Meskipun parkiran rumah sakit memang sudah sepi, namun Arsen tetap menoleh ke sekitarnya untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang akan mendengarnya berbicara dengan seseorang yang kini menelponnya. Beberapa saat yang lalu setelah keluar dari kamar rawat Claire, ia langsung mengirimkan pesan pada teman SMA nya yang berprofesi sebagai seorang hacker untuk meminta bantuan. Mencari tahu segala sesuatu mengenai Claire tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan internet, karena informasinya sering tidak akurat dan kebanyakan berisi hoax. Apalagi jika yang menulis berita itu membenci Claire. "Halo, Fred. Kau sudah mendapatkan semua informasi mengenai gadis itu?"Hanya terdengar hening di seberang telepon, membuat Arsen kembali mengecek gawainya. Keningnya berkerut ketika mendapati bahwa telepon itu masih tersambung. "Fred? Halo? Kau masih di situ?"[Kau yakin ingin mencari tahu mengenai gadis itu?] Hening beberapa saat. "Tentu saja. Untuk apa aku mendadak menghubungimu jika tidak benar-
Akhirnya setelah melewati waktu selama sehari semalam di rumah sakit, Arsen membawa Claire pulang ke apartemennya. Setelah dipikir-pikir lagi, ia memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu apa-apa. Bagaimanapun juga, tidak adil bagi Claire jika tiba-tiba saja ia menjauhi gadis itu. Mereka harus meluruskan semua masalah ini dan menjalin komunikasi yang lebih baik lagi agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Sejak awal sudah berani mengambil komitmen, maka Arsen pun harus berani menghadapi segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan mereka. Sebelumnya mereka mampir dulu ke apartemen Claire untuk mengambil beberapa baju dan perlengkapan lainnya. Gadis itu terlihat bersikap seperti Claire yang biasa. Lugu dan sering merasa tidak enakan. Arsen bisa merasa lega untuk sejenak, karena jujur ia belum siap untuk menghadapi Claire versi lain. "Apartemenmu sungguh besar dan mewah, Arsen. Aku merasa tidak pantas berada di sini," kata Claire begitu mereka memasuki apartemen Arsen."Ck, apar
"Dia kerasukan arwah seorang pria bernama James!” seru Arsen untuk yang kesekian kalinya, membuat Leo memutar matanya jengah.“Bukan kerasukan, melainkan alter ego,” koreksi Leo, sambil terus melangkah menuju ke kamar hotel yang khusus disediakan untuknya di lantai paling atas gedung Montage Hotel.“Alter ego? Aku kira itu hanyalah istilah yang dibuat oleh penulis cerita fiksi yang novelnya pernah difilmkan,” sahut Arsen.“Dengar, Sobat. Kita semua punya alter ego. Hanya saja tidak semua alter ego bisa keluar begitu saja, seperti yang dialami oleh Claire dan orang-orang berkepribadian ganda lainnya. Aku punya alter ego, kau punya alter ego, semua orang punya alter ego. Saat kau tiba-tiba saja melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kau lakukan tanpa sadar, itu termasuk alter ego dalam kategori ringan,” jelas Leo sambil membuka pintu kamar hotelnya.“Apa? Tidak mungkin! Aku yakin sekali bahwa itu hanyalah istilah yang diada-adakan untuk melindungi keberadaan psikopat, orang
Josh dan Emily baru saja tiba di Dirty Nightclub, salah satu klub malam di Kota Portland. Mereka melewati kerumunan manusia yang memadati lantai dansa dan menggoyangkan tubuhnya sambil menikmati aksi penari striptease. Keduanya menoleh kesana kemari untuk mencari seseorang, sampai akhirnya menemukannya di sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Emily berkali-kali membalas sapaan beberapa orang yang dikenalnya di sana saat Josh menarik lengannya untuk mendekati orang itu."Ehem." Josh berdehem untuk mengalihkan perhatian dari kedua insan yang tengah dikuasai oleh nafsu itu.Pria berambut hitam legam itu menghentikan aksinya meraba-raba tubuh gadis cantik dan seksi di sampingnya. Dia menoleh pada Josh dan wajahnya langsung sumringah."Joshua William, akhirnya kau datang juga. Kenapa dengan wajahmu? Kenapa dengan leher dan pipinya?" tanya pria itu heran, saat melihat wajah Josh nampak memar-memar dan leher serta wajah Emily diperban."Pujaan hati adikku meninju wajahku dengan membab
"Wow"Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Freddy setelah mendengar cerita dari Arsen mengenai Claire. "Hanya itu responmu?" protes Arsen dengan wajah tak terima. Freddy mengangkat kedua alisnya. "Lalu aku harus merespon bagaimana?" "Setidaknya beri aku saran atau masukan. Aku harus bagaimana?" Arsen berjalan mondar-mandir di ruang tamu apartemen Freddy sambil berkacak pinggang. "Aku tidak terlalu mengerti tentang alter ego, tapi aku pernah mendengar bahwa kau harus siap mental jika menghadapi orang seperti itu.""Kau mengatakan hal yang sudah jelas, Fred. Siapa yang siap mental jika berhadapan dengan orang yang tiba-tiba bersikap aneh? Kebanyakan orang pasti akan menganggapnya gila atau kerasukan."Mereka hanya diam setelah itu. Freddy terlihat seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Brandon bilang, Claire memang terlihat aneh. Kartu identitasnya memang benar bernama Claire, tapi ketika di ruang interogasi, gadis itu bilang bahwa namanya adalah Rose. Dia bahkan merasa aneh ketika
Arsen menelungkupkan kepalanya di atas kemudi setelah memindahkan mobilnya ke basement apartemen. Setelah terbangun dengan seluruh tubuh terasa pegal dan memergoki Rose kembali sekitar pukul 3 dini hari, ia memutuskan untuk tetap menunggu di dalam mobil. Seharusnya ia sudahi saja semuanya dan kembali menjalani hidup normal. Tak perlu lagi merasa paranoid saat Claire ada di apartemennya, tak perlu lagi merasa kaget saat tiba-tiba saja gadis itu berubah menjadi pribadi yang lain, dan tak perlu lagi berurusan dengan cinta. Tapi ia tidak bisa begitu saja meninggalkan semuanya, meninggalkan gadis itu. Bagaimanapun juga, semenjak kedatangan Claire beserta alter egonya, cara pandangnya terhadap hidup sedikit demi sedikit mulai berubah. Ia tidak lagi merasa jenuh dengan hidupnya, tak lagi membenci musim gugur, dan mulai memaafkan ayahnya meskipun sangat sulit. Lantas kenapa ia harus meninggalkan gadis itu hanya karena memiliki alter ego? Jika boleh meminta, pastilah Claire ingin hidup baha
Emily membuka matanya secara perlahan, namun pandangannya masih buram. Entah sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri, tapi yang pasti kepalanya terasa sangat pusing. Sekali lagi gadis itu membuka matanya dan mengerjap-ngerjapkannya agar bisa melihat dengan jelas sedang berada dimana ia sekarang.Setelah bersusah payah mengerjapkan mata bahkan sampai melotot, akhirnya Emily bisa melihat dengan sedikit jelas keadaan di sekitarnya. Dia melihat ke sekeliling ruangan yang begitu mewah dan perabotan yang menghiasinya terlihat mahal. Gadis itu mengira-ngira pastilah kamar ini berada di rumah seseorang yang sangat kaya raya. Tapi mengapa dia harus disekap di sini? Siapa orang kaya itu? Apakah Arsen? Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang saat memikirkan nama itu."Apa kau bermimpi indah, tukang tidur?"Emily langsung terlonjak kaget saat mendengar suara seorang gadis yang mau tak mau diakuinya sangat seksi. Bahkan darahnya sempat berdesir saat mendengar suara itu. Dilihatnya sekeliling ru
Rose memasuki kamar Leo dan mendekati cermin. Dilihatnya bayangannya yang terlihat murung dengan mata berkaca-kaca."Berhentilah menangis, Claire!" bentak Rose pada bayangannya di cermin.Bayangan itu menggeleng sambil mengusap air matanya yang terus mengalir."Aku mencintainya, Rose. Dan aku yakin bahwa dia juga sangat mencintaiku. Tolong jangan pisahkan kami. Hanya dia yang mau mengerti aku," ucap Claire dengan wajah murung.“Persetan dengan cinta! Kau hanya punya aku, Tatiana, dan James. Tidak ada yang bisa mengerti kau kecuali kami!” teriak Rose murka, lalu melempar cermin itu dengan asbak dari batu hingga hancur berkeping-keping. Ia menatap serpihan kaca itu dengan sebelah alis terangkat, sampai akhirnya menyadari bahwa bayangan Claire tadi bukan berada tepat di depannya, melainkan di belakang bayangannya sendiri.Cepat-cepat ia berbalik untuk memastikan, dan langsung terkesiap saat mendapati Claire benar-benar berada di sana. “Bagaimana bisa?” gumamnya sambil menatap Clair