"Tam, aku ingin tes DNA, tapi jangan sampai Amanda tahu." Pandu memberikan satu helai rambut Alana pada sang asisten. "Aku yakin Alana itu anakku. Dan pastikan tidak ada yang tahu hasil dari tes nanti, ini hanya di antara kita berdua "Tama mengambil tisu, lalu membungkus satu helai rambut Alana dengan sangat hati-hati dan memasukkannya ke dalam saku kemejanya. "Semoga hasilnya seperti yang Anda harapkan Bos. Besok saya akan langsung melakukan perintah Anda."Tama berkata dengan yakin supaya sang bos percaya padanya. Dan tentunya ia akan membicarakan tentang semua ini kepada Amanda. Tama tidak mau mengingkari janji kalau ia tidak akan membongkar rahasia anak kembar sang bos sebelum mendapat izin dari mantan istri bosnya itu."Kamu memang selalu bisa diandalkan, Tam." Pandu menepuk lengan asistennya, lalu keluar dari kamar Alana. "Aku mau tidur dulu karena besok pagi aku akan bermain lagi dengannya. Aku tidak mau melewatkan waktu satu detik pun dengan anak itu."Pandu tidak mau bangun
Pandu membiarkan Alana memeluk Tama walau ia cemburu karena Tama terlihat lebih dekat dengan anak itu. Setelah itu ia akan menghabiskan waktu bersama dengan putri dari mantan istrinya.Tama melepaskan pelukan Alana setelah gadis kecil itu kembali terlelap. Ia membaringkan Alana di samping Pandu yang sejak tadi menatapnya."Saya akan kembali ke kamar saya," ucap Tama pelan karena khawatir Alana terbangun mendengar suaranya."Bagaimana kalau dia bertanya tentangmu?" Walau tidak suka Tama dekat dengan Alana, tapi ia tetap mengutamakan perasaan anak itu yang terlihat lebih nyaman dengan asistennya daripada dengannya."Alana tidak akan mencari saya, yang terpenting ada seseorang di sampingnya," jawab Tama, kemudian keluar dari kamar itu.Pandu tersenyum mendengar ucapan Tama. "Ternyata seperti itu," gumam Tama sambil menoleh pada Alana, "aku akan membuatmu nyaman bersamaku Alana. Walaupun aku tidak bisa kembali pada ibumu, setidaknya kamu mau menjadi anakku. Seandainya kamu memang bukan an
"Ayah?" Pandu tercengang mendengar Alana memanggil ayah kepada Tama. "Apa dia ayahmu?" tanya Pandu kepada Alana.Alana menengadah menatap Tama. "Paman baik bukan ayahku, tapi dia sangat baik seperti ayahku sendiri," jawab Alana sambil tersenyum, "ayo, Ayah!"'Kenapa dia mau memanggil Tama Ayah, tapi dia tidak mau memanggilku Ayah walau sudah diminta,' gumam Pandu dalam hati, 'sikap Tama memang selalu tenang, mungkin itu yang membuat Alana lebih nyaman padanya daripada denganku.'Tama mengangguk sambil tersenyum kepada Alana. Lalu, menatap Pandu. "Saya antar Alana pulang dulu, Bos."Alana tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada Pandu. Hari itu, hati Pandu diliputi kebahagiaan karena bisa bersama Alana. Tetapi tidak setelah Alana pulang. Dia kembali dengan pemikirannya yang rumit.Setelah bertemu dengan Alana, Pandu semakin bersemangat. Ia ingin segera terlepas dari Sonya. Setelah itu akan memikirkan bagaimana caranya bisa bersama dengan Amanda lagi.Setelah mengantar Alana, Pandu
Nani mematung mendengar ucapan Pak Jo. Ia berpikir apa ini waktu yang tepat untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada tuannya? 'Ya Tuhan, bagaimana ini? Saya tidak seberani itu menghadapi Tuan yang sedang marah. Tuan Tama dan Tuan Pandu memang orang baik. Saya percaya itu, tapi tatapannya jika sedang marah sangat mengintimidasi.' Nani sudah tidak bersemangat lagi untuk bertemu dengan Pandu dan Tama. Ia tidak berani menghadapi kedua lelaki yang sedang marah itu. Walau sang tuan tidak pernah menyakiti dirinya, tapi Nani begitu takut kepada sang majikan. "Nani, apa yang terjadi? Kenapa kamu diam saja?" Pak Jo menepuk bahu pelayan itu. "Kamu baik-baik saja kan?" Pak Jo khawatir kalau Nani sedang sakit karena kelelahan. Sebelumnya wanita itu bekerja dengan sangat semangat, bahkan Nani membantu mengerjakan pekerjaan yang bukan bagiannya. Nani terperanjat saat Pak Jo menepuknya. "I-iya, Pak Jo, saya baik-baik saja." Nani menunduk hormat. "Maafkan saya." "Ya sudah cepat temui Tuan!" per
"Saya ini hanya manusia biasa yang tidak mungkin tidak mempunyai kesalahan," jawab Tama, "yang harus Anda percaya adalah kata hati Anda sendiri, Bos. Ikuti kata hati saja karena hanya hati kita yang tidak akan membohongi diri sendiri."Bukan hanya terikat janji dengan Amanda yang membuat Tama bungkam bertahun-tahun, tapi ia juga harus memikirkan keselamatan Amanda dan anak-anaknya. "Kamu salah, Tam," sahut Pandu, "aku telah membohongi diri sendiri. Waktu itu aku mengusir Amanda karena aku membencinya yang telah berkhianat, tapi hatiku tidak pernah membencinya apalagi melupakan cintaku padanya. Sampai detik ini pun, Amanda masih ada di hatiku, tidak ada yang bisa menggantikannya, tapi ....""Tapi apa, Bos?"Pandu mengembuskan napasnya perlahan, "tapi hatiku sakit jika teringat foto Amanda dengan laki-laki itu." Selama bertahun-tahun Pandu memendam rasa cinta dan sakit hatinya terhadap Amanda. Cintanya kepada Amanda sangat besar, tapi ia tidak bisa untuk tidak memercayai ibunya."Itul
Saat Tama ingin menjawab pertanyaan Baron, pintu rumah terbuka. Amanda muncul dari balik pintu. "Apa ada masalah?Kenapa datang malam-malam? " Amanda membuka pintu lebar-lebar supaya Tama masuk ke dalam rumah. Tama menoleh pada Amanda, lalu berkata, "Ya, memang ada yang ingin saya bicarakan denganmu, tapi besok saja, lebih baik sekarang kamu tidur lagi. Lagi pula ini tidak terlalu penting." "Aku belum tidur," jawab Amanda, "ayo, masuk dulu! Aku akan membuatkan kopi untukmu." Amanda yakin ada kabar penting yang ingin Tama sampaikan padanya. Ia sudah tahu kebiasaan lelaki itu yang tidak ingin menunda-nunda jika sedang ada masalah. "Tidak perlu, kamu tidur saja," kata Tama, "maaf, sudah mengganggumu." Baginya ini sangat penting, tapi tidak untuk Amanda. Tama juga ragu mengatakannya karena khawatir Amanda mengira kalau dirinya lebih berpihak kepada sang bos. Tapi, ia tidak tega melihat bosnya dan Alana yang terlihat sudah saling menyayangi. Baron tidak berkomentar apa pun. Ia hanya me
Tanpa membuang-buang waktu, Sonya langsung menelpon calon mertuanya untuk melaporkan kejadian yang baru saja ia lihat. Namun, berkali-kali ia menelpon tidak ada jawaban juga. Kemudian ia menelpon ke rumah orang tua Pandu."Bi, ini aku, Sonya," kata wanita yang selalu berpakaian terbuka itu dengan ramah. Tepatnya berpura-pura ramah. "Apa Nyonya Vena ada di rumah?""Ada, Non," sahut pelayan dari balik telepon."Bisa aku bicara dengannya?" Lagi-lagi Sonya berpura-pura ramah. "Ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Sejak tadi aku menelponnya, tapi ponselnya tidak aktif.""Baik, Nona, tunggu sebentar ya."Seorang pelayan mendatangi Vena di sofa. Wanita itu mengatakan kepada majikannya jika ada telepon untuknya."Siapa yang menelpon?" tanya Vena dengan ketus. "Nona Sonya, Nyonya." Pelayan itu berdiri di hadapan Vena sambil menunduk dengan tangan terulur memberikan telepon pada majikannya.Vena langsung menerima panggilan telepon dari calon menantunya. "Hai, Sonya," sapa Vena, hanya dala
'Jika itu terjadi, kalian akan menyesal seumur hidup. Penerus kalian akan mati ditangan neneknya sendiri. Bukan hanya Pandu yang aku dapatkan, tapi semua yang kamu miliki, Nyonya Vena,' ucap Sonya dalam hati, 'aku sudah tidak sabar ingin melihat kehancuran keluarga Bagaskara.'Selama bertahun-tahun ia memendam dendam pada keluarga Bagaskara. Kedatangan Sonya di keluarga itu bukan tanpa disengaja, ia sudah merencanakan semuanya dari beberapa tahun lalu.Sonya menggenggam tangan Nyonya Vena sambil tersenyum. "Terima kasih atas dukungannya, Tante. Aku akan menjadi menantu paling bahagia jika aku benar-benar sudah menjadi menantu Tante.""Kamu itu calon menantu idaman, Sayang." Nyonya Vena meraba wajah wanita licik itu. "Terima kasih ya untuk hari ini."Nyonya Vena semakin menyayangi Sonya. Tidak hanya cantik, tapi wanita muda itu adalah pewaris keluarga konglomerat ternama di kota itu. Itulah satu-satunya alasan kenapa dia sampai tega memfitnah menantunya yang miskin."Sama-sama, Tante.