"Dek, angin mana lagi yang sudah meniupmu? Kenapa begitu gampang menghasut dirimu?!" Santoso menatap Fatma dengan wajah kecewa. Ia menggelengkan kepala ketika merasakan tabiat istrinya sekarang."Kalo mereka bilang A, apa kamu juga akan menuduhku berbuat A? Jika mereka bilang B, apa kau juga akan menuduhku berbuat B?! Dek, tolong dipikir sekali lagi. Apa kau kira aku tidak terluka dengan segala tuduhanmu itu."Diam sejenak, Fatma menatap Santoso. Rasa sakit di hatinya menjalar dengan cepat, perlahan ia mulai terbiasa dengan pengkhianatan yang dilakukan suaminya sendiri."Mas, jika kamu tidak aneh-aneh maka kamu tidak perlu berkilah seperti ini." Fatma berkata pelan, menatap Santoso yang terus saja menghindari tatapannya. "Apa susahnya kamu bilang jujur sama aku. Jika memang tidak ada yang aneh, kenapa kamu mempersulit keadaan ini Mas?!"Santoso terus saja diam, ia memperhatikan jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan. Menghela napas, ia memberanikan diri untuk menatap wajah istriny
Bab 14. Terus Berkilah"Mas, total sayurnya berapa ya?" Fatma bertanya pada sang penjual sayur, mengabaikan pertanyaan Bu Amel dan juga Bu Mawar."Sudah Bu? Ini saja?" Mas Joko, si penjual sayur keliling segera menghitung berapa total belanjaan Fatma hari ini. Sementara itu Bu Amel dan Bu Mawar hanya saling sikut satu sama lain."Iya Mas itu aja." Fatma mengiyakan sambil mengeluarkan uang lima puluhan ribu dari dompet kecil yang ia bawa.Mas Joko dengan telaten menghitung keseluruhan jumlah barang yang dibeli Fatma seraya memasukkannya ke dalam kantong plastik. "Totalnya jadi dua puluh lima ribu Bu."Fatma mengangguk, ia menyodorkan uangnya dan menunggu kembalian."Ini Bu kembaliannya. Makasih ya Bu.""Sama-sama Mas Joko," ucap Fatma sambil tersenyum. Wanita berkulit bersih itu memasukkan sisa uang belanja ke dalam dompet lalu menoleh ke arah Bu Mawar dan juga Bu Amel. "Ibu-ibu, saya balik dulu ya. Cucian saya banyak, harus segera nyuci mumpung hari ini panas. Mari Bu.""Iya Bu," jawa
Karena perasaan yang tidak enak akhirnya Fatma menempuh keputusan dimana ia pergi ke kantor sore itu. Dengan membawa serantang opor ayam kesukaan sang suami, Fatma akan berpura-pura menemuinya di kantor sekaligus memastikan kebenaran yang dikatakan oleh Santoso sendiri.Berbeda dari sebelumnya, kali ini Fatma tidak menggunakan sepeda tua miliknya untuk bepergian. Ia sengaja mencari ojek kampung yang bisa mengantarkannya ke pabrik tempat suaminya bekerja."Makasih ya Bang," ucap Fatma saat turun dari boncengan si ojek yang rupanya tetangganya sendiri."Iya Mbak Fatma, tumben sore-sore begini ke pabrik apa Mas Santoso belum pulang?" Si ojek yang bernama Karun itu menerima selembar uang dari Fatma."Hari ini katanya dia lembur jadi saya datang bawakan dia makanan," ucap Fatma sambil mengangkat rantang opor yang ia bawa.Karun manggut-manggut, "Oh begitu ya Mbak. Ya sudah kalo gitu, saya tinggal ya Mbak. Hati-hati.""Iya Bang, hati-hati juga ya." Fatma membalasnya dengan lembut. Ia menatap
Meskipun ditantang, nyatanya Santoso sama sekali tidak berkutik di hadapan Fatma. Pria itu hanya menunduk, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.Petir mendadak menyambar. Sudah biasa jika tiba-tiba datang hujan tanpa adanya pertanda. Fatma menarik napas, menahan kemarahannya yang sudah berada di pucuk kepala."Aku tunggu kamu di rumah Mas, mari kita bicara tentang ini di rumah." Fatma akhirnya menyerah setelah hampir beberapa menit terpaku di tempat tanpa adanya jawaban dari bibir Santoso.Sang istri sah berbalik, ia meninggalkan hotel dengan sendirinya. Bukan karena ia kalah tapi ia masih memiliki sedikit hormat pada suaminya.Wati tersenyum miring, ia menatap ke arah Santoso lalu menggandeng lengannya dengan erat. "Ayo Mas kita masuk. Tak ada gunanya hanya berdiri di sini saja."Seakan tak pernah terjadi sesuatu, Wati menganggap kejadian itu biasa saja. Santoso menarik napas, ia menepis tangan Wati lalu menatap wajahnya.Wati terhenyak, keduanya kini saling bertatap-tatapan.
Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidup Santoso. Istri yang selama ini kalem, lemah lembut, dan bertutur kata baik mendadak berubah seratus delapan puluh derajat.Santoso merasa pening, ia merasa bahwa malam itu adalah malam terakhir bagi dirinya untuk hidup.Pagi menjelang, berbeda dari sebelumnya Santoso merasa berat untuk membuka mata. Kali ini, jangankan tidur di kasur yang empuk dengan selimut hangat, Santoso justru disuruh tidur di teras rumah berbantalkan tangan.Suara berisik yang kian mengganggu, membuatnya terpaksa bangun dari tidurnya di teras rumah. Pria itu mengerjap, matanya yang perih sengaja ia buka dan melihat keadaan.Beringsut bangun, kini Santoso dihadapkan pada kenyataan dimana seluruh keluarganya telah datang dan merubungnya di teras rumah."Enak ya Mas tidur di teras? Enak?" Ratna membuka percakapan ketika Santoso perlahan mulai mengumpulkan nyawanya."Mau nambah lagi San?" Pakdhe Suryo turun bersuara.Seluruh keluarga Santoso pagi itu hadir semua. Mulai
Pagi itu Fatma memberesi seluruh pakaian yang ia punya ke dalam koper. Rencananya sudah bulat untuk pergi dari rumah itu dan meninggalkan segala kenangan yang ada. Meskipun ia sebatang kara, ia tidak begitu miskin hingga harus menumpang di rumah penuh dengan kenangan buruk."Dek kamu mau kemana dek?" Rupanya Santoso masih menunggu Fatma di teras rumah. "Kamu, kamu mau pergi kemana Dek? Tolong jangan tinggalin aku."Mendengar permohonan Santoso, hati Fatma secepat kilat merasa jijik. Ia teringat bagaimana pria itu berselingkuh di belakangnya tanpa merasa menyesal.Mengembuskan napas kasar di udara, Fatma memalingkan muka dari Santoso. "Aku mau pergi Mas. Tolong jangan halangi niatku.""Please Dek, jangan seperti itu. Aku, aku masih mencintaimu Dek. Selama ini aku hanya khilaf, tolong maafkan aku Dek." Santoso kembali memohon, ia meraih tangan wanita itu lalu menggenggamnya.Secepat kilat, Fatma menghempaskan tangan Santoso. Mata wanita itu menyorot tajam, "Kamu khilaf Mas? Aku rasa itu
Rasa lelah yang Fatma rasa tidak sebanding dengan rasa kesal yang ia rasakan ketika mendapati suami tercintanya berani berselingkuh hanya karena ia tidak bisa memberikan anak.Fatma sadar, tidak bisa hamil adalah kekurangannya yang paling besar. Hanya saja, tidak bisakah Santoso tidak menjadikan hal itu sebagai alasan dasar dia berselingkuh?!Menghela napas yang entah sudah berapa kali ia lakukan, Fatma menghentikan langkahnya yang lelah pada sebuah perumahan. Ia tertarik pada tulisan 'Tersedia Kamar kosong' yang terdapat pada salah satu sudut rumah.Wanita itu tertegun sedikit lama, mengusap peluh yang sedari tadi membasahi dahi dan juga lehernya. Sungguh, ia harus mencari tempat beristirahat sekarang."Assalamualaikum," sapa Fatma setelah menepi dan berdiri di ambang pagar rumah."Wa'alaikum salam," ucap seseorang dari dalam rumah. Suara khas pria menjawab salamnya, tak lama kemudian sosok yang ia nantikan muncul di ambang pintu.Mata Fatma membulat, begitu pun dengan pria yang menj
Sungguh tidak habis pikir jika nomer baru itu mengiriminya foto dan video syur antara suaminya dengan si pelakor. Seolah belum sembuh dengan luka yang kemarin, hari ini luka itu kembali dibedah jauh lebih dalam lagi.Dengan jari-jarinya yang gemetaran, Fatma meraih ponselnya dan menatap foto serta video yang dikirimkan kepadanya.[Lihat suamimu, dia bahkan masih bersemangat untuk mengajakku tidur bersama. Apakah dia bisa tidur sepulas ini jika bersamamu? Ah, aku rasa tidak.]Fix, nomer baru ini pasti milik Wati. Dasar pelakor!Fatma menahan mulutnya untuk tidak berteriak dan menangis, ia melihat foto-foto itu dengan detail. Foto yang menggambarkan kemesraan mereka diatas ranjang dengan busana minim dan tidak pantas dipertontonkan.[Apakah suamimu sering memelukmu saat tidur? Kenapa ia senang sekali menciumi dadaku ya? Ah, aku baru ingat. Dia pernah bilang bahwa punyamu sangat datar dan keras. Kasian sekali, Mas Santoso yang malang. ][Oh, hampir kelupaan Sayang. Coba kau tengok video