Share

Mafia Gen-X

Pukul 05.30 pagi.

Mazaya memasuki sebuah gedung yang sudah agak tua dan terletak di pinggiran kota Jakarta. Gedung itu adalah markas besar mafia Gen-X yang memiliki anggota lebih dari 300 orang. Mafia Gen-X sendiri berbeda dengan mafia kebanyakan, mereka lebih mengedepankan kualitas personal anggotanya sehingga tidak banyak yang berhasil masuk dalam kelompok mereka. Setiap anggota yang baru bergabung atau calon anggota baru harus memiliki kualifikasi khusus, misal bidang teknologi informasi, bahasa asing, manajemen bisnis, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kelompok Gen-X selalu diperhitungkan oleh para pengusaha baik dalam negeri maupun luar negeri.

Selain itu, jika kelompok mafia lainnya memiliki bisnis utama mengarah pada hal negatif seperti narkotika, tapi tidak untuk Gen-X. Usaha utama mereka adalah pengembangan software dan jasa digital marketing. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin bekerja sama dengan mafia Gen-X harus rela 'merogoh kocek' yang tidak sedikit. Profesionalitas menjadi prioritas dalam menjalankan tugas bagi kelompok mafia Gen-X.

Sudah menjadi rutinitas harian Mazaya, sebelum berangkat menjalankan tugasnya ia selalu mampir di 'kantor' itu terlebih dahulu. Entah ada urusan penting atau sekedar say hello kepada anggota yang lain. Hal itu juga merupakan kode etik mereka sebagai anggota.

"Hallo, Zay," sapa Elena ketika berpapasan di koridor.

"Hallo, Elena. Mana Aldo?" Biasanya Elena selalu bersama dengan Aldo, oleh karena itu, mereka di juluki couple Gen-X.

"Dia lagi tugas. Oke, bye, gue duluan." Elena melambaikan tangan.

Mazaya membalas lambaian tangannya, "Bye."

Mazaya memasuki sebuah ruangan setelah melalui proses scanning di depan pintu yang secara otomatis mengenali objek yang akan memasuki ruangan. Jika objek tersebut terdeteksi sesuai kode yang sudah ditentukan, maka pintu akan otomatis terbuka.

Mazaya menatap seorang pria yang sedang duduk di balik meja dengan senyuman mengembang begitu melihat kehadirannya.

"Gue nungguin lo semaleman di sini, dan lo baru nongol pagi ini," gerutu pria itu.

"Sorry, Zeta. Gue capek banget kemarin, jadi langsung pulang." Mazaya duduk di hadapan pria yang telah membawanya ke dunia hitam ini. Mazaya lebih nyaman memanggil Zeta pada pria itu seperti pertama kali mereka berkenalan. Bagi Mazaya, sosok Zeta seperti sahabat sekaligus kakak. Dia selalu melindungi dan membantunya di saat-saat dibutuhkan.

"Thanks, lo udah berhasil mengirim datanya. Lo pasti bakal dapet hadiah besar dari Big Boss. Sore ini data akan di olah, nanti gue kabarin hasilnya." Zeta bangkit dari tempat duduknya menghampiri Mazaya, lalu merapikan wig yang melekat di kepala gadis itu.

"Lo harus ingat, jangan sampe ketemu sama CEO GMI, dia orangnya sangat teliti. Hindari pekerjaan berat dan sensitif. Kita usahakan lebih duluan selesai mengolah 10% sisanya sebelum mereka selesai," pesan Zeta.

Bagi anggota mafia, pantang menanyakan alasan dari setiap misi yang dilaksanakan. Mereka hanya perlu menyelesaikan misi sesuai dengan instruksi yang diberikan. Meskipun berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Mazaya, dia tidak menanyakannya, kecuali untuk hal-hal yang bersifat santai.

"Siap, Tuan Zeta!" Mazaya menundukkan kepala dengan gaya Jepang membuat Zeta tersenyum.

Mazaya berdiri, lalu beranjak menuju ke arah pintu. Namun sebelum melangkah, Zeta menarik kembali tangannya sehingga posisi mereka berhadapan. Mazaya terperangah melihat hidung Zeta tepat berada di hadapan hidungnya, jantungnya berdegup kencang.

"Dan berhati-hatilah," bisik Zeta sambil merapikan rambut Mazaya ke belakang telinga. Lalu ia berbalik kembali ke tempat duduknya.

Mazaya masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu cepat-cepat keluar dari ruangan. Ia masih merasakan detak jantung yang tak beraturan hingga sampai di motornya.

***

Seorang pemuda berwajah tampan duduk termenung di kursi kerjanya. Dialah otak GMI berjalan, sang CEO yang tidak pernah terekspos fotonya di sosial media atau di mana pun. Ia melarang keras siapa pun mengambil foto dirinya baik terang-terangan atau sembunyi-sembunyi dan akan menuntut ke ranah hukum jika sampai ketahuan ada yang melakukan hal itu. Sebuah hal yang aneh, tapi itulah pilihan hidupnya.

Ia memikirkan laporan Jonathan tentang adanya sebuah laporan transfer data yang muncul sepersekian detik lalu menghilang tanpa jejak. Sesekali keningnya berkerut sambil tangannya meremas dagu, membuat alisnya yang tebal seolah menyatu dan bibirnya yang tipis menjadi berkerucut. Membayangkan segala kemungkinan terburuk tentang software terbarunya membuatnya sakit kepala. Ia menyapu kepalanya dengan kasar sehingga rambutnya yang halus berponi tidak berbentuk lagi. Wajahnya yang bergurat halus kini berubah menjadi tegang.

Tok! Tok! Tok!

Seseorang mengetuk pintu membuat konsentrasinya terpecah.

"Masuk!" seru CEO. Suaranya yang berwibawa menggaung ke seluruh ruang kerjanya.

Seorang wanita masuk membawa tumpukan berkas di tangannya. Melihat itu, CEO menutup mata teduhnya, sudah terbayang kesibukan yang akan menemani hari-harinya.

"Kiara, tidak bisakah lo buat gue isitirahat sehari saja?" gerutu CEO pada sekretaris pribadinya itu.

Mendengar hal itu Kiara tersenyum simpul menunjukkan lesung di pipinya.

"Ada surat tanpa nama juga, Pak," ujar Kiara membuat CEO seketika menegakkan posisi duduknya.

"Letakkan di sini," perintah CEO dengan penuh semangat.

Klara meninggalkan ruangan setelah meletakkan berkas pada tempat yang ditunjukkan.

CEO memandang sepucuk surat tanpa nama itu, mengambilnya, lalu membukanya perlahan.

______________________________________________

Dear Rafa Sarfaraz

Lo pasti udah lupa sama gue, kan?

Pastilah, lo kan sekarang udah sukses.

Udahlah, cuma itu aja yang gue mau tanya.

Gue cuman mau ngasih tahu, kalo lo nikah jangan lupain gue!

Eshan Baihaqi

______________________________________________


CEO ---Rafa Sarfaraz--- menepuk jidatnya.

"Oh, My God! Eshan, I'm so sorry! tidak terasa sudah 3 tahun kita tidak pernah ketemu, gue janji dalam waktu dekat bakal ngundang lo makan deh. Ah, jangan! nge-game kayaknya lebih seru dan menantang." Rafa tertawa lebar.

Ia lalu mulai memeriksa satu per satu berkas-berkas di atas meja. Kini harinya menjadi bersemangat dengan datangnya surat dari sahabat karibnya.

Memang terkadang hal-hal kecil dan sederhana justru lebih memberikan efek positif dari pada hal-hal besar dan istimewa. Oleh karena itu, dalam hidup kita mesti melakukan sekecil apa pun kebaikan karena bisa memberikan efek positif bagi orang lain.


Pukul 14.00 siang.

Rafa meninggalkan ruang kerjanya dan mewakilkan tugas pada asistennya. Dia memiliki janji pada ibunya untuk menemani berbelanja. Sebenarnya ia sangat malas pada aktifitas satu ini, sebab biasanya wanita sangat pemilih dan tidak akan puas samapi benar-benar mantap di hatinya. Namun karena permintaan sang ibu, ia tidak bisa menolak. Ia sangat menyayangi ibunya, bahkan ia terkesan manja pada usinya yang sudah melewati seperempat abad itu.

"Halo, Ma, iya sudah jalan, nih, tunggu sekitar 10 menit." Rafa menutup telepon dan berjalan dengan tergesa. Tatapan dan sapaan dari pada karyawan tidak dipedulikannya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status