Share

Bab 6: Pembalasan Ketiga

"Nak!" Ibu memanggil dari dapur, sehingga Bella yang sedang menata minuman air mineral di ruang tamu tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Ada apa, Bu?" Bella sedikit panik mendengar nada tinggi Ibunya itu. Tidak seperti biasanya.

"Apakah kamu yang mengubah dress code acara hari ini jadi seperti ini?" Rupanya Ibu selalu memantau acara Istana tersebut lewat ponselnya. Sesuatu yang tidak Bella ketahui sama sekali sejak tahun-tahun lalu. 

Acaranya disiarkan secara live di kanal Istana.

"Bu, jadi Ibu selalu menontonnya?" Bella bertanya sambil tidak percaya.

"Ini kamu yang mengubahnya?" Ibu tetap ngotot bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan Bella barusan.

"Ya." Jawab Bella singkat. Sebelum bergerak mengambil nampan minuman lagi di belakang punggung Ibu.

"Apa-apaan sih, kamu!" Tiba-tiba saja omelan Ibu terdengar memenuhi dapur, membuatnya terlonjak di tempat dan menatap dengan mata membesar, "Itu warna kesukaan Ayah! Beliau menyukai merah, putih, hitam. Kenapa kamu mengubahnya seenaknya?"

Untuk beberapa saat Bella terdiam.

Suasana dapur yang sempat heboh itu menjadi hening sejenak.

Sambil menunduk, dijawabnya Ibu dengan suara terbata-bata, "Eh. Nng ... Ibu ingat Ilham?"

"O-oh iya," Ibu melihat ke arah ruang depan, "Kenapa dia belum datang?" 

"Nng. Dia bukan temanku lagi, Bu. Dia sudah berteman dengan anak-anak yang merudungku di sekolah." Tangis Bella nyaris pecah. Pasalnya dia tidak pernah membayangkan akan menceritakan tentang kepiluannya di sekolah kepada Ibunya secepat ini. Apalagi di saat peringatan hari berduka ini.

"Si-siapa yang merundungmu?!" Tepat seperti dugaannya, Ibu langsung mengguncang kedua pundak puterinya yang kecil itu. "Ya ampun, Nak, kamu kecil sekali ..." Gumamnya merasa iba sekaligus juga merasa bersalah.

Bella menggeleng pelan, berusaha melepaskan dirinya perlahan, "Mereka ... mereka akan ke acara Istana dengan pakaian mahal berwarna-warna itu. Jadi, aku mengatakan kepada Kazem untuk mengubah dress code-nya."

Mereka sama-sama terdiam.

"Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu dirundung di sekolah, Nak?" Ibu masih berbisik di telinganya, begitu kembali memeluknya. "Ibu ... Ibu bisa membantumu."

Lagi-lagi Bella menggeleng.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah besar. Aku bisa menghadapinya sendiri." Suaranya tergugu dalam linangan air mata yang akhirnya keluar juga.

Semua penghinaan teman-temannya dalam bentuk perendahan, cemoohan, sindiran, bahkan terkadang dalam bentuk fisik sudah bisa dilewatinya selama tahun-tahun terakhir SMA ini. Lalu untuk apa dia merepotkan Ibu sementara dia sudah memiliki segalanya untuk membalas dendam?

"Anakku ..." Gumaman Ibu terdengar dibalik rintih tangisannya, "Anakku yang malang ... kasihan ..."

"Bu ..." Bella berusaha menenangkan Ibunya. Menyimpan penyesalan karena ledakannya barusan. Entah kenapa akhir-akhir ini hampir segala hal yang dia pendam mendadak keluar meledak-ledak. Bagaikan kembang api dari atas bukit di tengah malam yang gelap. Mengejutkan orang-orang di sekitarnya.

Beberapa menit hingga mereka tenang kembali. "Tapi, apa maksudmu dengan mengubah dress code, Nak?" Ibu bertanya lagi, menatapnya lekat-lekat. Wajah keduanya merah sembab.

Hati Bella mencelus. Ibunya sudah mulai pikun.

Dia sedikit ragu, namun karena melihat kesungguhan Ibu kali ini untuk mendengarkannya, dia berbicara juga, "Mereka, anak-anak jahat itu, akan pakai dress code awal ke acara Istana, Bu. Jadi, aku mengubahnya. Aku ingin mereka merasakan bagaimana rasanya dipermalukan di depan orang-orang banyak." Kepalanya menggeleng, "Bukan hanya itu, tapi bagaimana rasanya dikucilkan karena mereka berbeda dan melakukan kesalahan yang tidak disengaja. Ah, bukan. Tapi ..."

Ibu sempat terdiam memandanginya dengan wajah terkejut. "Ya sudah, Nak," Kemudian ditenangkannya lagi putri semata wayangnya itu sambil mengelus kepalanya untuk waktu yang lama.

Sedianya dalam hati Bella ingin sekali menceritakan kejadian lain di hari ini juga. Tentang dirinya yang dibilang jual diri oleh Aiko karena membayar kelebihan untuk tunggakan uang kasnya, hingga dipanggil ke ruang Konseling dan diomeli dengan kasar hingga ancaman diskors.

Tetapi, untuk apa? Toh, semuanya sudah jauh lebih baik sekarang. Aku bisa menghadapi ini semua kedepannya.

Setengah jam berlalu, Ibu dan anak itu merasakan ikatan yang lebih kuat setelah curhatan Bella barusan. Lalu, mereka sudah kembali membereskan rumah untuk acara sore ini. Para tetangga kemudian berdatangan membawa berbagai macam makanan lezat. Sederhana, penuh rasa kekeluargaan dan kehangatan yang luar biasa. Suatu rasa yang telah diperkenalkan sejak kecil oleh Ayah dan Ibunya. 

Acara digelar dengan iringan doa-doa hingga malam.

Selesai membenahi sisa acara, termasuk memasukkan mangkuk-mangkuk makanan ke dalam lemari pendingin dan membersihkan lantai, Bella merebahkan dirinya disamping Ibu yang duduk menyelonjor. Mereka sedang menikmati malam di teras halaman belakang, di bawah titik-titik cahaya bintang di langit angkasa.

"Bu," Ucap Bella yang mulai ceria kembali.

"Hmm?" Ibu menyicipi kue-kue kering dari toples dihadapannya.

"Kenapa Kazem sangat senang membantuku, ya?" Anak itu tersenyum-senyum. Membayangkan bagaimana sang Pengawal bertanya soal makan siangnya, lalu memberikan kartu hitam itu hingga mau direpotkan untuk mentransfer sejumlah uang meski kelebihan banyak.

Ibu menjawab dengan suara yang dalam, "Kazem itu Pengawal Setia Raja yang sama dengan Penasihat. Berbeda dengan Pengawal biasa yang tugasnya mengawal saja." Jelasnya, "Kemungkinan dia juga akan menjadi penasihatmu kelak, Bella." Suara Ibu mengecil nyaris berupa gumaman.

Mendengar itu Bella mendadak bangkit, menatap Ibu dengan wajah sumringah, "Yang benar, Bu?" 

Ibu menghela nafas pendek, lalu menepuk pundaknya pelan, "Sebelum itu, tentu kamu harus mengikuti pendidikan di Istana selama beberapa tahun kedepan. Dan," Dipandanginya dengan sorot mata yang penuh, "Bella, akan ada banyak yang tidak menyukaimu di Istana, Nak. Tahta Kepemimpinan selanjutnya pasti akan diperebutkan banyak pihak."

"Hmm?" Bella belum memahami apa yang sedang Ibu bicarakan.

Ibu tersenyum kalem, "Nanti kamu juga akan mengerti, Nak."

Malam itu mereka mengobrol banyak hal hingga larut, kemudian tertidur lelap dalam kehangatan dan ketenangan.

Paginya di sekolah, tepat seperti dugaan yang diharapkan Bella, Aiko datang ke sekolah terlambat hingga jam istirahat pertama. Sebenarnya itu sudah bisa baginya, tetapi datang dengan wajah lemas dan pucat pasi, itu pemandangan baru bagi seisi sekolah.

"Ada apa?" Gengnya langsung mengerubungi. Tentu tidak ada satupun dari mereka yang memperhatikan mimik wajah puas Bella yang duduk di bangkunya. 

"Huhuhu ..." Tidak sanggup bercerita, Aiko memeluk pundak Luna yang menuntunnya dengan wajah kesal ke tempat duduk. 

"Kenapa semalam tiba-tiba kamu memutuskan tidak pergi, Bell? Lihat, aku bahkan sudah menyiapkan semuanya!" Luna lantas memprotesnya meski dengan nada pelan. Tidak ingin anak-anak lain mendengarnya atau bisa turun gengsinya.

Dia pikir akhirnya dapat menghadiri acara bergengsi itu lewat akses anak Anggota Dewan. Dia juga sudah memberikan pengumuman di akun media sosialnya bahwa dia akan hadir di sana. Namun, semuanya hancur berkeping-keping saat Aiko tiba-tiba meng-cancel-nya dengan alasan yang tidak masuk akal.

"Salah dress code?" Ulang Luna tidak percaya. Bola matanya sampai berputar menahan marah.

"Iya! Sumpah, aku tidak tahu sama sekali kalau dress code-nya diubah menjadi putih semua! Tidak ada pemberitahuan apapun kepadaku, Luna."

"Jadi, hanya karena kamu memakai gaun dengan ketiga warna itu, kamu membatalkan semuanya untuk datang?" Luna mulai tidak sabaran. "Ya ampun, benar-benar. Tidak dapat dipercaya."

"Ta-tapi, aku berjanji untuk mengajak kalian ke acara lain lagi setelah ini." Aiko segera menggenggam kedua tangan Luna. 

"Janji apa?" Ditariknya tangan itu disertai pelototan mata yang tajam. Teman-teman di sekelilingnya juga berbisik-bisik penuh kekecewaan.

"Tahun lalu kamu juga berjanji hal yang sama. Kamu tidak ingat?" Anak lain menyinggungnya.

"Iya, kamu sudah berjanji." Seorang lagi menyahut.

"Hah." Luna berdiri dari duduknya, melipat kedua tangan dengan marah yang terpancar di wajahnya. "Apakah kamu ... sebenarnya tidak dapat diharapkan?" Suaranya tajam. Terdengar hingga ke barisan depan. Bella memiringkan senyum.

Luna adalah anak Kepala Sekolah yang disegani oleh anak-anak lain, termasuk Aiko. Tentu saja kejadian yang amat mengecewakannya ini akan membuat dia berpaling, atau paling tidak menjauhi Aiko bersama anak-anak lain. 

"Luna ..." Aiko hendak memanggil lebih kencang, namun suaranya tertahan di kerongkongan yang kelu. "Maafkan aku."

"Maaf? Kamu pikir itu saja cukup, hah?!" Luna, tanpa disangka-sangka, meledakkan suaranya sehingga semua mata mengarah kepadanya. "Kamu tahu tidak untuk apa aku menjadi temanmu selama ini? Membiarkanmu merundung anak lain, seperti Bella itu contohnya!" Suaranya menurun lagi, "Kamu pikir aku suka dengan semua itu, sialan?"

"Dan, kamu pikir ..." Giginya terdengar gemeretak, "Anak-anak ini mau-mau saja mengikutimu jika bukan karena suruhanku?"

"Huh, dasar tidak berguna. Menjauh saja dariku sampai kita lulus!" Ketusnya, kemudian memindahkan tas ke bangku depan dan melengang keluar kelas ditemani geng yang selama ini dikira adalah gengnya Aiko. Ternyata mereka semua adalah anak buah Luna.

Berita itu langsung menyebar, menyeruak, dan menghebohkan seantero sekolah: ternyata Aiko adalah pembohong yang telah menipu Luna dan teman-temannya dengan iming-iming hadir di acara Istana. Dia dicap tidak ubahnya tukang pamer yang sesungguhnya tidak dapat diharapkan oleh teman-temannya.

Ketika pulang, Bella yang mulai hari ini harus mengikuti jam pelajaran tambahan (sesuai perintah Raja melalui Kazem) masih duduk-duduk santai di bangkunya. Sampai Aiko menghampirinya. 

"Awas!" Katanya bete.

Bella membalas dengan tatapan heran sekaligus tersinggung. Apa maksudnya dia tiba-tiba datang membentakku?

"Awas, ih! Kamu kan, tidak mengikuti pelajaran tambahan! Aku biasanya duduk di sini!" 

Ooh. Jadi, ini bangkunya saat jam pelajaran tambahan.

"Mulai hari ini aku ikut." Jawab Bella singkat.

"Hah?!" Bukannya sadar, Aiko justru semakin menunjukkan kejumawaannya yang memekakkan telinga. "Aku tidak salah dengar, nih? Anak miskin seperti kamu kok, bisa-bisanya ikut pelajaran tambahan! Jangan bohong deh, sudah sana pulang!"

"Benar, aku ikut." Ulang Bella tanpa nada emosi sama sekali, nemun tegas.

"Wah, anak ini ..." Aiko geleng-geleng kepala. "Hei! Aku sudah membayar untuk duduk di sini, di bangku depan, tahu! Dasar tidak tahu diri, seharusnya kamu enyah saja secepatnya sebelum kupanggilkan guru!"

"Aiko!" Panggil Luna di belakangnya, sampai yang dipanggil menoleh dengan terkejut, "Kamu yang pulang saja. Dasar menganggu."

"A-apa?" Bisik Aiko merasa amat tersinggung. Belum pernah dia mendapat perlakuan sebegini kejamnya selama sekolah. Bahkan oleh orang yang dia kira sebagai sohib setianya, dijadikan tontotan pula oleh anak-anak lainnya.

"Guru sebentar lagi datang. Tapi kamu tidak punya kursi." Jelas Luna tidak mahu tahu. "Pulanglah,"

"A-apa kamu berani seperti itu kepadaku sekarang?" Balasnya, meski belum menunjukkan keberanian sama sekali. Kedua tangan yang gemetaran itu memeluk tas di dada, "Padahal ... Padahal orang tuaku banyak menyumbang sekolah ini, asal kalian tahu! Kenapa kalian semua tega kepadaku sekarang?"

"Ah, berisik!" Bentak Nazar yang duduk di belakang Bella. 

"Tahu, nih! Berisik saja, mending pulang!" Diikuti sorakan yang lain. "Huuu!"

Bella yang hanya berdiam diri menyaksikan itu semua, sebenarnya merasa tidak tega juga kepada Aiko. Namun, dirinya tidak menemukan alasan apapun untuk membela anak itu. Sebaliknya, kilas balik semua kejadian perundungan yang dialaminya membutakan dia dan menyisakan seulas senyum di sana.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hisam Djati
harus beli koin .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status