"Mas, kakiku terkilir, ini sangat sakit. Tolong ya Mas, kamu pulang. Aduh... Aduh..." Layaknya bintang sinetron di FTV Fatma bersandiwara dibalik panggilan teleponnya.
Dengan suara menahan sakit sambil sesekali merintih kesakitan, Fatma menirukan adegan orang yang tengah jatuh terpeleset. Tak sia-sia selama ini ia menonton serial FTV dimana ia bisa belajar untuk bersandiwara di depan laki-laki.Mendengar Fatma merintih kesakitan, wajah Santoso memucat. Pria itu memijit pelipisnya dengan gestur tubuh penuh dengan rasa resah. "Baik-baik, aku akan segera pulang. Kamu jangan bergerak ya, aku takut luka di kakimu jadi semakin parah.""I-iya Mas, aduh... Sakit banget Mas. Cepetan pulang Mas, aku nggak tahan ini. Aww...." Fatma pura-pura berteriak, memekik seolah-olah ia benar-benar terkilir malam itu."Iya, ini juga mau pulang. Kamu tutup teleponnya dan tunggu aku ya, oke aku tutup panggilannya sekarang." Santoso lalu mematikan panggilan tersebut, ia menatap ponselnya sejenak lantas mengalihkannya ke arah Wati."Ada apa sih Mas kok sepertinya penting sekali?! Siapa yang sakit Mas? Ehm... Jangan-jangan istri tuamu itu ya?!" Wati mencuramkan alis, ia lalu bersandar pada kursi dan bersedekap dengan kesal. "Kenapa sih Mas tiap kali mau ketemu kamu aja susahnya kayak gini?! Kapan kamu mau menceraikan Fatma hah?! Aku capek Mas kucing-kucingan kayak gini terus.""Wati, aku mohon jangan marah seperti itu," hibur Santoso dengan memasang wajah memelas. Ia menyentuh tangan wanita itu dan meremasnya lembut. "Aku belum bisa menceraikannya, Sayang. Dalam hidupku, dia turut andil banyak. Selama ini dia banyak membantu usahaku, jika aku tiba-tiba menceraikannya aku takut dia akan sakit hati dan justru menuntut.""Lalu kita bagaimana Mas? Aku udah belikan kamu cincin, itu artinya aku sudah serius sama kamu Mas. Ingat Mas, apa sih kelebihan Fatma itu?! Dia cuma wanita kere Mas. Dibandingkan aku, aku ini cantik, seksi, bodiku body goal. Dan kamu, kamu kalo butuh duit pun aku bisa kasih berapa pun kamu mau.""Iya Mas percaya kok, kamu memang yang terbaik dari yang terbaik. Mas usahain ya biar kami bisa berpisah dengan baik-baik tanpa ada kecurigaan dari pihak Fatma." Santoso terus menghibur sambil mengelus-elus tangan Wati yang lembut dan tidak sekasar tangan milik Fatma. "Sekarang aku harus pulang, Fatma jatuh di kamar mandi dan kakinya terkilir. Dia butuh bantuanku, Wati.""Halah, itu alasan dia aja Mas supaya kamu tidak sama aku." Wati kesal, ia menepis tangan Santoso lalu memalingkan wajah ke sisi lain."Sayang, jangan seperti itu dong. Bagaimanapun dia istri sahku, aku harus tetap menghargai dia. Sekarang aku balik dulu ya, kapan-kapan aku puasin kamu semalaman suntuk. Oke?!" Santoso lalu bangkit dari duduknya, meraih kepala Wati lalu meninggalkan satu kecupan hangat di keningnya.Wati hanya merengut ketika melepas Santoso dari hadapannya. Ada perasaan tidak ikhlas dan marah, setiap kali ia menginginkan Santoso pasti ada saja halangan yang menyertainya. Kenapa? Kenapa sulit sekali bersatu dengan Santoso?!Hmm, semua ini gara-gara Fatma! Jika wanita itu tidak ada maka Wati pasti dengan mudah bisa menikahi Santoso dan memilikinya seumur hidup. Apakah- apakah ia perlu menyewa seseorang untuk menghabisi nyawanya?!**Fatma menunggu kedatangan Santoso dengan perasaan harap-harap cemas, kedua tangannya saling meremas, bibirnya tak luput dari gigitan bibirnya. Apakah pria itu akan benar-benar pulang untuk dirinya?!Setelah menelpon dan berpura-pura jatuh di kamar mandi, Fatma bergegas pulang menggunakan ojek online. Fatma merencanakan sandiwara berikutnya dimana ia harus pura-pura jatuh di kamar mandi kamar.Penantian Fatma di depan jendela rumah sambil menunggu kepulangan Santoso akhirnya berbuah manis juga. Santoso akhirnya pulang dengan cepat, ia memarkir motor matiknya di depan rumah dan bersiap untuk masuk.Melihat hal itu, Fatma yang menunggunya dibalik gorden jendela ruang tamu segera berlari masuk ke kamar mandi untuk pura-pura jatuh. Untuk mendramatisir keadaan, Fatma tidak lupa menumpahkan sabun mandi, odol, dan sikat gigi ke lantai kamar mandi seolah ia beneran jatuh sore itu."Fatma... Kamu dimana?" Santoso berteriak di ruang tamu, ia nampak memanggil nama istirnya dengan nada sedikit panik.Jantung Fatma berdebar, mungkinkah sandiwara ini akan berhasil?!"Di kamar mandi Mas, tolong aku!" Fatma merintih dengan lirih seolah tidak ada tenaga sama sekali. Ia sengaja membasahi rok panjangnya dengan air sambil duduk bersimpuh dan kakinya tertekuk seolah memang benar-benar keseleo.Santoso berjalan cepat menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamar, jantungnya berdebar saat melihat pintu kamar mandi itu setengah terbuka dengan pemandangan yang begitu berantakan. Ya, Fatma benar-benar jatuh, ia tidak berbohong seperti yang diduga Wati di hotel tadi."Fatma kamu kenapa Sayang? Kenapa bisa seperti ini?!" Santoso panik, ia melihat istrinya terkulai jatuh terduduk dengan kaki yang tertekuk."Sakit Mas, kakiku terkilir nggak bisa digerakin. Tolong aku Mas," rintih Fatma dengan wajah memelas hendak menangis."Iya Sayang, Mas gendong ya?!" Santoso lantas membantu Fatma untuk keluar dari kamar mandi. Pria itu segera membopong istrinya, memindahkannya ke atas ranjang dengan wajah serius.Fatma menggigit bibir, ia mengalungkan kedua tangannya di leher Santoso. Sungguh tidak percaya bahwa pria yang berpenampilan lembut di hadapannya ini justru berselingkuh dan memainkan peran dengan begitu amat keji."Sayang yang sakit bagian mana? Mas olesi balsem ya biar agak enakan," ucap Santoso dengan lembut setelah berhasil membawa Fatma ke atas ranjang."Bagian pergelangan kaki sama bokong aku Mas rasanya sakit karena terpeleset tadi," ucap Fatma lirih seraya mencengkeram sprei seolah-olah ia tengah menahan sakit di tubuhnya.Santoso menganggukkan kepala, ia bangkit dari sisi ranjang lalu mengusap peluhnya di dahi. "Mas cari balsem di kotak P3K di ruang tamu dulu ya?!"Fatma mengangguk, ia menatap Santoso yang berbalik badan meninggalkan dirinya. Wanita itu menyipitkan mata, terus menatap punggung suaminya yang menjauh. Sungguh tidak percaya, pria yang terlihat lugu dan tidak neko-neko itu justru memainkan peran paling keji di dalam pernikahannya.Wanita berambut panjang itu mengepalkan tangan, ia merasa tersakiti setelah membayangkan bagaimana Santoso bisa bersikap mesra dengan wanita lain selain istrinya sendiri. Fatma menarik napas dalam-dalam, ia memejamkan matanya sejenak. "Aku tidak akan kalah dengan wanita itu Mas, aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak rumah tangga kita. Meskipun dia cantik dan kaya, aku pasti bisa mengalahkannya."**Fatma terus menatap Santoso dengan bola mata menyorot tidak percaya. Pria yang tengah membaluri kakinya yang tidak apa-apa itu dengan balsem terlihat begitu perhatian dan juga lemah lembut. Sungguh tak percaya, dibalik wajahnya yang rupawan dan sikapnya yang polos serta baik hati, Santoso sanggup menghianati pernikahan mereka secara diam-diam.Melihat istrinya terus menatap aneh ke arah Santoso, pria berwajah tirus itu mengerutkan kening. Tangan kanannya berhenti mengoleskan balsem, ia menatap balik ke arah istrinya. "Sayang, ada apa? Kenapa menatap Mas seperti itu?"Fatma tersadar seketika. Wanita berparas biasa itu segera menggeleng dengan cepat dan mengulas senyum. "Tidak Mas. Makasih ya Mas sudah bantuin aku hari ini."Santoso tersenyum, ia kembali melanjutkan aktifitasnya membaluri kaki Fatma dengan balsem. Ia tidak tahu jika kaki yang sedari tadi ia baluri balsem sama sekali tidak sakit dan bisa berjalan dengan sehat."Itu sudah tugas Mas sebagai suami, Sayang." Santoso menjawab
"Sebentar lagi kamu akan tahu siapa saya, Nyonya Fatma." Wanita itu berbisik dengan lembut dan manis. Alih-alih merasa penasaran, Fatma justru merasa ngeri dengan wanita tersebut."Siapa tamunya Sayang?" Santoso akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang makan, ia menyusul Fatma ke pintu utama dimana istrinya tengah berbincang dengan seseorang.Santoso terpaku sejenak saat melihat Wati berada di ambang pintu tengah tersenyum ke arahnya. Fatma bisa melihat senyum berbeda itu dari wajah wanita yang ada hadapannya lalu menoleh ke arah Santoso."Hallo Mas Santoso," sapa wanita itu dengan akrab, ia dengan berani melambaikan tangan ke arah Santoso.Sejenak wajah Santoso nampak gugup, ia terlihat tegang saat datang menghampiri Fatma dan juga Wati. "Ha-hallo Bu Wati, apa kabar?! Oh ya Fatma, perkenalan ini Bu Wati salah satu atasan Mas di kantor."Wati tersenyum sombong ke arah Fatma, ia mengulurkan tangan dengan anggun yang dibuat-buat. Fatma hanya diam, ia enggan untuk menyambutnya namun d
Wati menghentakkan kakinya di tanah, sungguh tak dapat dipercaya bahwa pria yang ia cintai justru lebih memilih bersama istri sahnya. Keadaan yang berbeda jauh dari angan-angan dimana Santoso sendiri sudah pernah berjanji akan selalu bersamanya dalam suka maupun duka.Membayangkan seringaian Fatma, wajah Wati rasanya terbakar. Ia ingin marah dan meluapkan semuanya.Menoleh ke arah rumah Santoso, kemarahan Wati masih berada di ubun-ubun. "Lihat saja Mas, kamu pasti akan menyesal karena sudah mengabaikanku."Wanita berpakaian lumayan seksi itu melangkah masuk ke dalam mobil. Sungguh tak terkira rasa hatinya sekarang, ledakan demi ledakan kini bergemuruh dalam dada.Memasuki ruang menyetir, Wati memakai sabuk pengaman. Bayangan Santoso dipeluk suaminya sendiri seolah terus menari di pelupuk mata. Wati menelan ludah dengan susah payah, rasa haus kini menyerang kerongkongannya."Haishh... " Napas Wati tampak memburu, ia memukul kemudi dengan kencang lalu menyugar rambutnya. "Kurang ajar se
"Telepon dari siapa Mas?" Fatma bertanya pada Santoso. Wanita berkulit bersih itu bisa membaca keresahan yang tergambar di wajah Santoso.Pria itu masih diam, bersungut tidak karuan. Duduk di kursi rias, ia menggaruk kulit kepalanya lalu meletakkan ponsel. "Ada klien yang memaksa untuk bertemu Sayang. Padahal aku sudah bilang kalo hari ini aku sedang cuti."Fatma hanya diam, meski demikian ia terus menelisik wajah itu hingga tanpa celah. Siapa bilang Fatma akan percaya setelah apa yang ia alami tadi malam. Tidak ada yang tahu juga siapa klien yang dimaksud Mas Santoso saat ini."Dia marah-marah katanya kalo nggak sama aku lebih baik kerjasamanya dibatalkan aja," ucap Santoso mengimbuhi. Ia melirik ke arah Fatma sejenak, membaca ekspresi yang terlihat di wajah istrinya."Tapi kamu kan udah bilang cuti Mas, ntar kalo nggak dibayar gimana? Sayang kan tenagamu Mas." Fatma mencoba mengulur waktu, ingin mendengar apa kira-kira alasan yang akan dilontarkan Mas Santoso setelah ini.Pria itu m
Siang ini tiada angin dan tiada hujan, Ratna—adik kandung Mas Santoso datang ke rumah. Fatma menyambutnya dengan begitu bahagia.Kebetulan sekali mereka belum pernah ketemu semenjak ibu meninggal tiga bulan yang lalu.Menuju ke dapur untuk membuatkan teh manis hangat, Fatma tidak lupa untuk menyambar toples Snack yang ia simpan di dalam lemari."Ah, Mbak Fatma nggak usah repot-repot dong. Aku tadi ke kecamatan terus pengen mampir ke sini," ucap Ratna di ruang tamu saat melihat kakak iparnya tengah membawa dua cangkir teh manis hangat dari dapur."Nggak kok, cuma air minum aja." Fatma tersenyum, ia menyajikan teh manis itu lengkap dengan camilan kacang telur buatannya."Wah, ini kacang telor kesukaanku Mbak." Ratna berbinar, ia meraih toples itu lalu membukanya dengan girang."Oh ya? Nanti bungkus bawa pulang ke rumah ya." Fatma tersenyum, ia lalu duduk di dekat Ratna. "Ayo diminum dulu teh manisnya.""Iya Mbak, makan kacang dulu." Ratna tanpa sungkan mengambil kacang telur lalu memaka
"Dek, kamu bicara apa sih Dek?!" Santoso mengatasi rasa gugup yang kini menyerang hatinya. Kedua tangannya mengepal erat, mencoba menetralkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bilamana Fatma bertanya lebih jauh lagi."Aku tanya Mas, siapa Pak Bambang ini? Kenapa, kenapa aku merasa kalian itu berbeda satu sama lain.""Ah, itu hanya perasaanmu saja Dek." Santoso lalu mengambil ponsel itu dari tangan Fatma. "Kamu tuh bawaannya curigaan melulu sih?! Kan kemarin aku sudah jelasin siapa Pak Bambang ini. Dia itu rekan kerjaku di kantor, apa-apa kerja sama dia. Dia tuh cowok loh Dek, masa iya aku mau jeruk maka jeruk sama dia. Yang bener aja."Fatma terdiam, bola matanya terus saja menghunjam sosok di hadapannya tanpa terlewat sedikit pun. Santoso membaca pesan itu sebentar lalu memasukkannya ke dalam saku celana. "Ayolah Sayang, jangan menatapku seperti itu.""Mas, aku bilang gini tuh karena feeling aku nggak enak. Masa iya kalo cuma rekan kerja aja bahasa buat chat kamu kayak gitu."
"Dek, angin mana lagi yang sudah meniupmu? Kenapa begitu gampang menghasut dirimu?!" Santoso menatap Fatma dengan wajah kecewa. Ia menggelengkan kepala ketika merasakan tabiat istrinya sekarang."Kalo mereka bilang A, apa kamu juga akan menuduhku berbuat A? Jika mereka bilang B, apa kau juga akan menuduhku berbuat B?! Dek, tolong dipikir sekali lagi. Apa kau kira aku tidak terluka dengan segala tuduhanmu itu."Diam sejenak, Fatma menatap Santoso. Rasa sakit di hatinya menjalar dengan cepat, perlahan ia mulai terbiasa dengan pengkhianatan yang dilakukan suaminya sendiri."Mas, jika kamu tidak aneh-aneh maka kamu tidak perlu berkilah seperti ini." Fatma berkata pelan, menatap Santoso yang terus saja menghindari tatapannya. "Apa susahnya kamu bilang jujur sama aku. Jika memang tidak ada yang aneh, kenapa kamu mempersulit keadaan ini Mas?!"Santoso terus saja diam, ia memperhatikan jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan. Menghela napas, ia memberanikan diri untuk menatap wajah istriny
Bab 14. Terus Berkilah"Mas, total sayurnya berapa ya?" Fatma bertanya pada sang penjual sayur, mengabaikan pertanyaan Bu Amel dan juga Bu Mawar."Sudah Bu? Ini saja?" Mas Joko, si penjual sayur keliling segera menghitung berapa total belanjaan Fatma hari ini. Sementara itu Bu Amel dan Bu Mawar hanya saling sikut satu sama lain."Iya Mas itu aja." Fatma mengiyakan sambil mengeluarkan uang lima puluhan ribu dari dompet kecil yang ia bawa.Mas Joko dengan telaten menghitung keseluruhan jumlah barang yang dibeli Fatma seraya memasukkannya ke dalam kantong plastik. "Totalnya jadi dua puluh lima ribu Bu."Fatma mengangguk, ia menyodorkan uangnya dan menunggu kembalian."Ini Bu kembaliannya. Makasih ya Bu.""Sama-sama Mas Joko," ucap Fatma sambil tersenyum. Wanita berkulit bersih itu memasukkan sisa uang belanja ke dalam dompet lalu menoleh ke arah Bu Mawar dan juga Bu Amel. "Ibu-ibu, saya balik dulu ya. Cucian saya banyak, harus segera nyuci mumpung hari ini panas. Mari Bu.""Iya Bu," jawa