Racun Mertua

Racun Mertua

By:  El-Haz  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating
66Chapters
16.9Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Amira, perempuan yatim piatu yang memilih menikah di usia muda. Pernikahan yang ia bayangkan akan bahagia justru terasa bagai neraka tatkala Ibu mertua terlampau mencampuri rumah tangga yang ia bangun bersama sang suami. Lelah mendera, perempuan itu mengambil keputusan tersulit, yakni bercerai. Sayangnya, kabar menggembirakan justru hadir saat ia ingin berpisah. Ada buah cintanya yang tengah tumbuh berkembang. Bersamaan dengan itu, atasan tempat ia bekerja dulu, datang mengulurkan cinta lama. Lelaki yang pernah ia tolak, kembali menawarkan kebahagiaan. Jalan apakah yang akan Amira ambil? Selengkapnya ada di Good Novel.

View More
Racun Mertua Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Raina Haryati
ceritanya keren. biarpun dah lama tamat baca di joy tp sampe skrg blm bs lupa.
2022-07-16 21:21:19
0
66 Chapters
Prolog
"Iya aku melakukannya." Nada suaraku terdengar tak berintonasi.Kuakui, aku salah. Harga diriku sudah tak ada lagi di matanya dan keluarganya. Semua keluarganya di beritahu. Dan, tentu saja siapa pun tahu nista itu. Ada yang mencemooh, ada yang menggelengkan kepala, bahkan cacian 'pelacur' terlontar dari mulut adik perempuannya.Tiba-tiba sekelebat bayangan lalu hadir, di mana aku menjadi penolong saat harus merelakan cincin pemberian ibuku untuk membayar pendaftaran kuliah adiknya. Sesak.Ah, sudahlah.Aku terima apa pun hinaan itu.Sebenarnya, mereka hanya tidak pernah tahu bagaimana rumah tangga kami, bagaimana nada berdenting dalam biduk mahligai kami, mereka hanya menilai dari apa yang mereka dengar dan melihat satu sisi.
Read more
Bab 1
"Assalamu'alaikum, Mir, Mira." Terdengar salam di ujung pintu, aku yang sedang merendam pakaian kotor tergesa-gesa segera menemui si empu suara. "Waalaikumsalam. Oh Ibu, masuk, Bu," ajakku setelah membukakan pintu. "Lama bener bukain pintunya, baru bangun kamu, ya?" sentak Ibu mertua. "Nggak, Bu, Mira tadi—" "Alah alasan! Jadi istri itu jangan malas, belum juga punya anak, bagaimana kalau sudah punya anak, bisa mati tak terurus anakmu," sela Ibu. "Mana Hasan?" lanjutnya lagi dan melangkahkan kaki masuk. "Bang Hasan, kerja, Bu." Kupersilakan Ibu untuk duduk. "Loh, bukannya ini Sabtu, ya? Kenapa Hasan masuk kerja?""Mira nggak tahu, Bu. Bang Hasan bilang ada yang harus di kerjakan di pabrik." "Duh, ini kursi kok gini amat, ya, sampe sobek begini sarungnya," ucapnya sambil menyentak sarung kursiku. Bagaimana tidak sobek? Kursi tersebut adalah kursi yang ada di rumah orangtua Bang Hasan yang usianya mungkin sudah sama dengan usia adik iparku. Bukan karena baiknya Ibu mertua, tapi k
Read more
Bab 2 (Minta uang lagi)
Bang Hasan baru saja sampai rumah dan mandi ketika Ibu mertua sampai di depan pintu. "Hasan sudah pulang?" tanyanya dengan napas memburu. Terlihat, seperti habis berlari menuju rumahku. "Sudah, Bu. Lagi mandi." "Loh sudah sampai kenapa nggak ke rumah Ibu? Ibu minta air putih, cepetan!" "Bang Hasan baru sampai, Bu," jawabku sambil berlalu ke dapur untuk mengambilkan Ibu minum. "Kamu itu harus jadi istri yang amanah lah, Mir! Kan Ibu sudah titip, kenapa tidak kamu sampaikan?!" Ibu mulai meninggikan suaranya. "Maaf, Bu. Bang Hasan, kan baru sampai. Ya baiknya, memang bersih-bersih diri dulu, lalu makan. Mira memang niatnya mau beritahu Bang Hasan setelah selesai makan," jawabku tenang sambil meletakkan gelas berisi air putih. "Tetap saja kamu itu udah jadi istri yang nggak amanah! Udah nggak usah membela diri, salah ya tetap salah!" Aku memilih diam, tak menjawab. Sedikit aku mulai mengerti sikap dan sifat Ibu. Tak lama tampak Bang Hasan keluar dari kamar mandi. Meli
Read more
Bab 3 (Berkunjung)
Aku baru saja meletakkan barang belanjaan, rasanya urat di leher sakit setelah mendengar pertanyaan tetangga soal momongan. Cepat aku men eguk air segelas, dan tandas seketika. "Belum isi ya, Mir?" tanya Bu Nani ketika aku sedang memilih sayuran tadi. "Belum, Bu." Aku tersenyum. "Kok lama, ya? Anakku dua tahun menikah sudah isi. Sudah periksa?" "Saya baru tujuh bulan, Bu." "Lah, ya itu sudah termasuk lama, ponakanku nikah langsung isi. Coba periksa mana tahukan?" Aku tersinggung. "Kalau tujuh bulan lama, terus anak Ibu yang dua tahun itu apa namanya? Alot?" sinisku. Terlihat wajah Bu Nani masam, sedang Ibu lainnya terdengar cekikikan. Padahal rezeki, maut, dan jodoh, Allah lah penentunya, begitu juga dengan rezeki mendapatkan keturunan. "Pantes mertuamu urut dada, menantunya melawan begini." Ah, apa lagi ini? Mendengar nama mertuaku disebut hatiku panas, aku merasa ada yang tidak beres. "Jangan terlalu mencampuri rumah tangga orang, Bu. Saya bukan anak Ibu! Dan saya, ju
Read more
Bab 4 (Permintaan bekerja)
Di perjalanan kucoba memulai pembicaraan dengan Bang Hasan mengenai kabar dari Ratih. Tapi jawaban Bang Hasan sungguh di luar dugaanku. "Mir, bukannya kita sudah sepakat untuk kamu resign setelah menikah? Lagi pula kamu harus istirahat dan bahagia agar kita segera mendapat anak. Abang sudah sangat menantikannya. Mir." Sungguh jawaban Bang Hasan sangat membuatku lemas. "Tapi, Mira mau bantu Abang, lagi pula jika sudah tiba waktunya, Allah pasti kasih kita rezeki anak. Sudah tujuh bulan kita menikah, toh aku belum hamil juga kan, padahal aku juga sudah di rumah tidak bekerja. Ya, karena memang Allah belum memberi kita rezeki anak, Bang," jawabku diantara deru angin. "Abang sungguh masih sangat sanggup menafkahimu lahir dan batin, Mir. Di rumah saja, ya." "Tapi Ibu minta aku kerja, Bang." Aku masih berusaha meyakinkan Bang Hasan untuk memberiku izin. "Ibu biar menjadi urusan Abang, kamu tenang saja, ya." "Abang janji?" "Janji." "Baiklah." Aku mengalah dan mencoba per
Read more
Bab 5 (Rencana yang gagal)
(Pov Ibu) Aku mendengar suara salam di ujung pintu, saat kuintip dari balik gorden pintu dapur, ternyata Hasan yang datang. Terang saja hatiku bahagia, sejak pindah dari rumah, Hasan jarang sekali mau mampir ke rumahku, katanya sibuk bekerja. Ah, pasti dia mau mengantar uang untuk Lina. Dengan semangat aku berjalan ke ruang tamu di mana Hasan berada. Di luar kulihat ada seorang perempuan berdiri membelakangi rumah, ia terlihat sedang berbicara dengan Bu Asta, tetangga samping rumahku. Saat kutanya pada Hasan dengan siapa ia datang, katanya dengan istrinya. Tapi dimana Mira? Apa mungkin perempuan yang di depan itu adalah Mira? Masih belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba saja perempuan itu berbalik, berjalan dengan elegan, masuk ke rumah, dan menghampiriku. Membuat aku terkejut. Aku masih mematung memandangi sosok di hadapanku, sampai akhirnya Hasan memanggil dan membuatku sadar. Ternyata Mira sudah mengulurkan tangan hendak menyalamku. Aku sungguh tidak percaya dengan ma
Read more
Bab 6 (Di luar batas)
Sesampainya di rumah aku memilih langsung masuk ke kamar. Rasanya menyakitkan sekali. Pipiku terasa perih, tapi tak seperih perasaanku. Masih teringat jelas kejadian di rumah Ibu tadi. Suami yang aku harapkan menjadi pelindung justru diam tak bergeming saat Ibunya mengeluarkan bisa beracunnya. Dia diam bak patung tak bernyawa tanpa bisa melakukan apapun. Jelas sekali janjinya di jalan tadi, untuk menangani Ibunya adalah omong kosong belaka. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan air mata dan rasa sakit yang sejak tadi kutahan. Di mana letak salahku yang piatu ini? Bukan inginku ditinggal mati oleh Ibu kandung sendiri. Bukan mauku tidak mendapat didikan penuh dari Ibu yang melahirkanku. Apakah aku harus menyalahkan takdir atas garis tangan yang aku terima kini? Picik sekali cara berpikir Ibu mertua. Menyalahkanku atas kematian Ibu yang melahirkanku. Jika ingin menyalahkan, kenapa harus aku, kenapa dia bukan menyalahkan takdir saja! Aku menangis dengan meng
Read more
Bab 7 (PoV Hasan)
POV Hasan Sudah dua hari, Mira mendiamkanku sejak kejadian di rumah Ibu. Aku sungguh tidak menyangka kini Mira benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Aku tidak lagi menemukan sorot mata nan teduh miliknya seperti selama ini. Sejak kami memutuskan menikah, dan tinggal di rumah Ibu, Mira menjadi semakin pendiam. Hingga suatu hari, di usia lima bulan pernikahan kami. Aku mendengar Mira menangis tersedu-sedu di sela sholat malamnya. Saat kutanya, dia hanya menggelengkan kepala. Setelah didesak, akhirnya perempuan berkulit bersih itu mengatakan jika ia lelah berkutat seharian di rumah tanpa berhenti. Dia mengatakan, sehari-hari tubuhnya berputar bak gasing yang bergerak dari dapur, kasur, dan sumur. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan. Termasuk mencuci pakaian dalam Lina, adik semata wayangku. Ibu juga melarang Mira memasak nasi menggunakan magic com, juga mengharuskan Mira menggiling cabai dengan ulekan. Alasan Ibu, agar rasanya lebih nikmat. Aku tidak tahu siapa yang benar dalam h
Read more
Bab 8 (Izin bekerja)
Prang, ting! Terdengar suara sendok dan panci beradu. Saat ini aku kesal sekali. Entah mengapa Bang Hasan harus duduk di kursi makan. Entah apa yang ia lakukan di sana. Awalnya aku tidak peduli, tapi lama-kelamaan aku semakin risih, dari aku masih menanak nasi sampai dengan aku siap memasak lauk dan sayur ia tetap berada di sana, tanpa bergerak. Pelan kulirik Bang Hasan, dari ekor mataku melihat ia sedang merenung sambil sesekali tersenyum-senyum sendiri. Mulai gila dia. Kuletakkan nasi beserta lauk di meja, bukan meja makan asli. Hanya sebuah meja petak biasa dengan triplek atasnya yang sudah rusak. Kuakali menutupinya menggunakan alas plastik bermotif dedaunan. Jangan tanya di mana meja makan asliku. Tentu saja di rumah Ibu Bang Hasan. Ah, mengingatnya saja membuat dadaku sesak. Sudahlah, aku tak ingin mengingatnya, kata orang jika kita terus-menerus mengingat orang yang kita benci, ia bisa tiba-tiba saja hadir di depan wajah kita. Sungguh aku tak ingin itu terjadi. "Kamu
Read more
Bab 9 (Berkunjung ke rumah Hasan)
POV Ibu Motor Hasan baru saja melaju meninggalkan rumahnya, saat ini aku menumpang Hasan untuk ke pasar, mencari gamis biru langitku. Entah mengapa aku selalu bersemangat setiap akan memiliki barang baru. Sedari muda aku sudah seperti itu. Lantas aku teringat percakapan dengan Hasan tempo hari. Cepat aku bertanya pada Hasan bagaimana syarat yang aku ajukan. Rasanya aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Hasan. "San, gimana soal yang kemarin Ibu bilang? Kamu udah ngomong sama istrimu?" "Sudah, Bu. Tadi pagi sebelum Ibu datang." Dari nada suara Hasan, aku menebak sepertinya semua berjalan seperti keinginanku. "Terus apa jawaban si Mira?" "Mira mau, Bu. Bahkan dia senang. Sebenarnya, sebelum kami ke rumah Ibu, Mira memang sudah ditawari lagi bekerja di pabrik tempatnya dulu." Aku terkejut, mataku membulat sempurna. "Terus si Mira nggak mau gitu?" Sudah kuduga, dia hanya mau memperalat anakku. Menjadikan Hasanku sapi perahnya. Dasar iblis. P
Read more
DMCA.com Protection Status