Aku mendengar pertanyaan dari ibu dan segera menjawabnya, “Iya bu sebentar lagi,”
Ibu memelukku dan menguatkanku. Beliau berkata tidak usah mendengar omongan bu Endang yang terkenal memang menyayatkan hati. Sebelumnya aku sudah memberitahu ibu kalau semalam habis dari shorum bersama bu Sari beliau yang membayar kontan mobil. Nanti aku cukup mengangasurnya potong gaji dan bonusku tidak keluar sebagai ganti membayar mobil.
“Terima kasih ya, bapakmu nanti akan senang jika pulang dari pasar. Sekarang Dara berangkat kerja dulu,” ucap ibuku.
“Baik bu, doakan Dara supaya rejekinya lancar ya bu,” pintaku seraya mangambil tas untuk berangkat kerja.
Sampai tempat kerja aku seperti biasa aku langsung mengerjakan kerjaanku. Aku fokus dengan beberapa lembar berkas yang ada dimejaku. Tiba-tiba Irma datang dan menyindirku di depan banyak orang. Aku sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti ini dari Irma. Tidak di rumah tidak di kantor
Bu Lastri menjawab setiap rejeki orang beda-beda. Randi gajinya kecil sebagian dikasih saya untuk tambah biaya kebutuhan rumah. Walau ayahnya memberikan nafkah ke saya. Namanya uang anak ya tetap saya terima saya yang muterin uangnya.“Rejeki orang beda-beda bu Endang. Randi dapat banyak kok hasil kerjanya. Ada ponsel adiknya, baju, biaya kuliah,” jawab bu Lastri.“Tuh kan hanya barang-barang kecil. Tuh Dara dapatnya barang mewah,” ucap bu Endang.“Sudahlah mungkin nyimpen uangnya pinter. Nggak udah bandingin rejeki orang bu,” balas bu Lastri.Syukurlah bu Lastri tetangga yang pikirannya nggak sempit seperti bu Endang. Aku heran kenapa bu Endang ini semakin hari semakin membenciku. Padahal suaminya pegawai negeri anak-anaknya pinter keuangan juga lebih bagus."Alah bu Lastri dari perbedaan Rendi dan Dara yang sama-sama bekerja kita itu bisa lihat kalau Dara itu sepertinya menghasilkan uang lebih cepat daripada si
Aku kaget dengan suara yang menyebut aku sombong karena tidak mau menegur sapa. Beliau juga mengatakan aku sudah kaya, aku aminkan saja siapa tahu aku nanti kaya beneran. Semoga doanya dikabulkan aku menjadi orang yang kaya ilmu, rejeki dan tidak sombong. Aku menoleh dan menyunggingkan senyuman dan ternyata itu si biang gosip bu Endang. Malas banget rasanya meladeni bu Endang ini.“Maaf bu saya tidak lihat bu Endang, saya habis pesan makanan langsung main ponsel tidak toleh kanan-kiri, bu Endang sendiri mungkin datangnya duluan saya jadi tidak lihat,” ucapku.“Halah alasan saja kamu itu. Baru bisa kredir mobil bekas saja sudah berlagak. Apalagi nanti dapat suami kaya raya pasti tidak mau kenal tetangga lagi!” seru bu Endang.Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Sungguh bu Endang ini sengaja mencari masalah di depan umum. Aku memilih diam saja karena tidak mau manjadi bahan omongan para tetangga karena adu debat dengan bu Endang di tempa
Ibuku berjalan keluar rumah menuju sumber suara minta tolong untuk mengetahui apa yang terjadi. beberapa anak muda yang nongkrong di pos ronda berlari juga menghampiri bu Sri. Dengan sigap mereka menolong permintaan bu Sri.“Ada apa bu Sri kok teriak-teriak minta tolong?” tanya ibuku.“Bu Endang tiba-tiba pingsan bu, bu Siti pulang saja nggak apa-apa biar kami yang mengurus bu Endang,” jawab bu Sri.Ibuku pulang ke rumah atas permintaan bu Sri yang akan mengabari apa yang terjadi besok pagi. Bu Sri berkata akan menunggu bu Endang siuman baru pulang. Salah satu anak muda yang nongkrong tadi ke musola mencari pak Nurdin mengabari kalau istrinya pingsan.Ibu sudah sampai rumah lagi dan memelukku. Mungkin ibu tahu apa yang aku pikirkan mala ini. aku juga tidak menyangka bu Endang sebegitu bencinya denganku sehingga memberikan label aku seorang simpanan om-om tanpa bukti yang kuat.“Kak jangan sedih lagi. Lebih baik kita ma
Bukannya aku diam saja karena di bully nanti akan ada saatnya aku membantah mereka. Untuk saat ini aku memilih diam karena jika bertengkar di tempat kerja akan membuat buruk citra kepada atasan. Dan mempengaruhi kinerjaku.“Ada saatnya diam juga ada saatnya kita melawan Metta. Sekarang belum saatnya, kita harus mempertahankan nama baik kita di perusahaan,” jawabku.“Dara, jika hatimu lembut seperti ini orang akan terus-terusan jahat sama kamu!” seru Metta.“Mengalah belum tentu kalah Metta. Tunggu saja tanggal mainnya aku pasti akan bertindak,” jawabku.Aku senang Metta mengerti apa maksudku. Aku menambahkan orang yang diam saat ditindas bukan berarti lemah. Mungkin aku sedang menyiapan sebuah kejutan untuk orang jahat itu. Aku percaya orang yang jahat akan mendapatkan balasan dari yang maha kuasa atas perbuatannya. Seperti hukum tabut tuai. Siapa yang menanam akan memanen apa yang ia tanam.“Saya baru kelu
Aku masih berdoa supaya ada orang yang datang ke toilet. Karena aku pasti bingung akan menjawab apa saat Irma bertanya apakah aku mendengar percakapan menjijikkannya dengan pria yang sudah beristri.“Oh kau Dara ternyata, jadi kamu sengaja menguping percakapan kami ya?” tanya Irma dengan ketus.“Percakapan apa, aku tidak mendengar apapun. Kau tidak lihat kalau aku sedang terpeleset di toilet ini?!” tegasku agar Irma tidak curiga.Irma tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Dia menjambak rambutku dan hampir membenturkan kepalaku ke tembok toilet beruntung sekali ada Metta yang masuk ke toilet. Dia melihatku yang sedang teraniaya. Ia berteriak meminta pertolongan.“Tolong ada yang bertengkar!” teriak Metta panik melihatku dijambak Irma.“Metta kau gila ya. Apa kau ingin kita semua kena sangsi hah!” bentak Irma.Metta menghampiriku dan bertanya apakah aku baik-baik saja. Dia kemudian melihat k
Aku kaget bu Sari punya pemikiran seperti itu. Kok bisa sih beliau mempunyai tebakan yang memang betul seperti itu. Apakah bu Sari sudah melihat gelagat yang aneh dari mereka berdua.“Itu hanya perasaan ibu saja mungkin, pak Roni sudah beristri mana mungkin Irma nekat berpacaran dengan suami orang,” jawabku masih menutupi hubungan Irma dan pak Roni.“Jangan salah kamu Dara. Jaman sekarang suami orang juga punya simpanan. Banyak gadis yang mau pacaran sama suami orang karena diberi uang jajan,” balas bu Sari.Aku hanya mengangguk tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Walaupun berbicara aku tidak punya bukti. Apakah orang akan mempercayainya.“Tapi mungkin itu bukan si Irma bu.” Ucapku sambil memeriksa berkas yang ada di atas mejaku.“Ya sudah kalau kamu tidak mau mengatakan apa yang kamu dengar tadi. Besok kamu boleh cuti dua hari seperti apa yang dikatakan pak Maulana tadi,” balas bu Sari.A
Bu Endang memegang perutku entah apa maksud dia ini. pagi=pagi aku sudah dihadapkan dengan manusia rese seperti ini membuatku ingin marah. Tapi yang aku hadapi adalah orang tua. Nanti akan menjadi bahan gosip lagi. “Ya ada hubungannya lah Dara. Kalau punya pacar terus sering masuk angin itu tanda sudah dibobol sama pacarnya sebelum menikah,” jawab bu Endang sambil cengengesan. “Oh jadi bu Endang menuduh anak saya melakukan hal yang tidak bermoral diluaran sana ya?” tanya ibuku sedikit kesal. “Tidak menuduh tapi hanya memastikan saja. Soalnya aku sering sekali loh melihat anak ibu beberapa minggu ini beii obat masuk angin di warung mang toto,” jawab bu Endang yang membuatku tersulut emosi saja. Aku meninggalkan rumah karena sudah siang juga. Bodoh amat deh bu Endang mau mengoceh apa lagi hari ini. aku bosan mendengar ocehannya yang tidak berguna setiap hari. Membuatku jengkel saja. “Dara kenapa kamu kok cemberut begitu pagi-pagi begini?” tanya
Aku pusing mendengar Irma dan juga bu Lisa terus berdebat. Sikap macam apa ini kenapa Irma begitu berani kepada para atasan wanita. Apakah Irma semakin besar kepala saat mempunyai backingan seperti Pak Roni ini. “Sudahlah bu. Memang ibu Lisa dan bu Sari ini tidak suka sama saya jadinya selalu mencari kesalahan saya untuk diadukan ke atasan, jadinya ya menilai saya buruk terus,” ucap Irma. “Kalau begitu kemasi barangmu. Kamu harus intropesi diri besok kamu saya pindah ke kantor cabang!” seru Pak Maulana yang tiba-tiba datang. Pak Maulana sendiri sudah jengah mungkin dengan sikap Irma yang selalu berani kepada siapapun. Di kantor pusat ia selalu membuat ulah terutama padaku. Aku memang anak baru dan Irma adalah seniorku tapi entah kenapa ia selalu mengganggu ketenanganku saat bekerja. Irma terlihat gelagapan saat pak Maulana masuk pantry serta memindahkannya di kantor cabang. “Pak Maulana, kenapa harus saya yang dipindah. Saya tidak melakuan kesalahan a