Fatma terus menatap Santoso dengan bola mata menyorot tidak percaya. Pria yang tengah membaluri kakinya yang tidak apa-apa itu dengan balsem terlihat begitu perhatian dan juga lemah lembut. Sungguh tak percaya, dibalik wajahnya yang rupawan dan sikapnya yang polos serta baik hati, Santoso sanggup menghianati pernikahan mereka secara diam-diam.
Melihat istrinya terus menatap aneh ke arah Santoso, pria berwajah tirus itu mengerutkan kening. Tangan kanannya berhenti mengoleskan balsem, ia menatap balik ke arah istrinya. "Sayang, ada apa? Kenapa menatap Mas seperti itu?"Fatma tersadar seketika. Wanita berparas biasa itu segera menggeleng dengan cepat dan mengulas senyum. "Tidak Mas. Makasih ya Mas sudah bantuin aku hari ini."Santoso tersenyum, ia kembali melanjutkan aktifitasnya membaluri kaki Fatma dengan balsem. Ia tidak tahu jika kaki yang sedari tadi ia baluri balsem sama sekali tidak sakit dan bisa berjalan dengan sehat."Itu sudah tugas Mas sebagai suami, Sayang." Santoso menjawab dengan tenang, siapa pun pasti tidak akan percaya dengan gerak-geriknya ini bukan?! "Sekarang mari kita tidur. Semoga besok kakinya udah enakan dan bisa jalan lagi ya?!"Fatma pura-pura tersenyum meskipun dibalik senyum itu ia tengah memendam bara api yang ingin sekali meledak melalui ubun-ubunnya.Fatma lantas merebahkan diri di atas ranjang, menunggu Santoso yang sedang mengembalikan obat-obatan ke ruang dapur. Wanita itu mengerjapkan mata, butuh kesabaran besar untuk bisa membuka kedok suaminya dengan begitu halus."Selamat tidur ya Sayang," bisik Santoso sekembalinya ia dari dapur. Merebahkan diri di samping Fatma, Santoso tersenyum tipis lalu mengecup kening istrinya dengan lembut. "Selamat malam, semoga mimpi indah istriku."**Pagi itu sebelum pukul enam, Fatma menyaksikan suaminya sudah rapi memakai kemeja putih dan juga jas kesayangannya yang berwarna abu-abu untuk segera pergi ke kantor. Fatma membuka mata, ia bahkan belum menyiapkan sarapan untuk suaminya.Perlahan beringsut bangun, perasaan Fatma kembali campur aduk ketika melihat suaminya mematut diri di kaca untuk segera berangkat pagi."Wah, sudah bangun ya?!" Santoso menyapa, ia tersenyum manis pada Fatma ketika ia tahu istrinya telah bangun dari tidur panjang."Mas udah mau berangkat?" Fatma memastikan, hatinya tergigit saat ia membayangkan bahwa pria itu berangkat pagi hanya untuk menemui simpanannya itu."Iya Sayang, tadi malam aku pergi meninggalkan rapat lebih cepat. Tidak enak kalo tidak melihat hasilnya lebih awal toh nanti aku bertanggungjawab menyampaikan hasil meeting ke atasan." Santoso beralasan, ia terus menatap pantulan dirinya yang tengah memakai dasinya seorang diri.Fatma terdiam, rasanya ia ingin berteriak sekencangnya. Rapat apa yang dia maksud? Rapat dengan simpanannya, maksudnya?! Getir rasanya membayangkan alasan itu, alasan yang dibuat-buat supaya ia segera lepas dari dalam rumah.Wanita itu menunduk, ia harus punya cara untuk menahan Santoso di rumah. Perasaan Fatma mengatakan jika suaminya berangkat pagi hanyalah kedok dimana ia akan menjumpai wanita itu dan memohon maaf atas kepergiannya tadi malam. Huh... Santoso pintar juga mencari alasan."Tapi Mas, aku belum bisa buatin sarapan untuk kamu. Kakiku masih sakit, hari ini entah apa aku bisa beraktifitas seperti biasa atau tidak." Fatma menunduk, wajahnya dibuat semurung mungkin.Santoso menoleh ke arah istrinya yang duduk di atas ranjang, wajahnya ikut murung setelah mendengar pernyataan Fatma. "Tidak perlu memikirkan sarapan, Mas sudah bikin nasi goreng tadi. Nanti kita sarapan bersama-sama ya?!"Fatma menatap Santoso, ia tidak menanggapi ucapannya. Wanita itu lantas menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, turun dari ranjang dengan pura-pura kaki yang masih sakit."Kamu yakin bisa berjalan sendiri?" Santoso memastikan, ia mengerutkan kening saat melihat Fatma berusaha bangun dan berjalan.Fatma menatap Santoso sejenak, haruskah ia menjalani sandiwara yang kedua?Wanita itu mencoba berjalan dengan pincang seolah-olah ia memang merasakan rasa sakit yang sangat dalam. Tidak! Fatma tidak akan membiarkan pria ini bertemu dengan simpanannya lagi di kantor.Berbekal alasan itu, Fatma kembali bersandiwara. Di hadapan Santoso, Fatma pura-pura ambruk dan kesakitan. "Mas ... Mas... Aaww...!"Santoso dengan sigap membantu fatma bangun dari jatuhnya, pria itu menatap istrinya dengan khawatir. "Mas panggilkan dokter saja ya?! Mas khawatir kamu ada apa-apa kalo Mas tinggal ke kantor.""Kakiku masih sakit Mas, nyeri rasanya." Fatma mengeluh, ia berekspresi kesakitan di depan suaminya."Iya, makanya panggil dokter ya?" Santoso membujuk, ia memapah istirnya menuju ke ruang dapur sesuai dengan permintaan Fatma.Wanita itu menggeleng cepat, "Nggak Mas, aku takut disuntik dokter.""Lalu bagaimana? Kamu mau sakit seperti ini terus-terusan?" Santoso mulai bete dengan kebengalan Fatma. Keduanya kini berjalan pelan menuju ke dapur, benar saja di sana sudah tersedia dua porsi nasi goreng buatan Mas Santoso."Aku nggak mau ke dokter Mas. Nanti kalo ke dokter terus didiagnosa aneh-aneh, aku malah kepikiran lagi." Fatma menemukan alasan jitu, tidak menginginkan kehadiran Dokter di rumah karena memang kenyataannya dia sama sekali tidak sakit.Fatma lantas didudukkan di kursi, Santoso tak mengomentari apa yang dikatakan sang istri. Keduanya kini ada di dapur, Fatma menemani Santoso sarapan pagi sambil menatapnya dengan tajam."Mas, hari ini nggak usah masuk kerja dulu ya?!" Fatma memberanikan diri untuk bicara, jantungnya berdebar hebat. Sungguh, ia sangat takut jika Santoso akan marah dengan permintaannya."Tidak bisa Sayang, tadi malam aku sudah meninggalkan rapat demi kamu. Sekarang aku tidak bisa meninggalkan kerjaku demi kamu juga. Kamu paham 'kan?! Sekarang jabatanku naik, Fatma. Aku tidak bisa seenaknya sendiri." Santoso mengutarakan isi hatinya, ia lantas memulai sarapan paginya dengan lahap. Jujur saja, Fatma kecewa dan ketar-ketir mendengar alasan itu.Suara ketukan pintu di ruang utama membuat keduanya menoleh ke arah pintu depan. Santoso mengerutkan kening, merasa heran dengan orang yang bertamu sepagi ini."Siapa ya?!" Santoso bergumam lirih, ia menatap Fatma sejenak lalu bangkit dari duduknya. "Mas bukain pintunya dulu ya, kamu di sini saja.""Nggak usah Mas, biar aku saja yang buka." Fatma mencegah, tidak enak hati jika harus mengganggu Santoso yang tengah sarapan dengan nikmat."Kamu yakin bisa jalan ke sana?" Santoso ragu namun ia kembali duduk di kursinya. Fatma tersenyum lalu mengangguk, ia berdiri dan pura-pura jalan pincang ke arah pintu utama.Rasanya memang tidak sabar berjalan demikian namun demi menggagalkan keinginan sang suami pergi ke kantor, Fatma rela melakukan apa pun termasuk pura-pura pincang dan lemah.Setibanya di depan pintu utama, Fatma membuka kunci pintu lantas membukanya dengan lebar. Mata Fatma terpaku, ia terdiam seribu bahasa ketika melihat sosok wanita cantik berdiri di hadapannya.Rasa sakit Fatma menggumpal dengan cepat, wanita ini adalah wanita yang ia lihat bersama Mas Santoso tadi malam. Untuk apa ia datang kemari? Untuk apa?!"Hallo, apakah Mas Santoso-nya ada?" Wanita itu tanpa basa-basi langsung menanyakan suami Fatma. Wajah yang ayu, putih mulus, dengan pakaian yang lumayan seksi cukup membuat otak Fatma panas pagi itu."Anda siapa? Kenapa mencari suami saya?" Fatma berkata lirih, firasatnya berkata bahwa ini sungguh tidak baik untuk dirinya.Wanita yang terlihat angkuh itu tersenyum sinis, alih-alih menjawab ia justru menatap penampilan Fatma dari ujung kaki sampai ujung kepala. Kurang ajar sekali!"Ternyata benar ya?! Pantas saja," gumamnya lirih tapi mampu sampai ke telinga Fatma."Apa maksudnya? Anda ini siapa?" Fatma mencuramkan alis, tidak suka dengan gaya bicaranya yang sombong."Sayang, siapa tamunya? Kok lama sih?!" Santoso bertanya dari arah dapur, ia cukup penasaran karena Fatma tak kunjung kembali ke meja makan.Wanita itu menatap ke arah dalam dengan tatapan curiga. Mengalihkan pandangan ke arah Fatma, wanita itu menatap tajam ke arah sang istri sah. "Sebentar lagi kamu pasti akan tahu siapa saya, Nyonya Fatma."***Halo pembaca, jangan lupa save library dan follow akun saya ya. Terima kasih 🧡Setelah menyusun rencana untuk hari pernikahan selama sebulan lamanya, pernikahan Fatma dengan Arif akhirnya terlaksana juga. Atas keinginan Fatma, wanita itu menginginkan suasana pernikahan yang sederhana dan suci tanpa mengurangi kesakralan.Meskipun Arif mengusulkan acara pernikahan yang mewah, Fatma menolaknya secara halus. Bagi Fatma, ada baiknya jika uang itu ditabung saja untuk membeli beberapa asset ketimbang untuk pesta yang hanya berlangsung sekejap mata.Fatma dan Arif menyebar undangan hanya beberapa ratus lembar. Mereka hanya ingin mengundang sanak saudara, sahabat, dan juga beberapa tetangga dekat. Bagi mereka, kesederhanaan jauh lebih baik daripada kemewahan yang mengundang kebencian tak terlihat dari beberapa orang.Siang itu keluarga Pakdhe Suryo juga tengah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Fatma. Mereka turut diundang dalam acara pernikahan suci lagi sakral tersebut. Keluarga Pakdhe tetap menghargai Fatma meskipun sekarang sud
Fatma mengangguk begitu saja, entah kenapa ia merasa kasihan dengan keadaan Santoso yang saat ini begitu buruk dan memprihatinkan. Menoleh sejenak ke arah toko, Fatma menatap Mbak Lastri yang berdiri di ambang pintu. Dari tatapan itu, Fatma seolah meminta ijin atasannya untuk pergi mengobrol sejenak bersama sang mantan suami."Mas, apakah kamu sudah makan?" Fatma bertanya dengan pelan, ia menatap kasihan ke arah Santoso yang terlihat kosong dan tidak bertenaga.Pria itu menggeleng, hanya mampu menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang kian membuncah.Fatma menarik napas, "Ayo pergi ke warung makan Mas, akan kubelikan kamu semangkok bakso panas."Wanita berhijab rapi itu melangkahkan kaki terlebih dahulu menuju ke warung makan yang terdapat di sebelah toko milik Mbak Lastri."Bu, semangkok bakso dan segelas teh manis hangat ya." Fatma memesan bakso pada sang penjual bakso yang sudah lama ia kenal semenjak kerja bersama Mbak Lastri.
"Mas Santoso?" Wati terkejut dengan kehadiran Santoso yang menurutnya begitu tiba-tiba. Wanita itu berniat untuk lari namun apa daya tangan Santoso yang kekar kini telanjur mencekal pergelangan tangannya. "Lepaskan tanganmu, Mas!""Tidak, aku tidak akan melakukannya sebelum kamu jelasin semuanya padaku," kekeh Santoso justru semakin erat dalam dalam mencengkeram."Mas, sakit Mas! Kamu gila apa?!" seru Wati sambil berontak dari tangan Santoso. "Hal apa lagi yang perlu dijelaskan? Semua sudah jelas Mas, kita sudah tidak memiliki hubungan sekarang.""Bukan itu," tandas Santoso dengan sigap. Mata pria itu membara merah seperti apa di pembakaran, dengan jiwa emosi yang ia punya kemarahan Santoso benar-benar meledak sekarang. "Jelaskan padaku, ada apa dengan diriku di kantor? Kamu sengaja kan jatuhkan aku di depan Mister Je supaya aku dipecat?"Wati terdiam beberapa detik, ia lantas terkekeh keras. "Mana aku tahu Mas, kuasa orang atas kamu tahu sen
Fatma terdiam, tatapannya fokus pada Arif yang tengah mengungkapkan perasaan terhadap dirinya. Entah apa yang ia rasakan sekarang, yang jelas ada perasaan haru dan hangat di dalam hatinya."Fat, kamu mengerti kan maksudku?" Arif menyadarkan lamunan Fatma sejenak, tampak wajah Arif sudah memerah menahan malu. Ia langsung menunduk dengan pikiran macam-macam. "Maaf, mungkin caraku melamar kamu terlihat kekanak-kanakan tapi aku sudah berusaha untuk mengatakan yang sebenarnya padamu. Seperti yang kamu tahu, aku terlalu tua untuk main lamar-lamaran menggunakan cara ini."Melihat ketulusan Arif, tanpa sadar bibir Fatma melengkung. Ia merasa lucu sekaligus kagum pada Arif. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di sisi pria itu entah sebagai teman atau partner kerja, Fatma tidak menduga jika Arif akan melamarnya."Kenapa kamu tersenyum? Bener kan?! Caraku sepertinya salah dalam melamarmu," gusar Arif sambil menggigit bibir. Ia menunduk untuk menutupi kekesalan
"Santoso... Santoso, Pakdhe nggak habis pikir apa yang merasuki otakmu saat ini," ungkap Pakdhe Suryo sambil menggelengkan kepala. "Setelah kamu tersandung masalah, ujung-ujungnya kamu juga tetep sambat sama si orangtua ini. Mbok kamu sadar, kamu itu sudah diingatkan di lain hari tapi kamu masih saja tetep ngeyel. Sekarang, setelah semuanya telanjur, kamu kan yang jadi pihak sakit hati."Santoso hanya menunduk, penampilannya yang lusuh dan tidak terurus membuat Pakdhe Suryo merasa prihatin. "San, Pakdhe nasehatin kamu sampai ancam-ancam itu bukan karena Pakdhe syirik, Pakdhe benci, itu bukan. Pakdhe cuma pengen kamu tuh nggak salah jalan. Wati itu sedari awal Pakdhe lihat, ia sepertinya memiliki gelagat aneh. Pakdhe nggak suka San, nggak suka.""Sudahlah Pakdhe, jangan diomelin terus Mas Santoso-nya. Setidaknya dengan kejadian ini Mas Santoso sadar dan terbuka mata hatinya soal Wati." Ratna menengahi teguran Pakdhe Suryo.Sebagai adik, Ratna sendiri t
"Aku mohon, kembalilah kepadaku. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi."Fatma terdiam. Ini bukan kali pertama Santoso memohon dirinya seperti ini. Dulu sewaktu ia kepergok dengan wanita itu, ia juga meminta hal yang sama kepada Fatma.Menarik napas panjang, Fatma melepas tautan tangan Santoso secara perlahan. "Tidak semudah itu Mas. Lukaku yang lama saja belum sembuh dan apa ini? Kau ingin kembali karena kau merasa tersakiti?!"Fatma menggeleng lalu menunduk, "Aku pernah tersakiti Mas tapi aku tidak pernah memintamu untuk kembali padaku."Santoso terbungkam, ia menunduk dengan wajah pasrah. Penampilannya yang buruk memang tidak pantas untuk diperhitungkan."Jika Wati menyakitimu, itu adalah resiko yang harus kamu tanggung karena kamu sudah memilih dia sebagai pasanganmu Mas. Peduliku apa? Tidak. Aku sama sekali tidak simpati dengan apa yang terjadi pada dirimu." Fatma menarik napas, ia menatap Santoso. "Hadapi semuanya Mas,