Harshad sampai di depan kamarnya, pintu itu tertutup. Anya mengunci pintu dari dalam, beruntung pintu tersebut tidak hanya menggunakan kunci manual, tetapi juga sensor suara.
Hanya suara Harshad dan Bryan yang bisa membuka kamar itu, Bryan segera kembali ke ruang kerja tuan mudanya untuk melihat kerja Danu. Sedangkan Harshad, dia punya perasaan was-was, karena ada hal yang membuatnya trauma jika ada orang lain yang menodongkan pistol.
“Anya,” panggil Harshad. Dapat dia lihat Anya terlelap di atas ranjang, selimut sudah menutupi sebagian tubuh Anya. Lampu utama juga sudah mati, hanya lampu tidur di samping Anya yang menyala.
Harshad tersenyum, satu sama. Dia juga memiliki kesempatan memandang wajah Anya saat tidur. Harshad mendekat, menyalakan lampu tidur di seberang Anya. Melihat Anya tidur, mengingatkan Harshad pada seseorang yang sangat dia rindukan.
Dia tidak bisa lama-lama berada di kamar itu, tujuannya kesini hanya mengambil pistol yang disimpan Bryan di bawah bantal. Tangan Harshad menyela satu persatu bantal di ranjang tersebut, aroma ruangan sudah berganti menjadi aroma Anya.
Tuan muda Akandra tersebut berusaha menyedikitkan gerak, Anya juga ikut bergerak karena berada di ranjang yang sama. Tidak dia temukan pistol tersebut, dan hanya satu bantal yang belum dia periksa. Bantal yang dipakai Anya.
Harshad bergerak perlahan, menyangga kepala Anya dengan lengannya. Memindahkan bantal Anya dan baru terlihat pistol tersebut, beruntung Anya tak seperti dirinya, yang sangat mudah terganggu saat tidur.
Dia cepat berdiri setelah berhasil mengambil pistol tersebut. Harshad menggeleng pelan setelah mengetahui kalau pistol tersebut masih berisi peluru yang penuh dan siap tembak, sangat mengkhawatirkan. Semoga saja Anya tak mengetahui keberadaan benda tersebut.
***
Cahaya matahari pagi menerobos masuk celah jendela yang gordennya hanya ditutup sebagian. Tepat mengenai wajah Anya. Perlahan Anya menggeliat, membuka matanya walaupun masih memircing karena silau.
Anya teringat kejadian tadi malam, wajahnya memucat perlahan. Sebenarnya dia takut, tapi diam-diam dia mengembalikan pistol di bawah bantalnya. Dia menyingkap bantal, dan pistol itu hilang.
Dia kembali bingung. Belum habis kebingungan Anya, seseorang membuka pintu, menambah keterkejutan dan takut yang dirasakan Anya. Harshad masuk, mata mereka bertemu, dan membuat senyum Harshad lahir.
“Kau sudah bangun? Sudah lama?” tanya Harshad sembari berjalan mendekat ke Anya.
“Mau ngapain?” balas Anya bertanya, Harshad tersenyum simpul.
“Mandi dan cepat keluar,” kata Harshad, memang itu sebenarnya tujuan Harshad mendatangi Anya. Anya hanya diam melihat Harshad berjalan lagi keluar kamar.
“Mau ngapain?” tanya Anya berteriak. Laki-laki yang sudah mengenakan pakaian resmi tersebut menoleh. Mendecak sebal.
“Sarapan,” jawab Harshad, ada jeda dan dia masih menatap Anya yang diam menutup dirinya dengan selimut. “Ada lagi pertanyaannya?”
Anya tak menjawab, dia hanya menggeleng pelan. Setelah Harshad pergi, Anya kembali berangkat tidur. Dia tidak mau melakukan apapun hari ini. Awalnya berniat kabur, tapi sepertinya akan gagal. Tugasnya sekarang hanyalah, jangan sampai membuat Harshad marah biar nggak dibunuh, udah itu doang kok. Beres.
Waktu berlalu lama, Harshad masih berada di ruang makan padahal sudah waktunya dia meeting dengan para pemegang saham. Sampai Bryan jenuh dan berkali-kali ke kamar mandi karena terus meminum air putih.
“Tuan muda, sudah habis waktu menunggu kita,” ucap Bryan mengingatkan Harshad yang kesembilan kalinya. Harshad menoleh setelah meneguk air putih.
“Baiklah, ayo berangkat,” kata Harshad akhirnya, Bryan mengambil nafas lega sepanjang-panjangnya. Senyum juga menghiasi wajah Bryan.
“Terima kasih, tuan muda.” Itu kalimat yang dari tadi Bryan harapkan. Harshad berlalu menghampiri pelayan yang bertugas menangani makanan.
“Bawakan makanan untuk Anya,” pesan Harshad pada pelayan tersebut sebelum dia keluar rumah. Bryan terlihat bingung, tapi dia mengangguk kepada pelayan yang menatapnya meminta persetujuan.
***
"Tuan muda, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bryan di sela mengemudinya.
"Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Kenapa anda sangat perhatian pada nona tidak diundang itu?”
"Huft, apa aku harus menceritakan ini kepadamu?” kerutan di kening Bryan semakin kentara.
“Kenapa kita dari tadi hanya saling bertanya?” ucap Bryan melihat Harshad dari kaca tengah.
"Ah entahlah, aku sedang tidak ingin membahas Anya,” kata Harshad akhirnya, dia membuka ponselnya.
Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya, tapi bukan tentang ibu. Dia hanya takut kalau Anya ternyata adalah bagian dari musuh lamanya. Semoga saja tidak, ada permintaan dari dirinya untuk melindungi Anya walaupun dia tidak tau apa alasannya.
Harshad menghela nafas panjang, mengundang Bryan menoleh. “Tuan muda, anda punya jadwal bertemu klien di Indonesia, apa anda berkenan?”
Harshad diam, masih memandang jalanan dari jendela mobil. “Kamu tau jawabannya, Bryan,” balas Harshad.
“Baik, tuan muda.”
***
Tanpa dia sadari, dia tertidur lagi sampai siang. Dia terbangun karena suara alarm yang terletak di atas nakas sampingnya. Anya menoleh mencari seseorang untuk dia tanyai. Tidak ada siapapun di kamar ini, hanya ada beberapa makanan di atas meja.
"Apa gue ya, yang kurang bersyukur udah dibolehin tinggal di sini tapi masih aja kurang terima,” gumam Anya mendekati makanan di atas meja. “Mana semua pelayan di sini pada baik-baik lagi,” tambahnya.
Anya mengambil sumpit dan memulai sarapannya, sejak dia kabur dari ayahnya, dia belum mengabari siapapun. Hanya kemarin, saat dia benar-benar ditemukan oleh orang-orang suruhan calon suaminya, kata ayahnya tapi. Dia tidak mau.
Di rumah orang lain tanpa sungkan. Terkadang dia memikirkan itu juga tapi ya sudahlah, toh Harshad tidak mengusirnya. Semoga saja benar, Harshad dan orang-orang di sini bukan psikopat.
***
Sepulang kerja, Harshad langsung masuk kamar untuk mandi. Dia meminta Bryan untuk pulang, laki-laki tersebut sedang tidak ingin membahas pekerjaan. Malam ini adalah hari di mana dia kehilangan seseorang yang paling berharga di hidupnya.
Seharusnya dia pulang ke Indonesia untuk mengenang hari ini dengan sang ibu. Namun sebenarnya dia juga tidak bisa menghapus kenangan buruk pada tanggal ini dua tahun lalu.
Harshad tidak pergi kemana-mana. Seusai mandi dia meminta pelayan membawakan banyak sekali wine ke balkon lantai dua. Pelayan sudah paham dengan apa yang diminta oleh Tuan Muda mereka.
Mungkin mereka juga ada yang menandai hari ini selain kepala pelayan dan Bryan. Harshad sudah duduk manis menunggu minuman pesanannya, duduk tenang menatap langit yang gelap di atasnya.
“Selamat malam, tuan. Sekretaris Bryan berpesan pada saya unuk tidak meninggalkan anda sendirian,” ucap Danu.
“Aku tidak ingin diganggu,” jawab Harshad tanpa menoleh. Danu mengangguk, tapi dia tidak benar-benar pergi. Mempersilahkan pelayan meletakkan beberapa botol wine di atas meja lalu keluar dari area balkon.
Sedangkan di kamar lain, Anya bernyanyi ria sembari mengubah bentuk rambutnya. Membuat gelombang pada rambut yang berwarna agak kecoklatan tersebut.
“I overdosed should’ve known your love was a game,” gumam Anya menyanyikan salah satu lagu milik Charlie Puth.
Rambut Anya lurus sebenarnya, tapi dia lebih suka rambut bergelombang seperti punya ibunya. Makanya Anya membentuk rambutnya seperti itu terkadang.
Setelah dia rasa selesai, dia melihat jam dan tau kalau sekarang adalah waktunya makan malam. Harshad akan ada di ruang makan, dia ingin melihatnya kali ini, entah karena apa.
“Tuan muda kemana ya?” tanya Anya pada seorang pelayan yang membawa nampan kosong turun dari lantai dua.
"Tuan muda ada di atas Nona, tapi dia sedang tidak ingin diganggu,” jawab pelayan tersebut. Anya menatap lantai dua, rasa ingin tahunya mengomando untuk naik.
"Sedang apa dia di sana?”
“Maaf, nona, tuan muda butuh privasi.” Anya mengangguk pelan, dia mengerti.
“Apa dia sudah makan malam?”
"Belum, nona. Kalau anda ingin makan malam, makan malamnya sudah kami siapkan di ruang makan,” ucap pelayan tersebut. Anya hanya mengangguk dan mempersilahkan pelayan itu pergi.
"Kenapa ya dia?” khawatir, iya. Anya khawatir, sesebal apapun dia pada Harshad, tetap saja Harshad lah orang yang menolongnya.
Anya beranjak ke ruang makan, mengambil nampan dan beberapa porsi makanan untuk dia makan bersama Harshad di atas. Anya bergerak cepat agar tidak diketahui oleh para pelayan.
"Nah, beres,” ucapnya. Dia berjalan pelan agar tidak menimbulkan suara.
Rumah ini terlalu luas untuk bersembunyi dan mengendap seperti itu. Terlebih lagi, banyak anak buah Harshad yang berjaga di sudut ruangan. Tapi beruntung, malam ini tidak terlalu banyak penjaga, hanya dua orang di depan pintu utama.
Dan ini, di pintu balkon. Kepala keamanan ada di sini. Jadi bisa dipastikan Harshad ada di balkon. Tuan Danu berdiri tegak sembari tetap melihat sekitarnya.
"Gimana gue bisa kesono kalo ada itu satpam?” gumam Anya. Berusaha mencari cara, tiba-tiba senyumnya terkembang. Dia menemukan gelas kecil.
Pyaaaarrrrr
Anya lempar berlawanan jalan dengan jalan ke balkon. Dan benar saja, penjaga andalan Harshad tersebut menoleh, melangkah pergi dari tempatnya berdiri untuk melihat suara apa tadi.
“Mantap,” kata Anya. Dia bergegas mendekati balkon.
***
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.