Sinar matahari pagi menelusup masuk dari celah-celah jendela, membuatku harus membuka mata. Kulirik ponselku di meja, aku kesiangan, bahkan sampai ketinggalan sholat subuh, padahal aku selalu mengatur alarm di ponsel. Mungkin semalam aku nyenyak sekali, sehingga aku tak bisa mendengar apapun.
Setelah menutup pintu, masih dapat kudengar dengan jelas, umpatan dan makian Ibu, disusul dengan sebuah ketukan dari sebalik pintu."Mir, Mira. Ini Abang Mir. Buka pintunya sebentar," ucap Bang Hasan dengan suara yang terputus-putus.Aku diam tak bergeming dari tempatku. Sudahlah mungkin ini memang akhir dari rumah tangga yang masih seumur jagung ini."Mira, Abang mau bicara sebentar saja sayang. Dengarkan Abang dulu," mohonnya lagi.Seandainya saja tidak ada penghalang pintu ini, pasti sudah kuludahi wajahnya ketika memohon terlebih saat memanggilku dengan panggilan sayang."Mira, sebentar saja. Abang mohon. Dengarkan, kali ini saja.""Hasan ayo kita pulang, untuk apa kamu memohon dengan perempuan piatu tak terdidik itu. Diluar sana masih banyak perempuan yang mau sama kamu," protes Ibu pada Bang Hasan."Bu, sini kunci rumahnya, Hasan mau masuk. Hasan tidak mungkin mencari perempuan lain dan meninggalkan Mira, Bu."Apa katanya? Tak mungkin meninggalkanku?Rasanya aku ingin tertawa di
POV Hasan"Lin, Ibu mana?" tanyaku pada Lina. Adik perempuanku yang sedang asyik dengan ponselnya. Ia sedang sibuk bergoyang ria sembari menatap layar ponselnya. Entah apa yang ia lakukan pada benda berbentuk persegi panjang tersebut. Pagi, siang, sore, malam hanya itu yang ia pegang. Bahkan ia tak menghiraukan panggilan Ibu jika ada perlu dengannya."Lina, Ibu mana?" teriakku pada Lina."Nggak tahu, Mas. Tadi keluar buru-buru setelah Mas masuk kamar mandi," jawabnya tanpa melihat ke arahku."Kamu belum mandikan Lin? Mandilah, sudah mau maghrib. Anak gadis kok jorok.""Bentar lagi, Mas. Ntar habis isya aku mau pergi. Eh, Mas. Ibu udah ngomong ke Mas belum?" tanyanya yang membuatku heran."Bilang soal apa?""Hah, serius Ibu belum bilang ke Mas? Soal kuliahku?" tanya Lina lagi tak yakin. Ibu memang belum ada bilang apapun padaku soal kuliahnya."Belum. Apa memangnya? kamu saja yang sampaikan. Mungkin Ibu lupa.""Lina kan sudah tamat Mas, pendaftaran kuliah gelombang satu juga sudah dibu
Seperginya Bang Hasan dan Ibunya dari rumahku. Segera aku mandi dan membersihkan diri. Hari ini yang aku lewati rasanya luar biasa.Usai mandi, segeraku ke dapur untuk membuat teh, yang kiranya bisa menenangkanku.Suara gelas beradu dengan sendok terdengar nyaring di telinga, hingga tanpa sadar aku mengabaikan dering ponselku.Entahlah sekarang, aku merasa bukan hanya jiwaku yang perlahan rusak karena Ibu, bahkan kini gendang telingaku pun rasanya ikut bermasalah karena selalu mendengar teriakan, makian, dan umpatannya.Ponselku kembali berdering. Entah makhluk apa yang kini ikut mengganggu ketenanganku.Aku mengernyitkan dahi, heran.Terlihat nomor baru di tampilan layar ponsel.Baru saja hendak mengangkatnya sudah terputus.+6285220000111[Mira, bagaimana keadaan kamu saat ini?]Segera kuketik pesan balasan,[Anda, siapa?][Kamu tidak melihatnya?]Orang gila ini, pikirku. Kembali kuaduk tehku.[Lihat photo profil saya] balasnya lagi.Awalnya aku ingin mengabaikan, tapi ternyata rasa
"Halo Bang, di mana?" tanyaku di telpon pada Bang Hasan. "Di rumah Ibu, kenapa, Mir?" "Hm, bisa pulang Bang? Ada yang mau aku tanyakan," pintaku pada Bang Hasan. "Ada apa Mir?" tanyanya lagi. "Hm, pulang lah Bang," kuhela napasku, "ada yang ingin aku tanyakan, aku tunggu." Klik, kuakhiri telpon itu sepihak. Rasanya perasaanku kini berkecamuk. Rasa cemas ini bahkan melebihi rasa cemas saat awal aku menikah dengan Bang Hasan, dan akan bertemu Ibu. Kembali kupandangi sekeliling kamar. Kini entah seperti apa bentuk kamarku. Pakaian, sepatu, kosmetik, tas, aksesoris telah menjadi satu, berhamburan dan bertumpuk di lantai. Entah bagaimana caraku nanti menyusunnya, tapi yang lebih membingungkan, entah bagaimana lagi caraku menemukan cincin berlian Ibu. Apa cincin itu tidak terbawaku dari rumah Nenek? Tapi saat resepsi aku mengenakannya. Aku yakin cincin itu bersatu dengan semua perhiasan pemberian Nenek dan Ibu. Kepalaku terasa berdenyut memikirkannya. "Mira ... Mira," suara panggila
Pov Hasan Selama membereskan pakaian, dan barang yang berhamburan ke lantai, tak hentinya aku memandangi wajah Mira. Perempuan yang baru kunikahi tujuh bulan ini, kini tampak berbeda dan berubah. Tak lagi ada kelembutan dan ceria di wajahnya, berganti dengan ketegasan dan sifat pendiam. Amira, aku sungguh merindukan sosokmu yang dulu. "Mir, boleh Abang bertanya?" "Hm," jawab Mira singkat sembari menggantungkan pakaian ke hanger. "Siapa lelaki di mobil hitam tadi?" "Yang mana?" tanya Mira kembali. "Yang tadi ada di antara kerumunan tetangga. Lelaki dengan mobil hitam mewah di seberang," aku menjelaskan. "Aku tidak tahu," jawab Mira. Sangat terlihat penuh kebohongan. "Abang tahu dia siapa. Tidak perlu menutupinya Mir. Kenapa secepat itu kamu hadirkan dia dalam rumah tangga kita?" Mata Mira membulat sempurna. "Apa maksudmu, Bang?" "Jangan pura-pura Mira. Lelaki itu pengacaramu, kan? Pengacara yang kamu bayar untuk mengurus perceraian kita. Apa separah itu kesalahanku hingga k
LelahPagi ini aku bangun dengan semangat. Tak terasa sudah sebulan aku bekerja kembali di pabrik. Hari ini, adalah hari gaji pertamaku.Tersenyum-senyum aku membayangkan menerimanya. Aku ingin menyimpannya guna peganganku jika suatu hari aku membutuhkannya.Cepat aku mandi dan bersiap. Ratih sebentar lagi akan datang menjemputku.Suara klakson terdengar nyaring di telinga saat aku sedang memasangkan hijab di kepalaku.Klakson motor Ratih yang sengaja ia modifikasi menjadi sekuat klakson tronton. Aku pernah memprotes kelakuan Ratih ini, tapi dia membela diri dengan berdalih agar cepat sampai di tujuan, sebab kendaraan di depannya akan langsung meminggir jika ia membunyikan klakson."Sabarlah. Nggak bisa konsentrasi Nyonya berdandan," protesku sembari mengunci pintu."Lama bener. Kudu semangat, gajian ini hari."Ucapannya spontan membuat kami tertawa bersamaan."Jadi gimana cincin berlian, Ibumu Mir? Udah ketemu?" tanyanya saat motor mulai melaju.Aku memang sudah menceritakan hal hil
Pov Ibu "Apa itu Lin?" tanyaku pada Lina, yang baru saja pulang dengan membawa sebuah map. "Ini, Bu?" "Iya, map apa itu?" "Map yang berisi brosur dan penjelasan mengenai akademi kebidanan yang Lina mau, Bu. Bang Hasan mau lihat brosurnya," jawab Lina senang. "Hasan? Kamu sudah bilang ke Mas-mu soal itu?" "Sudah, Bu. Katanya, Mas Hasan akan mendukung apapun keinginanku. Makanya Mas Hasan minta brosurnya biar dicari uangnya," jelas Lina. "Oh syukurlah. Coba Ibu lihat, sini Lin," pintaku pada Lina mengulurkan tangan. Mataku rasanya hendak keluar. Brosur itu memampangkan dengan jelas biaya yang harus dibayar untuk akademi kebidanan Lina dengan total Rp 60.000.000,00. Bahkan kata Lina itu belum termasuk jika nanti ada beberapa alat praktek yang harus di beli. Nominal itu hanya untuk biaya pendidikannya selama tiga tahun, uang pembangunan, baju dinas, dan uang asrama. Dapat dicicil, namun jika dibayar tunai, akan dapat potongan 10% dari total keseluruhan. Sesak nafasku membayangka