Berawal dari kecelakaan mobil yang menimpa anaknya, Amanda kembali dipertemukan dengan mantan suaminya, Pandu. Rahasia yang selama ini dia simpan begitu rapat, perlahan mulai terkuak. Pandu mencurigai anak kecil yang ia tabrak adalah anaknya dan Amanda. Namun, karena sebuah luka dari masa lalu, Amanda terus berkelit dari cecaran mantan suaminya. Dengan segala kuasa juga rasa penasarannya membuat Pandu mencari tahu sendiri latar belakang Alana, anak dari Amanda. Sebuah fakta lain terungkap, saat Pandu mengetahui kalau Alana memiliki seorang saudara kembar yang begitu mirip dengannya. Jika benar anak kembar itu adalah anak Pandu, mengapa Amanda bersikeras menyembunyikannya? Apakah Amanda mampu menolak cinta yang Pandu berikan untuk kedua anaknya?
View More"Arghhh ...!"
Seorang anak perempuan berteriak sebelum tubuhnya terpental dan jatuh ke aspal. Tubuh kecil itu tergeletak dan berlumuran darah. Untungnya, kepalanya disangga oleh tas yang dibawanya, tetapi anak itu tidak mengerang atau menangis.
"Anda menabrak anak kecil, Bos." William melihat dengan matanya sendiri bahwa gadis kecil itu terhempas.
Seorang pria berkemeja putih keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal saat melihat gadis kecil itu tergeletak dan berlumuran darah.
Pria yang keluar dari sisi kiri mobil hanya bergumam dalam hati ketika melihat gadis kecil yang ditabrak bosnya. 'Alana.'
Pria yang dipanggil bosnya itu membopong tubuh Alana. "Willy, kamu yang menyetir. Cepat!" Henry memerintahkan sebelum masuk ke dalam mobilnya.
"Oke, Bos." William memacu mobilnya membelah jalanan kota. Beruntungnya, jalanan tidak macet meski ramai dengan kendaraan, tapi lancar.
Henry, CEO BARA Corporation, masih terlihat muda dan tampan di usianya yang sudah berkepala tiga. Pria itu terus memandangi wajah sang anak yang lemah dan tak berdaya dalam gendongannya akibat kelalaiannya saat mengemudikan mobil.
"Bos, apakah anak itu masih bernapas?" William melirik sekilas ke kaca spion untuk melihat kondisi Alana, lalu kembali fokus menyetir. Tidak dipungkiri, dia juga begitu khawatir dengan kondisi anak itu.
William tetap berusaha untuk fokus, meskipun pikirannya tertuju pada ibu dari anak yang ditabrak oleh bosnya.
'Bagaimana saya menjelaskan semua ini? Pria yang duduk di kursi pengemudi hanya bisa bergumam dalam hati. Dia tidak memberi tahu bosnya bahwa dia mengenali gadis kecil itu.
Henry menatap wajah gadis itu, yang berada di pangkuannya. Gadis kecil itu masih terlihat cantik dan manis, meskipun dia sangat pucat.
Pria yang mengenakan kemeja putih berlumuran darah itu meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung Alana. Ia menghela napas lega ketika masih merasakan napas anak itu.
Tidak lama kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Perawat membawa Alana ke ruang gawat darurat. Henry dan William bergegas menuju brankar yang didorong oleh perawat.
Perawat memasukkan Alana ke ruang gawat darurat. Henry menunggu di luar ruang gawat darurat. Dia takut sesuatu akan terjadi pada anaknya. Jika sesuatu yang salah terjadi, dia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.
William mendekati bosnya, yang berdiri di pintu ruang gawat darurat. "Bos, lebih baik kita beritahu keluarganya."
"Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa lupa, tapi dari mana kita harus mencari tahu? Aku tidak tahu siapa orang tuanya."
Henry teringat akan tas anak yang diberikan oleh perawat kepadanya. Mungkin ada beberapa informasi tentang keluarganya di sini. Henry menyerahkan tas merah muda itu kepada asistennya.
"Baiklah, Bos." William mengambil tas merah muda itu. "Saya akan segera menghubungi orang tua Alana."
"Alana?" Alis Henry berkerut. "Nama anak itu adalah Alana?"
"Ya, Bos," jawab William.
"Bagaimana kamu bisa tahu? Apa kamu mengenalnya?" Henry melontarkan beberapa pertanyaan kepada asistennya.
"Dia punya nama." William menunjukkan nama Alana di tas sekolah berwarna merah muda itu. "Ini pasti nama gadis kecil itu."
"Ya, itu pasti namanya," kata Henry, "kamu cari tahu taman kanak-kanak itu dan tanyakan kepada mereka nomor telepon orang tua Alana," lanjutnya, sambil menunjuk nama sekolah Alana yang tertera di tas sekolahnya.
William mengangguk, lalu pergi meninggalkan atasannya. Setelah jauh dari Henry, William menghubungi ibu kandung Alana.
"Halo... putrimu mengalami kecelakaan. Cepatlah kemari. Saya akan mengirimkan alamatnya." Tanpa menunggu jawaban dari orang di balik telepon, William segera menutup telepon. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan oleh orang tua Alana.
William kembali ke Henry setelah dia menyelesaikan panggilannya.
"Saya sudah menelepon ibunya," kata William. "Dia akan segera tiba di sini."
"Itu bagus." Hanya itu yang bisa dikatakan Henry. Sekarang, dia berpikir untuk meminta maaf kepada orang tua gadis kecil itu.
Setelah sekian lama, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan.
"Apakah Anda keluarga dari gadis kecil yang mengalami kecelakaan itu?" tanya Dokter.
"Ya, Dok," jawab Henry, "Saya ayahnya."
William membelalakkan matanya ketika bosnya mengaku sebagai ayah dari anak yang ditabraknya.
"Gadis kecil itu kehilangan banyak darah. Untuk golongan darah AB, di rumah sakit ini kosong," jelas Dokter.
Henry terdiam sejenak setelah mendengar perkataan Dokter.
"Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut untuk administrasi dan pendaftaran, mohon segera diurus," tambah Dokter lagi sebelum pergi.
Henry merasa sangat gelisah. Pria dewasa itu terus melihat pintu ruang gawat darurat. Henry ingin tahu bagaimana keadaan gadis kecil itu.
Dia tidak melakukannya dengan sengaja. Henry akan mengemudikan mobilnya dengan pelan-pelan jika dia tahu bahwa ini akan terjadi.
Meskipun William sebelumnya telah menawarkan untuk menyetir sendiri, Henry bersikeras untuk pergi. Hasilnya adalah seperti ini karena tidak berhati-hati, dia menabrak seorang gadis kecil.
Dia siap jika orang tua Alana marah kepadanya, dan dia akan bertanggung jawab penuh dan tulus jika orang tua Alana menuntutnya.
Henry terus merasa gelisah. Dia membayangkan wajah seorang gadis kecil dalam pelukannya yang terasa tidak asing baginya.
"Bos, jika Anda ingin pulang, biarkan saya yang mengurus masalah ini," kata William.
"Bagaimana aku bisa pulang jika aku telah menyebabkan gadis kecil itu terluka? Bagaimana jika dia tidak baik-baik saja?" Henry merasa bersalah dan gelisah.
William terdiam. Bibirnya ingin terbuka lagi. Namun, dia mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah bosnya yang semakin gelisah.
Seorang perawat keluar dari ruang gawat darurat, dan Henry segera menghampiri perawat tersebut. "Sus, bolehkah saya masuk?" tanya Henry, ingin sekali bertemu dengan gadis kecil yang ditabraknya.
"Silakan, Pak!" jawab suster dengan ramah.
Henry mengangguk. Ia segera masuk ke dalam ruangan sementara William mengurus pendaftaran Alana.
Henry memasuki ruang gawat darurat dengan perasaan campur aduk. Gugup, takut, dan menyesal. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan matanya yang terus fokus pada wajah gadis kecil itu.
Tangan Henry yang besar perlahan-lahan membelai tangan Alana. Tangan gadis kecil itu terasa sedingin es. Kepala dan tangannya dibalut perban.
"Anak manis, bangunlah! Maafkan aku karena telah membuatmu seperti ini. Paman berjanji akan membelikan boneka besar untukmu dan kita akan berteman. Cepat sembuh, ya." Henry mengusap tangan Alana dengan lembut sambil memandangi wajah cantik gadis kecil itu.
"Wajahmu mengingatkanku pada seseorang."
"Alana, bangun-" Ucapan Henry terhenti saat mendengar suara seorang perempuan yang tak asing di telinganya.
"Lana ...!"
Seorang wanita yang sangat Henry kenal kini berdiri di sisi kanan tempat tidur. Terlihat raut wajahnya yang berantakan dan cemas. Henry terkejut ketika mengetahui bahwa wanita itu adalah ibu dari gadis kecil yang ditabraknya.
"Amanda ...."
Nyonya Vena malah bersimpuh di hadapan Amanda. Ia berbicara dengan suara yang serak sambil menunduk. "Amanda, tolong maafkan aku. Aku menyesal telah berencana mengambil Alan dan Alana darimu. Aku menyadari betapa pentingnya hubunganmu dengan cucuku, yang tak pernah kurasakan sebelumnya."Amanda tercengang mendengar permintaan maaf dari Nyonya Vena. Ia tidak pernah menduga bahwa Nyonya Vena akan bersimpuh di hadapannya dan meminta maaf dengan begitu tulus. Hatinya dipenuhi oleh rasa haru dan mulai melunak."Aku telah melihat betapa besar pengaruhmu dalam hidup cucuku. Aku menyadari kesalahanku dan berjanji untuk tidak memisahkanmu dari mereka. Kamu adalah seorang ibu yang hebat dan cucuku membutuhkanmu. Aku minta agar kamu mengampuniku."Amanda merasa terharu dan ingin memberikan kesempatan kedua kepada Nyonya Vena. Ia dapat melihat perubahan yang tulus dalam hati wanita itu. "Nyonya Vena," ucap Amanda dengan penuh pengertian, "aku sangat menghargai permintaan maafmu. Aku juga berhara
Di sebuah ruang keluarga yang terasa sunyi, Pandu duduk di sofa dengan wajah tegang dan pandangan tajam yang menatap ibunya. Di sampingnya juga ada Amanda."Kenapa kalian tidak membawa cucu-cucuku?" tanya Nyonya Vena berpura-pura baik."Bu, kami memutuskan untuk kembali menikah." Amanda langsung berbicara pada intinya. "Aku harap Ibu merestui kami."Nyonya Vena hanya diam, ia tidak bisa berkata-kata. Walaupun Amanda sudah melahirkan dua orang cucu untuknya, tapi ia tidak mau Amanda menjadi menantunya untuk yang kedua kali karena ia tidak mau mempunyai menantu miskin.Pandu tersenyum sinis melihat ibunya hanya diam tanpa mengucapkan satu patah kata pun. "Sudah kuduga, Ibu baik kepada Amanda hanya ingin membuatnya sengsara.""Mas ...." Amanda menggenggam tangan Pandu supaya lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya."Amanda, kita sudah dibodohi oleh wanita tua ini, apa kamu masih memercayainya?" Pandu memulai percakapan dengan nada tegas."Mas, aku yakin Ibu sudah berubah, apalagi saat ini
Pandu berdiri di hadapan Amanda. Tatapan penuh harap mengarah pada Amanda yang duduk di hadapannya. Suasana sunyi seketika menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar di telinga mereka bertiga."Sudah cukup lama kita hidup terpisah, Amanda," ucap Pandu dengan suara bergetar, mencoba menekan perasaan gugupnya. "Kita telah melewati banyak hal bersama, dan jujur, aku tak bisa hidup tanpamu."Walau merasa gugup, tapi Pandu memberanikan diri untuk kembali melamar mantan istrinya di hadapan asisten dan sekretarisnya."Sekian lama kita berpisah, tapi cintaku padamu tidak pernah berubah. Walaupun dulu aku sempat sakit hati padamu karena kesalahpahaman, tapi cinta di hatiku tidak pernah pudar."Amanda menatap Pandu dengan wajah yang penuh keraguan, pikiran dan hatinya berkecamuk. Mengingat alasan di balik keputusan mereka berpisah membuat hati Amanda tersayat seperti belati. Dia tahu, kesalahan dan kesalahpahaman telah merusak cinta yang pernah mereka miliki."Tapi, Ma
Tama sampai di rumahnya setelah Mahawira pulang. Ia berpapasan dengan Pandu yang akan pulang ke rumahnya."Bos, kapan kalian sampai?" tanya Tama."Kamu dari mana?" Bukannya menjawab, tapi Pandu malah balik bertanya kepada asistennya itu."Saya ...." Tama menghentikan ucapannya saat ponsel dalam sakunya berdering tanpa henti. Tama merogohnya dan melihat layar ponselnya. "Pak Jo. Sepertinya ada informasi penting," ucap Tama pada Pandu.Tama menjawab panggilan dari kepala pelayan di rumah sang bos."Tuan, ada informasi penting tentang Nyonya besar," ucap Pak Jo dari balik telepon."Kami akan ke sana sekarang. Kita bicarakan di rumah saja.""Apa Anda sudah kembali, Tuan?""Saya dan Bos sudah pulang," jawab Tama, "kami akan segera ke sana."Tama menutup teleponnya segera. "Bos, saya ganti pakaian dulu. Kita akan ke rumah Anda sekarang.""Baju kamu basah, memangnya kamu dari mana?" Pandu keheranan melihat baju asistennya basah."Tadi di sana hujan, saya kehujanan saat kembali ke mobil," jaw
"Terima kasih, Sayang." Tama mencium tangan Tiara berkali-kali."Sayang?" Tiara terkejut. "Kita belum menikah.""Kita bisa mulai membiasakan diri dari sekarang." Tama menatap Tiara sambil tersenyum. Ia tidak menyangka pilihan terakhir jatuh pada sekretaris sang bos. "Saya berjanji akan memperlakukanmu dengan baik."Tiara tersenyum sambil bergumam dalam hati. 'Semoga keputusan saya tidak salah.'Sementara di rumah Tama, Amanda dan anak-anaknya baru saja sampai di rumah setelah pulang dari luar negeri."Bu, kenapa Ayah baik tidak pulang bersama kita?" tanya Alana sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Ada pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh Ayah baik. Jadi, dia harus kembali lebih awal dari kita." Pandu mencoba memberi pengertian kepada anaknya. Padahal ia sendiri tidak tahu urusan penting apa yang membuat Tama begitu terburu-buru untuk segera kembali."Ayah baik itu banyak pekerjaan, lagi pula sekarang kita selalu ditemani Ayah Pandu. Jadi tidak kesepian lagi walaupun
"Saya ambilkan air minum dulu, pasti Bos haus." Tiara semakin gugup. "Silakan masuk!"Tiara membuka pintunya lebar-lebar dan bergegas ke ruang tamu. Tama mengikuti Tiara masuk ke dalam rumahnya.“Silakan duduk, Bos! Saya ambilkan minum dulu.”Tiara segera pergi ke dapur untuk mengambilkan air minum. Sesampainya di dapur, Tiara terkulai lemas dan duduk di lantai.“Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan?” Tiara memegangi dadanya sambil duduk berselonjor di lantai.Beberapa menit kemudian, ia bangun dan berdiri setelah lebih tenang. Kemudian, Tiara membawa segelas air putih untuk Tama.“Silakan di minum, Bos!”‘Dia berada di dapur selama sepuluh menit, tapi hanya membawakan air putih untuk saya. Aya yang dia lakukan di dapur selama itu?’ batin Tama.Tama mengambil gelas minum yang disediakan oleh Tiara. Ia meminum sampai habis air itu karena ia juga sedang gugup.“Airnya mau lagi, Bos?” tanya Tiara saat Tama menaruh gelas kosong di meja.“Boleh, tapi akan lebih bagus lagi kalau ada perasa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments