu ia mengingat secara perlahan. Orang kedua yang ia ingat setelah orang tuanya, yaitu Rosea, sahabatnya.

“Hana… Kenapa kamu enggak cerita ke aku kalau waktu itu kamu lagi ada masalah?”

Rosea dan Hana duduk berhadapan di ruang karyawan. Aletha menyuruh mereka masuk ke sana agar bisa berbicara dengan tenang. Tadi saat Hana datang, ia langsung memperkenalkan diri ke Aletha sebagai sahabat Rosea. Aletha yang sudah mengetahui siapa Hana dari cerita Rosea, langsung mempersilakan duduk dan menawarkan minuman untuknya.

“Maaf Ros, bukannya aku enggak mau cerita sama kamu. Karena aku sendiri paham gimana kondisi kamu saat itu. Sehari sebelum aku tahu kabar perceraian mama-papa, trauma kamu balik lagi, aku enggak mau kamu malah makin terbebani sama masalah aku.”

Tangis makin deras keluar dari kedua mata Rosea. Ia menggeleng kuat seakan menyiratkan seharusnya ia ada untuk Hana saat itu. Pasti rasanya berat harus memilih di antara keduanya. Dan terasa lebih berat lagi karena tak ada seorang pun di sebelahnya saat itu terjadi.

“Maaf ya Ros, aku enggak bisa ada di samping kamu selama ini.”

“Endak. Endak. Aku yang seharusnya minta maaf. Harusnya aku nemnin kamu waktu itu. Kamu selalu ada buat aku dan bantuin aku bangkit dari trauma aku. Aku juga minta maaf malah membenci kamu secara endak langsung. Maaf aku punya pikiran negatif kalo kamu lebih suka berteman dengan orang sana daripada sama aku.”

Mendengar akhir perkataan Rosea yang terlalu naif, Hana terkekeh, “Hahaha… Walaupun mereka lebih asik daripada kamu, tetep kamu sahabat yang paling bisa ngertiin aku.”

Ikatan di antara Hana dan Rosea begitu erat. Sebuah persahabatan yang didasari dengan ketulusan adalah anugerah dari Tuhan.

[...]

“Kak Miko! Seriusan kakak malu-maluin Taco!”

“Malu-maluin apa sih, dek?”

“Kakak kayak anak yang enggak pernah di urus sama orang tuanya tahu enggak? Kaosan, celana sobek-sobek, sendal gocengan, trus nih rambut acak-acakan! Trus ini juga kumis. Cukur yang bersih kek!” Taco semakin mengacak rambut Miko.

“Kakak make apa aja mah ganteng. Lihat aja pas tadi kakak nungguin kamu di depan gedung les, temen-temen kamu pada ngeliatin kakak.”

“Idih ge er banget! Udahlah ayo masuk ke kafenya. Ini kafe super duper enak menunya.”

“Awas kalo enggak enak!”

Ketika Miko dan Taco melangkah keluar dari mobil mereka, dari jarak lumayan jauh Miko melihat Rosea bersama seorang perempuan berdiri di depan kafe. Netra Miko masih sangat fokus melihat Rosea hingga perempuan yang bersamanya menghilang dari balik pintu. 

Taco telah memesankan beberapa menu untuknya dan sang kakak. Kala makan, mata Miko tak lepas dari Rosea yang berada di belakang kasir menggantikan pekerja yang tadi melayani adiknya. Dengan mata menyipit, karena sedang tak mengenakan kaca mata, Miko melihat mata Rosea yang sembab, tetapi tetap terlihat ayu dan manis dengan senyumnya ketika melayani pelanggan.

“Ngeliatin apa sih kak?” Taco mengikuti ke mana arah pandangan Miko. Dari dugaannya Miko memerhatikan seorang gadis dengan celemek cokelat serta rambutnya dikuncir kuda yang sedang melayani pembeli.

Cantik sih, pantes mata nih buaya jelalatan. Batin Taco menyinyiri kakaknya.

Dengan tiba-tiba Taco memegang kedua sisi wajah Miko dan menghadapkan ke wajahnya. “Cantikan aku atau kakak itu?” tanya Taco menunjuk Rosea yang saat ini sedang tersenyum manis.

“Dia…,” jawab Miko yang melanjutkan tatapannya pada Rosea yang sempat terputus. Taco mendengus kesal, tetapi Taco senang bisa melihat kakaknya jatuh cinta. Menggemaskan.

[...]

Baru saja Julian sampai di rumah setelah mencari tanaman apa yang cocok untuk hadiah mamanya. Sesaat Julian tertawa pelan mengingat perdebatan sahabatnya tadi mengenai tanaman apa yang mamanya suka. 

Dinan menggaruk alisnya, berpikir tanaman yang sebaiknya mereka beli. "Gimana kalau lidah buaya?"

"Sini lidah lu gua potong. Sama aja kan lidah buaya?" sarkas Royan. 

"Dih!" 

Di tengah-tengah tawanya, gawai Julian berdering. Julian membaca siapa nama yang tertera di layar gawainya. Dengan gerakan cepat jarinya menggeser tombol berwarna hijau ke arah kanan. 

"Halo Ser?"

"Halo, apa benar ini dengan mas Julian?"

"I-iya saja Julian. Ini siapa ya?"

"Maaf mas ini pacarnya lagi mabuk di bar saya, boleh minta tolong segera dijemput? Alamatnya di Jalan Alamanda nomer 3, di sebelah Hotel Alamanda."

"Oh iya mas, saya segera ke sana. Terima kasih infonya."

Julian melesat mengambil jaket dan kunci mobil. Berlari menuruni anak tangga dan menuju garasi. Menyalakan mobil dan segera pergi. 

Julian panik bukan main. Pasalnya gadis itu tidak toleran akan alkohol, namun kenapa malah minum-minum. Julian melesat mengambil jaket dan kunci mobil. Berlari menuruni anak tangga dan menuju garasi. Menyalakan mobil dan segera pergi. 

"Argh! Kamu kenapa sih, Ser?!" Julian memukul stirnya dan mengusap kasar wajahnya. Ia tak habis pikir dengan kelakukan Serena.

Udah berhari-hari kamu enggak ada kabar, kenapa sekalinya ada kamu dalam keadaan kayak gini? Ada apa sebenernya sama kamu, Ser? 

Julian mengangkat Serena dari kursi bar ke dalam mobil. Bau alkohol menguar dari mulut gadis itu kala berusaha memanggil nama Julian.

"Halo Julian…" Hana bergelayut manja di lengan Julian yang sedang menyetir. 

"Julian kamu kenapa sih kok suka banget sama temen-temen kamu yang enggak jelas, hm?" Julian melirik ke arah bahunya yang disandari Serena. Kekasihnya meracau sekarang. 

"Kalo enggak sama sahabat kamu, kamu pergi ke kantor Om Reno. Rapatlah, bantuin bikin laporanlah, ikut observasilah. Kapan sama akunya? Aku bosen kamu tinggal terus…"

Dahi Julian berkerut. Bukannya Serena yang malah cenderung menghindar akhir-akhir ini? Buktinya saat Julian tak ada keharusan untuk membantu perusahaan papanya dan memiliki banyak waktu luang, Serena malah kabur-kaburan darinya. Menghindar dengan seribu alasan. Bahkan tak membalas pesan dan panggilannya. 

Julian memutar mata jengah, mengusap rambutnya dengan kasar. Lelah jika harus menjalani hubungan yang seperti ini terus-terusan.

Melihat waktu yang telah melewati tengah malam, Julian membawa Serena ke apartemen miliknya. Apartemen yang ia beli dengan tabungannya. Ia gunakan apartemen ini di saat ia membutuhkan waktu sendiri atau ingin fokus menuntaskan tugas kuliahnya. Panorama yang bisa ia lihat dari apartemen bisa menenangkan pikirannya. Tak jarang pula ia gunakan untuk menghabiskan waktu berdua bersama Serena. 

Dengan perlahan Julian menidurkan Serena di atas kasur. Melepas sepatu hak tinggi dan jaket yang melekat di badan Serena. Julian menarik selimut setinggi dada dan membenarkan posisi bantal agar kekasihnya dapat tidur dengan nyaman. 

Serena tak lagi meracau. Melihatnya tidur dengan lelap seperti ini menyulitkan Julian untuk memutuskan hubungan mereka. Julian teringat kejadian temannya yang mengabari jika Serena bersama lelaki lain, lalu cara gadis itu menghindar darinya, membuat hatinya sesak. 

Kenapa mencintai kamu harus semenyesakkan ini, Ser? 

Julian dengan telaten menyingkirkan rambut-rambut yang menganggu dirinya melihat wajah cantik Serena dengan jelas. Membelai wajah tirus Serena dengan sayang. Memberikan kecupan pada bibir mungil Serena sebagai penutup. 

I love you, Serena. Selamat malam.

Sekali lagi Julian mengecup bibir Serena, namun kali ini lebih lama. Lewat bibir yang saling bertemu, Julian berharap Serena merasakan betapa besar cintanya.

Kaki Julian beranjak dari kasur yang ditiduri Serena, namun langkahnya terhenti seketika selepas ia mendengar suatu kalimat yang mampu membuat napasnya tercekat. 

"Kak Lu, Kak Lu kenapa ninggalin Serena? Serena udah ninggalin Julian buat Kak Lu...."

Serena menangis. 

Serena menangisi laki-laki lain di hadapan Julian.

Dan sudah jelas. Alasan Serena mabuk bukan dirinya, melainkan laki-laki yang diracaukan Serena barusan.

Ser? Gua kurang apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status