Share

ROSES
ROSES
Author: FRUSERR/FRNR00150

001

001. FIRST MEET IN THE WOOD

FRNR00150

Tanganku tergerak menutup pagar kayu yang mengelilingi rumahku sebelum mengambil keranjang yang tergantung di pagar samping. Siang menjelang sore terlihat begitu nyaman, setelah semalam terjadi hujan deras. Kini langit sangat cerah tanpa mendung atau semburat petir.

"Halo, Nyonya Rain" sapaku kepada wanita yang telah memiliki cucu itu sembari kulambaikan tanganku.

"Hei, Varose! Akhirnya kau keluar juga, pagi tadi banyak sekali berita mengejutkan tentang Pangeran dan keluarga istana" ucap wanita itu diselingi oleh kegiatannya yang tengah menjemur dan membuatnya terlihat keren dimata ku.

"Aku tidak suka bergosip, hehe" jawabku, jujur saja, memiliki tetangga seperti Nyonya Rain memang menyenangkan. Tapi, beliau suka sekali berbicara dan pembicaraan itu tidak keluar dari zona Kerajaan. Mungkin karena keluarga Kerajaan cukup misterius.

"Aku tinggal dulu"

"Berhati-hatilah, nak" kata beliau.

Aku kembali melanjutkan perjalananku. Senyum ku semakin mengembang ketika melihat seorang pria cukup tua seusia Ayah sedang mengendarai kudanya, sepertinya beliau telah pulang dari tugasnya yang begitu sibuk di Istana.

"Bagaimana keadaan kota pusat, Paman John"

"Wahh Varose, aku hampir merindukan mu disana, kota begitu baik dan sangat ramai, kau harus ke sana untuk sekedar ikut Ayah mu menjual barangnya" jawab Paman John. Pria berambut coklat gelap itu turun dari kuda dan menghampiri ku.

"Ayah dan ibu mu juga sangat baik disana, mereka menitipkan sesuatu untuk mu" Paman John memeriksa saku di balik jasnya.

Sebuah surat dan satu kotak kecil, mata ku berbinar saat kedua benda itu telah ku genggam.

"Untukku?"

"Tentu, Ayah mu sangat merindukan mu di Istana, saat kau tidak sibuk nanti ikutlah menjadi pegawai Istana, sepertinya banyak lowongan tabib di sana" kata Paman John, beliau adalah teman sekaligus kerabat dekat keluarga ku. Bahkan, beliau menjaga ku seperti Ayah menjaga ku, aku sangat nyaman dengan keluarganya.

"Terimakasih, Paman John" ku letakkan kedua benda itu ke dalam keranjang dengan hati-hati.

"Kau akan ke hutan lagi?" tanya Paman John setelah melirik keranjang yang ku bawa.

"Iya, banyak persediaan tumbuhan obat yang telah habis"

"Perlu ku antar? Atau Chanie bisa ikut dengan mu juga" astaga, ku harap Paman John mengetahui perilaku anak semata wayangnya itu saat beliau meninggalkan rumah. Benar-benar membuat kepala ku pusing.

"Tidak perlu, Paman John, sepertinya Chanie juga sedang sibuk bermain di kelas Bibi Chitta" jawab ku, hati ku hanya bisa berharap Chanie menjadi gadis yang baik nantinya.

"Apa?! Dia mengganggu kelas Ibunya lagi?"

"Kau tidak papa kan pergi ke hutan sendirian? Berhati-hatilah, aku harus memberi pelajaran untuk gadis itu" lanjut Paman John dengan kalimat yang begitu cepat ia keluarkan dari dalam mulutnya sebelum berlari menuju kelas Bibi Chitta.

Aku melihat Paman John yang telah masuk ke dalam kelas Bibi Chitta cukup membuat ku terkikik geli, bagaimana tidak. Ruangan yang setiap sore selalu ramai saat Tuan John tidak ada tiba-tiba menjadi hening saat pria itu masuk ke dalamnya.

Bibi Chitta yang baru datang dari pasar langsung terkejut melihat kedatangan suaminya, tapi sebelum itu beliau menatap ku sembari tersenyum.

---

Aku senang melihat tumbuhan di dalam hutan tumbuh dengan baik, banyak pohon yang berbuah dan tumbuhan obat juga tumbuh dengan cepat. Sepertinya satu keranjang saja tidak cukup untuk mengambil semua persediaan ini.

"Apa aku mengambil secukupnya saja?" gumam ku, tapi sayang sekali bila mengambilnya tidak banyak saat dedaunan itu sedang segar-segarnya. Apalagi perjalanan yang ku tempuh menuju hutan cukup jauh.

"Ambil secukupnya saja, deh" jawabku untuk diri sendiri. Lagian di sekitaran sini terlihat tidak ada barang yang cocok untuk menampung dedaunan.

Klotak..klotak..klotak

Syattt!

Seketika tubuh ku bangkit dari duduk ku tadi setelah mendengar suara panahan dan deru dari kaki kuda yang berlari. Aku sering sekali mengambil persediaan daun di dalam hutan ini, tapi ini adalah kali pertama ku mendengar suara itu.

Klotak..klotak..

Kepala dan badan ku berputar mencari keberadaan suara itu, aku rasa suara itu terdengar semakin dekat.

Klotak..klotak..klotak

Suara itu tidak berasal dari depan, samping kanan dan kiri juga tidak terdengar. Tapi, kenapa suara itu semakin dekat? Belakang tubuh ku

"MINGGIR!!"

Mata ku melebar saat melihat seorang seekor kuda yang berlari cukup kencang ke arah ku. Seketika aku mendudukkan diri ku di atas tanah sembari melindungi tubuh ku dengan keranjang dan kedua lengan ku.

Kuda itu besar sekali tadi, pasti jika terkena tubuh ku tidak sampai patah tulang, mungkin hanya lecet. Aku harus memikirkan daun mana yang akan ku bawa pulang untuk mengobati luka ku nanti.

Brakkk

Aku membuka mata ku dan lengan ku perlahan, suara tabrakan terdengar jelas beberapa detik tadi. Tapi, kenapa tubuh ku masih utuh dan tidak ada lecet sama sekali?

"Awhhh, sakitt!"

Seketika aku menoleh ke belakang ku, seorang lelaki dengan pakaian bangsawan sedang terduduk sembari menyentuh kedua pantatnya. Kudanya?

"Kudanya kemana?" tanya ku, aku sontak berdiri saat melihat hanya kami yang berada di dalam hutan.

Aku mengangguk mengerti setelah melihat kuda itu berlari menuju arah kota.

"Pantas saja kudanya pergi, kau tidak becus sama sekali dalam mengendarainya" gumam ku.

"Kau bilang apa tadi?! Tidak becus?! Asal kau tau, ya, kuda itu memang sedang tidak waras saja mangkannya tidak bisa di atur" lelaki itu berdiri dengan tertatih, aku mendecih melihat kelakuannya. Sedang dalam keadaan tidak sehat begini saja tetap menyalahkan makhluk lain, apalagi sedang baik-baik saja, pasti suka mengeluh dan mengatai orang lain seenaknya.

"Kau tau kuda itu tidak waras kenapa tetap mengendarainya?" tanya ku, mata ku langsung tertuju kepada luka pakaian bagian lengannya yang sobek. Astaga, terlihat bercak darah di sana.

"Y-ya itu kan..urusan ku, kenapa kau ikut campur sekali?" aneh sekali jawabannya, bilang saja ingin kabur.

Daripada banyak bicara ku tarik saja dirinya untuk duduk "Hei maksud mu apa? Kau mau bertindak mesum kepada ku, ya?" ucap lelaki itu.

"Bahkan untuk memberi mu kecupan jauh saja aku tidak sudi" jawabku, setelah duduk di hadapannya, tangan ku menyentuh perlahan lengannya. Rasanya sedang menyentuh pakaian mahal milik Istana, entahlah, Ayah pernah membawa kain seperti ini saat di beri hadiah oleh Raja dulu.

Krackkk!

"HEI!! Kau tidak tau, ya, semahal apa kain yang ku pakai? Bahkan harganya lebih mahal daripada gaji tabib Istana!"

"Kau ini berisik sekali, mata mu itu buta, ya, Hendery? Lihat lengan mu terluka cukup parah" jawab ku, aku segera meraih botol kecil dari dalam ranjang. Heuh, aku jadi harus berbagi minuman dengan lelaki ini.

"Eumm, tapi kau tau nama ku darimana?" tanyanya dengan nada pelan, hampir berbisik malah.

Harusnya ia tau, jika di dalam hutan ini hanya ada kami saja. Bahkan orang desa jarang sekali ada yang mengunjungi hutan, orang kota? Sepertinya hanya Hendery saja yang ku lihat kemari.

"Sapu tangan yang kau genggam, kau terlalu takut, ya, sampai menggenggam sapu tangan itu? " tanya ku, lelaki itu langsung membuka genggamannya dan dengan gerakan cepat aku meraih sapu tangan itu.

"Untuk apa?" wajahnya yang penuh tanya itu menatap ku, wah, wajahnya memiliki rahang yang tegas.

"Menutup luka mu tentu saja"

Sebelum memberikan dedaunan, luka yang terlihat jelas itu ku basahi dengan air secara merata. Kulitnya juga terawat, mungkinkah di kota juga menjual alat mandi? Di desa saja harus membuat sabun sendiri ketika akan mandi.

"Getah apa yang kau oleskan itu? Bagaimana bisa daun mengeluarkan getah?" pertanyaan macam apa itu, lelaki ini benar dari keluarga bangsawan kan? Tanya ku dalam hati.

"Di belakang mu itu ada Pohon yang bernama Pohon Yodium, batang dan daunnya sangat bermanfaat dalam penyembuhan luka, getah ini berasal dari daun pohon itu dan untuk pertanyaan terakhir mu itu, ya, karena Tuhan menciptakan semua itu ada manfaatnya" jawab ku panjang lebar.

"Kau berasal dari keluarga tabib, ya? Jarang sekali orang mempelajari tentang hal itu kecuali keluarga tabib" kata Hendery, pergerakan tangan ku melembut sembari menatap tangannya. Aku jadi merindukan Ayah dan Ibu.

"Aku tidak tau, Ayah dan Ibu ku bekerja sebagai tabib di Istana, tapi Ayah ku juga sering menjual obat-obatan di kota" jawab ku, entah mengapa aku jadi banyak bicara dengan lelaki ini. Padahal pertemuan awal kami benar-benar buruk.

"Eum, Tuan Teil dan Nyonya Doyra?" gumaman Hendery kecil sekali, tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas.

"Kau mengenal mereka?"

"Y-yya, tentu, aku sering berlangganan membeli obat di sana" jelas lelaki itu, aku jadi merasa senang saat ia mengenal orang tua ku.

Aku mengikat lengannya sebelum terduduk tegap. Akhirnya lukanya terlihat membaik dari pada sebelumnya.

"Wah cepat sekali, bahkan tangan ku tetap terlihat berotot walaupun diikat begini" aku mendengus kecil mendengar perkataannya.

Hari juga semakin gelap, aku harus sampai rumah dengan cepat. Aku tidak mau melihat Paman John menjemput ku sampai ke hutan begini, beliau pasti kelelahan karena perjalanannya.

Tangan ku menari-nari untuk membersihkan dedaunan itu supaya terlihat rapi di dalam keranjang.

"Kau mau kemana?"

"Pulanglah, aku juga akan pulang" jawabku singkat, sepertinya tidak ada yang tertinggal lagi. Setelah memastikan semua barang ku tertata rapi di dalam ranjang, aku segera beranjak dari tanah.

"Sebenarnya aku sedang ingin kabur, kau bisa membantu ku?" aku memutar tubuh ku supaya dapat melihat dengan jelas ekspresi lelaki itu.

"Kau dari keluarga bangsawan, tapi kenapa ingin kabur? Bagaimana jika kau tidak mendapatkan hak mu nanti?" tanya ku, aku jadi teringat kisah dari sebuah buku yang sering ku baca di perpustakaan Bibi Chitta.

"Aku memiliki banyak kontra dengan mereka, boleh, kan??" tanya Hendery sembari menarik kedua tangan ku. Bisakah ia bersikap normal, jantung ku tiba-tiba berdetak cepat sekali.

"Aku tidak akan menyulitkan mu, sungguh"

Bagaimana tidak tega jika melihatnya seperti ini, sepertinya tidak masalah bila membawanya ke desa. Menurut ku ia juga harus tau kehidupan di desa bagaimana. Mungkin saat melihatnya nanti, Paman John hanya menganggap tamu saja.

Sembari menariknya untuk berdiri, aku menjawab rengekannya "Baiklah, ayo ikut, nanti akan ku carikan tempat menginap di-"

Srett

Belum sempat aku menyelesaikan ucapan ku, Hendery langsung saja menubrukkan diri ku ke dada bidangnya. Tidak terlalu sakit, hanya saja ketika mendongak begini, wajah kami hampir tidak memiliki jarak.

"Bagaimana jika dirumah mu saja"

Comments (3)
goodnovel comment avatar
FRUSERR/FRNR00150
haloo, boleh, vardaninr
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
goodnovel comment avatar
Elis
semangat terus ya. Aku Elis udah mampir nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status