"Mas Santoso?" Wati terkejut dengan kehadiran Santoso yang menurutnya begitu tiba-tiba. Wanita itu berniat untuk lari namun apa daya tangan Santoso yang kekar kini telanjur mencekal pergelangan tangannya. "Lepaskan tanganmu, Mas!""Tidak, aku tidak akan melakukannya sebelum kamu jelasin semuanya padaku," kekeh Santoso justru semakin erat dalam dalam mencengkeram."Mas, sakit Mas! Kamu gila apa?!" seru Wati sambil berontak dari tangan Santoso. "Hal apa lagi yang perlu dijelaskan? Semua sudah jelas Mas, kita sudah tidak memiliki hubungan sekarang.""Bukan itu," tandas Santoso dengan sigap. Mata pria itu membara merah seperti apa di pembakaran, dengan jiwa emosi yang ia punya kemarahan Santoso benar-benar meledak sekarang. "Jelaskan padaku, ada apa dengan diriku di kantor? Kamu sengaja kan jatuhkan aku di depan Mister Je supaya aku dipecat?"Wati terdiam beberapa detik, ia lantas terkekeh keras. "Mana aku tahu Mas, kuasa orang atas kamu tahu sen
Fatma mengangguk begitu saja, entah kenapa ia merasa kasihan dengan keadaan Santoso yang saat ini begitu buruk dan memprihatinkan. Menoleh sejenak ke arah toko, Fatma menatap Mbak Lastri yang berdiri di ambang pintu. Dari tatapan itu, Fatma seolah meminta ijin atasannya untuk pergi mengobrol sejenak bersama sang mantan suami."Mas, apakah kamu sudah makan?" Fatma bertanya dengan pelan, ia menatap kasihan ke arah Santoso yang terlihat kosong dan tidak bertenaga.Pria itu menggeleng, hanya mampu menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang kian membuncah.Fatma menarik napas, "Ayo pergi ke warung makan Mas, akan kubelikan kamu semangkok bakso panas."Wanita berhijab rapi itu melangkahkan kaki terlebih dahulu menuju ke warung makan yang terdapat di sebelah toko milik Mbak Lastri."Bu, semangkok bakso dan segelas teh manis hangat ya." Fatma memesan bakso pada sang penjual bakso yang sudah lama ia kenal semenjak kerja bersama Mbak Lastri.
Setelah menyusun rencana untuk hari pernikahan selama sebulan lamanya, pernikahan Fatma dengan Arif akhirnya terlaksana juga. Atas keinginan Fatma, wanita itu menginginkan suasana pernikahan yang sederhana dan suci tanpa mengurangi kesakralan.Meskipun Arif mengusulkan acara pernikahan yang mewah, Fatma menolaknya secara halus. Bagi Fatma, ada baiknya jika uang itu ditabung saja untuk membeli beberapa asset ketimbang untuk pesta yang hanya berlangsung sekejap mata.Fatma dan Arif menyebar undangan hanya beberapa ratus lembar. Mereka hanya ingin mengundang sanak saudara, sahabat, dan juga beberapa tetangga dekat. Bagi mereka, kesederhanaan jauh lebih baik daripada kemewahan yang mengundang kebencian tak terlihat dari beberapa orang.Siang itu keluarga Pakdhe Suryo juga tengah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Fatma. Mereka turut diundang dalam acara pernikahan suci lagi sakral tersebut. Keluarga Pakdhe tetap menghargai Fatma meskipun sekarang sud
"Cincin siapa yang kamu pakai itu Mas? Kenapa mirip seperti cincin nikah?"Santoso terpaku sesaat, ia lalu melirik ke jari manis tangan kanannya dimana cincin emas itu tersemat. "Oh, ini? Cincin ini pemberian dari almarhumah ibu, Dek.""Kok aku baru liat ya Mas?" Fatma mengerutkan kening, menghentikan aktifitasnya menyendok nasi saat mereka tengah sarapan pagi."Iya, cincin ini dititipkan ke Ratna. Baru kemarin Ratna ngasihnya ke aku, kamu tahu sendiri 'kan kalo adikku itu orangnya pelupa," jawab Mas Santoso dengan enteng lalu menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.Fatma diam, ia memilih untuk tidak bertanya lagi kendati banyak pertanyaan yang muncul di dalam benaknya.Cincin itu tipe cincin modern dimana di bagian tengah ada permata kecil berwarna putih, yang berkilau cantik tatkala tertimpa sinar matahari atau cahaya lampu. Lantas, haruskah Fatma percaya jika itu cincin dari almarhumah ibu? Toh, ibu orang yang kuno dan tidak suka neko-neko. Masak iya Ibu punya cincin seperti it
Setelah menemukan surat dari toko emas tersebut, Fatma memilih untuk menyimpannya di dalam dompet. Niatnya untuk membeli sabun cuci urung, kebetulan ketika memeriksa lemari penyimpanan sabun ia masih menemukan sisa stok sabun minggu lalu.Sehabis mencuci piring, Fatma bergegas menghampiri ponselnya yang tergeletak di dalam kamar. Soal cincin emas itu sungguh-sungguh mencuri perhatiannya sehingga ia memiliki niat untuk menelpon Ratna dan menanyakannya secara langsung."Hallo Mbak Fatma, ada apa? Tumben pagi sekali udah telepon?! Mau tanya resep sayur atau bikin sambal ya mbak," goda Ratna ketika mengangkat telepon dari Fatma."Bukan Ratna, hari ini aku nggak tanya resep dulu," jawab Fatma dengan wajah bersemu merah. Saking seringnya bertanya resep-resep pada adik iparnya, Ratna sampai hafal kebiasaan Fatma."Lalu apa mbak? Kayaknya penting ya?" Ratna menebak, cekikikan yang terlontar dari bibirnya mendadak lenyap dan tergantikan dengan nada serius."Iya Ratna, mbak mau tanya soal cinci
Fatma adalah istri yang baik, meskipun hidupnya sederhana ia sama sekali tidak mengeluh. Pernikahannya dengan Santoso sudah berjalan delapan tahun dan sampai sekarang mereka belum dikarunia anak. Kendati begitu, Santoso sama sekali tidak pernah menyudutkannya mengenai hal ini. Hal yang tentu saja sangat disyukuri Fatma karena memiliki suami sebaik dan sepengertian Santoso.Kehadiran cincin emas itu tentu saja mencubit hati Fatma. Cincin itu bukan cincin kawin melainkan cincin yang baru saja dibeli. Sementara itu Fatma sendiri merasa bahwa Santoso selama ini tak pernah memakai cincin karena tidak suka mengenakannya tapi kenapa pagi ini Santoso berbeda? Apakah mungkin minat seseorang bisa berubah begitu saja?!Setelah menata semua menu makan siang di dalam wadah kesayangan Fatma, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu tersenyum lebar. Sebentar lagi ia akan pergi ke pabrik kayu tempat suaminya bekerja dan mengantarkan makan siang. Hal yang tumben sekali dilakukan Fatma hanya demi men
Sore itu Mas Santoso pulang tepat waktu seperti biasa. Tidak ada hal mencurigakan yang terlihat di wajah pria berusia tiga puluh lima tahunan itu. Melihat Fatma yang tengah menyirami bunga mawar di pot-pot koleksinya, Mas Santoso yang baru saja turun dari motor maticnya datang menghampiri dan mengecup kening istrinya."Sore Sayang, masak apa nih?! Mas udah lapar," ucap Mas Santoso dengan wajah berbinar seusai mengecup kening Fatma.Wanita itu masih diam, tubuhnya terlalu kaku untuk membalas tatapan suaminya tersebut. Dulu, sebelum ia melihat kejadian itu tepatnya tadi siang, ia selalu berbunga-bunga ketika melihat motor matic suaminya datang. Fatma juga akan menyambutnya dengan riang, meletakkan selang air dan memeluk suaminya dengan manja.Tapi kini—bahkan aroma minyak wangi Mas Santoso pun sudah bercampur dengan aroma minyak wangi lain yang Fatma yakini mungkin itu minyak wangi milik sang wanita simpanan."Kok diam sih?! Ada apa? Mas tanya loh," ucap Mas Santoso sambil menepuk pipi
"Ada apa Dek?" Santoso tiba-tiba menegur keberadaan Fatma yang berdiri di depan ponsel miliknya. Wajah pria itu menegang, ia berjalan mendekati Fatma seraya berkalung handuk dan bertelanjang dada. "Kamu buka-buka ponsel milik Mas?""Oh, enggak kok Mas. Tadi bunyi sih tapi belum sempat aku liat dari siapa?!" Fatma pura-pura tidak tahu, ia menoleh ke arah suaminya lalu tersenyum. "Ini mau aku buka.""Ah, nggak usah Dek. Palingan cuma spam dari tukang kredit ponsel yang suka nawarin kredit ponsel." Santoso datang, ia dengan buru-buru mengambil ponselnya lalu membawanya masuk ke dalam kamar. "Dek, kamu udah siapin kemeja buatku belum?""Belum Mas, aku siapin dulu ya?!" Fatma lalu berjalan menyusul suaminya ke dalam kamar. Wanita itu melirik sejenak ke arah suaminya yang nampak sibuk dan fokus pada pesan WhatsApp yang baru saja dikirim kepadanya.Wajah Fatma nampak kecewa, pikirannya terus saja berputar saat membaca pesan singkat yang katanya dari Pak Bambang tersebut. Saking tidak fokusny